Al Ghubaiba Bus Station: Menunggu Dubai Bus No. 8

<—-Kisah Sebelumnya

Tepat tengah hari aku terduduk di pelataran utara Al Fahidi Fort. Aku duduk tepat di depan Dhow Boat –perahu tradisional khas Timur Tengah– yang menjadi property milik Dubai Museum. Sementara sang surya menyelinap malu di balik gumpalan awan yang melindungi kota dari sinar teriknya.

Para pengunjung masih berlalu lalang di hadapan demi menikmati nostalgia masa lalu Dubai di seantero museum. Sementara aku sedang berpikir keras, mencoba mempertaruhkan waktu antara menyudahi petualangan atau menambah lagi satu area destinasi.

Destinasi itu berjarak hampir dua puluh kilometer di arah selatan, tepat di pesisir pantai Jumeirah. Daerah itu bernama Umm Suqeim, area pantai dimana bangunan hotel ternama Burj Al Arab berada. Letaknya di sebelah utara pulau reklamasi elit Palm Jumeirah yang kukunjungi sehari sebelumnya.

Aku berpikir keras karena siang itu aku mulai memiliki faktor pembatas, yaitu penerbangan menuju Muscat pada malam harinya.

Kuperkirakan membutuhkan waktu tak kurang dari tiga setengah jam untuk perjalanan pulang pergi hingga tiba di penginapan kembali. Tentu aku harus kembali ke penginapan untuk mengambil backpack yang kutitipkan di Zain East Hotel semenjak check-out pagi hari sebelumnya.

Sementara itu, paling tidak membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mengeksplorasi kawasan Umm Suqeim. Jadi paling tidak aku akan sampai kembali di penginapan pada pukul enam sore. Penerbanganku ke Muscat sendiri akan dimulai pada pukul sembilan malam.

“Tidak usah ragu, Donny….Masih cukup waktu untuk melakukan eksplorasi tambahan…Cepat….Cepat….Cepat”, aku meyakinkan diriku sendiri untuk membuang rasa ragu

Aku pun segera menetapkan rute dan titik tolak untuk berangkat. Aku yang tak memiliki kuota internet lagi, segera memahami peta secara manual. Beruntung sebuah aplikasi berbasis peta memecahkan permasalahan itu, aku diarahkan oleh aplikasi itu untuk menggunakan jasa Dubai Bus No. 8 yang berangkat dari Al Ghubaiba Bus Station.

Kuperhatikan dengan cemat di dalam peta digital bahwa terminal bus itu berada sekitar satu setengah kilometer di barat tempatku berdiri, Dubai Museum.

Aku segera mengayunkan langkah cepat menujunya. Aku tiba dalam dua puluh menit, dengan nafas tersengal aku memasuki terminal itu dari sisi 16th Street di sisi barat terminal.

Begitu memasuki area terminal aku terdiam sejenak. Memperhatikan segenap penjuru terminal. Aku menyunggingkan senyum oleh karena perwujudan terminal yang diluar dugaanku sendiri. Al Ghubaiba Bus Station hanyalah sebuah tanah lapang beraspal yang disekat sekat dengan concrete barrier. Hanya ada beberapa platform yang diberikan atap, sisanya adalah tanah lapang dengan tiang-tiang penanda rute.

Dari sekian luas terminal, tentu akan membutuhkan banyak waktu jika aku harus menyisirnya satu per satu demi menemukan platform dimana Dubai Bus No. 8 akan berangkat. Untuk menyingkat waktu itu, aku bertanya ke seorang petugas terminal yang tampak mengatur lalu lintas di dalamnya.

“Over there…In west side near McDonald’s outlet, Sir”, petugas itu menjelaskan sembari menunjukkan tangannya jelas ke satu titik.

Hanya sedikit bagian dar terminal yang berkanopi.
Mari lihat lebih dekat!
Penampakan sebagian besar terminal. Area terbuka yang luas.
Platform Dubai Bus No.8 dengan tujuan akhir Ibn Battuta Metro Station.

Dengan petunjuk itu, aku pun menemukan platform dengan mudah. Dan ketika berdiri di depan platform, naluri blogger mendorongku untuk segera mengambil beberapa foto yang kuanggap perlu.

Wait….Wait….Wait. Don’t take picture with me in it”, tegur seorang pria India yang duduk di bangku platform. Dia mendekatiku dan memintaku memperlihatkan foto yang baru saja kuambil. Aku pun mengabulkannya.

Yes…this….you must delete this photo”, dia menunjuk ke layar kamera mirrorlessku.

Okay, Sir…No Matter, I deletes it now”, aku menenangkannya.

Usai kejadian itu, aku pun duduk bersebelahan dengannya dan kami berdua malah bercakap akrab sembari menunggu kedatangan bus.

Sebut saja namanya Sanu yang merantau dari tempat kelahirannya di India demi mengadu nasib di kota megapolitan Dubai.

Percakapan hangat itu terasa begitu cepat dan segera terhenti karena Dubai Bus No. 8 telah tiba di platform.

Saatnya menuju Umm Suqeim….

Kisah Selanjutnya—->

Dubai Museum: Bagian dari Tembok Kota Bur Dubai

<—-Kisah Sebelumnya

Membelakangi Bur Dubai Al Kabeer Masjid, aku menatap kuat bangunan mirip benteng di hadapan. Aku berdiri tepat di sisi utaranya dan tampak area parkir sisi utara itu dipenuhi oleh kendaraan. Sebuah pertanda bahwa bangunan benteng itu sedang ramai dikunjungi para wisatawan.

Kuperhaikan jelas bahwa keramaian itu terletak di sisi barat benteng, tampak bendera Uni Emirat Arab berkibar megah berdampingan dengan bendera Dubai Culture & Arts Authority di sisi itu.

“Itu pastilah pintu masuk menuju benteng”, aku mengambil kesimpulan cepat.

Kuputuskan untuk berjalan melingkar memotong arus Ali bin Abi Taleb Street dan aku berhasil mencapai sisi barat benteng dengan cepat. Benteng itu terletak berseberangan dengan gedung Kementrian Keuangan Uni Emirat Arab.

Dubai Museum”, aku membaca papan nama itu.

Memasuki area depan maka pemandangan tiga buah meriam kuno menyambutku. Hanya perlu membayar uang masuk sebesar 3 Dirham untuk bisa menikmati sisi dalam Dubai Museum.

Inilah bekas benteng abad ke-18 yang kini bertransformasi menjadi museum pameran multimedia tentang sejarah & warisan budaya lokal. Al Fahidi Fort adalah nama asli benteng tersebut.

Di dalamnya tertampil sejarah Dubai sebelum minyak bumi ditemukan di Uni Emirat Arab. Disebutkan pada masa itu, mayoritas warga lokal masih memperjuangkan ekonominya dengan menyelam untuk berburu mutiara dan mencari ikan.

Perahu-perahu masa lalu yang berusia lebih dari seabad dan digunakan untuk berburu hasil laut pun ditampilkan di museum ini.

Tak tanggung-tanggung, pemerintah Uni Emirat Arab menyediakan lahan seluas lebih dari satu hektar untuk menempatkan Dubai Museum di kawawan Al Fahidi Historical District tersebut.

Sisi utara Al Fahidi Fort.
Yuk masuk….
Ini dia bagian depannya.
Dinamakan juga sebagai Dubai Museum.
Dubai Museum sisi selatan.

Dari papan informasi di pintu museum, aku mengetahui informasi mengenai waktu berkunjung di Dubai Museum, yaitu hari Sabtu hingga hari Kamis (pukul 08:30 sd 20:30), hari Jum’at (pukul 14:30 sd 20:30) dan Hari Libur Nasional (pukul 08:30 sd 20:30).

Larangan umum seperti menyentuh benda bersejarah di dalam museum, makan dan minum di dalam museum, merokok, membuang sampah sembarangan, anak-anak harus ditemani orang dewasa dan pengawasan oleh CCTV sudah pasti ada pada papan informasi

Namun dua hal yang membuatku antusias yaitu larangan membawa tas berbobot berat ke dalam museum, jika pengunjung membawa tas jenis itu maka dia harus menaruhnya di pos keamanan. Satu lagi yang membuatku hatiku riang adalah tersedianya pemandu wisata gratis untuk pengunjung.

Pemandu wisata gratis inilah yang kumanfaatkan sebaik mungkin untuk menjelajah seisi museum dengan banyak informasi yang kuterima.

Pemandu wisata itu menjelaskan dengan gamblang bahwa tembok kota adalah wujud arsitektur yang menonjol dari konteks perkotaan pada kota-kota tua. Tembok tersebut mengelilingi kota untuk bertahan dan menyelamatkan mereka dari serangan musuh. Sepanjang sejarah, terdapat banyak contoh dinding kota yang memainkan peranan penting dalam melindungi kota, sebut saja Kota Kairo, Damaskus dan Baghdad.

Di masa lalu, Kota Dubai sendiri memiliki dua tembok kota. Tembok kota tertua dibangun di kawasan Bur Dubai yang dibangun pada tahun 1.800. Tembok itu mengelilingi kota tua yang didalamnya termasuk Al-Faheidi Fort, Masjid Agung Bur Dubai, dan perumahan warga. Sedangkan tembok kota kedua dibangun di Distrik Deira yang dibangun pada pertengahan Abad ke-19.

Tembok kota Bur Dubai dibangun menggunakan batu koral dan gypsum. Ketebalannya mencapai 50 cm, dengan panjang tak kurang dari 600 meter dan ketinggian mencapai 2,5 meter. Sayangnya di permulaan Abad ke-20, tembok kota itu dihancurkan untuk mengakomodasi pemekaran kota.

Satu-satunya bukti tersisa dari tembok kota tersebut tentunya adalah pondasinya yang kemudian direstorasi pada tahun 2001 oleh Bagian Bangunan Bersejarah Pemerintah Kota Dubai.

Hmhhh….Menarik ya.

Jadi inget tembok kota Batavia yang ditemukan pula pondasinya…..

Kisah Selanjutnya—->

Bur Dubai Al Kabeer Masjid: “I Don’t Understand What You Say”

<—-Kisah Sebelumnya

Berada di akhir bagian dari Grand Souq-Bur Dubai, aku konsisten melangkahkan kaki di gang-gang sempit di sela-sela bangunan pertokoan.

Untuk berikutnya aku tiba di pelataran luas, aku berdiri terpaku tepat di tengahnya. Di sisi kiriku adalah toko berbentuk klasik dan berukuran besar milik Blossom Trading, di sisi kananku adalah toko modern Al Soroor, di belakangku adalah toko tak kalah modern milik Neelam Khamas Textorium, ketiga toko besar itu adalah outlet pakaian, sedangkan tepat di hadapan sana adalah bangunan dengan bentuk familiar di mataku….Ya, itu sudah jelas sebuah bangunan masjid berukuran besar dan berwarna kecoklatan.

Rasa penasaran akhirnya mengantarkanku untuk mendekati masjid tersebut. Tampak masjid itu dikelilingi oleh trotoar yang bersih dengan pepohonan tinggi yang dibiarkan hidup subur bersandingan di sisi masjid. Juga tampak jelas sebuah rambu-rambu di sisi barat masjid yang melarang parkir kendaraan kecuali bus pariwisata.

Di bagian pojok selatan masjid, tepatnya di sisi utara Ali bin Abi Taleb Street, tampak diberikan penanda penting yang menggantikan sebuah fungsi halte bus, yaitu  “Dubai Old Souk Station” yang kepemilikannya berada di bawah RSA (Roads and Transport Authority).

Tampak pintu utama masjid ditempatkan di sisi utara Ali bin Abi Taleb Street. Tepat di sebelah pintu utama, aku bisa membaca dengan jelas tulisan yang tertera di sebuah plat logam kuningan.

 “Bur Dubai Al Kabeer Masjid”, aku membaca perlahan tulisan itu.

“Oh ini nama masjidnya”, aku membatin.

Dari informasi yang kudapatkan dalam plat logam, jelas bahwa masjid tersebut kepemilikannya berada dibawah Islamic Affairs & Charitable Activities Department. Dan yang perlu diketahui bahwa masjid itu sudah ada sejak awal tahun 1900-an.

Langkahku sempat terhenti di depan pintu utama masjid ketika seorang lelaki berperawakan Asia Selatan menghampiri. Entah dia berbicara apa kepadaku, aku tak memahami bahasanya yang jika kutebak adalah Bahasam asal India. Aku hanya terus mengatakan kepadanya “I don’t understand what you say, Sir”, hingga dia memutuskan meninggalkanku dan menuju orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Pertokoan di sisi barat masjid.
Bur Dubai Al Kabeer Masjid sisi barat.
Bur Dubai Al Kabeer Masjid sisi selatan.
Pintu utama masjid di sisi jalan Ali bin Abi Taleb Street.

Usai kejadian kecil itu, selanjutnya aku mulai memasuki gang di sisi timur masjid. Di bagian ini tampak sederetan toko yang menjual peralatan ibadah umat Hindu. Para pemilik toko-toko tersebut mayoritas adalah warga asal India.  Deretan toko itu menjual bunga-bunga peribadatan, guci dan banyak patung Dewa-Dewi dalam Hindu.

Dan benar adanya, ketika aku berada di sebelah utara masjid, tampak berdiri jelas beberapa kuil peribadatan untuk agama Hindu, diantaranya adalah Shrinath Ji Temple untuk memuja Dewa Krisna dan Shiva Temple untuk memuja Dewa Siwa.

Genap mengelilingi masjid, aku kembali ke sisi Ali bin Abi Taleb Street dan menatap ke depan serta membelakangi masjid.

Tampak bangunan besar nan klasik dengan pelataran yang lebih luas dan dimanfaatkan sebagai area parkir.

“Sepertinya itu bangunan benteng….Lebih baik aku mendekat ke sana untuk mencari tahu”, aku membatin sekaligus menetapkan tujuan.

Kisah Selanjutnya—->

Grand Souq-Bur Dubai: “You Broke My Heart”

<—-Kisah Sebelumnya

Aku melompat turun dari perahu yang difungsikan sebagai taksi air di Dubai Creek. Aku tiba di Bur Dubai Water Taxi Station yang terletak di seberang selatan sungai.

Ketibaanku disambut dengan hamparan plaza yang terlindung oleh pepohonan nan rindang dan aktivitas warga yang duduk bersantai di dalamnya.

Tampak keramaian di booth dominan merah yang menjual tiket Dubai Hop-on Hop-off Bus Tour. Sementara gerai Tropical Sno di tepian sungai yang menjual berbagai minuman dingin dan air kelapa muda tampak dipenuhi para pengunjungnya.

Aku segera meninggalkan plaza yang di sisi timurnya dimarkahi oleh satu menara pengawas klasik bak benteng mungil. Aku berjalan menuju gerbang pasar yang tepat berada di sisi 34th Street.

Tiba di bawah gerbang, langkahku terhenti oleh sepasang turis asal Jepang yang meminta tolong kepadaku untuk mengambilkan foto mereka berlatarkan gerbang pasar. Aku menuntaskan permintaan mereka dengan baik dan aku mendapatkan balasan yang sama, difotokan tepat di bawah gerbang pasar.

Pasar itu Bernama Grand Souq-Bur Dubai…..Sebuah pasar tua di Dubai yang memiliki koridor utama dengan atap kayu berukiran khas.

Aku baru tersadar karena mengunjungi pasar ini di hari Minggu. Padahal pasar ini biasa mencapai puncak keramaian di setiap Jumat, hari yang biasanya akan dimeriahkan oleh karnaval yang dihadiri oleh warga lokal, wisatawan dan para ekspatriat yang mengenakan pakaian serba meriah.

“Tak apalah….Lebih baik menikmati pasar apa adanya”, aku membatin dengan senyum.

Aku mulai berjalan menelusuri koridor utama. Sejauh mata memandang, pasar itu banyak menjual berbagai jenis kain, seperti sutra, katun, satin, dan beludru. Aku begitu menikmati atmosfer perdagangan di pasar tersebut.

Tetiba langkahku terhenti….


Aku tertegun ketika mendapati sebuah bangunan kios bertajuk “Indonesia”, tentu itu adalah nama tanah air tercintaku. Pada detik itu aku tak segera paham kenapa “Indonesia” menjadi nama sebuah kios.

Gerbang Grand Souq-Bur Dubai.
Koridor utama pasar.
Banyak penjual kain kan?
Yuk masuk lebih dalam.
Bangunan tempo dulu.
Kios Indonesia.
Menjelang koridor akhir.
TIba di bagian akhir pasar.

“Apakah untuk menarik wisatawan atau tenaga kerja asal Indonesia?”, aku menerka-nerka karena biasanya warga asal Indonesia memang suka berbelanja….Ah, entahlah.

Aku pun segera mengambil beberapa photo bangunan itu. Dan ketika hendak meninggalkan sisi itu, seorang pedagang yang kuduga berkebangsaan Pakistan menghampiri.


“Halo brother, do you need help?….I can take your photo”, dia menawarkan bantuan.


“Oh, sure, Sir. You are very kind”, aku memberikan gawai pintarku kepadanya setelah mengaturnya sehingga menu kamera siap digunakan.


Snap….snap….snap.


“Thanks, Sir”, aku menerima soloran tangannya yang mengembalikan gawai pintarku.


“Sir, We have nice scarfes for you”, pedagang itu menjulurkan tangan ke arah kiosnya demi membujukku.


“I don’t come here for shopping, Sir….Just for sightseeing”, aku halus menolaknya.


Tak menyerah, salah satu temannya datang dari kios menghampiriku dengan membawa beberapa helai syal. Penuh senyum dia mulai memamerkan kain-kain indah itu di depanku.


“Thanks for your offering, I can’t buy your scarfes”, aku untuk terakhir kali menolaknya halus.


“Oh, brother, you broke my heart”, dia tersenyum rela bahwa syalnya tidak laku dijual kepadaku.


Aku berpamitan kepadanya dan melanjutan penelusuranku di Grand Souq-Bur Dubai.

Menelusuri koridor sepanjang tak kurang dari tiga ratus meter, aku menemukan nuansa klasik Dubai di seantero pasar. Bangunan-bangunan tempo dulu yang difungsikan sebagai kios masih sangat terawat dan berdiri dengan anggun.

Akhirnya aku tiba di ujung pasar yang ditandai dengan keberadaan Grand Bur Dubai Mosque.

Kisah Selanjutnya—->

Menyeberang Dubai Creek Menuju Bur Dubai

<—-Kisah Sebelumnya

Surya mulai sedikit tergelincir menuju ufuk barat, tapi udara masihlah kering dan menyengat. Kuperhatikan kulitku semakin legam saja sejauh petualangan berjalan.

Sangkala bertengger di angka satu waktu setempat, bertepatan dengan rasa gembiraku karena telah menyentuh garis finish dalam mengeksplorasi kawasan heritage Al Ras di Distrik Deira. Tak kurang dari sepuluh spot warisan yang berhasil aku tengok di kawasan tersebut.

Pada akhir tahapan, aku berdiri di Deira Old Souq Water Taxi Station demi menunggu kedatangan perahu tradisional sebagai satu akses terbaik dan terhemat menuju kawasan Bur Dubai yang berlokasidi seberang selatan Dubai Creek.

Tak perlu menunggu lama, perahu penuh penumpang itu tiba. Merapat pelan ke dermaga dan mengantarkan setiap penumpangnya menuju ke tepian sungai.

Beberapa menit merapat, perahu itu telah kosong kembali. Tampak pengemudinya keluar dari lambung perahu dimana mesin ditempatkan. Kemudian mengambil sebuah jerigen bahan bakar yang diberikan oleh rekannya dari tepian sungai. Tampaknya sang pengemudi sedang mengisi bahan bakar untuk operasional perahu tersebut.

Tak lama tentunya….

“Come…Come….”, pengemudi perahu berperawakan khas Asia Selatan itu melambaikan tangannya kepada calon penumpang yang berada di dermaga.

Tanpa keraguan, aku pun melompat ke atas perahu dengan senang hati walaupun itu bukan kali pertama aku menaiki perahu.

Beda, Boy….ini perahu di Dubai. Perahu yang sering kulihat di layar televisi ketika menyaksikan program siaran TV tentang pariwisata Dubai….Bersyukur sekali, aku benar-benar menaikinya sekarang”, hatiku bergumam menang.

Dalam sekejap perahu itu telah penuh penumpang, sang pengemudi pun berkeliling menarik ongkos kepada segenap penumpangnya. Aku menyerahakan koin seharga 1 Dirham kepadanya sebagai biaya menyeberangi Dubai Creek yang memiiki lebar tak kurang dari dua ratus meter.

Deira Old Souq Water Taxi Station.
Menuju ke perahu.
Perahu pun tiba.
Itu tuh pelampungnya.
Gaya banget sih….Wkwkwk.
Dubai Creek yang tenang.
Bur Dubai Water Taxi Station.

Kuperhatikan dengan seksama bahwa taksi air itu memiliki kapasitas 20 penumpang dengan tempat duduk saling berpunggungan . Taksi air itu memilik panjang hampir 12 meter, memiliki naungan di atas bangku penumpang dimana sisi atap bagian dalamnya dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan pelampung.

Perahu pun mulai melintasi Dubai Creek . Saat itu, permukaan sungai memiliki riak yang cukup tenang sehingga membuat hati sedikit tenang ketika melakukan penyeberangan. Hanya butuh waktu kurang dari lima menit untuk menyeberangi Dubai Creek.

Kuperhatikan dengan seksama bahwa perahu itu tidak berlayar dengan jalur pelayaran yang tegak lurus dengan badan sungai melainkan memiliki jalur pelayaran sedikit menyerong ke arah barat.

Setiba di bagian seberang sungai, aku diturunkan di Bur Dubai Water Taxi Station. Yang kuingat hanyalah dua nama distrik yang mengapit dermaga tempatku diturunkan, yaitu Historical Shindagha District yang berada di utara dari tempatku berdiri dan Al Fahidi Historical District di sisi selatannya.

Lalu….Kemanakah aku harus melangkah?

Kisah Selanjutnya—->

Dubai Creek: Pemisah Deira dan Bur Dubai

<—-Kisah Sebelumnya

Meninggalkan Utensil Souq dan Herbs Souq, aku perlahan melangkah di Old Baladiya Street menuju selatan. Arah langkahku jelas bahwa aku sedang menuju ke Dubai Creek.

Dubai Creek sendiri adalah sungai kecil yang memisahkan dua distrik utama di Dubai, yaitu Deira dimana aku berdiri siang itu dan Bur Dubai yang terletak di seberang selatan aliran air asin sungai tersebut.

Berdiri pada salah satu titik di Baniyas Road, aku terus memandangi segenap aktivitas yang sedang terjadi di sepanjang Dubai Creek. Baniyas Road menjadi jalan utama yang melekuk mengikuti kontur Dubai Creek di sisi Distrik Deira.

Sedangkan tepat di belakangku berdiri gagah bangunan klasik Dubai Municipality Museum. Entah kenapa museum itu menutup diri rapat-rapat, membuatku enggan untuk melongoknya walau sekejap. Konon tersimpanlah berbagai artefak, barang antik, peta lama kota, perangko lama dan segala dokumen yang bisa menggambarkan aktivitas pemerintahan masa lalu di Emirat Dubai.

Aku memutuskan menyisir tepian Dubai Creek dari sisi timur, tampak keberadaan kapal-kapal kayu berukuran besar tertambat tenang di pinggiran sungai. Sementara stock logistik tersusun menumpuk rapi di tepian sungai tepat di sebelah posisi parkir kapal-kapal tersebut. Beberapa anak buah kapal tampak duduk santai di pinggiran sungai atau di atas tumpukan logistik menunggu pekerjaan dimulai. Suasana siang itu mengingatkanku pada Pelabuhan Sunda Kelapa di ibu kota yang beratmosfer sama.

Sementara papan besar ditempatkan di sisi sungai menampilkan delapan larangan utama yang diterapkan di sepanjang bantaran sungai. Kedelapannya adalah dog walking, kegiatan barbeque, membuang sampah sembarangan, berkemah, memberi makan ikan, merokok dengan sisha, memancing dan kegiatan menggunakan caravan.

Dubai Municipality Museum.
Baniyas Road.
Baniyas Road.
Kapal-kapal besar pengangkut logistik.
Logistik tersusun rapi di tepian Dubai Creek.
Menunggu aktivitas dimulai.
Terminal taksi air (ferry).

Sedangkan sebuah bangunan permanen yang berfungsi sebagai Customer Service Center milik Bea Cukai Dubai ditempatkan di satu titik bersebelahan dengan stasiun taksi air (local ferry).

Sementara itu bagi para wisatawan yang hendak menikmati wisata berkeliling kota menggunakan bus tingkat maka sebuah konter penjualan tiket Dubai Big Bus Tour tersedia pula di sisi sungai. Tiket paling murah untuk tur menggunakan bus ini adalah 145 Dirham. Jika kamu memilih dengan paket khusus yang lain tentu harus merogoh kocek lebih dalam.

Sedangkan untuk mengatur alur lalu lintas dalam menyeberangi Baniyas Road maka selain disediakan zebra cross di permukaan, pemerintah setempat juga menyediakan penyeberangan bawah tanah dari tepian sungai hingga tepat di depan Grand Souq Deira di sisi yang lain.

Selain terintegrasi dengan terminal ferry, area di sekitar Grand Souq Deira ini juga dikoneksikan dengan jalur bus kota dengan sebuah halte di sisi selatan jalan. Melihat keramaian di sekitar Dubai Creek menunjukkan bahwa Distrik Deira menjadi kekuatan ekonomi tersendiri yang dimiliki oleh Emirat Dubai.

Lalu bagaimana dengan keramaian area Bur Dubai yang berada di seberang Dubai Creek sebelah selatan?

Kalau begitu mari kita menyeberang ke sana…..!

Kisah Selanjutnya—->

Herbs Souq: Tertegun dengan Warna Warni Rempah Arab

<—-Kisah Sebelumnya

Aku sudah menyusuri setiap sisi koridor Grand Souq Deira, menikmati banyak model pakaian khas Jazirah Arab, melongok berbagai macam souvenir, menghirup wanginya kios-kios parfum, serta tertegun dengan warna-warni herbal dan rempah yang melambangkan kekayaan bumi Timur Tengah.

Begitu tiba di ujung timur Grand Souq Deira, rasa penasaranku kembali muncul. Ketika aku berdiri di Old Baladiya Street, tatapan mata kutujukan ke arah utara jalan dua arah yang tak terlalu lebar tersebut.

Ada sebuah signboard di sisi kiri jalan yang menarik minatku untuk mendekat.

“Herbs Souq….Hmhhh, ternyata ada pasar khusus untuk berjualan herbal dan rempah-rempah”, aku membatin penuh penasaran. “Tak ada salahnya untuk mampir sejenak”, aku membujuk diriku sendiri untuk meluangkan waktu.

Maka tanpa keraguan, aku mulai berjalan menujunya.

Memasuki gerbang Herbs Souq, para pedagang mulai ramai menyambut kedatanganku, melambaikan tangan dan membujukku untuk singgah di kiosnya. Tetapi aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala sebagai jawaban bahwa aku tak akan berbelanja apapun di koridor pasar rempah tersebut.

Aku menyediakan sedikit waktu untuk berdiri di bawah gerbang pasar demi mengamati aktivitas perniagaan yang sedang berlangsung di sepanjang koridor pasar.

Yuk, masuk ke pasar rempah !

Koridor?….Benar bahwa fokus perhatian wisatawan pada Herbs Souq terletak di koridornya yang didesain menjadi jalur pejalan kaki dengan atap pelindung yang membuat nyaman. Sedangkan barang dagangan yang berupa herbal dan rempah-rempah diperdagangkan di kios-kios pada setiap sisi koridor.

Aku memelankan langkah di sepanjang koridor demi mengamati berbagai jenis herbal dan rempah yang diperdagangkan. Ada beberapa bahan yang dengan mudah kukenali seperti kurma, kacang kenari, tumpukan oregano, kayu manis dan bunga rosella. Selebihnya aku hanya menikmati warna-warni rempah yang tak kumengerti namanya.

Aku pun kembali menuju gerbang dimana aku masuk ke Herbs Souq itu ketika khatam menelusuri sepanjang koridornya.

Tiba kembali di Old Baladiya Street maka perhatianku kembali tertuju pada satu jenis pasar lagi yang berlokasi di utara Herbs Souq. Pasar itu adalah Utensil Market. Dari namanya saja tentu aku sudah faham bahwa pasar itu meniagakan peralatan rumah tangga.

Walaupun barang yang diperdagangkan tak menarik minatku, tetapi toh aku tetap saja memiliki niat kuat untuk melongoknya walau sekejap saja.

Kulangkahkan kakiku demi memasuki Utensil Market yang gerbangnya masih berada di jalan yang sama dengan tempatku berdiri….Old Baladiya Street.

Tak kalah ramai dengan Grand Souq Deira dan Herbs Souq, Utensil Souq ini juga banyak dikunjungi oleh masyarakat lokal dan wisatawan.

Ini dia gerbang Utensil Market.

Di sepanjang koridor beratapnya, Utensil Market menawarkan berbagai jenis pakaian khas Timur Tengah, tas, bantal, peralatan makan dan peralatan rumah tangga lainnya.

Aku tak terlalu berlama-lama di Utensil Market karena sedari beberapa waktu sebelumnya aku sudah menahan rasa penasaran yang teramat sangat untuk menikmati suasana di tepian Dubai Creek.

Yuk, kita lihat seperti apa  keindahannya…..

Kisah Selanjutnya—->

Mencari Souvenir di Grand Souq Deira

<—-Kisah Sebelumnya

Melewati Utensils Market.

Suhu udara mulai panas ketika aku keluar dari Museum of the Poet Al-Oqaili. “Pantas saja….Ini hampir tengah hari”, aku membatin kecut sembari menengadahkan muka ke langit. Surya sedang memamerkan terik yang teramat sangat siang itu.

Aku bergegas mencari perlindungan di gang-gang sempit beratap di selatan museum. Aku pun segera tersadar bahwa langkah kaki itu tepat berada di kompleks pasar yang cukup ramai dengan pedagang-pedagang dengan wajah khas Asia Selatan, kebanyakan Pakistan menurutku.

Pada langkah selanjutnya aku telah berada di salah satu koridor “Perfume Market”, kuperhatikan koridor pasar itu terletak bersebelahan dengan “Utensils Market” yang jelas menawarkan barang dagangan berupa perkakas-perkakas rumah tangga.

Melewati dua penjaga yang berbeda kios, aku mulai merasakan atmosfer perniagaan di salah satu sisi Kawasan Al-Ras, tepatnya di tepian Dubai Creek.

Dengan cepat aku melewatkan perniagaan di “Utensils Market” dan mulai melangkah di harumnya koridor “Perfume Market”. Kuperhatikan di beberapa kios, para pedagang menyediakan parfum merek internasional. Selain itu pasar ini menjual beberapa merek lokal yang aku sendiri cukup familiar dengan salah satu nama brandnya, yaitu “Oud” yang merupakan parfum khas Jazirah Arab yang diproduksi dengan cara mengekstraksi kayu Oud. Di Indonesia, mungkin kayu Oud ini masih sebangsa dengan kayu Gaharu.

Aku terus menikmati paparan masif aroma amber, melati atau musk. Hingga akhirnya tak terasa langkahku tiba di Al Abra Steet.

Aku terus saja melangkahkan kaki ke selatan. Benar saja seperti dugaanku, aku menemukan jenis pasar lain tepat di sisi utara Dubai Creek. Grand Souq Deira adalah nama pasar yang tepat berada di depan pandanganku.

Aku tak segera memasuki pasar, melainkan memilih mengamati sekitar pasar terlebih dahulu. Menengok ke arah kanan, langkahku kini telah terbatasi oleh Baniyas Steet. “Aku sudah berada di ujung selatan kawasan Al- Ras”, aku berseru girang pertanda akan segera mencari destinasi baru ketika keluar dari kawasan tersebut nantinya.

Sedangkan sebuah area parkir lebar berhasil memisahkan jalan utama tersebut dengan pasar di sisi utaranya.

Grand Souq Deira nyatanya terletak di dekat Kawasan Pelabuhan. Adapun pasarnya terletak memanjang di sisi utara Baniyas Road, dibatasi Al Abra Street di sisi barat dan Old Baladiya Street di sisi timur. Pasar ini diposisikan tepat di sebuah koridor sepanjang kurang lebih 150 meter.

Berikutnya aku tanpa ragu mulai memasuki ujung koridor sisi barat Grand Souq Deira. Perlahan aku mengamati barang dagangan yang ditawarkan di sepanjang kios. Tampak kios-kios itu menawarkan  barang dagangan seperti mainan, barang-barang rumah tangga, dan berbagai hadiah serta souvenir.

Aku segera beride untuk mencari souvenir buat diri-sendiri. Tanpa kesusahan yang berarti, akhirnya aku masuk ke salah satu kios. Dengan cepat aku mencari sebuah fridge magnet berbahan logam yang dipajang di etalase gantung, mengambilnya satu buah dan membayarnya kepada sang penjual.

Gerbang barat Grand Souq Deira.
Rempah dan obat.
Koridor Grand Souq Deira,
Rempah dan obat.
Gerbang timur Grand Souq Deira.
Bersama Mr. Mousa.

“How much is it, Sir?”

“15 Dirham”

“Can me buy it for 10 Dirham, Sir?”, aku mulai meawar.

“It’s Okay, no matter….Why do you buy one only?”, pertanyaan pembuka sang pemilik toko untuk melakukan  penjualan berantai.

“Oh, it’s just for myself to memorizing my trip, Sir….What is your name, Sir?” jawabku singkat sembari mengajak berkenalan.

“I’m Mousa from Kabul, Sir”. Jawabnya sambil tersenyum.

“Call me Donny, I’m Indonesian”, aku menutup pertanyaan.

Usai membayar aku pun bergegas untuk meninggalkan pasar berusia 172 tahun tersebut.

Selamat tinggal Grand Souq Deira…..

Kisah Selanjutnya—->

Museum of the Poet Al-Oqaili: Warisan Sepanjang Generasi

<—-Kisah Sebelumnya

Lepas mengunjungi Traditional Spices Market, menjelang pukul setengah sebelas pagi aku kembali turun ke jalanan. Bukan di Al Ahmadiya Street lagi, melainkan Al Ras Road yang kini kutapaki. Aku kembali berbalik ke utara, mencari keberadaan bangunan warisan masa lalu Dubai lainnya di wilayah Al-Ras.

Melangkah kurang lebih sejauh tiga ratus kilometer akhirnya aku menemukan satu lagi spot heritage yang cukup besar dan terawat dengan baik, bangunan itu adalah Museum of the Poet Al-Oqali.

Disebut juga sebagai Al-Oqaili Poet Museum. Ketika berada di depan halamannya, aku mulai membaca informasi yang terpampang di pintunya. Dari informasi itu, aku mendapatkan keuntungan besar karena museum ini bisa dikunjungi secara cuma-cuma dan kebetulan sekali aku mendatanginya tepat pada pada waktu buka museum dimana museum akan menerima tamu pada hari Minggu hingga Kamis dari pukul 08:00 sampai dengan 14:00 waktu setempat.

Museum di hadapanku itu memiliki dua lantai dengan keseluruhan 11 ruangan dengan fungsi berbeda.

Ground Floor memiliki enam ruangan, meliputi ruangan Al-Oqaili’s Life, Classical Poetry, Local Style Poetry (Nabati), Al-Oqaili’s Correspondences, Kitchen dan Administration Room

Sedangkan First Floor memiliki lima ruangan yang meliputi ruangan Cultural & Socil Life, Al-Oqaili’s Manuscripts, Restoration of the House, Al-Majlis dan Books on Al-Oqaili’s.

Memasuki pintu museum aku langsung disambut oleh seorang front staff berkebangsaan Nigeria, Mr. Chamakh namanya. Hanya perlu untuk mengisi buku tamu maka aku pun dipersilahkan olehnya untuk mengeksplorasi seisi museum.

Berikut beberapa informasi yang kudapatkan selama satu jam lamanya berada di museum.          

Penyair terkenal Mubarak Bin Hamad Bin Mubarak Al Oqaili garis keturunannya dihubungkan dengan Al Manea yang merupakan bagian dari keluarga Bani Oqaili. Sedangkan Bani Oqaili memiliki garis keturunan dari Bani Khaled yang terhubung dengan keluarga dari Rabiah Ibn Amir yang merupakan salah satu suku terkenal Modhar Adnan di Semenanjung Arab. Garis keturunan ini sangat jelas dituturkan dalam beberapa puisi Al-Oqaili.

Al-Oqaili lahir di Al-Ahsa, sebuah area di sebelah timur semenanjung Arab pada tahun 1875. Ayah Al-Oqaili sendiri meninggal di Oman ketika beliau terjatuh dan terinjak oleh unta. Kemudian Sheikh Ibrahim bin Mohammed Al-Mubarak mengajarinya yurisprudensi dan literasi Arab. Berkat pendidikan yang diterimanya maka Al-Oqaili semakin tertarik untuk berburu ilmu pengetahuan dan gemar membaca yang merupakan dua hal utama yang mempengaruhi pemikiran dan kehidupan literasinya. Hal ini tercermin pada puisi-puisi penuh makna yang dibuatnya.

Ketika Mubarak Al-Oqaili dibebaskan dari penjara Al-Ahsa setelah menempuh hukuman selama masa pemerintahan Dinasti Ustmaniyah karea pengkhianatan beberapa kerabatnya yang beremigrasi ke Irak dan kemudian beliau hidup dalam beberapa batasan dari Emir Saleh Al Mansur, salah satu penguasa Al Mintefeq di Al-Nasiriyah.

Sepeninggal Emir Saleh Al Mansur, Mubarak Al-Oqaili pun mulai berpergian ke Dubai, Oman, Abu Dhabi dan Bahrain hingga beliau menetap di Dubai pada masa pemerintahan Sheikh Butti Bin Suhail Al-Maktoum yang memerintah Emirat Dubai pada tahun tahun 1906-1912. Beliau kemudian membangun sebuah rumah di wilayah Al-Ras di Distrik Deira pada tahun 1923 dan mulai membuat sebuah Majlis yang sering dikunjungi oleh para pemikir, ilmuwan, sastrawan dan orang-orang suci lainnya.

Bagian depan Museum of the Poet Al-Oqaili
Ruangan pertama setelah pintu masuk.
Dapur.
Meja yang digunakan oleh Mubarak Al Oqaili
Majlis.
Dokumen milik Mubarak Al Oqaili.
Nah itulah wjah Mubarak Al Oqaili.
Mr. Chamakh meminta foto buat bukti kunjungan, aku pun meminta foto juga kepadanya buat kenang-kenangan.

Penyair Mubarak Al-Oqaili tutup usia di Al-Ras pada usia 81 tahun. Beliau tidak menikah dan tidak berputra. Beliau hanya meninggalkan rumah semata di daerah Al-Ras yang kemudian sepupunya yang berasal dari Arab Saudi mewarisi rumahnya tersebut.

Mubarak Al-Oqaili adalah penyair yang bijaksana dan bertalenta. Kehidupan penyair agung tersebut memang telah berakhir, akan tetapi warisan literasi tertulis dalam bentu puisi dan prosanya akan senantiasa dikenang dan diapresiasi di sepanjang masa dan generasi.

Dan isu-isu yang menarik bagi Mubarak Al-Oqaili selalu tercermin dalam hidup dan karya puisinya. Dalam pendapatnya terkait perhatian terhadap Bahasa Arab Klasik yang bersumber dari Al-Qur’an maka beliau mengriktik mereka yang berusaha berkomunikasi dalam bahasa asing dengan alasan mengikuti kemajuan peradaban.

Al-Oqaili adalah penyair kotemporer yang hidup dan menanggapi isu-isu bangsanya serta mengritik kepada mereka yang dianggap kurang benar.

Dalam beberapa informasi yang terpampang di museum, ditunjukkan beberapa hal terkair Al-Oqaili, seperti sikap Al-Oqaili terhadap isu Palestina, alur waktu kehidupan Al-Oqaili, puisi-puisi korespondensi, kata-kata bijak Al-Oqaili, puisi terkait cinta, puisi terkait sejarah bangsanya, puisi elegi (ungakapan duka cita) dan puisi pujian kepada pemimpin bagsanya

Mengunjugi Museum of the Poet Al-Oqaili telah menjadi pengalaman menarik selama masa eksplorasiku di Emirat Dubai.

Nah, kamu juga harus ke museum ini ya jika berkunjung ke Dubai.

Keren lho…..

Kisah Selanjutnya—->

Traditional Spices Market: Berburu Kashmir Shawl

<—-Kisah Sebelumnya

Menjelang pukul sepuluh pagi, aku meninggalkan Al Ahmadiya School yang berlokasi di dalam sebuah gang di tepian Al Ahmadiya Street. Aku sudah ikhlas dalam menerima ketidakberuntunganku karena tidak bisa memasuki tiga peninggalan sejarah, yaitu Al Bait Al Qadeem Restaurant and Cafe, Heritage House dan Al Ahmadiya School yang dua dari ketiganya tampak menutup diri dari para pengunjung karena proses perbaikan.

Beberapa waktu kemudian aku sudah melangkah kembali di Al Ahmadiya Street, menuju ke selatan, tepat ke arah Dubai Creek.

Perlu kamu ketahui bahwa Ahmadiya Street adalah jalan sepanjang setengah kilometer yang membelah kawasan Al Ras tepat di tengahnya. Jalan ini membentang dari utara ke selatan dengan jalur satu arah dan berkarakter memiliki arus kendaraan dengan kecepatan rendah, sedangkan jalur pedestrian di kedua tepinya dibuat dengan ukuran yang lebar demi memfasilitasi wisatawan yang mengunjungi kawasan heritage tersebut.

Sementara itu dalam setiap hentakan langkah, niatanku tak ingin terburu waktu dalam menggapai tepian Dubai Creek. Aku masih berharap menemukan peninggalan penting dari masa lalu lainnya di kawasan heritage tersebut.

Memandangi awas setiap sisi jalanan, menatap satu per satu papan petunjuk jalan, maka aku berusaha keras menemukan spot-spot bersejarah lain.

Dan ternyata, keberuntungan kembali berpihak kepadaku, tepat di sisi kiri jalanan yang kulewati, berjarak tak lebih dari tiga ratus meter, aku kembali dihadapkan pada sebuah spot bersejerah.

Adalah sebuah pasar yang dikelilingi tembok tinggi dengan luas hampir seribu meter persegi dengan dindang berwarna coklat tua. “Traditional Spices Market”, nama pasar tradisional tersebut.

Tepat di depan pasar itu, aku berdiri terkagum, memperhatian arsitektur kuno pasar yang sederhana tetapi mencerminkan kekuatan konstruksi yang digdaya, tebal, mengandalkan bentuk persegi dan memiliki ketinggian yang lebih dari cukup untuk mengamankan kondisi di dalam pasar.

Sesaat kemudian, tanpa ragu aku mulai memasuki bagian dalam pasar rempah tradisional tersebut. Satu hal dominan yang kental tertampil di dalam lingkungan pasar tersebut adalah kesibukan para penjual dalam menyiapkan aneka rempah di depan kiosnya masing-masing.

Karena ini adalah pasar rempah maka aroma kuat dari rempah-rempah sangat tercium lekat di hidungku. Justru aku menikmati aroma itu dan membuatku betah untuk berlama-lama berada di pasar itu.

Mengelilingi pasar lebih dalam, aku mulai menemukan kedai-kedai jenis lain, seperti pakaian, sepatu dan souvenir yang penjualnya tampak ramai berbisnis di beberapa titik di dalam bangunan pasar. Sedangkan jenis dagangan yang berupa makanan, seperti berbagai macam permen, manisan khas Timur Tengah, kacang-kacangan dan teh masih bisa ditemukan di beberapa sisi pasar jika para pengunjung bisa mengekplornya dengan cermat.

Sedangkan beberapa toko lainnya lagi tampak menjual Kashmir Shawl (selendang kas khasmir), wewangian, permadani, dupa dan artefa. Aku melihatnya sekilas di salah satu sudut pasar.

Mengelilingi area Traditional Spices Market di bagian dalam dengan barang-barang dagangan yang jarang kulihat, berhasil menumbuhkan rasa antusias sehingga tak terasa bahwa selama satu jam lamanya aku telah berada di dalam pasar itu.

Memang sesuatu yang berhubungan dengan pasar dan berbelanja akan membuat siapapun terlupa jika sedang berkunjung ke tempat baru.

Kisah Selanjutnya—->