Al Ahmadiya School: Cikal Bakal Pendidikan di Dubai

<—-Kisah Sebelumnya

Aku telah puas mengelilingi sekitar Heritage House, rumah asli khas Dubai di masa lampau. Aku pun sesekali mengusap pelan beberapa dinding tembok untuk merasakan bahan utama yang digunakan untuk membuatnya. Bahkan sekali dua kali juga mengintip interiornya melalui bukaan jendela berteralis terbuka.

“Hmhhh….Tak rugi-rugi amatlah aku datang kemari”, aku terus memenangkan hati yang pada awalnya kecewa setengah mati.

Tetapi sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan Heritage House, tetiba langkahku terhenti kembali. Di sisi timur rumah legendaris itu, aku dihadapkan pada sebuah bangunan klasik lainnya. Aku yang penasaran bergegas merapat sedekat mungkin. Kuperhatikan sebuah papan kayu bertuliskan nama bangunan masa lampau tersebut, Al Ahmadiya School namanya.

“Oh….Sekolahan”, aku mulai faham.

Bangunan sekolah itu tertutup rapat dan aku menemukan sebuah petunjuk….

Al Ahmadiya School nan anggun,

“Closed For Maintenance”, begitu bacaan pada selembar papan kecil berwarna putih yang kutemukan tergantung di daun pintu yang tertutup rapat. Sementara di ujung tengah terasnya, berkibarlah dua bendera yang berdampingan pada tiang berbeda. Keduanya adalah bendera negera Uni Emirat Arab (UEA) dan bendera milik Dubai Culture & Arts Authority.

Memang, Al Ahmadiya School tersebut telah dimuseumkan sejak dua puluh tujuh tahun silam dan kepemilikannya diambil alih oleh Dubai Culture & Arts Authority yang merupakan otoritas pemerintah di Uni Emirat Arab, yang bekerja dalam bidang pelestarian warisan budaya serta situs budaya di Dubai.

Karena keberadaannya yang sudah melebihi satu abad di daerah Al Ras, maka Al Ahmadiya School telah menjadi salah satu landmark budaya di Kota Dubai. Sekolah ini ternyata didirikan oleh Sheikh Ahmed bin Dalmouk, sang pemilik Heritage House pada tahun 1912. Menjadi sekolah pertama sekaligus tertua di Dubai maka Al Ahmadiya School telah dikenang sepanjang masanya sebagai sebuah lembaga pendidikan formal yang secara keseluruhan telah menjalankan aktivitas pendidikan selama tujuh puluh tahun lamanya.

Nah, nama “Ahmadiya” sendiri disematkan pada sekolah tersebut untuk menghormati mendiang Sheikh Ahmed bin Dalmouk. Penamaan itu sendiri diberikan oleh putra dari Sheikh Ahmed bin Dalmouk,

Telah purna tugas sebagai tempat belajar dan mengajar, maka Al Ahmadiya School kini beralih fungsi sebagai museum sejak tahun 1995. Perubahan fungsi ini ditujukan untuk menyelamatkan sejarah asal mula pendidikan di Kota Dubai yang pada akhirnya bisa mengilhami generasi muda Dubai untuk mencintai budaya bangsanya.

Itu bangunan apa ya? kek kantor gitu deh ….
Ahmedia Heritage Guesthouse,

Walaupun tidak bisa memasuki bagian dalam Al Ahmadiya School, akan tetapi aku masih berkesempatan untuk mengamati area di sekitar sekolah. Pengamatan pertamaku tertuju pada sebuah bangunan tunggal, bergaya klasik dan kosong di dalamnya. Entah berfungsi sebagai apakah bangunan ini pada masa keemasannya, mirip bangunan kantor.

Sedangkan di sisi baratnya, tampak jelas bangunan klasik dan aktif yang difungsikan sebagai penginapan untuk para wisatawan, Ahmedia Heritage Guesthouse nama penginapan tersebut. Penginapan klasik berbintang empat ini kamarnya dibanderol dengan tarif termurah 440 Dirham per malamnya.

Bahkan saking klasiknya, penginapan ini hanya memiliki satu lantai dan lima ruangan kamar. Buat kamu yang memiliki budget berlebih saat berkunjung ke Dubai maka kamu bisa mencoba untuk menginap di dalam fasilitas klasiknya tersebut.

Kisah Selanjutnya—->

Heritage House: Mendengar Usul Sang Pangeran

<—-Kisah Sebelumnya

Destinasi berikutnya….Masih berlokasi di Kawasan Heritage Distrik Deira….Adalah Heritage House.

Lokasi Heritage House ini tepat berada bersebelahan dengan Al Bait Al Qadeem Restaurant and Cafe, di sisi selatannya. Tentunya Heritage House ini lebih menjulang tinggi karena memiliki dua lantai secara keseluruhan, memiliki warna coklat tua dan memiliki luasan hampir 500 meter persegi.

Terletak di tepi Al Ahmadiya Street, bangunan bersejarah ini pun tampak tutup saat aku menyambanginya. Aku mencoba mencari tahu dari warga yang melintas di depannya.

This house is under renovation, Sir”, ucap seorang dari mereka yang mengerti pertanyaan yang kulontarkan.

“Damn….Kenapa harus tutup segala sih….Hmhh”, aku mengeluh berat atas ketidakberuntunganku sendiri.

Aku segera mengambil keputusan. Melakukan eksplorasi-eksplorasi kecil di sekitar Heritage House menjadi hal terbaik daripada aku pergi begitu saja tanpa hasil.

Hal pertama yang kulakukan kemudian adalah mencoba melihat bentuk asli Heritage House dari sudut pandang yang lebih luas dan lebar. Cara terbaik untuk bisa melakukan itu adalah dengan menyeberangi Al Ahmadiya Street dan mengambil titik pandang dari trotoar seberang.

Aku menarik nafas panjang ketika berhasil melihat bentuk rumah ini secara utuh….”Benar-benar klasik”, aku membatin kagum.

Aku terus memandangi rumah berusia 132 tahun yang dibangun oleh Matar Saeed bin Mazina itu, bertanya kepada diri sendiri kenapa terdapat 21 jendela besar yang mengelilingi terasnya. Sedangkan balkon sepanjang tak kurang dari lima belas meter membentang megah di lantai duanya. Konon sang pemilik berikutnya yang bernama Sheikh Ahmed bin Dalmouk adalah saudagar mutiara paling terkenal di seantero kawasan Al Ras. Beliau membangun rumah megah ini dari asalnya yang memiliki dua ruangan kamar saja.

Untuk mengurangi rasa penasaran, aku mulai berjalan melalui gang sempit untuk menikmati cipta arsitektur ini lebih dekat. Seperti bangunan-bangunan khas Timur Tengah lainnya, cukup jelas terlihat bahwa pilar-pilar bagian atap bangunan ini menembus tembok-tembok terluarnya.

Sedangkan di salah satu sisi Heritage House, tampak gang sempit itu dilindungi oleh bentangan kain-kain polos berwarna coklat di atasnya. Sudah bisa ditebak bahwa hal ini dilakukan untuk mengurangi daya sengat matahari ketika siang tiba, sehingga bisa membuat nyaman para pengunjung.

Jendela-jendela berukuran kecil yang terlindung oleh teralis-teralis besi itu dibiarkan terbuka, Hal itu memungkinkanku untuk mengintip bagian dalam Heritage House. Membuatku sedikit bisa tersenyum daripada aku tidak bisa melihat sama sekali bagian dalam rumah legendaris tersebut.

Konon, 28 tahun lalu, pemerintah kota Dubai membeli rumah tersebut dari pemilik terakhirnya yaitu Ibrahim Al Said Abdullah dan kemudian mendedikasikan rumah tersebut untuk pelestarian budaya Dubai sekaligus sebagai tempat wisata.

Dan menurut cerita, pemerintah Kota Dubai melakukan semua itu setelah mendapat masukan dari Pangeran Charles dari Kerjaan Inggris yang sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Uni Emirat Arab.

Wah….Keren ya.

Kisah Selanjutnya—->

Al Bait Al Qadeem Restaurant and Cafe: Khas di Jantung Distrik Deira

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan kawasan Gold Souk dari Gate 1. Gerbang itu tepat berada di pertigaan dari dua jalan utama yaitu Old Baladiya Street yang dipotong oleh ruas Al Ras Road di pertengahannya.

Aku menyusuri satu ruas aktif di Old Baladiya Street sedangkan satu ruas lainnya dimatikan sebagi baris parkir kendaraan yang pemiliknya berkunjung ke kawasan bisnis tersebut. Menyelinap diantara jalan-jalan sempit yang diapit padatnya pertokoan, aku berusaha menghindar laju lalu lintas manusia dari arah berlawanan. Kali ini nuansa pertokoan sudah berubah, yang awalnya kental dengan perdagangan emas dan perhiasan di sepanjang Gold Souk, maka di sepanjang Old Baladiya Street pertokoan lebih banyak yang menjual pakaian-pakaian khas Timur Tengah.

Aku terus melangkah sembari membuat rute kunjungan di tempat istimewa itu. Aku terus mengamati foto peta yang kuambil dari papan informasi di depan gate Gold Souk beberapa menit lalu. Aku sendiri berencana untuk mengekslorasi kawasan istimewa tersebut hingga tengah hari. Tujuan istimewa kali ini adalah beberapa spot Heritage yang tersebar di Kawasan Old Dubai, tepatnya di Distrik Bisnis Deira.

Old Baladiya Street: Tempat sampah aja dipagerin lho di Dubai….Wkwkwk.

Demi mencapai heritage spot pertama maka aku memutuskan untuk berbelok di Al Ahmadiya Street.

Tak jauh, hanya berjarak setengah kilometer dari Gold Souk, maka aku mampu menemukan satu peninggalan sejarah berupa bangunan rumah tempat tinggal dari masa lalu.

Rumah khas Dubai berwarna krem itu berasal dari masa 113 tahun lalu, Rumah ini dimiliki oleh Abdulla Bin Jamaan yang pada masanya adalah seorang saudagar kaya yang memiliki kapal-kapal pencari mutiara. Mutiara kala itu diambil dari dasar laut oleh para penyelam-penyelam tangguh yang bekerja di bisnis perburuan mutiara. Sesuai dengan nama pemilik awalnya maka rumah ini terkenal dengan sebutan Bin Jamaan House.

Berlokasi di daerah berjuluk Al Ras, secara otomatis rumah ini tepat berada di jantung Distrik Deira. Perkembangan sejarah dan dunia modern menjadikan rumah tersebut dialihfungsikan sebagai sebuah restoran dan cafe.

Lokasinya yang tepat berada di episentrum wisata Old Dubai menjadikan restoran ini cukup terkenal di khalayak umum. Al Bait Al Qadeem adalah nama dari restoran dan cafe tersebut.

Aku sudah pasti bisa memastikan bahwa harga menu di restoran itu cukuplah mahal menurut versiku. Bagaimana tidak mahal bagi kantongku jika seporsi Emirati Chicken Stew di banderol dengan harga 35 Dirham, apalagi itu adalah menu termurah di Al Bait Al Qadeem Restaurant and Cafe. Selain hidangan khas Arab, restoran itu juga menyediakan menu khas Yaman, Persia dan India.

Belum buka, Boy….
Sepiiii nian….

Walaupun terbilang cukup mahal, tetapi setidaknya aku masih sanggup untuk mencicipi kopi sambil menikmati suasana di restoran. Tapi rupanya aku harus mengurungkan niat karena pintu restoran masih tertutup rapat, padahal sangkala telah merapat di setengah sepuluh pagi.

Lebih baik aku segera pergi dan menuju ke destnasi lainnya saja.

Kisah Selanjutnya—->

Duo Kapoor di Koridor Gold Souk

<—-Kisah Sebelumnya

Sebagaimana janjiku teruntuk Uncle Neval pada saat makan malam, maka pagi itu aku menyempatkan diri untuk bersarapan di tempat makannya lagi, Golden Star Restaurant nama restoran milik Uncle Neval.

Dia tersenyum lebar sembari melambaikan tangan ketika aku yang masih berjarak puluhan meter dan sedang mengambil gambar di sekitar restoran mungilnya.

Good morning, my brother….Come…Come!”, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya khas gaya India.

“What is this?”, aku menunjuk pada tumpukan kue di pojok etalase makanan.

“Puttu, brother”, Uncle Neval sigap menjawab.

“Hmmmhhh, benar-benar sama”, aku membatin atas kesamaan kue itu dengan kue puttu yang sering kubeli dari amang-amang penjual kue puttu yang sering lewat di depan rumah.

Hanya saja kue Puttu khas India ini ukurannya sangat besar. Saking gurihnya kue itu, aku meminta seporsi tambahan lagi setelah porsi pertama kulahap dengan cepat.

3 Dirham untuk dua porsi kue Puttu dan segelas chai.

Usai bersarapan, maka aku bersiap langkah menuju ke tujuan pertama pada hari keduaku di Dubai. Tujuan itu hanya berjarak kurang dari dua kilometer, jadi untuk menghemat ongkos, aku memutuskan untuk berjalan kaki menujunya, tentu aku akan diuntungkan dengan peluang untuk dapat melihat suasana kota lebih dekat. Tujuan itu adalah Gold Souk, pasar emas tradisional yang terletak di daerah Al Dhagaya.

Sangkala tepat bertengger di angka sembilan….

Tanpa berpanjang waktu, aku mengayunkan langkah menuju barat, mengikuti arus Naif Street. Dalam perjalanan, aku merasa terlalu sering menengok ke belakang, ini karena Naif Street adalah jalur satu arah dengan 3 ruas dan satu kolom parkir di sisi selatannya. Ya….Aku terlalu megkhawatirkan diri dengan laju kendaraan dari belakang yang sangat cepat.

Sepengamatanku, usai melintasi Naif Police Station, maka bangunan di sisi kiri dan kanan jalan didominasi oleh pertokoan dan jasa penukaran mata uang asing. Hal ini menunjukkan Deira sebagai distrik bisnis di kota Dubai.

Salah satu sisi Sikkad Al Khail Road.

Dalam tiga puluh menit aku tiba di tujuan….

Untuk pertama kalinya, aku dihadapkan pada gerbang Gold Souk bernomor 2 dengan tengara Gold Tower di sisinya. Gold Tower sendiri adalah pusat bisnis penting di Kawasan Gold Souk.

Memasuki gerbang, maka aku dikejutkan dengan seorang petugas yang menarik mesin vakum besar untuk membersihkan koridor utama yang lantainya berbahankan batu andesit, sedangkan koridor itu memanjang dengan naungan atap, menjadikan Gold Souk sebagai tempat perniagaan yang bersih, dingin dan nyaman untuk dikunjungi sepanjang hari.

Sedangkan di sepanjang koridor itu, spanduk-spanduk promosi berukuran kecil tampak tergantung di langit-langit dengan interval teratur. Adalah Malabar Gold & Diamonds yang merupakan salah satu peritel perhiasan emas dan berlian terbesar di dunia dengan lebih dari 280 toko yang tersebar di 10 negara yang ternyata melakukan promosi masif di seluruh penjuru Gold Souk. Tampak jelas dua bintang film asal India menjadi brand ambassador peritel emas  raksasa itu, yaitu Anil Kapoor dan Kareena Kapoor.

Aku terus masuk lebih dalam hinga ke pusat pasar emas yang sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun tersebut. Panjangnya koridor yang ada di dalamnya membuktikan bahwa pasar ini benar-benar dihuni oleh lebih dari tiga ratus toko emas yang konon jika dijadikan satu semua dagangannya maka akan terkumpul emas senilai tak kurang dari 6 miliar Dollar Amerika atau setara dengan 80 Trilun Rupiah….Aje Gileee.

Promosi lain yang kulihat di sepanjang koridor Gold Souk adalah Infiniti Mega Raffle, yaitu undian dengan berbelanja minimal 200 Dirham di Gold Souk dengan hadiah utama berupa mobil Infiniti QX80, brand mewah milik pabirkan Nissan asal Jepang.

Gate 2 Gold Souk.
Aku terlalu pagi untuk berkunjung.
Suatu titik di pusat Gold Souk.
Cekreeeekkkk……
Emas milik Toko Al Romaizan

Berada di dalam Gold Souk, bagi saya adalah pengalaman nan mengesankan. Karena setiap toko memamerkan etalase emas yang sangat megah dan menawan. Salah satu etalase yang membuatk terdiam dan terpaku di depannya adalah toko milik Al-Romaizan yang merupakan salah satu perusahaan emas dan perhiasan ternama di Kawasan The Gulf Cooperation Counci (GCC) yang berkantor pusat di Riyadh, Saudi Arabia.

Al Romaizan memawarkan kemewahan bagi para penggemar emas. Jangankan para penggemar emas, aku yang biasa aja dengan emas bisa dibuat terpana….Hmmh.

Hampir satu jam aku berada di pasar emas terkenal tersebut.

Saatnya membagi waktu untuk mengunjungi destinasi lain di Kawasan Old Doha.

Yuks,,,,Ikut aku lagi!!!

Kisah Selanjutnya—->

Kembali ke Zain East Hotel dari Palm Jumeirah

<—-Kisah Sebelumnya

Sangkala menuju setengah enam sore….

Aku telah memutuskan untuk menghentikan eksplorasi karena sebentar lagi hari akan berganti gelap. Kembali menuju pintu belakang Nakheel Mall yang menjadi akses terakhir yang kugunakan demi menuju area residensial Palm Jumeirah, akhirnya aku berhasil menggapai bagian dalam mall tesebut. Usai menunaikan shalat jamak takhir di salah satu mushola di dalam mall, kini perhatianku tertuju pada pintu bagian depan mall yang bisa mengarahkanku menuju Al Ittihad Park.

Aku mencapai pintu depan mall itu dengan mudah, untuk selanjutnya bergegas melahap jengkal demi jengkal jogging track di Al Ittihad Park. Suasana taman lebih ramai sore itu dibandingkan dengan suasana pada saat ketibaanku pertama kali di taman tersebut beberapa jam sebelumnya. Sudah tentu, penduduk Palm Jumeirah sedang menikmati waktu bersantainya bersama keluarga setelah seharian penat beraktivitas. Aku hanya menikmati sekelebat saja suasana itu karena aku sedang berlomba dengan gelap demi menuju ke penginapan yang jaraknya tak kurang dari dua puluh kilometer.

Tepat pukul enam sore….

Aku tiba di Al Ittihad Park Station. Walaupun di Nakheel Mall terdapat stasiun monorail, tetapi aku tidak bisa menaikinya dari sana, karena pada siang sebelumnya aku membeli kartu akses monorail seharga 15 Dirham untuk berangkat pergi dan pulang dari Al Ittihad Station.

Aku tak terlalu khawatir karena monorail datang tepat waktu dan sewaktu kemudian aku telah berjejal di salah satu gerbongnya dengan penumpang lain yang mayoritas baru saja usai berwisata di ujung pulau, apalagi kalau bukan dari Aquaventure.

Dalam sepuluh menit aku tiba kembali di The Palm Gateway Station yang terintegrasi dengan Lantai 3 Palm Jumeira Gateway Towers, sebuah apartemen di pangkal pulau reklamasi Palm Jumeirah.

Kembali menyeberangi King Salman Bin Abdulaziz Al Saud Street melalui Palm Jumeirah Monorail Footbridge, aku dengan cepat berusaha mencapai Palm Jumeirah Station yang menjadi akses Dubai Tram terdekat untuk kugapai.

King Salman Bin Abdulaziz Al Saud Street.

Memasuki stasiun dengan akses Nol Card yang kumiliki, aku pun berdiri menunggu kedatangan tram. Tak sampai lima menit, tram itu pun tiba dan aku segera masuk ke gerbong tengahnya, kembali berjejal dengan penduduk setempat.

Tram meluncur ke arah selatan, sasaranku kemudian adalah Dubai Marina Station yang merupakan stasiun tram yang terintegrasi dengan jalur Dubai Metro. Titik integrasi itu terletak DAMAC Properties Station.

Hampir pukul tujuh malam….

Dengan biaya perjalanan sebesar 3 Dirham, akhirnya tiba juga diriku di Dubai Marina Station untuk kemudian naik melalui skywalk yang akan mengarahkanku menuju DAMAC Properties Station. Tak terasa aku telah tiba di jaringan Mass Rapid Transit (MRT) kota Dubai kembali.

Di DAMAC Properties, sembari menunggu kedatangan kereta, mataku terus menatap sebuah sisi platform yang ditandai dengan signboard emas bertajuk “GOLD CLASS”, itulah kelas utama dengan tarif lebih mahal yang difasilitasi oleh Dubai Metro bagi penumpang berdompet tebal.

Kereta tiba, karena keisenganku yang ingin melihat kondisi gerbong GOLD CLASS maka aku memasuki gerbong tersebut, menyusuri jengkal demi jengkal GOLD CLASS, merasakan kemewahannya dan kemudian bergegas keluar di sambungan gerbong untuk menuju ke gerbong reguler….Aku tak bisa menahan senyum atas kejahilanku sendiri itu.

DAMAC Properties Station….Di ujung sana itu adalah akses masuk ke gerbong GOLD CLASS.

Selanjutnya aku mengikuti arus Dubai Metro Green Line untuk kemudian bertukar ke Red Line di UNION Station. Dari stasiun tersebut aku dengan cepat mendapatkan kereta menuju ke Baniyas Square Station, sebuah stasiun yang memamerkan deretan sister citynya kota Dubai. Setelah kusebutkan lima diantaranya di beberapa artikel sebelumnya, maka kini akan kutambahkan lagi lima sister city berikutnya yang dimiliki Kota Dubai yaitu Casablanca (Maroko), Busan (Korea), Barcelona (Spanyol), Geneva (Swiss) dan Gold Coast (Australia).

Pukul setengah delapan malam….

Dengan biaya Dubai Metro sebesar 4,5 Dirham, aku tiba di Baniyas Square Station dan kemudian aku keluar menuju permukaan tanah. Benar saja seperti dugaanku….Suasana telah berganti gelap. Malam telah tiba di Dubai. Tetapi aku tak perlu khawatir, penginapanku tidak jauh lagi, hanya berkisar satu kilometer lagi.

Mengabadikan suasana malam Baniyas Square sejenak dengan kamera maka untuk kemudian aku melanjutkan berjalan kaki melalui Al Musalla Street. Suasana jalanan sangat ramai dan macet, pertokoan masih bergeliat dengan transaksi mereka masing-masing. Mungkin malam itu adalah keramaian paling padat yang pernah aku rasakan selama berada di Dubai.

Tiba juga di Baniyas Square Station.
Suasana di Baniyas Square saat malam.
Suasana Al Musalla Street di malam hari.
Macetnya Al Musalla Street.

Aku berbelok menuju Naif Street di Naif Park untuk kemudian melangkah menuju kedai khas India langgananku selama menginap di Distrik Deira. Adalah New Golden Star Restaurant dengan pemiliknya yang sering kupanggil dengan sebutan Uncle Neval yang berkarakter ramah nan murah hati.

Aku mencicipi dual lembar Paratha beserta sepotong chicken fry andalan kedai itu. Uncle Neval selalu menawariku untuk menambah Paratha jika merasa kurang.

“My dinner portion isn’t much, Uncle” , jawabku sekenanya yang membuat dia dan pelayannya terkekeh demi mendengarkan jawabanku itu.

Pukul setengah sembilan…..

Aku telah menyelesaikan segenap aktivitasku hari itu. Segenap badanku terasa lengket dengan sisa keringat sesiangan. Aku berpamitan kepada Uncle Neval untuk kembali ke penginapan sembari berjanji bahwa esok pagi aku akan bersarapan di kedainya kembali.

Usai menikmati tegukan terakhir dari cangkir Chai yang tersaji, maka aku membayar segenap pesananku seharga 7 Dirham.

Bersama Uncle. Neval di New Golden Star Restaurant.
Tiba si Zain East Hotel.

Aku memutuskan kembali ke Zain East Hotel untuk beristirahat.

Sampai bertemu lagi esok hari….

Kisah Selanjutnya—->

Palm Jumeirah: Isi Dompetku Tak Akan Cukup

<—-Kisah Sebelumnya

Palm Jumeirah dilihat dari ujung pulau terluar.

Hampir setengah lima sore ketika aku berhasil keluar dari Nakheel Mall melalui pintu bagian belakang. Jika pengunjung mall paham, pintu itu bisa mengoneksikan pengunjung dengan jalanan menuju ke area residensial di Palm Jumeirah.

Menuruni tangga, aku berhasil menginjakkan kaki di jalan utama sisi utara Nakheel Mall. Aku hanya perlu menyeberangi jalan utama itu untuk bisa mengeksplorasi salah satu kawasan residensial di sebuah area berbentuk daun palem di pulau reklamasi Palm Jumeirah.

Perlu diketahui bahwa Palm Jumeirah merupakan pulau buatan terbesar di dunia yang dibangun di pesisir Laut Arab dengan bentuk pohon palem. Bentuk detailnya terdiri dari area berbentuk batang pohon palem dimana Al Ittihad Park dan Nakheel Mall yang sempat kukunjungi berada, sebuah area berwujud mahkota dengan 16 area berbentuk daun palem dimana kompleks-kompleks perumahan mewah di tempatkan,dan kemudian tiga pulau yang membentuk bulan sabit dibuat mengelilingi kesemua area pulau dimana hotel-hotel mewah didirikan. Luas keseluruhan Palm Jumeirah adalah tak kurang dari 800 kali luasan lapangan sepak bola standar internasional.

Di tengah arus kendaraan yang melaju kencang, dengan penuh kehati-hatian, akhirnya aku tiba di seberang jalan utama. Urusan menyeberang jalan memang selalu menjadi perhatian serius bagiku setelah kejadian hampir tersambar mobil di Bandar Seri Begawan dan Phnom Penh beberapa tahun silam. Sejak itu, aku tak mau main-main ketika berada di jalanan negeri orang. Siapa yang akan menolongku jika sampai terjadi sesuatu di jalanan ketika sendirian berada di negeri orang.

Di seberang jalan, aku berdiri tepat di depan Palm View East, sebuah apartemen lima lantai yang dibangun memanjang di tepian jalan utama dan sebuah kondominuim 17 lantai terletak di sisi barat apartemen tersebut, Marina Residence 4 adalah nama kondominiun itu.

Aku berusaha mencari gang masuk menuju boat parking place yag berlokasi tepat di belakang apartemen Palm View East. Bukan…..Aku tidak bermaksud menaiki yacht-yacht mewah yang terparkir di dermaga, tentu aku tak memiliki anggaran untuk melakukan itu.

Aku hanya perlu untuk mengintip salah satu daun pulau yang berisi deretan perumahan mewah milik penduduk Palm Jumeirah.

Aku menemukan sebuah gang kecil beralaskan pavling block menuju ke dermaga. Tanpa ragu aku menyusuri gang itu hingga tepat berada di bibir perairan.

Wooowwwww…..Woooowwww….Woooowww

Kini aku dihadapkan pada sebuah pemandangan epik. Di sebelah kananku adalah sebuah dermaga dengan deretan kapal-kapal mewah, sedangkan di sisi kiriku adalah deretan perumahan-perumahan mewah berukuran besar memanjang mengikuti kontur area berbentuk daun dari Palm Jumeirah.

Mungkin hanya inilah cara terbaik bagiku untuk mengintip deretan perumahan itu. Jika aku harus memasuki gerbang perumahan pastilah aku akam memiliki kemungkinan kecil untuk bisa menembus penjagaan pos security yang super ketat.

Suasana jalanan utama di dekat Nakheel Mall.
Apartemen Palm East View (kiri) dan Marina Residence 4 (kanan).
Dermaga di belakang apartemen Palm East View.
Deretan perumahan mewah di Frond A (area berbentuk daun pertama di Palm Jumeirah). Area ini berjuluk berjuluk Al Fardh.

Usai puas memandangi perumahan mewah dan indah tersebut, aku kembali ke jalan utama. Aku berhenti sejenak, memandang penampakan mewah nan lamat di kejauhan. Di depan sana adalah area Palm Jumeirah yang berupa tiga pulau yang membentuk bulan sabit. Di sanalah jenis wisata mewah ditempatkan dan hotel-hotel kelas atas diisi oleh para wisatawan berduit.

Ada dua cara menuju ke sana, yaitu melalui terowongan bawah laut jika menggunakan kendaraan roda empat atau menaiki monorail dan turun di Atlantis Aquaventure Station.

Tidak….Aku tidak akan  ke sana….Isi dompetku tak akan cukup”, aku membatin kecut sembari dengan berat hati harus mengucapkan selamat tinggal kepada Palm Jumeirah. Inilah waktu terakhirku mengeksplorasi Palm Jumeirah. Karena dalam waktu yang tak akan lama lagi, aku akan kembali menuju ke hotel.

Gerbang di kejauhan itu adalah hotel bintang lima yang bernama Hotel Atlantis yang sekaligus menjadi gerbang taman rekreasi air terkenal di Dubai, Aquaventure.

Sebentar lagi gelap, aku arus mengamankan diri dengan berdiam diri dan beristirahat di hotel.

Kisah Selanjutnya—->

Nakheel Mall: Salah Satu yang Termegah di Dubai

<—-Kisah Sebelumnya

Nakheel Mall di pusat Palm Jumeirah.

Genap satu jam sudah aku menikmati rindangnya Al Ittihad Park, sebidang Ruang Terbuka Hijau di pulau reklamasi terkenal di seantero jagad, Palm Jumeirah.

Langkah khatam di ujung barat taman mengantarkanku memasuki area baru yaitu kawasan komersial yang dibangun tepat di tengah-tengah Palm Jumeirah.

Adalah Nakheel Mall yang menjadi salah satu mall terbaik di Dubai yang merupakan tempat untuk berwisata kuliner, berbelanja, berekeasi dan berburu hiburan bagi segenap penduduk di seluruh penjuru Palm Jumeirah, warga Dubai dan para wisatawan asing.

Nakheel sendiri diambil dari nama pengembang pulau reklamasi Palm Jumeirah, yaitu Nakheel Properties yang merupakan pengembang properti terkemuka dunia yang dimiliki oleh pemerintah Uni Emirat Arab dan berkantor pusat di Dubai.

Tanpa ragu, aku mulai menaiki anak tangga menuju pintu masuk pusat perbelanjaan yang memiliki luas enam hektar tersebut. Jalur tangga yang lebar itu dibelah oleh lintasan The Palm Monorail yang mengarah ke ujung pulau.

Di ujung anak tangga, tepatnya satu lantai diatasnya, tampak deretan restoran dan cafe yang menebarkan bau harum di sekitar pintu masuk. Vapiano adalah salah satu restoran yang masih kuingat namanya karena menampilkan kesibukan dalam melayani tamu-tamunya yang duduk di balkonnya.

Memasuki pintu mall, aku melihat bahwa segenap interiornya masih tampak baru. Aku mulai menyusuri bagian demi bagian dari Lantai 1. Merasakan kemegahan pusat perbelanjaan terkenal di Dubai tersebut.

Decorative lighting tampak dominan tertampil di tiang-tiang raksasa pusat perbelanjaan tersebut. Menjadikan tiang-tiang pancang itu sebagai komponen dekoratif yang membuat Nakheel Mall lebih elegan. Aku menemukan logo CINMAR Lighting Systems sebagai aktor utama yang mengembangkan sistem pencahayaan di mall megah tersebut.

Kuperhatikan bahwa Lantai 1 didominasi oleh beberapa outlet food and beverage. Berdasarkan informasi promosi yang kudapatkan, tak kurang dari 300 outlet yang menempati seluruh lantai di Nakheel Mall, baik outlet F&B, fashion, sport, entertainment dan lain sebagainya. Oulet-outlet itu terbuka untuk pengunjung dari pukul 10 pagi hingga pukul 10 malam.

Entrance Gate Nakheel Mall.
Le Pain Quotidien (Toko roti internasional) asal Belgia.
Ecco (produsen sepatu asal Denmark) dan Starbucks membuka outlet bersisian di Lantai 1.

Naik ke Lantai 2, aku mencoba mengulik lebih dalam tentang apa saja yang menonjol di dalam pusat perbelanjaan itu. Di lantai inilah aku menemukan beberapa promosi yang mengajak pengunjung untuk mengunjungi Trèsind Studio.  Trèsind Studio sendiri adalah restoran terbaik ke empat di Dubai serta memiliki Chef Himanshu sebagai chef terbaik no.75 di dunia versi The Best Chef Awards in 2021.

Terus menanjak ke lantai teratas, maka dengan jelas aku melihat bahwa pertunjukan film di pusat perbelanjaan ini difasilitasi oleh Vox Cinemas yang merupakan jaringan bisokop dan perfilman terbesar di Timur Tengah.

Beberapa waktu kemudian aku mulai turun dari Lantai 5 yang menjadi lantai teratas shopping mall tersebut. Aku berniat mencukupkan kunjunganku di Nakheel Mall untuk segera mengeksplorasi lebih mendalam Kawasan residensial Palm Jumeirah.

Jejak penyambutan Natal di Nakhell Mall.
Pohon Natal yang cantik.
Tolietnya bersih dan wangi.
Terintegrasi dengan The Palm Monorail di Nakheel Mall Station.
Nakheel Mall dilihat dari jalanan.
The Palm Tower, hotel bintang lima dengan 52 lantai yang terintegrasi dengan Nakheel Mall. Lantai tertingginya digunakan untuk wisata melihat Kawasan Palm Jumeirah dengan 360 derajat sudut pandang.

Melalui escalator, aku segera menuruni lantai demi lantai hingga benar-benar keluar dari exit gate Nakheel Mall. Tampak beberapa bus milik mall berdatangan menurunkan penumpang. Bus-bus berukuran kecil tersebut adalah Nakheel Mall Complimentary Shuttle Service yang mengambil pengunjung dari hotel-hotel mewah di dalam kota Dubai dan kompleks-kompleks perumahan di sekitar Kawasan Palm Jumeirah.

Okay….Nge-mallnya udahan yaa….

Yuk, ke tempat lainnya….

Kisah Selanjutnya—->

Al Ittihad Park: Rindang Diatas Tanah Reklamasi

<—-Kisah Sebelumnya

Aku tiba di Al Ittihad Park Station tepat pukul setengah empat sore. Udara masih panas tetapi surya sudah tak seterik beberapa jam sebelumnya. Menuruni gerbong monorail di Lantai 2, aku kemudian turun ke Lantai 1 untuk keluar dari barisan ticket collection gate dan kemudian turun lagi menuju Ground Floor untuk tiba di Al Ittihad Park.

Interior taman pertama yang dominan terlihat di Al Ittihad Park ketika turun dari stasiun monorail adalah jogging track sintetis berwarna merah. Menurut penanda jarak yang kudapatkan di sepanjang jogging track tersebut, maka aku dapat mengetahui bahwa panjang lintasan jogging track itu adalah dua setengah kilometer. Jeda-jeda penanda jarak itu tertampil jelas di jalur lintasan. Secara desain, tampak bahwa jogging track itu melingkari taman.

Interior berikutnya yang bisa kuingat adalah deretan rapi pepohonan besar yang tumbuh subur dan rindang di kiri-kanan jogging track. Tanaman yang paling mudah dikenali adalah pohon kurma yang merupakan tanaman khas Jazirah Arab. Tapi setidaknya terdapat tak kurang dari enam puluh spesies tumbuhan asli Uni Emirat Arab yang ditanam di Al Ittihad Park.

Jogging track didesain mengelilingi taman 360 derajat penuh.
Pohon-pohon yang rindang.

Karena taman ini dibangun diatas tanah reklamasi berpasir maka seperti yang dilakukan pada negara-negara Arab pada umumnya, bahwa taman ini dilengkapi dengan uluran panjang selang air yang berfungsi untuk menjaga tanaman tetap survive di teriknya cuaca gurun. Papan-papan nama tanaman tampak terpampang di sepanjang taman disertai dengan penjelan detail mengenai tanaman tersebut.

Sedangkan tepat di bawah jalur The Palm Monorail, dibuatlah sungai artificial dengan lapisan plastik hitam di dasarnya. Bunyi gemercik air yang mengalir di sepanjang sungai artificial membuat suasana di sekitar taman terasa lebih tenang di tengah gaduhnya kota megapolitan Dubai.

Sedangkan peralatan olah raga tersebar merata di sekitar taman sebagai alat bantu pengunjung untuk melakukan akivitas kebugaran ringan di sepanjang taman.

Terhipnotis dengan rindangnya Al Ittihad Park, maka aku terus melangkah menuju sebelah barat taman. Sepanjang kaki melangkah, aku menyaksikan keberadaan sebaran tiang lampu taman, dari yang mungil hingga berukuran panjang, semuanya tetap mengikuti kaidah futuristik.

Al Ittihad Park sendiri diresmikan penggunaannya sekitar satu dekade silam. Sengaja dibangun demi memperingati perayaan Hari Nasional Uni Emirat Arab ke-41.

Apakah kamu mengetahui arti dari kata “Al Ittihad” ?….Al Ittihad artinya adalah “Persatuan”.

The Palm Monorail.
Sungai artificial.

Selain untuk memperingati Hari Nasional negara, Al Ittihad Park dibangun dengan tujuan untuk menyediakan fasilitas bersantai bagi penduduk yang tinggal di kawasan Palm Jumeirah. Selain itu, Al Ittihad Park sekaligus berperan sebagai lokasi wisata alam bagi para turis yang berminat untuk memahami secara lebih mendalam mengenai serba-serbi tanaman yang jenisnya sangat beragam di Uni Emirat Arab.

Buat kamu yang memiliki hobby nongkrong di taman sambil mencicipi kuliner atau berbelanja maka Al Ittihad Park menyediakan banyak cafe dan restoran yang terletak memanjang di sisi selatan taman. Tampak beberapa brand ternama terpampang di sepanjang taman, seperti Starbucks dan Baskin Robbins. Sementara brand-brand non-kuliner lain juga tampak mencolok seperti Organic Foods & Cafe, UAE Exchange, Marina Pharmacy, Topsretch Gym, sebuah kantor polisi dan Playgroup. Kesemua outlet itu terkonsentrasi pada Golden Mile Building yang memiliki sebelas lantai.

Sedangkan untuk menjaga kebersihan dan kerapihan taman, maka tempat sampah di atur sedemikian rupa sehingga mudah sekali di temukan. Atap-atap berbahan kain juga disediakan di beberapa titik yang berfungsi sebagai perlindungan dari teriknya sang surya bagi anak-anak yang sedang bermain.

Sementara itu, fasilitas pamungkas yang disediakan pengelola Palm Jumeirah demi memudahkan warga dalam mengunjungi Al Ittihad Park adalah tempat parkir umum yang cukup luas untuk kendaraan roda empat.

Aktivitas warga beserta keluarganya.
Fasilitas olah raga.
Kedai Starbucks di salah satu titik Golden Mile Building.

Kiranya Al Ittihad Park telah meninggalkan kesan mendalam dalam petualanganku di Dubai.

Kisah Selanjutnya—->

The Palm Monorail: Teknologi dari Chiyoda

<—-Kisah Sebelumnya

Palm Jumeirah Monorail Footbridge.
Interior dari Palm Jumeirah Monorail Footbridge.
Tampak Arjaan Rotana Hotel (gedung dengan ujung setengah lingkaran) di sisi selatan King Salman Bin Abdulaziz Al Saud Street.
Burj Al Arab tampak di sisi utara King Salman Bin Abdulaziz Al Saud Street

Aku keluar dari Palm Jumeirah Station hampir pukul tiga sore. Usai menaiki Dubai Tram, aku melangkah ke utara menuju Palm Jumeirah Monorail Footbridge. Jembatan pejalan kaki itu mengangkangi jalur Dubai Tram dan King Salman Bin Abdulaziz Al Saud Street, lalu terhubung dengan gedung parkir milik Palm Jumeira Gateway Towers, sebuah gedung apartemen kelas atas di Distrik Al Sufouh.

Lepas menyusuri Palm Jumeirah Monorail Footbridge, aku dihadapkan pada gedung parkir apartemen lantai 3 yang terintegrasi dengan The Palm Gateway Station yang merupakan stasiun pertama dari The Palm Monorail.

Hanya ada lima stasiun yang dilewati oleh The Palm Monorail, keempat stasiun yang lain adalah Al Ittihad Park Station, Nakheel Mall Station, The Points Station dan Atlantis Aquaventure Station. Jalur monorail ini membentang dari timur ke barat sepanjang lima kilometer. Dikembangkan oleh Hitachi Monorail yang merupakan perusahaan pengembangan monorail yang bermarkas di Chiyoda, Jepang.

Kembali ke Palm Jumeira Gateway Towers dengan 14 lantai yang menyediakan lantai ketiganya untuk diintegrasikan dengan jalur monorail dan Dubai Tram sekaligus. Melalui lorong-lorong gedung parkir apartemen akhirnya aku tiba juga di The Palm Gateway Station.

Aku tak terburu-buru membeli tiket melainkan berusaha mencerna semua papan informasi yang berada di seantero bangunan stasiun. Tiba pada papan informasi tarif, aku menangkap informasi bahwa The Palm Monorail hanya menyediakan tarif gratis menuju Nakheel Mall, mungkin pengelola Palm Jumeirah mempunyai maksud supaya para pengunjung mau berbelanja di Nakheel Mall.

Tapi karena tujuanku adalah menelusuri Kawasan Palm Jumeirah, oleh karenanya aku memilih untuk menuju ke Al Ittihad Park Station. Tarif untuk menuju ke sana adalah 15 Dirham pulang pergi (round trip).

Maka usai membeli tiket di konter, aku segera menuju platform melalu ticket collection gate yang dijaga oleh petugas.

Gedung parkir milik Palm Jumeira Gateway Towers.
Berburu tiket The Palm Monorail.
Platform milik The Palm Gateway Station.

Selang beberapa waktu, monorail itu tiba. Aku menaiki salah satu dari tiga gerbong monorail. Aku menganggapnya di gerbong depan karena kaca di depanku meluncur menuju stasiun paling ujung. Bangku monorail itu cukup mewakilkan kemewahan The Palm Monorail karena terbuat dari sofa lembut. Sedangkan jalur monorail itu berjajar bersisian dengan jalur kendaraan roda empat di sisi utaranya.

Hanya perlu waktu lima menit menggunakan monorail untuk menempuh jarak tak lebih dari dua kilometer. Akhirnya aku turun di Al Ittihad Park Station.

Interior The Palm Monorail.
Jalur kendaraan roda empat menuju kawasan Palm Jumeirah.
Tiba di Al Ittihad Park Station.

Rasa penasaran yang teramat sangat, membuatku segera melangkah keluar dari pintu stasiun….Dan sebuah taman nan luas menyambut kehadiranku.

Al Ittihad Park….

Kisah Selanjutnya—->

Menjajal Dubai Tram: Memahami Rute

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan Burj Khalifa setelah hampir satu jam berada di halaman depannya. Terik surya masih saja menyengat, tiupan angin yang menghembuskan udara kering terus menghantam badan yang semakin basah dengan peluh.

Aku mempercepat langkah atas kondisi itu….

Beberapa menit kemudian, aku sudah memasuki Dubai Mall/Burj Khalifa Station yang menawarkan suhu dingin di dalamnya. Aku memasuki lift demi menuju platform, untuk kemudian bertemu dengan seorang pria muda berperawakan India.

Semenjak lift naik ke atas maka terjadilah percakapan ringan di dalamnya. Sebut saja namanya Ahmed, seorang pegawai kantoran yang sedang menuju ke kantor. Dia telah bekerja sebagai seorang professional di Dubai sejak tiga tahun silam.

“It’s very interesting to visiting many countries like what you do, Donny”, begitulah dia tertarik dengan segenap pengalaman yang kuceritakan dalam waktu singkat kepadanya.

“Sometimes, I will do like what you do, Surely”, Ahmed menambahkan.

Percakapan kami akhirnya terputus dengan hadirnya Dubai Metro berwarna biru langit. Aku menaiki gerbong tengah sedangkan Ahmed tercecer di gerbong lain. Kondisi penumpang yang penuh sesak, memaksaku berdiri hingga di tujuan akhir.

Melintasi jalur merah (red line) Dubai Metro yang merupakan jalur layang dari arah utara menuju selatan sejauh hampir 20 km maka dalam tiga puluh menit aku tiba di DAMAC Properties Station. DAMAC Properties sendiri adalah perusahaan pengembangan properti yang cukup terkenal di Dubai.

Dubai Metro Red Line (Menuju DAMAC Properties Station).
Penampakan Burj Al Arab dari dalam Dubai Metro.
Nah, itu dia DAMAC Properties Station….Yukz, turun.

Perjalanan pendek bertarif 5 Dirham itu berhasil menurunkanku di DAMAC Properties Station, aku diarahkan menuju koridor skywalk yang gagah mengangkangi Sheikh Zayed Toll Road. Jalan tol itu sendiri memiliki enam jalur di setiap ruasnya.

Di tengah skywalk, aku mencoba mengamati sekitar dan mencoba memahami rute transportasi massal di tempatku berdiri. Tampak di depan arahku melangkah adalah ujung skywalk dengan gerbang DAMAC Properties Station yang berlokasi di utara jalan tol. Sedangkan jalur tram tampak terlihat tepat di sisi utara Sheikh Zayed Toll Road. Itu artinya jalur Dubai Tram berada di pertengahan DAMAC Properties Station Gate sisi utara dan selatan.

Sejenak aku menikmati lalu lalang tram dari koridor skywalk, tampak tram dengan tujuh gerbong pendek melintas anggun di lintasan.

Jalur Dubai Tram sendiri terletak di Distrik Al Sufouh. Memiliki lintasan sepanjang hampir 15 kilometer. Telah melayani rute lebih dari delapan tahun, menggolongkan tram ini sebagai moda transportasi baru di Dubai. Jalur tram ini membentang dari Al Sufouh Station di utara menuju Jumeirah Beach Residence 2 Station di selatan. Serta memiliki koneksi ke moda transportasi lainnya yaitu Palm Jumeirah Monorail di Palm Jumeirah Station.

Skywalk menuju jalur Dubai Tram.
Sheikh Zayed Road Toll Road tampak dari skywalk.
Itu tuh Dubai Tram lagi lewat.

Karena stasiun Dubai Tram yang terkoneksi dengan DAMAC Properties Station tempatku turun dari Dubai Metro adalah Dubai Marina Station, maka aku akan menuju tujuan berikutnya dari stasiun tram tersebut.

Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, tram itu tiba dan aku menaikinya di gerbong tengah. Mengambil posisi berdiri aku menaiki tram tersebut dengan penuh rasa kagum. “Kapan ya Jakarta punya tram bagus kek gini?”, aku membatin dan berharap.

Meluncur bersama penumpang lainnya, aku melintasi Marina Towers Station, Mina Seyahi Station dan Media City Station sebelum akhirnya tiba di stasiun tujuan, yaitu Palm Jumeirah Station. Biaya perjalanan menggunakan tram ini sangatlah terjangkau, hanya 3 Dirham saja.

Aku bergeas turun ketika tram itu berhenti dan bersiap untuk melangkah di koridor penghubung antara jalur Dubai Tram dan jalur Palm Jumeirah Monorail.

Dubai Marina Station, titik awalku menaiki Dubai Tram.
Begini wujud Dubai Tram dari jarak dekat.
Yukz, naik Dubai Tram…
Aku turun di Palm Jumeirah Station.

Aku bersiap mencicipi moda transportasi massal ke empat di Dubai, yaitu Palm Jumeirah Monorail.

Kisah Selanjutnya—->