Swiss Air LX 242 dari Dubai (DXB) ke Muscat (MCT)

<—-Kisah Sebelumnya

Aku tak sabar menunggu kedatangan kereta. Beruntung kereta datang dengan cepat. Menaiki salah satu gerbongnya, meluncurlah aku di jalur panjang kereta dan tiba dalam beberapa menit di bangunan lain milik Dubai International Airport….Yupz, Concourse D.

Concourse D sendiri adalah bangunan di tengah-tengah area bandara yang difungsikan sebagai gerbang pelepasan. Bangunan itu dikoneksikan dengan bangunan Terminal 1 melalui rel yang diletakkan di atas tiang-tiang pancang jalur kereta.

Xu kembali datang menghampiriku ketika aku menduduki bangku di sebelah gate D 15. Ternyata Xu tak sendiri, dia memiliki satu teman lain yang kini diperkenalkan kepadaku.

Donny, this is Lin, my friend“, dia menunjuk ke temannya.

Hi, Lin….I’m Donny“, aku balik memperkenalkan diri.

Selanjutnya kami bertiga menghabiskan waktu untuk berbincang ringan di ruangan Concourse.

Sesekali Lin terlihat iseng menyembunyikan paspor milik Xu yang karena kecerobohannya ditinggalkannya di bangku ketika dia beranjak ke toilet. Lin memberikan kode dengan menaruh telunjuknya di hidung ketika aku mengetahui keisengannya itu. Sontak Xu dihantui kepanikan sekembalinya dari toilet mencari keberadaan paspornya. Aku sungguh menahan tawa atas keisengan itu. Nantinya Xu benar-benar menjitak jidat Lin atas kejahilannya itu. Kami bertiga pun tergelak ketawa berkepanjangan.

Panggilan boarding terdengar di langit-langit bandara. Aku telah siap sejak beberapa waktu sebelumnya. Aku mengucapkan sampai jumpa di Muscat kepada mereka karena kami bertiga akan duduk terpisah di dalam kabin.

Aku duduk di kabin tengah, di window seat sisi kiri, duduk dengan satu penumpang berkenegaraan Oman di sisi terkanan. Sedangkan bangku tengah dibiarkan kosong selama penerbangan.

Saat yang benar-benar kutunggu adalah masa airborne pesawat yang akan berlangsung cepat. Aku hanya ingin melihat keindahan Burj Khalifa dari langit malam Dubai. Entah bagaimana perwujudan indahnya ketika dilihat dari atas.

Food court di Cocourse D – Dubai International Airport.
Airbus A 330-300 milik Swiss Air.
Business Class.
Economy Class.
Hayo….Yang mana Burj Khalifa?….
Nonton Jason Bourne yang diperankan Matt Damon.
Kota Muscat tampak dari ketinggian saat pesawat hendak mendarat.
Salam Air (LCC dari Oman) tampak terparkir di Muscat International Airport.

Penerbangan malam itu berlangsung dalam kondisi kurang baik. Berkali-kali maskapai kebanggaan Swiss itu bergetar hebat menembus gumpalan-gumpalan awan di langit Timur Tengah. Membuat beberapa kali awak kabin mengurungkan diri untuk memberikan gelas-gelas minuman kepada penumpang.

Aku langsung teringat dengan beberapa artikel yang pernah kubaca mengenai awak kabin Swiss Air yang kebanyakan berusia tak muda lagi. Benar adanya, aku membuktikan dengan pengalamanku sendiri. Pramugara-pramugari Swiss Air LX 242 yang kutunggangi memiliki awak kabin yang usianya sudah diatas 40 tahun seperkiraanku.

Malam itu, aku hanya meminta disuguhkan segelas apple juice dan melakukan penerbangan singkat selama 1 jam 15 menit saja. Jarak antara Dubai-Muscat yang hanya tak lebih dari 500 kilometerlah yang membuatnya demikian.

Aku tiba di Muscat International Airport tengah malam dan memutuskan untuk berada di bandara saja hingga pagi menjelang.

Oh, ya…..Aku belum bercerita bagaimana Burj Khalifa dilihat dari langit malam Dubai?

Luar biasa ….Itu indah sekali, kawan……

Alternatif lain untuk mencari tiket pesawat dari Dubai ke Muscat bisa didapatkan di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->

Check-in Desk Dubai International Airport: Gingsul Manis dari Colombo

<—-Kisah Sebelumnya

Beruntung check-in desk yang kucari sejak beberapa waktu sebelumnya belum dibuka ketika aku tiba di depannya. Sehingga waktu yang terbuang sia-sia di antian yang salah tak mempengaruhi waktuku dalam mengurusi boarding pass.

Usai menunggu beberapa saat, check-in desk yang akan melayani proses administrasi penerbangan Swiss Air LX 242 akhirnya dibuka. Sontak aku mengambil posisi di antrian, bukan yang terdepan karena sedari sebelumnya banyak calon penumpang yang sudah mempersiapkan diri di sekitar check-in desk tersebut.

Aku sudah tenang berada di antrian yang benar, LCD di atas check-in desk juga sudah dengan jelas mengafirmasi nomor penerbangan yang telah kupesan tujuh bulan sebelum penerbangan.

Ketika sedang nyaman-nyamannya mengantri….

Tetiba sebuah travel bag terjatuh dari trolley dan menimpa kaki kiriku. Aku pun terperanjat dan seketika menoleh ke belakang.

Sorry….Sorry, Sir. My trolley is too full“, dia terus membungkukkan badan di depanku.

Demi mencairkan suasana, kulemparkan senyuman sembari berucap kepadanya, “No matter, Sir“.

Call me, Xu…..Do you want to go to Muscat?“, nama yang dia sebutkan memperjelas wajahnya yang khas Tiongkok.

Me…Donny from Indonesia“, aku mengajaknya berjabat tangan.

Do you work in Muscat, Donny?“, Xu melempar sebuah tanya.

No, Xu….I’m a tourist“, singkat balasku, “Do you work there?“.

Yeaa, Donny….I work in oil company“, dia menjelaskan singkat saja.

Tak berapa lama kemudian giliranku menghadap petugas di check-in desk.

Any luggage, Sir“, staff perempuan berparas khas Asia Selatan menanyaiku.

Nup, Ms Dilupa“, aku menjawab sembari menatap nametag yang tersemat di blazer hitam miliknya.

Oh, you know my name“, dia tak tertawa melainkan hanya tersenyum tipis.

That’s …“, Aku menunjuk nametag yg dia kenakan.

Just bag in your back?“, dia tak kuasa menahan senyum hingga gingsul manisnya terlihat.

Yeaaa …just backpacker, Ms Dilupa“, aku terus tersenyum kepadanya.

Ya….ya….ya…. Backpacker….Always like you now“, kini dia bersiap mencetak boarding pass.

Where are you come from?“, sidikku ketika dia menyerahkan bording pass berwarna putih polos.

Colombo …..“, dia menjawab dengan tatapan ramah, “Next…..“, dia mulai berseru memanggil Xu yang menunggu di belakang.

Sri Lanka….Nice country“, aku merapikan dokumen dan bersiap meninggalkan meja.

Dilupa hanya mengacungkan jempolnya kepadaku sembari tersenyum mengangguk.

Check-in desk Swis Air LX 242.
Dia adalah Xu, teman baru di Dubai International Airport.
Menuju platform kereta.
Kereta menuju Concourse D sebentar lagi tiba.

Usai mendapatkan boarding pass, aku segera menuju screening gate untuk memeriksa backpack demi keamanan penerbangan. Dengan mudah melewatinya, aku segera menuju konter imigrasi untuk mendapatkan izin keluar dari Dubai. Meninggalkan sebuah negara menjadi bagian termudah di setiap perjalanan yang kutempuh.

Di akhir proses administratif, aku sudah siap meninggalkan bangunan Terminal 1. Aku segera beranjak menuju platform kereta demi menuju Concourse D-Dubai International Airport. Di bangunan itulah Swiss LX 242 akan diterbangkan.

Kisah Selanjutnya—->

Salah Antrian di Departure Hall Dubai International Airport Terminal 1

<—-Kisah Sebelumnya

Tentu aku tak gentar untuk melewati terowongan yang menembus bagian bawah jalan reguler yang mengalirkan kendaraan keluar-masuk Terminal 1 Dubai International Airport. Langkah cepat akhirnya mengantarkanku ke sebuah area parkir yang merupakan fasilitas bagi para pengunjung bandara.

Sayangnya area parkir tersebut terhadang oleh keberadaan Airport Road yang membelah area Terminal 1 menjadi dua sisi terpisah. Aku berusaha mencari cara untuk mencapai area di utara jalan besar itu.

Berhenti sejenak mengamati situasi, aku mencoba lebih tenang.

Ya….Itu….Pasti itu”, aku menatap sebuah skybridge yang mengangkangi Airport Road. Tak mau kehilangan banyak waktu maka aku bergegas menujunya.

Benar adanya, terdapat tangga untuk mulai menelusuri skybridge itu. Dalam beberapa detik kemudian aku pun sudah melangkah di dalam lorongnya.

Jembatan sepanjang 150 meter itu kulalui dengan cepat hingga aku benar-benar tiba di bangunan Terminal 1. Aku tiba tepat dua jam sebelum penerbangan. Kini mataku awas mencari keberadaan check-in zone yang bisa menerbitkan boarding pass untukku.

Maka mataku mulai awas mencari keberadaan FIDS (Flight Information Display Siystem). Aku menemukannya di sebuah koridor. Mataku mulai menyapu daftar penerbangan yang disajikan dalam dua kolom memanjang.

Yess….Itu dia….Swiss Air LX 242….Check-in desk di Area 5”, aku telah menemukan informasi valid yang kubutuhkan.

Aku mulai mencari tahu maksud dari Area 5. Setelah berusaha memahami beberapa signboard yang ada di ruangan terminal, akhirnya aku faham. Check-in desk itu terletak di setiap persimpangan di sepanjang koridor utama ruangan.   

Angka-angka yang merupakan nomor check-in zone tersebut tertampil jelas di pilar-pilar bangunan terminal dan aku menemukan area check-in zone nomor 5 di pertengahan koridor.

Hmmhh….Check-in desk belum dibuka”, aku menghela nafas pelan.

Maskapai penerbangan yang akan kutunggangi beserta nomor penerbangannya belum tertampil di layar-layar LCD di atas deretan check-in desk. Meja-meja itu masih sibuk mengurusi penerbangan Aeroflot SU 527 menuju Moscow.

Aku menepi ke sisi utara ruangan, menunggu di sebuah tempat duduk. Sesekali aku berdiri menghadap ke dinding kaca berukuran lebar, jauh di seberang sana adalah Concourse D, sebuah bangunan dimana setiap gate penerbangan ditempatkan. Hal ini memberikan arti bahwa bangunan Terminal 1 dimana aku berada hanyalah berfungi sebagai bangunan administratif bagi setiap penumpang sebelum dinyatakan siap untuk terbang.

Sesekali aku melangkah mendekati layar FIDS untuk memastikan apakah proses check-in untuk nomor penerbanganku telah dibuka. Aku terus melakukannya berulang-ulang. Setelah sekian kali mengecek, akhirnya check-in desk yang dimaksud benar-benar telah bestatus “Open”.

Aku melangkah menuju antrian dan mulai bergabung di dalamnya. Satu per satu calon penumpang selesai melapor ke check-in desk dan pergi dengan menggenggam lembar boarding pass.

Semakin tertelan di tengah antrian, aku baru menyadari satu hal. Aku tetiba melotot melihat sebuah e-ticket bertuliskan Oman Air. Layar LCD di atas check-in desk memang hanya menunjukkan nama kota….”Muscat”. Tetapi aku tak menyadari ada sebuah papan dengan informasi berukuran tak terlalu besar. “Oman Air WY 614”, aku jelas membacanya.

Astaga aku berada di antrian penerbangan yang salah.

Area parkir Terminal 1.
Skybridge menuju ke bangunan Terminal 1.
Airport Road terlihat dari skybridge.
Tiba di bangunan utama Terminal 1.
Koridor utama ruangan Terminal 1.
Check-in zone.
Menunggu nomor penerbangan muncul.
Bangunan nan jauh di sana adalah Concourse D.

Is this Swiss Air LX 242 to Oman, Mam?”, aku bertanya kepada seorang calon penumpang yang berdiri tepat di depanku.

Oh No, This is Oman Air…”, dia menjawab sembari menggelengkan kepalanya heran.

Thanks, Mam….I’m in wrong queue”, aku mulai beranjak pergi meninggalkan antrian.

Aku kembali berada di koridor antara dua deret check-in desk , berdiri dan fokus menyebarkan pandangan ke layar-layar LCD di kedua sisi.

Tak kunjung menemukannya, akhirnya aku bertanya kepada seorang staff bandara.

Sir, where is the check-in desk for Swiss Air LX 242 towards Muscat?”, aku menunjukkan e-ticketku.

Oh, yaaa…..the desk will be open in five minutes, Sir….Just wait for a moment”, dia menjelaskan kepadaku

You will be better to wait in the last desk of this check-in desk row….Over there, Sir”, dia menunjuk ke sebaris check-in desk yang terletak di ujung Area 5. Di sanalah penerbanganku akan diproses.

Tanpa pikir panjang aku segera menujunya.

Kisah Selanjutnya—->

Dubai Airport Bus No 77: Jalan Pintas Menuju Terminal 1 Dubai International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Aku akhirnya berhasil mencapai Zain East Hotel sepuluh menit sebelum pukul enam sore. Aku terengah-engah di lobby penginapan untuk selanjutnya mengucapkan selamat tinggal kepada sang resepsionis dan seorang room boy yang kukenal dari sehari sebelumnya.

Aku pun melangkah kembali menuju Baniyas Square dengan melintasi jalanan semula yang sebelumnya kutapaki ketika menuju penginapan dari alun-alun yang sekarang akan kembali kutuju.

Aku sendiri menyempatkan membeli beberapa potong kue basah di sebuah warung khas India yang kutemui di jalan ketika tergegas melangkah menuju alun-alun. Setidaknya akan ada yang bisa kusantap saat makan malam di bandara beberapa waktu ke depan.

Hampir dua puluh menit berjalan kaki….

Aku pun bisa melempar senyum….Bukan senyum kebahagiaan karena tiba tepat waktu di Baniyas Square. Akan tetapi aku tersenyum heran karena polisi yang hampir satu jam sebelumnya menginterogasi diriku, ternyata pada saat kedatanganku di alun-alun, dia masih saja konsiten dengan tugasnya menilang banyak orang di tempat yang sama.

Aku menunduk dan melewati polisi yang sedang menginterogasi seseorang itu dengan cepatnya. Menyeberang melalui zebra cross yang disediakan dan akhirnya benar-benar tiba di Baniyas Square.

Pucuk dicinta ulam tiba. Airport bus bernomor 77, berwarna dominan merah, berukuran sedang, sudah melangsamkan mesinnya sebagai pertanda bahwa bus itu telah siap dimasuki oleh calon penumpangnya dan dalam beberapa menit lagi akan segera meluncur menuju bandara.

Aku bergegas melompat di pintu depan, menempelkan Nol Card di automatic fare collection machine. Saldoku berkurang 3 Dirham demi menuju Dubai International Airport yang berjarak enam kilometer di sebelah timur.

Tak perlu menunggu penumpang memenuhi bus, maka Airport Bus No. 77 akhirnya mulai merayap meninggalkan Baniyas Square karena harus menaati jadwal keberangkatan.

Gedung Department of Economic Development.
Melintasi Menara Jam Deira.
Flora Park Apartment di Al Ittihad Road.
Commercial Bank of Dubai di daerah Port Saeed.

Separuh jarak perjalanan, bus itu membelah Al Maktoum Road. Setelah melintasi Sheikh Rashid Road melalui sebuah flyover maka bus itu mulai mendekati bandara melalui Airport Road.

Aku mulai merasa kebingungan ketika bus itu semakin mendekati area bandara. Akhirnya aku memberanikan diri dengan bangkit dari tempat duduk, lalu berjalan menuju bangku pengemudi.

“Hallo Sir, Can you drop me at Terminal 1?”, aku berharap tidak kehabisan waktu terlalu banyak demi menuju terminal yang dimaksud.

“Where will you go, Sir?”, sang pengemudi meminta informasi tambahan untuk memastikan dia tidak menurunkanku di tempat yang salah.

“Muscat, Sir….Swiss Air”, aku berharap itu bisa menjadi petunjuk terakhir baginya.

Perlahan bus melewati 51st Street, melewati beberapa hotel seperti Le Meridien Accommodation dan Aloft Dubai Airport untuk kemudian aku diturunkan di Airport Staff Parking Area.

“Just follow that small tunnel, Sir. You will reach Terminal 1 in about three hundred meters”, pengemudi baik hati itu menghentikan busnya dan telunjuknya lincah mengarahkanku ke jalur tercepat menuju Terminal 1-Dubai International Airport.

Inilah jalan pintas menuju Terminal 1.

Aku segera turun dan bergegas menuju Terminal 1.

Kisah Selanjutnya—->

Menuju Zain East Hotel: Berjibaku Mengambil Bacpack

<—-Kisah Sebelumnya

Setidaknya aku bisa menepati waktu kepada diriku sendiri. Tepat dua jam lamanya aku menikmati area Umm Suqeim dengan pemandangan taman dan pantai terbaik.

Tepat pukul empat sore aku sudah mengemasi kamera mirrorlessku ke dalam folding bag. Aku melangkah pergi meninggalkan Umm Suqeim Beach.

Aku melangkah cepat menyusuri jalanan di sisi barat Umm Suqeim Park yang merupakan jalan tembus menuju jalanan utama. Dengan cepat aku tiba di perempatan yang terbentuk dari Jumeirah Beach Street dan Al Thanya Street. Menyeberangi perempatan itu, aku menyasar halte bus Umm Suqeim, Park 2. Itulah sisi yang tepat untuk mencegat Dubai Bus No. 8 untuk kembali lagi menuju area Al Fahidi di pinggiran Dubai Creek.

Hanya perlu menunggu lima menit untuk menunggu bus itu tiba di halte tempatku menunggu. Dengan wajah sumringah aku menaiki bus itu.

Aku akan tiba di bandara tepat waktu malam ini”, aku mengepalkan tangan di bangku belakang.

Bus melaju perlahan meninggalkan area Umm Suqeim.

Perjalanan sedikit melambat di perjalanan karena seorang ibu dengan anak kecilnya yang menaiki bus mendapatkan masalah karena Nol Card yang dimilikinya kehabisan saldo. Pengemudi bus berpeawakan Asia Selatan itu tampak cukup bersabar membantu ibu tersebut. Tetap dibawanya sang ibu lalu pada sebuah halte bus yang berukuran besar, sang pengemudi turun untuk membantu ibu tersebut men-top up saldo Nol Cardnya di RTA Bus Ticket Machine.

Usai kejadian itu, bus pun berfokus menuju Al Ghubaiba Bus Station.

Setelah menempuh perjalanan sejauh hampir dua puluh kilometer dan waktu tempuh hampir satu jam lamanya, akhirnya Dubai Bus No. 8 mulai merangsek mendekati area Al Fahidi yang arus lalu lintasnya semakin padat.

Aku bersiap diri untuk turun di Al Ghubaiba Metro Station sebelum bus benar-benar tiba di depot terakhirnya, Al Ghubaiba Bus Station.

Aku berhasil turun di Al Ghubaiba Metro Bus Stop yang berlokasi di sisi barat Al Falah Street, tepat berseberangan dengan Al Shindagha Museum.

Sebelum menyeberangi jalanan, mataku cukup awas melihat keberadaan stasiun Dubai Metro di seberang timur jalan. Itulah Al Ghubaiba Metro Station yang menjadi tujuanku.

Umm Suqeim, Park 2 Bus Stop.
Dubai Bus No. 8 akhirnya tiba juga.
Pemandangan taman bunga yang indah di sepanjang perjalanan.
Al Ghubaiba Metro Bus Stop di tepian Al Falah Street.

Kini perjalananku menuju penginapan akan berpindah moda menggunakan kereta.

Aku bergegas memasuki stasiun dan menuju ke ruangan bawah tanah untuk menangkap keberangkatan Dubai Metro Green Line terdekat. Aku akan menuju tujuan akhir di Baniyas Square Station yang terletak di Distrik Deira.

Tahapan perjalanan terakhir itu akan melalui terowongan bawah air milik Dubai Metro yang berada tepat di bawah aliran air Dubai Creek.

Perjalanan menggunakan kereta ini menempuh jarak sejauh tiga kilometer dan waktu tempuh sekitar seperempat jam.

Menjelang pukul setengah enam sore akhirnya aku tiba di Baniyas Square Station.

Tiba di stasiun Dubai Metro.
Area parkir sepeda di depan stasiun.
Gerbang Al Ghubaiba Metro Station.
Ruangan bagian dalam Al Ghubaiba Metro Station.

Secara keseluruhan perjalanan, aku membayar tarif sebesar 12,5 Dirham. 5 Dirham untuk membayar tarif bus dari Umm Suqeim Park menuju Al Ghabaiba Metro Station, sedangkan 7,5 Dirham untuk membayar tarif Dubai Metro dari Al Ghubaiba Metro Station menuju Baniyas Square Station.

Kini perjalananku menuju penginapan hanya berjarak tak lebih dari satu kilometer. Aku akan berjalan menujunya lalu mengambil backpack yang kutitipkan di resepsionis Zain East Hotel. Dan untuk kemudian aku akan bergegas menuju Dubai International Airport demi menuju ke Muscat.

Kisah Selanjutnya—->

Umm Suqeim Beach: Disempurnakan dengan Burj Al Arab

<—-Kisah Sebelumnya

Waktu terus bergulir, kali ini sudah pukul tiga sore. Aku pun bergegas meninggalkan Umm Suqeim Park untuk memulai eksplorasi di kawasan pantainya, Umm Suqeim Beach tentunya.

Melalui gerbang sisi utara, akhirnya aku berhasil keluar dari taman. Aku berdiri sejenak mengawasi pemandangan di depanku.

Pemandangan pertama adalah keramaian pengunjung dalam berburu makanan di Wide Range Fish & Grill Restaurant. Outlet es krim yang berada tepat di depan restoran tentu menjadi idolanya.

Pemandangan berikutya adalah banyaknya wisatawan yang berjemur di pantai.

Umm Suqeim Beach memang sering disebut dengan julukan Sunset Beach karena pantai inilah tempat terpopuler untuk menikmati matahari tenggelam di pesisir pantai utara Dubai. Tak heran, sembari menunggu drama alam itu terjadi, para pengunjung banyak yang menjemur diri di sepanjang pantai. Tentu, pengelola pantai menyediakan banyak bilik untuk berganti baju atau bahkan mandi setelah sesiangan menikmati pantai.

Selain sebagai tempat berjemur, Umm Suqeim Beach juga memiliki surfing zone untuk memfasilitasi para penggemar selancar yang sedang berkunjung ke Dubai. Tampak banyak papan peringatan untuk tidak berenang di sepanjang surfing zone tersebut.

Untuk menunjang keselamatan di sepanjang pantai maka tersedia menara-menara pemantau yang ditempati oleh par lifeguard.

Bagi wisatawan yang tidak ingin merasa capek untuk menyusuri Umm Suqeim Beach yang membentang hampir sepanjang satu kilometer, maka disediakan pula penyewaan sepeda serta tersedia jalur bersepada dengan dasar paving block yang tersusun rapi membentang di sepanjang pantai.

Lalu bagaimana dengan pengunjung yang tak mau berpanas ria sepertiku?

Untuk pengunjung yang hendak menikmati pantai tanpa tersengat matahari maka pengelola pantai menyediakan satu view point yang terlindung oleh atap dan berposisi sedikit lebih tinggi dari area sekitar.

Kebersihan pantai adalah satu hal yang menarik perhatianku saat mengunjugi Umm Suqeim Beach. Tak ada satu pun sampah yang tercecer di sepanjang hamparan pasir putihnya. Tampak dengan jelas bahwa tempat sampah berukuran besar ditempatkan di sepanjang pantai dengan interval teratur.

Pintu keluar sisi utara Umm Suqeim Beach yang menjadi akses menuju pantainya.
Al Darmeet Street yang membentang di sepanjang Umm Suqeim Beach.
Para wisatawan yang memilih berjemur.
Itu dia kontainer yang berfungsi sebagai bilik ganti dan mandi.
Sepedanya habis disewa.
Viewpont berpelindung.
Ujung barat pantai.

Pemandangan terakhit yang bisa kulihat adalah kesibukan di ujung pantai sisi timur dan baratnya. Deretan crane raksasa menjadikan penanda bahwa pada sisi itu sedang dilakukan reklamasi besar-besaran untuk menciptakan area-area komersial dan hospitality baru di kawasan tersebut.

Prediksi itu sudah jelas karena di sebelah barat Umm Suqeim Beach berdiri megah hotel bintang lima ternama yang untuk menginap di dalamnya saja harus mengeluarkan anggaran tak kurang dari dua puluh juta Rupiah per malamnya. Tak lain lagi, hotel itu adalah Burj Al Arab.

Hotel lain yang tampak ikonik arsitektur bangunannya adalah Marsa Al Arab yang berdiri megah menyejajari Burj Al Arab di sisi timurnya.

Beruntung aku bisa berinteraksi dengan beberapa wisatawan yang sedang mengunjungi pantai. Beberapa dari mereka meminta bantuanku untuk mengambilkan foto mereka dengan latar belakang Burj Al Arab. Tampaknya kebanyakan wisatawan yang datang ke pantai ini adalah mereka yang penasaran dengan penampakan Burj Al Arab dari jarak dekat. Termasuk dengan niatku tentunya, sama saja.

Akhirnya sebelum kunjungan berakhir, akupun meminta bantuan kepada seorang wisatawan asal Jepang untuk mengabadikan diriku bersama Burj Al Arab.

Disempurnakan dengan Burj Al Arab.

Kisah Selanjutnya—->

Umm Suqeim Park, Salah Satu yang Terbaik di Dubai

<—-Kisah Sebelumnya

Waktu telah menunjukkan pukul dua siang ketika aku melangkah melewati sisi barat Stasiun Pengisian Bahan Bakar Emarat. Emarat sendiri adalah perusahaan minyak milik pemerintah Uni Emirat Arab. Tepat di ujung sisi barat SPBU itu terdapat gerbang untuk memasuki Umm Suqeim Park.

Perutku berbunyi tepat ketika aku melangkah memasuki taman. “Saatnya makan siang”, aku membatin.

Oleh karenanya, aku memutuskan untuk langsung menuju ke toilet demi mencuci tangan. Toilet itu mudah ditemukan di sisi timur. Memasuki toilet aku sungguh takjub karena toilet itu berpenampakan layaknya toilet bandara….Modern, bersih dan wangi.

Selepas itu, aku segera menuju ke tengah taman, mencari tempat yang nyaman dan teduh untuk duduk, mengeluarkan foldable lunch box yang berisi beberapa kerat roti tawar, lalu aku mulai menyantapnya sebagai menu makan siang. Cara bersantap demikian masih saja menjadi caraku untuk menghemat anggaran selama mengeksplorasi kota-kota besar di kawasan Timur Tengah.

Hanya perlu waktu lima belas menit untuk menghabiskan beberapa kerat roti tawar tersebut. Aku pun segera beranjak dari tempat duduk yang berposisi tepat di bawah pohon rindang dan mulau menelusuri taman.

Karena terletak tepat di pinggiran Umm Suqeim Beach maka sudah pasti bahwa dasar dari taman ini adalah pasir. Pasir putih itu membentang menjadi alas utama yang membuat taman tepi pantai itu terlihat sangat unik dan istimewa.

Sedangkan bunga warna-warni yang tumbuh di segenap penjuru taman menjadikan taman itu terlihat sangat asri dan menyenangkan. Bunga-bunga itu dirawat dengan menggunakan metode drip irrigation. Dengan metode ini, air kan dialirkan melalui selang di atas atau dibawah tanah dan dijatuhkan tepat di akar tanaman dengan cara menetes sehingga akan menghemat sumberdaya air di sekitar lokasi taman.

Untuk pepohonan, tentu pohon palem masih menjadi pohon yang paling dominan ditanam karena memang palem adalah salah satu tumbuhan khas Jazirah Arab.

Kuperhatikan dengan seksama bahwa selain tempat duduk di area terbuka, Umm Suqeim Park juga menyediakan bangku-bangku dengan berpelindung umbrella shade ataupun naungan yang tebuat dari kayu dengan atap polycarbonate bening dan tebal.

Lalu fasilitas apa yang terinstall di Umm Suqeim Park?

Terlihat jelas bahwa taman seluas sekitar tiga hektar ini juga dilengkapi dengan jogging track beraspal. Bahkan di sepanjang jogging track tersebut dilengkapi dengan deretan tiang lampu. Tentu hal itu memberikan jaminan kepada masyarakat lokal dan wisatawan bahwa Umm Suqeim Park bisa digunakan untuk beolahraga di malam hari.

Sedangkan children’s play area juga disediakan dengan perlengkapan bermain seperti ayunan, see-saws and monkey bar yang membuat anak-anak bisa ikut beraktivitas ketika sebuah keluarga berkunjung.

Umm Suqeim Park juga menyediakan area parkir bagi mereka yang hendak bermain ke taman bersama keluarga dengan cara berkendara.

Sementara bagi pengunjung yang hendak menikmati taman dengan cara bersantai sembari menyeruput kopi maka pengelola Umm Suqeim Park juga menyediakan beberapa cafe dan restoran.

Misalnya saja di pintu taman sisi utara terdapat outlet Wide Range, sebuah fish and grill restaurant. Tak hanya itu, tepat di tengah taman pun terdapat cafe dan restoran untuk bersantai, outlet kuliner itu bernama Hot Fish.

Mulai memasuki taman.
Toilet di dalam taman.
Dominan beralaskan pasir putih.
Bunga yang hidup dengan metode drip irrigation. Terlihat jogging track yang cukup lebar di sebelahnya.
Tempat duduk beratapkan pelindung.
children’s play area.
Wide Range Fish and Grill Restaurant

Pemandangan lain yang kudapatkan selama berkunjung di taman tersebut adalah masifnya promosi Dubai Dolphinarium yang dilakukan di beberapa bagian taman, baik menggunakan standing banner maupun flyer yang disediakan dibeberapa titik masuk.

Dubai Dolphinarium sendiri adalah destinasi wisata indoor dengan pertunjukan lumba-lumba dan anjing laut di dalamnya.  Wisata tersebut terletak di sebuah kawasan yang bernama Umm Hurair 2,  tepat di sisi barat Dubai Creek.

Berkeliling taman selama hampir satu jam, selalu saja mudah menemukan pemandangan nan memukau. Pemandangan itu tak lain karena Umm Suqeim Park memiliki latar berupa arsitektur ikonik Burj Al Arab. Tak pelak Umm Suqeim Park telah menjadi salah satu taman terbaik di Dubai.

Kisah Selanjutnya—->

Dubai Bus No. 8: Melawat ke Umm Suqeim

<—-Kisah Sebelumnya

Berbincang hangat dengan Sanu, seorang pekerja muda asal Kerala, membuat waktu tak terasa telah terlewati selama beberapa saat. Perjuangan seorang Sanu yang terlahir dari seorang keluarga sederhana di kotanya mampu membuatku berempati atas semua kerja kerasnya mengadu nasib di kota megapolitan Dubai.

Aku yang khusyu’ mnendengarkan semua ceritanya tiba-tiba melempar pandangan ke arah sebelah. Bus berwarna merah dengan kelir putih itu mendecit singkat, berhenti tepat di sebelah kiriku, meninggalkan hempasan angin yang segar menerpa wajah. Selanjutnya bus itu berhenti dengan mesin yang masih berbunyi langsam.

Umm Suqeim, Sir”, aku sekali lagi memastikan tujuan ketika pengemudi turun dari pintu depan,

Yes, Umm Suqeim”, jawab pengemudi asal Bangladesh itu. Aku faham kebangsaan pengemudi itu karena dengan jelas melihat emblem bendera Bangladesh di tas pinggang yang dia kenakan.

Aku dan Sanu pun bergegas memasuki bus. Men-tap Nol Card yang kami miliki, lalu duduk di bangku sedikit di belakang dan untuk beberapa menit kemudian, kami menunggu bus kembali berangkat di rutenya.

Perjalanan sepanjang hampir dua puluh kilometer ini harus ditebus dengan tarif sebesar 5 Dirham. Aku mengetahuinya ketika men-tap Nol Card di automatic fare collection machine yang terletak di salah satu tiang bus.

Menjelang pukul satu siang, bus mulai merangsek keluar dari Al Ghubaiba Bus Station, melintasi Al Khaleej Street, melalui kawasan Al Rifa yang menampilkan perpaduan kawasan pemukiman elit, pusat perbelanjaan dan beberapa brand hotel ternama. Sedangkan di sisi barat perjalanan adalah penampang melebar Mina’ Rashid. Pelabuhan itu dinamakan demikian untuk menghormati mendiang Sheikh Rashid bin Saeed Al Maktoum yang merupakan Emir dari Emirat Dubai.

Perjalanan berlanjut di kawasan Al Mina, sebuah kawasan yang lebih didominasi oleh deretan apartemen mewah dan hotel-hotel mewah semacam Crowne Plaza, Hyat dan Hilton. Bus yang kunaiki terus melaju di jalanan lebar Al Mina Street.

Interior Dubai Bus No. 8
Al Mina Street.
Turun di halte bus Umm Suqeim, Park 1.
SPBU Emarat, perusahaan minyak milik pemerintah UEA.
Dubai Bus No. 8 melanjutkan perjalanan setelah menurunkanku di tujuan.

Lepas melintasi kawasan Al Mina maka untuk selanjutnya perjalanan selama hampir satu jam itu, sebagian porsinya dihabiskan di sepanjang Jumeirah Beach Road yang merupakan ruas jalan utama di sepanjang pantai utara Dubai. Jalanan selebar hampir tiga puluh meter itu memiliki tiga ruas di setiap arahnya. Sedangkan deretan pohon palem tampak berjajar rapi membatasi kedua arahnya.

Aku yang gelisah dengan terus memandangi penunjuk waktu di gawai pintar selalu berharap eksplorasi di destinasi terakhir itu tidak ada kendala apapun yang menghadang. Adanya sedikit saja kendala akan memperkecil peluangku dalam mengejar keberangkata Swiss Air LX 242 menuju Muscat pada malam harinya.

Menjelang pukul dua siang, bus pun tiba di destinasi yang kutuju. Aku diturunkan di halte bus Umm Suqeim, Park 1.

Aku bersiap melakukan eksplorasi terakhir di Dubai.

Kisah Selanjutnya—->

Al Ghubaiba Bus Station: Menunggu Dubai Bus No. 8

<—-Kisah Sebelumnya

Tepat tengah hari aku terduduk di pelataran utara Al Fahidi Fort. Aku duduk tepat di depan Dhow Boat –perahu tradisional khas Timur Tengah– yang menjadi property milik Dubai Museum. Sementara sang surya menyelinap malu di balik gumpalan awan yang melindungi kota dari sinar teriknya.

Para pengunjung masih berlalu lalang di hadapan demi menikmati nostalgia masa lalu Dubai di seantero museum. Sementara aku sedang berpikir keras, mencoba mempertaruhkan waktu antara menyudahi petualangan atau menambah lagi satu area destinasi.

Destinasi itu berjarak hampir dua puluh kilometer di arah selatan, tepat di pesisir pantai Jumeirah. Daerah itu bernama Umm Suqeim, area pantai dimana bangunan hotel ternama Burj Al Arab berada. Letaknya di sebelah utara pulau reklamasi elit Palm Jumeirah yang kukunjungi sehari sebelumnya.

Aku berpikir keras karena siang itu aku mulai memiliki faktor pembatas, yaitu penerbangan menuju Muscat pada malam harinya.

Kuperkirakan membutuhkan waktu tak kurang dari tiga setengah jam untuk perjalanan pulang pergi hingga tiba di penginapan kembali. Tentu aku harus kembali ke penginapan untuk mengambil backpack yang kutitipkan di Zain East Hotel semenjak check-out pagi hari sebelumnya.

Sementara itu, paling tidak membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mengeksplorasi kawasan Umm Suqeim. Jadi paling tidak aku akan sampai kembali di penginapan pada pukul enam sore. Penerbanganku ke Muscat sendiri akan dimulai pada pukul sembilan malam.

“Tidak usah ragu, Donny….Masih cukup waktu untuk melakukan eksplorasi tambahan…Cepat….Cepat….Cepat”, aku meyakinkan diriku sendiri untuk membuang rasa ragu

Aku pun segera menetapkan rute dan titik tolak untuk berangkat. Aku yang tak memiliki kuota internet lagi, segera memahami peta secara manual. Beruntung sebuah aplikasi berbasis peta memecahkan permasalahan itu, aku diarahkan oleh aplikasi itu untuk menggunakan jasa Dubai Bus No. 8 yang berangkat dari Al Ghubaiba Bus Station.

Kuperhatikan dengan cemat di dalam peta digital bahwa terminal bus itu berada sekitar satu setengah kilometer di barat tempatku berdiri, Dubai Museum.

Aku segera mengayunkan langkah cepat menujunya. Aku tiba dalam dua puluh menit, dengan nafas tersengal aku memasuki terminal itu dari sisi 16th Street di sisi barat terminal.

Begitu memasuki area terminal aku terdiam sejenak. Memperhatikan segenap penjuru terminal. Aku menyunggingkan senyum oleh karena perwujudan terminal yang diluar dugaanku sendiri. Al Ghubaiba Bus Station hanyalah sebuah tanah lapang beraspal yang disekat sekat dengan concrete barrier. Hanya ada beberapa platform yang diberikan atap, sisanya adalah tanah lapang dengan tiang-tiang penanda rute.

Dari sekian luas terminal, tentu akan membutuhkan banyak waktu jika aku harus menyisirnya satu per satu demi menemukan platform dimana Dubai Bus No. 8 akan berangkat. Untuk menyingkat waktu itu, aku bertanya ke seorang petugas terminal yang tampak mengatur lalu lintas di dalamnya.

“Over there…In west side near McDonald’s outlet, Sir”, petugas itu menjelaskan sembari menunjukkan tangannya jelas ke satu titik.

Hanya sedikit bagian dar terminal yang berkanopi.
Mari lihat lebih dekat!
Penampakan sebagian besar terminal. Area terbuka yang luas.
Platform Dubai Bus No.8 dengan tujuan akhir Ibn Battuta Metro Station.

Dengan petunjuk itu, aku pun menemukan platform dengan mudah. Dan ketika berdiri di depan platform, naluri blogger mendorongku untuk segera mengambil beberapa foto yang kuanggap perlu.

Wait….Wait….Wait. Don’t take picture with me in it”, tegur seorang pria India yang duduk di bangku platform. Dia mendekatiku dan memintaku memperlihatkan foto yang baru saja kuambil. Aku pun mengabulkannya.

Yes…this….you must delete this photo”, dia menunjuk ke layar kamera mirrorlessku.

Okay, Sir…No Matter, I deletes it now”, aku menenangkannya.

Usai kejadian itu, aku pun duduk bersebelahan dengannya dan kami berdua malah bercakap akrab sembari menunggu kedatangan bus.

Sebut saja namanya Sanu yang merantau dari tempat kelahirannya di India demi mengadu nasib di kota megapolitan Dubai.

Percakapan hangat itu terasa begitu cepat dan segera terhenti karena Dubai Bus No. 8 telah tiba di platform.

Saatnya menuju Umm Suqeim….

Kisah Selanjutnya—->

Dubai Museum: Bagian dari Tembok Kota Bur Dubai

<—-Kisah Sebelumnya

Membelakangi Bur Dubai Al Kabeer Masjid, aku menatap kuat bangunan mirip benteng di hadapan. Aku berdiri tepat di sisi utaranya dan tampak area parkir sisi utara itu dipenuhi oleh kendaraan. Sebuah pertanda bahwa bangunan benteng itu sedang ramai dikunjungi para wisatawan.

Kuperhaikan jelas bahwa keramaian itu terletak di sisi barat benteng, tampak bendera Uni Emirat Arab berkibar megah berdampingan dengan bendera Dubai Culture & Arts Authority di sisi itu.

“Itu pastilah pintu masuk menuju benteng”, aku mengambil kesimpulan cepat.

Kuputuskan untuk berjalan melingkar memotong arus Ali bin Abi Taleb Street dan aku berhasil mencapai sisi barat benteng dengan cepat. Benteng itu terletak berseberangan dengan gedung Kementrian Keuangan Uni Emirat Arab.

Dubai Museum”, aku membaca papan nama itu.

Memasuki area depan maka pemandangan tiga buah meriam kuno menyambutku. Hanya perlu membayar uang masuk sebesar 3 Dirham untuk bisa menikmati sisi dalam Dubai Museum.

Inilah bekas benteng abad ke-18 yang kini bertransformasi menjadi museum pameran multimedia tentang sejarah & warisan budaya lokal. Al Fahidi Fort adalah nama asli benteng tersebut.

Di dalamnya tertampil sejarah Dubai sebelum minyak bumi ditemukan di Uni Emirat Arab. Disebutkan pada masa itu, mayoritas warga lokal masih memperjuangkan ekonominya dengan menyelam untuk berburu mutiara dan mencari ikan.

Perahu-perahu masa lalu yang berusia lebih dari seabad dan digunakan untuk berburu hasil laut pun ditampilkan di museum ini.

Tak tanggung-tanggung, pemerintah Uni Emirat Arab menyediakan lahan seluas lebih dari satu hektar untuk menempatkan Dubai Museum di kawawan Al Fahidi Historical District tersebut.

Sisi utara Al Fahidi Fort.
Yuk masuk….
Ini dia bagian depannya.
Dinamakan juga sebagai Dubai Museum.
Dubai Museum sisi selatan.

Dari papan informasi di pintu museum, aku mengetahui informasi mengenai waktu berkunjung di Dubai Museum, yaitu hari Sabtu hingga hari Kamis (pukul 08:30 sd 20:30), hari Jum’at (pukul 14:30 sd 20:30) dan Hari Libur Nasional (pukul 08:30 sd 20:30).

Larangan umum seperti menyentuh benda bersejarah di dalam museum, makan dan minum di dalam museum, merokok, membuang sampah sembarangan, anak-anak harus ditemani orang dewasa dan pengawasan oleh CCTV sudah pasti ada pada papan informasi

Namun dua hal yang membuatku antusias yaitu larangan membawa tas berbobot berat ke dalam museum, jika pengunjung membawa tas jenis itu maka dia harus menaruhnya di pos keamanan. Satu lagi yang membuatku hatiku riang adalah tersedianya pemandu wisata gratis untuk pengunjung.

Pemandu wisata gratis inilah yang kumanfaatkan sebaik mungkin untuk menjelajah seisi museum dengan banyak informasi yang kuterima.

Pemandu wisata itu menjelaskan dengan gamblang bahwa tembok kota adalah wujud arsitektur yang menonjol dari konteks perkotaan pada kota-kota tua. Tembok tersebut mengelilingi kota untuk bertahan dan menyelamatkan mereka dari serangan musuh. Sepanjang sejarah, terdapat banyak contoh dinding kota yang memainkan peranan penting dalam melindungi kota, sebut saja Kota Kairo, Damaskus dan Baghdad.

Di masa lalu, Kota Dubai sendiri memiliki dua tembok kota. Tembok kota tertua dibangun di kawasan Bur Dubai yang dibangun pada tahun 1.800. Tembok itu mengelilingi kota tua yang didalamnya termasuk Al-Faheidi Fort, Masjid Agung Bur Dubai, dan perumahan warga. Sedangkan tembok kota kedua dibangun di Distrik Deira yang dibangun pada pertengahan Abad ke-19.

Tembok kota Bur Dubai dibangun menggunakan batu koral dan gypsum. Ketebalannya mencapai 50 cm, dengan panjang tak kurang dari 600 meter dan ketinggian mencapai 2,5 meter. Sayangnya di permulaan Abad ke-20, tembok kota itu dihancurkan untuk mengakomodasi pemekaran kota.

Satu-satunya bukti tersisa dari tembok kota tersebut tentunya adalah pondasinya yang kemudian direstorasi pada tahun 2001 oleh Bagian Bangunan Bersejarah Pemerintah Kota Dubai.

Hmhhh….Menarik ya.

Jadi inget tembok kota Batavia yang ditemukan pula pondasinya…..

Kisah Selanjutnya—->