Menyeberang Dubai Creek Menuju Bur Dubai

<—-Kisah Sebelumnya

Surya mulai sedikit tergelincir menuju ufuk barat, tapi udara masihlah kering dan menyengat. Kuperhatikan kulitku semakin legam saja sejauh petualangan berjalan.

Sangkala bertengger di angka satu waktu setempat, bertepatan dengan rasa gembiraku karena telah menyentuh garis finish dalam mengeksplorasi kawasan heritage Al Ras di Distrik Deira. Tak kurang dari sepuluh spot warisan yang berhasil aku tengok di kawasan tersebut.

Pada akhir tahapan, aku berdiri di Deira Old Souq Water Taxi Station demi menunggu kedatangan perahu tradisional sebagai satu akses terbaik dan terhemat menuju kawasan Bur Dubai yang berlokasidi seberang selatan Dubai Creek.

Tak perlu menunggu lama, perahu penuh penumpang itu tiba. Merapat pelan ke dermaga dan mengantarkan setiap penumpangnya menuju ke tepian sungai.

Beberapa menit merapat, perahu itu telah kosong kembali. Tampak pengemudinya keluar dari lambung perahu dimana mesin ditempatkan. Kemudian mengambil sebuah jerigen bahan bakar yang diberikan oleh rekannya dari tepian sungai. Tampaknya sang pengemudi sedang mengisi bahan bakar untuk operasional perahu tersebut.

Tak lama tentunya….

“Come…Come….”, pengemudi perahu berperawakan khas Asia Selatan itu melambaikan tangannya kepada calon penumpang yang berada di dermaga.

Tanpa keraguan, aku pun melompat ke atas perahu dengan senang hati walaupun itu bukan kali pertama aku menaiki perahu.

Beda, Boy….ini perahu di Dubai. Perahu yang sering kulihat di layar televisi ketika menyaksikan program siaran TV tentang pariwisata Dubai….Bersyukur sekali, aku benar-benar menaikinya sekarang”, hatiku bergumam menang.

Dalam sekejap perahu itu telah penuh penumpang, sang pengemudi pun berkeliling menarik ongkos kepada segenap penumpangnya. Aku menyerahakan koin seharga 1 Dirham kepadanya sebagai biaya menyeberangi Dubai Creek yang memiiki lebar tak kurang dari dua ratus meter.

Deira Old Souq Water Taxi Station.
Menuju ke perahu.
Perahu pun tiba.
Itu tuh pelampungnya.
Gaya banget sih….Wkwkwk.
Dubai Creek yang tenang.
Bur Dubai Water Taxi Station.

Kuperhatikan dengan seksama bahwa taksi air itu memiliki kapasitas 20 penumpang dengan tempat duduk saling berpunggungan . Taksi air itu memilik panjang hampir 12 meter, memiliki naungan di atas bangku penumpang dimana sisi atap bagian dalamnya dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan pelampung.

Perahu pun mulai melintasi Dubai Creek . Saat itu, permukaan sungai memiliki riak yang cukup tenang sehingga membuat hati sedikit tenang ketika melakukan penyeberangan. Hanya butuh waktu kurang dari lima menit untuk menyeberangi Dubai Creek.

Kuperhatikan dengan seksama bahwa perahu itu tidak berlayar dengan jalur pelayaran yang tegak lurus dengan badan sungai melainkan memiliki jalur pelayaran sedikit menyerong ke arah barat.

Setiba di bagian seberang sungai, aku diturunkan di Bur Dubai Water Taxi Station. Yang kuingat hanyalah dua nama distrik yang mengapit dermaga tempatku diturunkan, yaitu Historical Shindagha District yang berada di utara dari tempatku berdiri dan Al Fahidi Historical District di sisi selatannya.

Lalu….Kemanakah aku harus melangkah?

Kisah Selanjutnya—->

Mencari Souvenir di Grand Souq Deira

<—-Kisah Sebelumnya

Melewati Utensils Market.

Suhu udara mulai panas ketika aku keluar dari Museum of the Poet Al-Oqaili. “Pantas saja….Ini hampir tengah hari”, aku membatin kecut sembari menengadahkan muka ke langit. Surya sedang memamerkan terik yang teramat sangat siang itu.

Aku bergegas mencari perlindungan di gang-gang sempit beratap di selatan museum. Aku pun segera tersadar bahwa langkah kaki itu tepat berada di kompleks pasar yang cukup ramai dengan pedagang-pedagang dengan wajah khas Asia Selatan, kebanyakan Pakistan menurutku.

Pada langkah selanjutnya aku telah berada di salah satu koridor “Perfume Market”, kuperhatikan koridor pasar itu terletak bersebelahan dengan “Utensils Market” yang jelas menawarkan barang dagangan berupa perkakas-perkakas rumah tangga.

Melewati dua penjaga yang berbeda kios, aku mulai merasakan atmosfer perniagaan di salah satu sisi Kawasan Al-Ras, tepatnya di tepian Dubai Creek.

Dengan cepat aku melewatkan perniagaan di “Utensils Market” dan mulai melangkah di harumnya koridor “Perfume Market”. Kuperhatikan di beberapa kios, para pedagang menyediakan parfum merek internasional. Selain itu pasar ini menjual beberapa merek lokal yang aku sendiri cukup familiar dengan salah satu nama brandnya, yaitu “Oud” yang merupakan parfum khas Jazirah Arab yang diproduksi dengan cara mengekstraksi kayu Oud. Di Indonesia, mungkin kayu Oud ini masih sebangsa dengan kayu Gaharu.

Aku terus menikmati paparan masif aroma amber, melati atau musk. Hingga akhirnya tak terasa langkahku tiba di Al Abra Steet.

Aku terus saja melangkahkan kaki ke selatan. Benar saja seperti dugaanku, aku menemukan jenis pasar lain tepat di sisi utara Dubai Creek. Grand Souq Deira adalah nama pasar yang tepat berada di depan pandanganku.

Aku tak segera memasuki pasar, melainkan memilih mengamati sekitar pasar terlebih dahulu. Menengok ke arah kanan, langkahku kini telah terbatasi oleh Baniyas Steet. “Aku sudah berada di ujung selatan kawasan Al- Ras”, aku berseru girang pertanda akan segera mencari destinasi baru ketika keluar dari kawasan tersebut nantinya.

Sedangkan sebuah area parkir lebar berhasil memisahkan jalan utama tersebut dengan pasar di sisi utaranya.

Grand Souq Deira nyatanya terletak di dekat Kawasan Pelabuhan. Adapun pasarnya terletak memanjang di sisi utara Baniyas Road, dibatasi Al Abra Street di sisi barat dan Old Baladiya Street di sisi timur. Pasar ini diposisikan tepat di sebuah koridor sepanjang kurang lebih 150 meter.

Berikutnya aku tanpa ragu mulai memasuki ujung koridor sisi barat Grand Souq Deira. Perlahan aku mengamati barang dagangan yang ditawarkan di sepanjang kios. Tampak kios-kios itu menawarkan  barang dagangan seperti mainan, barang-barang rumah tangga, dan berbagai hadiah serta souvenir.

Aku segera beride untuk mencari souvenir buat diri-sendiri. Tanpa kesusahan yang berarti, akhirnya aku masuk ke salah satu kios. Dengan cepat aku mencari sebuah fridge magnet berbahan logam yang dipajang di etalase gantung, mengambilnya satu buah dan membayarnya kepada sang penjual.

Gerbang barat Grand Souq Deira.
Rempah dan obat.
Koridor Grand Souq Deira,
Rempah dan obat.
Gerbang timur Grand Souq Deira.
Bersama Mr. Mousa.

“How much is it, Sir?”

“15 Dirham”

“Can me buy it for 10 Dirham, Sir?”, aku mulai meawar.

“It’s Okay, no matter….Why do you buy one only?”, pertanyaan pembuka sang pemilik toko untuk melakukan  penjualan berantai.

“Oh, it’s just for myself to memorizing my trip, Sir….What is your name, Sir?” jawabku singkat sembari mengajak berkenalan.

“I’m Mousa from Kabul, Sir”. Jawabnya sambil tersenyum.

“Call me Donny, I’m Indonesian”, aku menutup pertanyaan.

Usai membayar aku pun bergegas untuk meninggalkan pasar berusia 172 tahun tersebut.

Selamat tinggal Grand Souq Deira…..

Kisah Selanjutnya—->

Museum of the Poet Al-Oqaili: Warisan Sepanjang Generasi

<—-Kisah Sebelumnya

Lepas mengunjungi Traditional Spices Market, menjelang pukul setengah sebelas pagi aku kembali turun ke jalanan. Bukan di Al Ahmadiya Street lagi, melainkan Al Ras Road yang kini kutapaki. Aku kembali berbalik ke utara, mencari keberadaan bangunan warisan masa lalu Dubai lainnya di wilayah Al-Ras.

Melangkah kurang lebih sejauh tiga ratus kilometer akhirnya aku menemukan satu lagi spot heritage yang cukup besar dan terawat dengan baik, bangunan itu adalah Museum of the Poet Al-Oqali.

Disebut juga sebagai Al-Oqaili Poet Museum. Ketika berada di depan halamannya, aku mulai membaca informasi yang terpampang di pintunya. Dari informasi itu, aku mendapatkan keuntungan besar karena museum ini bisa dikunjungi secara cuma-cuma dan kebetulan sekali aku mendatanginya tepat pada pada waktu buka museum dimana museum akan menerima tamu pada hari Minggu hingga Kamis dari pukul 08:00 sampai dengan 14:00 waktu setempat.

Museum di hadapanku itu memiliki dua lantai dengan keseluruhan 11 ruangan dengan fungsi berbeda.

Ground Floor memiliki enam ruangan, meliputi ruangan Al-Oqaili’s Life, Classical Poetry, Local Style Poetry (Nabati), Al-Oqaili’s Correspondences, Kitchen dan Administration Room

Sedangkan First Floor memiliki lima ruangan yang meliputi ruangan Cultural & Socil Life, Al-Oqaili’s Manuscripts, Restoration of the House, Al-Majlis dan Books on Al-Oqaili’s.

Memasuki pintu museum aku langsung disambut oleh seorang front staff berkebangsaan Nigeria, Mr. Chamakh namanya. Hanya perlu untuk mengisi buku tamu maka aku pun dipersilahkan olehnya untuk mengeksplorasi seisi museum.

Berikut beberapa informasi yang kudapatkan selama satu jam lamanya berada di museum.          

Penyair terkenal Mubarak Bin Hamad Bin Mubarak Al Oqaili garis keturunannya dihubungkan dengan Al Manea yang merupakan bagian dari keluarga Bani Oqaili. Sedangkan Bani Oqaili memiliki garis keturunan dari Bani Khaled yang terhubung dengan keluarga dari Rabiah Ibn Amir yang merupakan salah satu suku terkenal Modhar Adnan di Semenanjung Arab. Garis keturunan ini sangat jelas dituturkan dalam beberapa puisi Al-Oqaili.

Al-Oqaili lahir di Al-Ahsa, sebuah area di sebelah timur semenanjung Arab pada tahun 1875. Ayah Al-Oqaili sendiri meninggal di Oman ketika beliau terjatuh dan terinjak oleh unta. Kemudian Sheikh Ibrahim bin Mohammed Al-Mubarak mengajarinya yurisprudensi dan literasi Arab. Berkat pendidikan yang diterimanya maka Al-Oqaili semakin tertarik untuk berburu ilmu pengetahuan dan gemar membaca yang merupakan dua hal utama yang mempengaruhi pemikiran dan kehidupan literasinya. Hal ini tercermin pada puisi-puisi penuh makna yang dibuatnya.

Ketika Mubarak Al-Oqaili dibebaskan dari penjara Al-Ahsa setelah menempuh hukuman selama masa pemerintahan Dinasti Ustmaniyah karea pengkhianatan beberapa kerabatnya yang beremigrasi ke Irak dan kemudian beliau hidup dalam beberapa batasan dari Emir Saleh Al Mansur, salah satu penguasa Al Mintefeq di Al-Nasiriyah.

Sepeninggal Emir Saleh Al Mansur, Mubarak Al-Oqaili pun mulai berpergian ke Dubai, Oman, Abu Dhabi dan Bahrain hingga beliau menetap di Dubai pada masa pemerintahan Sheikh Butti Bin Suhail Al-Maktoum yang memerintah Emirat Dubai pada tahun tahun 1906-1912. Beliau kemudian membangun sebuah rumah di wilayah Al-Ras di Distrik Deira pada tahun 1923 dan mulai membuat sebuah Majlis yang sering dikunjungi oleh para pemikir, ilmuwan, sastrawan dan orang-orang suci lainnya.

Bagian depan Museum of the Poet Al-Oqaili
Ruangan pertama setelah pintu masuk.
Dapur.
Meja yang digunakan oleh Mubarak Al Oqaili
Majlis.
Dokumen milik Mubarak Al Oqaili.
Nah itulah wjah Mubarak Al Oqaili.
Mr. Chamakh meminta foto buat bukti kunjungan, aku pun meminta foto juga kepadanya buat kenang-kenangan.

Penyair Mubarak Al-Oqaili tutup usia di Al-Ras pada usia 81 tahun. Beliau tidak menikah dan tidak berputra. Beliau hanya meninggalkan rumah semata di daerah Al-Ras yang kemudian sepupunya yang berasal dari Arab Saudi mewarisi rumahnya tersebut.

Mubarak Al-Oqaili adalah penyair yang bijaksana dan bertalenta. Kehidupan penyair agung tersebut memang telah berakhir, akan tetapi warisan literasi tertulis dalam bentu puisi dan prosanya akan senantiasa dikenang dan diapresiasi di sepanjang masa dan generasi.

Dan isu-isu yang menarik bagi Mubarak Al-Oqaili selalu tercermin dalam hidup dan karya puisinya. Dalam pendapatnya terkait perhatian terhadap Bahasa Arab Klasik yang bersumber dari Al-Qur’an maka beliau mengriktik mereka yang berusaha berkomunikasi dalam bahasa asing dengan alasan mengikuti kemajuan peradaban.

Al-Oqaili adalah penyair kotemporer yang hidup dan menanggapi isu-isu bangsanya serta mengritik kepada mereka yang dianggap kurang benar.

Dalam beberapa informasi yang terpampang di museum, ditunjukkan beberapa hal terkair Al-Oqaili, seperti sikap Al-Oqaili terhadap isu Palestina, alur waktu kehidupan Al-Oqaili, puisi-puisi korespondensi, kata-kata bijak Al-Oqaili, puisi terkait cinta, puisi terkait sejarah bangsanya, puisi elegi (ungakapan duka cita) dan puisi pujian kepada pemimpin bagsanya

Mengunjugi Museum of the Poet Al-Oqaili telah menjadi pengalaman menarik selama masa eksplorasiku di Emirat Dubai.

Nah, kamu juga harus ke museum ini ya jika berkunjung ke Dubai.

Keren lho…..

Kisah Selanjutnya—->

Traditional Spices Market: Berburu Kashmir Shawl

<—-Kisah Sebelumnya

Menjelang pukul sepuluh pagi, aku meninggalkan Al Ahmadiya School yang berlokasi di dalam sebuah gang di tepian Al Ahmadiya Street. Aku sudah ikhlas dalam menerima ketidakberuntunganku karena tidak bisa memasuki tiga peninggalan sejarah, yaitu Al Bait Al Qadeem Restaurant and Cafe, Heritage House dan Al Ahmadiya School yang dua dari ketiganya tampak menutup diri dari para pengunjung karena proses perbaikan.

Beberapa waktu kemudian aku sudah melangkah kembali di Al Ahmadiya Street, menuju ke selatan, tepat ke arah Dubai Creek.

Perlu kamu ketahui bahwa Ahmadiya Street adalah jalan sepanjang setengah kilometer yang membelah kawasan Al Ras tepat di tengahnya. Jalan ini membentang dari utara ke selatan dengan jalur satu arah dan berkarakter memiliki arus kendaraan dengan kecepatan rendah, sedangkan jalur pedestrian di kedua tepinya dibuat dengan ukuran yang lebar demi memfasilitasi wisatawan yang mengunjungi kawasan heritage tersebut.

Sementara itu dalam setiap hentakan langkah, niatanku tak ingin terburu waktu dalam menggapai tepian Dubai Creek. Aku masih berharap menemukan peninggalan penting dari masa lalu lainnya di kawasan heritage tersebut.

Memandangi awas setiap sisi jalanan, menatap satu per satu papan petunjuk jalan, maka aku berusaha keras menemukan spot-spot bersejarah lain.

Dan ternyata, keberuntungan kembali berpihak kepadaku, tepat di sisi kiri jalanan yang kulewati, berjarak tak lebih dari tiga ratus meter, aku kembali dihadapkan pada sebuah spot bersejerah.

Adalah sebuah pasar yang dikelilingi tembok tinggi dengan luas hampir seribu meter persegi dengan dindang berwarna coklat tua. “Traditional Spices Market”, nama pasar tradisional tersebut.

Tepat di depan pasar itu, aku berdiri terkagum, memperhatian arsitektur kuno pasar yang sederhana tetapi mencerminkan kekuatan konstruksi yang digdaya, tebal, mengandalkan bentuk persegi dan memiliki ketinggian yang lebih dari cukup untuk mengamankan kondisi di dalam pasar.

Sesaat kemudian, tanpa ragu aku mulai memasuki bagian dalam pasar rempah tradisional tersebut. Satu hal dominan yang kental tertampil di dalam lingkungan pasar tersebut adalah kesibukan para penjual dalam menyiapkan aneka rempah di depan kiosnya masing-masing.

Karena ini adalah pasar rempah maka aroma kuat dari rempah-rempah sangat tercium lekat di hidungku. Justru aku menikmati aroma itu dan membuatku betah untuk berlama-lama berada di pasar itu.

Mengelilingi pasar lebih dalam, aku mulai menemukan kedai-kedai jenis lain, seperti pakaian, sepatu dan souvenir yang penjualnya tampak ramai berbisnis di beberapa titik di dalam bangunan pasar. Sedangkan jenis dagangan yang berupa makanan, seperti berbagai macam permen, manisan khas Timur Tengah, kacang-kacangan dan teh masih bisa ditemukan di beberapa sisi pasar jika para pengunjung bisa mengekplornya dengan cermat.

Sedangkan beberapa toko lainnya lagi tampak menjual Kashmir Shawl (selendang kas khasmir), wewangian, permadani, dupa dan artefa. Aku melihatnya sekilas di salah satu sudut pasar.

Mengelilingi area Traditional Spices Market di bagian dalam dengan barang-barang dagangan yang jarang kulihat, berhasil menumbuhkan rasa antusias sehingga tak terasa bahwa selama satu jam lamanya aku telah berada di dalam pasar itu.

Memang sesuatu yang berhubungan dengan pasar dan berbelanja akan membuat siapapun terlupa jika sedang berkunjung ke tempat baru.

Kisah Selanjutnya—->

Heritage House: Mendengar Usul Sang Pangeran

<—-Kisah Sebelumnya

Destinasi berikutnya….Masih berlokasi di Kawasan Heritage Distrik Deira….Adalah Heritage House.

Lokasi Heritage House ini tepat berada bersebelahan dengan Al Bait Al Qadeem Restaurant and Cafe, di sisi selatannya. Tentunya Heritage House ini lebih menjulang tinggi karena memiliki dua lantai secara keseluruhan, memiliki warna coklat tua dan memiliki luasan hampir 500 meter persegi.

Terletak di tepi Al Ahmadiya Street, bangunan bersejarah ini pun tampak tutup saat aku menyambanginya. Aku mencoba mencari tahu dari warga yang melintas di depannya.

This house is under renovation, Sir”, ucap seorang dari mereka yang mengerti pertanyaan yang kulontarkan.

“Damn….Kenapa harus tutup segala sih….Hmhh”, aku mengeluh berat atas ketidakberuntunganku sendiri.

Aku segera mengambil keputusan. Melakukan eksplorasi-eksplorasi kecil di sekitar Heritage House menjadi hal terbaik daripada aku pergi begitu saja tanpa hasil.

Hal pertama yang kulakukan kemudian adalah mencoba melihat bentuk asli Heritage House dari sudut pandang yang lebih luas dan lebar. Cara terbaik untuk bisa melakukan itu adalah dengan menyeberangi Al Ahmadiya Street dan mengambil titik pandang dari trotoar seberang.

Aku menarik nafas panjang ketika berhasil melihat bentuk rumah ini secara utuh….”Benar-benar klasik”, aku membatin kagum.

Aku terus memandangi rumah berusia 132 tahun yang dibangun oleh Matar Saeed bin Mazina itu, bertanya kepada diri sendiri kenapa terdapat 21 jendela besar yang mengelilingi terasnya. Sedangkan balkon sepanjang tak kurang dari lima belas meter membentang megah di lantai duanya. Konon sang pemilik berikutnya yang bernama Sheikh Ahmed bin Dalmouk adalah saudagar mutiara paling terkenal di seantero kawasan Al Ras. Beliau membangun rumah megah ini dari asalnya yang memiliki dua ruangan kamar saja.

Untuk mengurangi rasa penasaran, aku mulai berjalan melalui gang sempit untuk menikmati cipta arsitektur ini lebih dekat. Seperti bangunan-bangunan khas Timur Tengah lainnya, cukup jelas terlihat bahwa pilar-pilar bagian atap bangunan ini menembus tembok-tembok terluarnya.

Sedangkan di salah satu sisi Heritage House, tampak gang sempit itu dilindungi oleh bentangan kain-kain polos berwarna coklat di atasnya. Sudah bisa ditebak bahwa hal ini dilakukan untuk mengurangi daya sengat matahari ketika siang tiba, sehingga bisa membuat nyaman para pengunjung.

Jendela-jendela berukuran kecil yang terlindung oleh teralis-teralis besi itu dibiarkan terbuka, Hal itu memungkinkanku untuk mengintip bagian dalam Heritage House. Membuatku sedikit bisa tersenyum daripada aku tidak bisa melihat sama sekali bagian dalam rumah legendaris tersebut.

Konon, 28 tahun lalu, pemerintah kota Dubai membeli rumah tersebut dari pemilik terakhirnya yaitu Ibrahim Al Said Abdullah dan kemudian mendedikasikan rumah tersebut untuk pelestarian budaya Dubai sekaligus sebagai tempat wisata.

Dan menurut cerita, pemerintah Kota Dubai melakukan semua itu setelah mendapat masukan dari Pangeran Charles dari Kerjaan Inggris yang sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Uni Emirat Arab.

Wah….Keren ya.

Kisah Selanjutnya—->