Dubai Museum: Bagian dari Tembok Kota Bur Dubai

<—-Kisah Sebelumnya

Membelakangi Bur Dubai Al Kabeer Masjid, aku menatap kuat bangunan mirip benteng di hadapan. Aku berdiri tepat di sisi utaranya dan tampak area parkir sisi utara itu dipenuhi oleh kendaraan. Sebuah pertanda bahwa bangunan benteng itu sedang ramai dikunjungi para wisatawan.

Kuperhaikan jelas bahwa keramaian itu terletak di sisi barat benteng, tampak bendera Uni Emirat Arab berkibar megah berdampingan dengan bendera Dubai Culture & Arts Authority di sisi itu.

“Itu pastilah pintu masuk menuju benteng”, aku mengambil kesimpulan cepat.

Kuputuskan untuk berjalan melingkar memotong arus Ali bin Abi Taleb Street dan aku berhasil mencapai sisi barat benteng dengan cepat. Benteng itu terletak berseberangan dengan gedung Kementrian Keuangan Uni Emirat Arab.

Dubai Museum”, aku membaca papan nama itu.

Memasuki area depan maka pemandangan tiga buah meriam kuno menyambutku. Hanya perlu membayar uang masuk sebesar 3 Dirham untuk bisa menikmati sisi dalam Dubai Museum.

Inilah bekas benteng abad ke-18 yang kini bertransformasi menjadi museum pameran multimedia tentang sejarah & warisan budaya lokal. Al Fahidi Fort adalah nama asli benteng tersebut.

Di dalamnya tertampil sejarah Dubai sebelum minyak bumi ditemukan di Uni Emirat Arab. Disebutkan pada masa itu, mayoritas warga lokal masih memperjuangkan ekonominya dengan menyelam untuk berburu mutiara dan mencari ikan.

Perahu-perahu masa lalu yang berusia lebih dari seabad dan digunakan untuk berburu hasil laut pun ditampilkan di museum ini.

Tak tanggung-tanggung, pemerintah Uni Emirat Arab menyediakan lahan seluas lebih dari satu hektar untuk menempatkan Dubai Museum di kawawan Al Fahidi Historical District tersebut.

Sisi utara Al Fahidi Fort.
Yuk masuk….
Ini dia bagian depannya.
Dinamakan juga sebagai Dubai Museum.
Dubai Museum sisi selatan.

Dari papan informasi di pintu museum, aku mengetahui informasi mengenai waktu berkunjung di Dubai Museum, yaitu hari Sabtu hingga hari Kamis (pukul 08:30 sd 20:30), hari Jum’at (pukul 14:30 sd 20:30) dan Hari Libur Nasional (pukul 08:30 sd 20:30).

Larangan umum seperti menyentuh benda bersejarah di dalam museum, makan dan minum di dalam museum, merokok, membuang sampah sembarangan, anak-anak harus ditemani orang dewasa dan pengawasan oleh CCTV sudah pasti ada pada papan informasi

Namun dua hal yang membuatku antusias yaitu larangan membawa tas berbobot berat ke dalam museum, jika pengunjung membawa tas jenis itu maka dia harus menaruhnya di pos keamanan. Satu lagi yang membuatku hatiku riang adalah tersedianya pemandu wisata gratis untuk pengunjung.

Pemandu wisata gratis inilah yang kumanfaatkan sebaik mungkin untuk menjelajah seisi museum dengan banyak informasi yang kuterima.

Pemandu wisata itu menjelaskan dengan gamblang bahwa tembok kota adalah wujud arsitektur yang menonjol dari konteks perkotaan pada kota-kota tua. Tembok tersebut mengelilingi kota untuk bertahan dan menyelamatkan mereka dari serangan musuh. Sepanjang sejarah, terdapat banyak contoh dinding kota yang memainkan peranan penting dalam melindungi kota, sebut saja Kota Kairo, Damaskus dan Baghdad.

Di masa lalu, Kota Dubai sendiri memiliki dua tembok kota. Tembok kota tertua dibangun di kawasan Bur Dubai yang dibangun pada tahun 1.800. Tembok itu mengelilingi kota tua yang didalamnya termasuk Al-Faheidi Fort, Masjid Agung Bur Dubai, dan perumahan warga. Sedangkan tembok kota kedua dibangun di Distrik Deira yang dibangun pada pertengahan Abad ke-19.

Tembok kota Bur Dubai dibangun menggunakan batu koral dan gypsum. Ketebalannya mencapai 50 cm, dengan panjang tak kurang dari 600 meter dan ketinggian mencapai 2,5 meter. Sayangnya di permulaan Abad ke-20, tembok kota itu dihancurkan untuk mengakomodasi pemekaran kota.

Satu-satunya bukti tersisa dari tembok kota tersebut tentunya adalah pondasinya yang kemudian direstorasi pada tahun 2001 oleh Bagian Bangunan Bersejarah Pemerintah Kota Dubai.

Hmhhh….Menarik ya.

Jadi inget tembok kota Batavia yang ditemukan pula pondasinya…..

Kisah Selanjutnya—->

Bur Dubai Al Kabeer Masjid: “I Don’t Understand What You Say”

<—-Kisah Sebelumnya

Berada di akhir bagian dari Grand Souq-Bur Dubai, aku konsisten melangkahkan kaki di gang-gang sempit di sela-sela bangunan pertokoan.

Untuk berikutnya aku tiba di pelataran luas, aku berdiri terpaku tepat di tengahnya. Di sisi kiriku adalah toko berbentuk klasik dan berukuran besar milik Blossom Trading, di sisi kananku adalah toko modern Al Soroor, di belakangku adalah toko tak kalah modern milik Neelam Khamas Textorium, ketiga toko besar itu adalah outlet pakaian, sedangkan tepat di hadapan sana adalah bangunan dengan bentuk familiar di mataku….Ya, itu sudah jelas sebuah bangunan masjid berukuran besar dan berwarna kecoklatan.

Rasa penasaran akhirnya mengantarkanku untuk mendekati masjid tersebut. Tampak masjid itu dikelilingi oleh trotoar yang bersih dengan pepohonan tinggi yang dibiarkan hidup subur bersandingan di sisi masjid. Juga tampak jelas sebuah rambu-rambu di sisi barat masjid yang melarang parkir kendaraan kecuali bus pariwisata.

Di bagian pojok selatan masjid, tepatnya di sisi utara Ali bin Abi Taleb Street, tampak diberikan penanda penting yang menggantikan sebuah fungsi halte bus, yaitu  “Dubai Old Souk Station” yang kepemilikannya berada di bawah RSA (Roads and Transport Authority).

Tampak pintu utama masjid ditempatkan di sisi utara Ali bin Abi Taleb Street. Tepat di sebelah pintu utama, aku bisa membaca dengan jelas tulisan yang tertera di sebuah plat logam kuningan.

 “Bur Dubai Al Kabeer Masjid”, aku membaca perlahan tulisan itu.

“Oh ini nama masjidnya”, aku membatin.

Dari informasi yang kudapatkan dalam plat logam, jelas bahwa masjid tersebut kepemilikannya berada dibawah Islamic Affairs & Charitable Activities Department. Dan yang perlu diketahui bahwa masjid itu sudah ada sejak awal tahun 1900-an.

Langkahku sempat terhenti di depan pintu utama masjid ketika seorang lelaki berperawakan Asia Selatan menghampiri. Entah dia berbicara apa kepadaku, aku tak memahami bahasanya yang jika kutebak adalah Bahasam asal India. Aku hanya terus mengatakan kepadanya “I don’t understand what you say, Sir”, hingga dia memutuskan meninggalkanku dan menuju orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Pertokoan di sisi barat masjid.
Bur Dubai Al Kabeer Masjid sisi barat.
Bur Dubai Al Kabeer Masjid sisi selatan.
Pintu utama masjid di sisi jalan Ali bin Abi Taleb Street.

Usai kejadian kecil itu, selanjutnya aku mulai memasuki gang di sisi timur masjid. Di bagian ini tampak sederetan toko yang menjual peralatan ibadah umat Hindu. Para pemilik toko-toko tersebut mayoritas adalah warga asal India.  Deretan toko itu menjual bunga-bunga peribadatan, guci dan banyak patung Dewa-Dewi dalam Hindu.

Dan benar adanya, ketika aku berada di sebelah utara masjid, tampak berdiri jelas beberapa kuil peribadatan untuk agama Hindu, diantaranya adalah Shrinath Ji Temple untuk memuja Dewa Krisna dan Shiva Temple untuk memuja Dewa Siwa.

Genap mengelilingi masjid, aku kembali ke sisi Ali bin Abi Taleb Street dan menatap ke depan serta membelakangi masjid.

Tampak bangunan besar nan klasik dengan pelataran yang lebih luas dan dimanfaatkan sebagai area parkir.

“Sepertinya itu bangunan benteng….Lebih baik aku mendekat ke sana untuk mencari tahu”, aku membatin sekaligus menetapkan tujuan.

Kisah Selanjutnya—->