Traditional Spices Market: Berburu Kashmir Shawl

<—-Kisah Sebelumnya

Menjelang pukul sepuluh pagi, aku meninggalkan Al Ahmadiya School yang berlokasi di dalam sebuah gang di tepian Al Ahmadiya Street. Aku sudah ikhlas dalam menerima ketidakberuntunganku karena tidak bisa memasuki tiga peninggalan sejarah, yaitu Al Bait Al Qadeem Restaurant and Cafe, Heritage House dan Al Ahmadiya School yang dua dari ketiganya tampak menutup diri dari para pengunjung karena proses perbaikan.

Beberapa waktu kemudian aku sudah melangkah kembali di Al Ahmadiya Street, menuju ke selatan, tepat ke arah Dubai Creek.

Perlu kamu ketahui bahwa Ahmadiya Street adalah jalan sepanjang setengah kilometer yang membelah kawasan Al Ras tepat di tengahnya. Jalan ini membentang dari utara ke selatan dengan jalur satu arah dan berkarakter memiliki arus kendaraan dengan kecepatan rendah, sedangkan jalur pedestrian di kedua tepinya dibuat dengan ukuran yang lebar demi memfasilitasi wisatawan yang mengunjungi kawasan heritage tersebut.

Sementara itu dalam setiap hentakan langkah, niatanku tak ingin terburu waktu dalam menggapai tepian Dubai Creek. Aku masih berharap menemukan peninggalan penting dari masa lalu lainnya di kawasan heritage tersebut.

Memandangi awas setiap sisi jalanan, menatap satu per satu papan petunjuk jalan, maka aku berusaha keras menemukan spot-spot bersejarah lain.

Dan ternyata, keberuntungan kembali berpihak kepadaku, tepat di sisi kiri jalanan yang kulewati, berjarak tak lebih dari tiga ratus meter, aku kembali dihadapkan pada sebuah spot bersejerah.

Adalah sebuah pasar yang dikelilingi tembok tinggi dengan luas hampir seribu meter persegi dengan dindang berwarna coklat tua. “Traditional Spices Market”, nama pasar tradisional tersebut.

Tepat di depan pasar itu, aku berdiri terkagum, memperhatian arsitektur kuno pasar yang sederhana tetapi mencerminkan kekuatan konstruksi yang digdaya, tebal, mengandalkan bentuk persegi dan memiliki ketinggian yang lebih dari cukup untuk mengamankan kondisi di dalam pasar.

Sesaat kemudian, tanpa ragu aku mulai memasuki bagian dalam pasar rempah tradisional tersebut. Satu hal dominan yang kental tertampil di dalam lingkungan pasar tersebut adalah kesibukan para penjual dalam menyiapkan aneka rempah di depan kiosnya masing-masing.

Karena ini adalah pasar rempah maka aroma kuat dari rempah-rempah sangat tercium lekat di hidungku. Justru aku menikmati aroma itu dan membuatku betah untuk berlama-lama berada di pasar itu.

Mengelilingi pasar lebih dalam, aku mulai menemukan kedai-kedai jenis lain, seperti pakaian, sepatu dan souvenir yang penjualnya tampak ramai berbisnis di beberapa titik di dalam bangunan pasar. Sedangkan jenis dagangan yang berupa makanan, seperti berbagai macam permen, manisan khas Timur Tengah, kacang-kacangan dan teh masih bisa ditemukan di beberapa sisi pasar jika para pengunjung bisa mengekplornya dengan cermat.

Sedangkan beberapa toko lainnya lagi tampak menjual Kashmir Shawl (selendang kas khasmir), wewangian, permadani, dupa dan artefa. Aku melihatnya sekilas di salah satu sudut pasar.

Mengelilingi area Traditional Spices Market di bagian dalam dengan barang-barang dagangan yang jarang kulihat, berhasil menumbuhkan rasa antusias sehingga tak terasa bahwa selama satu jam lamanya aku telah berada di dalam pasar itu.

Memang sesuatu yang berhubungan dengan pasar dan berbelanja akan membuat siapapun terlupa jika sedang berkunjung ke tempat baru.

Kisah Selanjutnya—->

Heritage House: Mendengar Usul Sang Pangeran

<—-Kisah Sebelumnya

Destinasi berikutnya….Masih berlokasi di Kawasan Heritage Distrik Deira….Adalah Heritage House.

Lokasi Heritage House ini tepat berada bersebelahan dengan Al Bait Al Qadeem Restaurant and Cafe, di sisi selatannya. Tentunya Heritage House ini lebih menjulang tinggi karena memiliki dua lantai secara keseluruhan, memiliki warna coklat tua dan memiliki luasan hampir 500 meter persegi.

Terletak di tepi Al Ahmadiya Street, bangunan bersejarah ini pun tampak tutup saat aku menyambanginya. Aku mencoba mencari tahu dari warga yang melintas di depannya.

This house is under renovation, Sir”, ucap seorang dari mereka yang mengerti pertanyaan yang kulontarkan.

“Damn….Kenapa harus tutup segala sih….Hmhh”, aku mengeluh berat atas ketidakberuntunganku sendiri.

Aku segera mengambil keputusan. Melakukan eksplorasi-eksplorasi kecil di sekitar Heritage House menjadi hal terbaik daripada aku pergi begitu saja tanpa hasil.

Hal pertama yang kulakukan kemudian adalah mencoba melihat bentuk asli Heritage House dari sudut pandang yang lebih luas dan lebar. Cara terbaik untuk bisa melakukan itu adalah dengan menyeberangi Al Ahmadiya Street dan mengambil titik pandang dari trotoar seberang.

Aku menarik nafas panjang ketika berhasil melihat bentuk rumah ini secara utuh….”Benar-benar klasik”, aku membatin kagum.

Aku terus memandangi rumah berusia 132 tahun yang dibangun oleh Matar Saeed bin Mazina itu, bertanya kepada diri sendiri kenapa terdapat 21 jendela besar yang mengelilingi terasnya. Sedangkan balkon sepanjang tak kurang dari lima belas meter membentang megah di lantai duanya. Konon sang pemilik berikutnya yang bernama Sheikh Ahmed bin Dalmouk adalah saudagar mutiara paling terkenal di seantero kawasan Al Ras. Beliau membangun rumah megah ini dari asalnya yang memiliki dua ruangan kamar saja.

Untuk mengurangi rasa penasaran, aku mulai berjalan melalui gang sempit untuk menikmati cipta arsitektur ini lebih dekat. Seperti bangunan-bangunan khas Timur Tengah lainnya, cukup jelas terlihat bahwa pilar-pilar bagian atap bangunan ini menembus tembok-tembok terluarnya.

Sedangkan di salah satu sisi Heritage House, tampak gang sempit itu dilindungi oleh bentangan kain-kain polos berwarna coklat di atasnya. Sudah bisa ditebak bahwa hal ini dilakukan untuk mengurangi daya sengat matahari ketika siang tiba, sehingga bisa membuat nyaman para pengunjung.

Jendela-jendela berukuran kecil yang terlindung oleh teralis-teralis besi itu dibiarkan terbuka, Hal itu memungkinkanku untuk mengintip bagian dalam Heritage House. Membuatku sedikit bisa tersenyum daripada aku tidak bisa melihat sama sekali bagian dalam rumah legendaris tersebut.

Konon, 28 tahun lalu, pemerintah kota Dubai membeli rumah tersebut dari pemilik terakhirnya yaitu Ibrahim Al Said Abdullah dan kemudian mendedikasikan rumah tersebut untuk pelestarian budaya Dubai sekaligus sebagai tempat wisata.

Dan menurut cerita, pemerintah Kota Dubai melakukan semua itu setelah mendapat masukan dari Pangeran Charles dari Kerjaan Inggris yang sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Uni Emirat Arab.

Wah….Keren ya.

Kisah Selanjutnya—->

Al Bait Al Qadeem Restaurant and Cafe: Khas di Jantung Distrik Deira

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan kawasan Gold Souk dari Gate 1. Gerbang itu tepat berada di pertigaan dari dua jalan utama yaitu Old Baladiya Street yang dipotong oleh ruas Al Ras Road di pertengahannya.

Aku menyusuri satu ruas aktif di Old Baladiya Street sedangkan satu ruas lainnya dimatikan sebagi baris parkir kendaraan yang pemiliknya berkunjung ke kawasan bisnis tersebut. Menyelinap diantara jalan-jalan sempit yang diapit padatnya pertokoan, aku berusaha menghindar laju lalu lintas manusia dari arah berlawanan. Kali ini nuansa pertokoan sudah berubah, yang awalnya kental dengan perdagangan emas dan perhiasan di sepanjang Gold Souk, maka di sepanjang Old Baladiya Street pertokoan lebih banyak yang menjual pakaian-pakaian khas Timur Tengah.

Aku terus melangkah sembari membuat rute kunjungan di tempat istimewa itu. Aku terus mengamati foto peta yang kuambil dari papan informasi di depan gate Gold Souk beberapa menit lalu. Aku sendiri berencana untuk mengekslorasi kawasan istimewa tersebut hingga tengah hari. Tujuan istimewa kali ini adalah beberapa spot Heritage yang tersebar di Kawasan Old Dubai, tepatnya di Distrik Bisnis Deira.

Old Baladiya Street: Tempat sampah aja dipagerin lho di Dubai….Wkwkwk.

Demi mencapai heritage spot pertama maka aku memutuskan untuk berbelok di Al Ahmadiya Street.

Tak jauh, hanya berjarak setengah kilometer dari Gold Souk, maka aku mampu menemukan satu peninggalan sejarah berupa bangunan rumah tempat tinggal dari masa lalu.

Rumah khas Dubai berwarna krem itu berasal dari masa 113 tahun lalu, Rumah ini dimiliki oleh Abdulla Bin Jamaan yang pada masanya adalah seorang saudagar kaya yang memiliki kapal-kapal pencari mutiara. Mutiara kala itu diambil dari dasar laut oleh para penyelam-penyelam tangguh yang bekerja di bisnis perburuan mutiara. Sesuai dengan nama pemilik awalnya maka rumah ini terkenal dengan sebutan Bin Jamaan House.

Berlokasi di daerah berjuluk Al Ras, secara otomatis rumah ini tepat berada di jantung Distrik Deira. Perkembangan sejarah dan dunia modern menjadikan rumah tersebut dialihfungsikan sebagai sebuah restoran dan cafe.

Lokasinya yang tepat berada di episentrum wisata Old Dubai menjadikan restoran ini cukup terkenal di khalayak umum. Al Bait Al Qadeem adalah nama dari restoran dan cafe tersebut.

Aku sudah pasti bisa memastikan bahwa harga menu di restoran itu cukuplah mahal menurut versiku. Bagaimana tidak mahal bagi kantongku jika seporsi Emirati Chicken Stew di banderol dengan harga 35 Dirham, apalagi itu adalah menu termurah di Al Bait Al Qadeem Restaurant and Cafe. Selain hidangan khas Arab, restoran itu juga menyediakan menu khas Yaman, Persia dan India.

Belum buka, Boy….
Sepiiii nian….

Walaupun terbilang cukup mahal, tetapi setidaknya aku masih sanggup untuk mencicipi kopi sambil menikmati suasana di restoran. Tapi rupanya aku harus mengurungkan niat karena pintu restoran masih tertutup rapat, padahal sangkala telah merapat di setengah sepuluh pagi.

Lebih baik aku segera pergi dan menuju ke destnasi lainnya saja.

Kisah Selanjutnya—->