Bur Dubai Al Kabeer Masjid: “I Don’t Understand What You Say”

<—-Kisah Sebelumnya

Berada di akhir bagian dari Grand Souq-Bur Dubai, aku konsisten melangkahkan kaki di gang-gang sempit di sela-sela bangunan pertokoan.

Untuk berikutnya aku tiba di pelataran luas, aku berdiri terpaku tepat di tengahnya. Di sisi kiriku adalah toko berbentuk klasik dan berukuran besar milik Blossom Trading, di sisi kananku adalah toko modern Al Soroor, di belakangku adalah toko tak kalah modern milik Neelam Khamas Textorium, ketiga toko besar itu adalah outlet pakaian, sedangkan tepat di hadapan sana adalah bangunan dengan bentuk familiar di mataku….Ya, itu sudah jelas sebuah bangunan masjid berukuran besar dan berwarna kecoklatan.

Rasa penasaran akhirnya mengantarkanku untuk mendekati masjid tersebut. Tampak masjid itu dikelilingi oleh trotoar yang bersih dengan pepohonan tinggi yang dibiarkan hidup subur bersandingan di sisi masjid. Juga tampak jelas sebuah rambu-rambu di sisi barat masjid yang melarang parkir kendaraan kecuali bus pariwisata.

Di bagian pojok selatan masjid, tepatnya di sisi utara Ali bin Abi Taleb Street, tampak diberikan penanda penting yang menggantikan sebuah fungsi halte bus, yaitu  “Dubai Old Souk Station” yang kepemilikannya berada di bawah RSA (Roads and Transport Authority).

Tampak pintu utama masjid ditempatkan di sisi utara Ali bin Abi Taleb Street. Tepat di sebelah pintu utama, aku bisa membaca dengan jelas tulisan yang tertera di sebuah plat logam kuningan.

 “Bur Dubai Al Kabeer Masjid”, aku membaca perlahan tulisan itu.

“Oh ini nama masjidnya”, aku membatin.

Dari informasi yang kudapatkan dalam plat logam, jelas bahwa masjid tersebut kepemilikannya berada dibawah Islamic Affairs & Charitable Activities Department. Dan yang perlu diketahui bahwa masjid itu sudah ada sejak awal tahun 1900-an.

Langkahku sempat terhenti di depan pintu utama masjid ketika seorang lelaki berperawakan Asia Selatan menghampiri. Entah dia berbicara apa kepadaku, aku tak memahami bahasanya yang jika kutebak adalah Bahasam asal India. Aku hanya terus mengatakan kepadanya “I don’t understand what you say, Sir”, hingga dia memutuskan meninggalkanku dan menuju orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Pertokoan di sisi barat masjid.
Bur Dubai Al Kabeer Masjid sisi barat.
Bur Dubai Al Kabeer Masjid sisi selatan.
Pintu utama masjid di sisi jalan Ali bin Abi Taleb Street.

Usai kejadian kecil itu, selanjutnya aku mulai memasuki gang di sisi timur masjid. Di bagian ini tampak sederetan toko yang menjual peralatan ibadah umat Hindu. Para pemilik toko-toko tersebut mayoritas adalah warga asal India.  Deretan toko itu menjual bunga-bunga peribadatan, guci dan banyak patung Dewa-Dewi dalam Hindu.

Dan benar adanya, ketika aku berada di sebelah utara masjid, tampak berdiri jelas beberapa kuil peribadatan untuk agama Hindu, diantaranya adalah Shrinath Ji Temple untuk memuja Dewa Krisna dan Shiva Temple untuk memuja Dewa Siwa.

Genap mengelilingi masjid, aku kembali ke sisi Ali bin Abi Taleb Street dan menatap ke depan serta membelakangi masjid.

Tampak bangunan besar nan klasik dengan pelataran yang lebih luas dan dimanfaatkan sebagai area parkir.

“Sepertinya itu bangunan benteng….Lebih baik aku mendekat ke sana untuk mencari tahu”, aku membatin sekaligus menetapkan tujuan.

Kisah Selanjutnya—->

Grand Souq-Bur Dubai: “You Broke My Heart”

<—-Kisah Sebelumnya

Aku melompat turun dari perahu yang difungsikan sebagai taksi air di Dubai Creek. Aku tiba di Bur Dubai Water Taxi Station yang terletak di seberang selatan sungai.

Ketibaanku disambut dengan hamparan plaza yang terlindung oleh pepohonan nan rindang dan aktivitas warga yang duduk bersantai di dalamnya.

Tampak keramaian di booth dominan merah yang menjual tiket Dubai Hop-on Hop-off Bus Tour. Sementara gerai Tropical Sno di tepian sungai yang menjual berbagai minuman dingin dan air kelapa muda tampak dipenuhi para pengunjungnya.

Aku segera meninggalkan plaza yang di sisi timurnya dimarkahi oleh satu menara pengawas klasik bak benteng mungil. Aku berjalan menuju gerbang pasar yang tepat berada di sisi 34th Street.

Tiba di bawah gerbang, langkahku terhenti oleh sepasang turis asal Jepang yang meminta tolong kepadaku untuk mengambilkan foto mereka berlatarkan gerbang pasar. Aku menuntaskan permintaan mereka dengan baik dan aku mendapatkan balasan yang sama, difotokan tepat di bawah gerbang pasar.

Pasar itu Bernama Grand Souq-Bur Dubai…..Sebuah pasar tua di Dubai yang memiliki koridor utama dengan atap kayu berukiran khas.

Aku baru tersadar karena mengunjungi pasar ini di hari Minggu. Padahal pasar ini biasa mencapai puncak keramaian di setiap Jumat, hari yang biasanya akan dimeriahkan oleh karnaval yang dihadiri oleh warga lokal, wisatawan dan para ekspatriat yang mengenakan pakaian serba meriah.

“Tak apalah….Lebih baik menikmati pasar apa adanya”, aku membatin dengan senyum.

Aku mulai berjalan menelusuri koridor utama. Sejauh mata memandang, pasar itu banyak menjual berbagai jenis kain, seperti sutra, katun, satin, dan beludru. Aku begitu menikmati atmosfer perdagangan di pasar tersebut.

Tetiba langkahku terhenti….


Aku tertegun ketika mendapati sebuah bangunan kios bertajuk “Indonesia”, tentu itu adalah nama tanah air tercintaku. Pada detik itu aku tak segera paham kenapa “Indonesia” menjadi nama sebuah kios.

Gerbang Grand Souq-Bur Dubai.
Koridor utama pasar.
Banyak penjual kain kan?
Yuk masuk lebih dalam.
Bangunan tempo dulu.
Kios Indonesia.
Menjelang koridor akhir.
TIba di bagian akhir pasar.

“Apakah untuk menarik wisatawan atau tenaga kerja asal Indonesia?”, aku menerka-nerka karena biasanya warga asal Indonesia memang suka berbelanja….Ah, entahlah.

Aku pun segera mengambil beberapa photo bangunan itu. Dan ketika hendak meninggalkan sisi itu, seorang pedagang yang kuduga berkebangsaan Pakistan menghampiri.


“Halo brother, do you need help?….I can take your photo”, dia menawarkan bantuan.


“Oh, sure, Sir. You are very kind”, aku memberikan gawai pintarku kepadanya setelah mengaturnya sehingga menu kamera siap digunakan.


Snap….snap….snap.


“Thanks, Sir”, aku menerima soloran tangannya yang mengembalikan gawai pintarku.


“Sir, We have nice scarfes for you”, pedagang itu menjulurkan tangan ke arah kiosnya demi membujukku.


“I don’t come here for shopping, Sir….Just for sightseeing”, aku halus menolaknya.


Tak menyerah, salah satu temannya datang dari kios menghampiriku dengan membawa beberapa helai syal. Penuh senyum dia mulai memamerkan kain-kain indah itu di depanku.


“Thanks for your offering, I can’t buy your scarfes”, aku untuk terakhir kali menolaknya halus.


“Oh, brother, you broke my heart”, dia tersenyum rela bahwa syalnya tidak laku dijual kepadaku.


Aku berpamitan kepadanya dan melanjutan penelusuranku di Grand Souq-Bur Dubai.

Menelusuri koridor sepanjang tak kurang dari tiga ratus meter, aku menemukan nuansa klasik Dubai di seantero pasar. Bangunan-bangunan tempo dulu yang difungsikan sebagai kios masih sangat terawat dan berdiri dengan anggun.

Akhirnya aku tiba di ujung pasar yang ditandai dengan keberadaan Grand Bur Dubai Mosque.

Kisah Selanjutnya—->