Phi Phi Viewpoint 1: Bersembunyi dari Panasnya Matahari

<—-Kisah Sebelumnya

Sangat jelas di hadapan, tiga signboard besar akan memaksa siapapun yang lewat untuk membacanya,

Viewpoint 1”, dengan mudah aku menangkap keberadan signboard terbesar

I Love Phi Phi”, aku membaca tulisan yang berukuran lebih kecil di bagian dalam taman.

Sedangkan satu signboard lagi dengan Akson Thai*1), aku tak mampu membacanya, karena aku memang tak paham cara membaca aksara Thailand tersebut.

Seperempat jam menjelang tengah hari…..

Udara terasa segar, tetapi panas matahari terasa membakar kulit. Beberapa turis memang tampak menikmati cuaca terik itu dengan berdiri menikmati keindahan alam Phi Phi Islands di titik terbaik, titik itu tepat berada di bibir tebing.

Namun aku yang tak bersahabat dengan cuaca terik itu lebih memilih untuk memanfaatkan fasilitas hammock berbahan jaring yang disediakan cuma-cuma oleh pengelola wisata di bawah sebuah gazebo besar.

Semilir angin yang berhembus di atas perbukitan membuatku terlelap hingga satu jam lamanya di atas hammock . Entah berapa banyak turis yang melintas di depan gazebo dan menemukanku tertidur pulas di bawahnya.

Saatnya tidur siang….Hahaha.

Aku terbangun ketika beberapa awan mulai menampakkan batang hidungnya, berebut satu sama lain untuk menutup sinar surya yang berpendar ke bumi. Sesekali membuat suasana taman di sepanjang viewpoint menjadi teduh.

Susasana teduh itu sesekali masih berganti jeda dengan terik matahari. Maka aku memanfaatkan momen itu untuk menyudahi tidur dan memutuskan turun dari hammock. Saat sinar surya terhalang awan, maka aku segera berlari ke tepi tebing untuk menikmati pemandangan.

Wow….Pemandangan yang spektakuler”, aku tersenyum melihat keindahan itu.

Sangat tampak keindahan dataran rendah Phi Phi Islands yang memisahkan pesisir pantai sebelah utara dan selatan. Phi Phi Islands dilihat dari ketinggian bagaikan logo pabrikan otomotif terkemuka asal Jepang, yaitu Honda. Dimana bagian garis vertikal dalam logo terwujud sebagai jajaran perbukitan tinggi di timur dan barat pulau, sedangkan garis horizontal penghubung dua garis vertikal pada logo Honda, diinterpretasikan dengan hamparan dataran rendah yang dipenuhi aktifitas pariwisata, dimana dataran rendah itu menghubungkan perbukitan sisi timur dan sisi barat dengan sempurna.

Di sisi lain mata memandang, tampak kemewahan Phi Phi Rim Khao Hotel yang menampilkan bangunan-bangunan kamar yang berundak-undak menuju ke atas. Terlihat kolam renang diletakkan tepat di bangunan paling ujung sekaligus pada posisi paling tinggi. Tak bisa kubayangkan bagaimana indahnya berenang di tempat setinggi itu.

Pantai sisi selatan.
Pantai sisi utara.
Phi Phi Khao Ram Hotel yang berundak-undak.
Taman di sekitar Phi Phi Viewpoint 1.

Tetapi nyatanya….Ditengah waktu menikmati pemandangan itu, kadang aku harus berlari kembali menuju ke gazebo ketika awan melepas matahari untuk menyinari bumi, kemudian aku akan kembali ke titik pandang tepi tebing apabila sinar matahari terhalang awan kembali, begitu seterusnya.

Maka seusai puas menikmati pemandangan Phi Phi Islands dari atas bukit, aku mendekat ke bagian lain taman. Adalah papan informasi tentang sejarah tsunami yang pernah menghantam Phi Phi Islands pada tahun 2004 yang kemudian menjadi tujuanku berikutnya.

Aku menarik bangku plastik yang disediakan di bawah gazebo panjang, lalu menempatkannya di posisi terbaik untuk memandangi foto-foto yang ditampilkan dalam galeri sejarah itu.

Pada papan galeri itu, tampak foto-foto ketika Phi Phi Islands luluh lantak dihantam tsunami lalu disertai dengan foto-foto Phi Phi Islands setelah mengalami pembangunan kembali. Spot sejarah tsunami ini mengingatkanku ketika mengunjungi Museum Tsunami Aceh pada dua bulan sebelum keberangkatanku ke Phi Phi Islands.

Kisah tsunami yang menerjang Phi Phi Islands.

Dalam dua puluh menit, aku menyudahi diri dalam memandangi foto-foto memilukan itu. Untuk selanjutnya aku memutuskan untuk meninggalkan Phi Phi Viewpoint 1 melalui sebuah jalur tunggal yang terletak di sisi barat kantin.

Aku tak sabar menantikan pemandangan menakjubkan lain dari Phi Phi Viewpoint 2.

Note:

Akson Thai*1) = Aksara dalam Bahasa Thailand

Menuju Phi Phi Viewpoint 1

<—-Kisah Sebelumnya

Setengah sepuluh pagi….

Aku meninggalkan Loh Dalum Beach dan memutuskan untuk kembali ke penginapan sejenak demi mengambil segenap perlengkapan sebelum melakukan eksplorasi selanjutnya yang kuprediksi akan selesai di sore hari.

Aku melangkah cepat…..

Tiba di penginapan, aku mengambil folding bag, memasukkan sebotol air mineral berukuran 1,5 liter, dompet, passport, powerbank, kacamata rayben untuk kemudian siap melanjutkan perjalanan kembali.

Menuruni tangga penginapan, aku kemudian duduk di teras Dormsin Hostel dan mulai mengenakan sepatu boots.

Where will you go, Donny”, tak mendengar langkahnya, tetiba Asil duduk di sebelah dan juga mulai mengikat tali sepatu ketsnya.

Going to the viewpoint, Asil”, aku menjawab.

Oh, really….That’s good spot to visit. I’d been there yesterday” dia mengambil telepon pintarnya dan mulai menunjukkan beberapa foto kepadaku. Tampak beberapa foto pemandangan garis pantai yang sangat indah yang diambil dari atas perbukitan. Gradasi warna yang indah antar sisi pantai berbeda.

Beautiful photos, Asil”, aku terkagum-kagum

Any restaurant there?”, aku bertanya demi memastikan tidak kelaparan ketika berada di atas bukit pada siang nantinya.

Yes, absolutely. I enjoyed coconut water on the hill”, dia tersenyum menjelaskan

Okay, Asil….Thank you….It’s time for me to go”, aku berpamitan pada Asil yang juga tampaknya telah siap melakukan eksplorasi ke tempat berbeda.

Aku pun melangkah meninggalkan pemuda Trukit itu….

Aku mulai melakukan eksplorasi dengan menyusuri Chaokoh Road menuju utara melewati jalur datar hampir satu kilometer jauhnya. Situasi jalanan mulai tampak rama, banyak turis berlalu-lalang di jalanan demi menuju destinasi ataupun sekedar untuk berburu sarapan, berbaur dengan warga lokal yang sedang bergegas menuju tempat kerjanya masing-masing, kedai-kedai makan tampak telah buka dan dipenuhi para wisatawan yang sedang menikmati hidangannya masing-masing.

Untuk dua puluh menit kemudian, akhirnya aku menemukan signboard sebagai petunjuk untuk menuju ke Phi Phi Viewpoint. Maka ketika tiba di depan hotel bintang tiga Blue Monkey Phi Phi Islands, aku segera berbelok ke kiri untuk menanjaki anak tangga.

Chaokoh Road menuju Phi Phi Viewpoint.
Mudah sekali untuk mendapatkan sarapan di sekitar Chaokoh Road.
Signboard yang membantu turis untuk mencapai Phi Phi Viewpoint.

Beberapa turis di belakang juga tampak mengikutiku untuk menanjak, namun beberapa turis juga tampak menuruni tangga sebagai pertanda bahwa mereka telah usai menikmati viewpoint.

Untuk beberapa kali aku berhenti pada anak tangga karena merasa kecapekan ketika menanjak. Di bagian atas tambak beberapa anak tangga sedang dalam proses maintenance. Beberapa pria melakukan pengecatan anak tangga, mereka berusaha mengecat anak tangga sehingga lapisan beton nampak persis seperti susunan batu kali yang menebarkan kesan kokoh pada siapapun yang melewati anak tangga tersebut.

Aku kemudian tiba di di sebuah shelter pengunjung yang berukuran tak terlalu besar, shelter itu terletak pada jarak puluhan anak tangga sebelum tiba di gerbang viewpoint. Berhenti sejenak di shelter itu untuk mengatur nafas maka aku disuguhkan selarik spoiler terbatas atas pemandangan Phi Phi Islands dari ketinggian.

Spoiler pemandangan Phi Phi Islands dari sebuah shelter di pertengahan jalan.
Konter penjualan tiket Phi Phi Viewpoint.

Aku yang tak sabaran untuk bisa melihat sepenuhnya, maka memutuskan untuk segera menaiki kembali beberapa anak tangga sisa untuk tiba di Phi Phi Viewpoint 1.

Dengan terengah-engah, aku tiba….

Hello…..”, seorang wanita paruh baya dengan jilbab menyapaku dari sebuah meja

Ticket, Sir….”, dia menambahkan.

Aku seketika menoleh dan melihatnya menujuk sebundle tiket yang dipegang di tangan kanannya.

Oh, harus bayar tiket rupanya”, aku membatin

Aku menghampiri wanita paruh baya itu.

How much, Mam?”, aku mengeluarkan dompet

Thirty Bath”, wanita itu menyobek selembar tiket dan memberikannya untukku

Aku menyerahkan 30 Baht untuk mengunjungi dua viewpoint sekaligus.

Thai?”, dia menunjuk kepadaku

Oh, No….I’m from Indonesia…..Jakarta”, aku tersenyum menjelaskan.

Oh….Moslem?”, dia mulai tergelitik

Yes, I’m moslem, Mam

Assalamu’alaikum….Many moslems in Phi Phi”, dia menjelaskan penuh antusias.

Wa’alaikumsalam….Yeaa….I know, Mam”, aku tersenyum senang.

Sewaktu kemudian aku membalikan badan, melihat ke hadapan. Hamparan taman dengan rancang bangun yang menarik mata.

Saatnya menikmati Phi Phi Islands dari ketinggian”, aku mengayunkan langkah dengan penuh semangat.

Kisah Selanjutnya—->

Ton Sai Beach atau Loh Dalum Beach?

<—-Kisah Sebelumnya

Beranjak dari teras McDonald’s, aku melangkah menuju barat. Aku memilih jalur pedestrian sisi dalam untuk mendapatkan perlindungan dari rimbunnya pepohonan.

Sempat terhenti si sebuah pertigaan, aku memperhatikan sekitar, mengamati setiap ujung dari ketiga jalan itu. Jalan ke arah kanan lebih menggoda sepertinya, ada pantai yang cukup indah di ujungnya.

Tapi sejenak aku mengindahkannya, menyimpannya untuk kunjungan berikutnya. Aku fokus untuk menyambangi Ton Sai Beach saja sebagai pantai pertama yang akan kukunjungi hari itu.

Masih ada banyak waktu”, aku membatin.

Selanjutnya aku sampai pada jalanan tepat di depan Phi Phi Cabana Hotel yang masih tampak sunyi, mungkin para penginapnya masih menikmati pagi di kasurnya masing-masing pagi itu.

Mungkin aku masih terlalu pagi untuk berkeliling pulau”, aku menertawakan diriku sendiri.

Beberapa waktu kemudian, aku berhenti sejenak memandangi Koh Phi Phi Hospital, tampak seorang turis sedang didorong di atas kursi roda menuju rumah sakit kecil itu. Juga tampak beberapa warga lokal sedang duduk di lobby rumah sakit yang sudah memasuki jam buka operasional hariannya.

Aku sudah dekat dengan Ton Sai Beach ketika melewati Koh Phi Phi Hospital, maka aku memutuskan untuk mengambil tempat duduk di bawah sebuah pohon besar tepat di tepian pantai yang memiliki pasir berwarna putih.

Koh Phi Phi Hospital.
Ton Sai Beach.

Akun tidak bisa melangkah lebih jauh, karena lahan di ujung pantai telah diakuisisi oleh Phi Phi Cliff Beach Resort. Resort raksasana berwarna orange nitu tampak luas nan megah. Beberapa turis yang menginap di resort tampak berenang ringan di pantai tepat di depan resort. Area berenangya bahkan dibatasi dengan garis berpelampung untuk menjaga keamanan para penginap yang sedang menikmati pantai.

Aku terduduk di sisi timur Ton Sai Beach lebih sibuk mengamati beberapa Anak Buah Kapal yang sedang menyiapkan pelayaran. Anak-anak muda itu tampak sibuk turun ke pantai untuk mencari sarapan, sedangkan ABK lain tampak sibuk membersihkan geladak kapal dan menyiapkan peralatan.

Aku duduk di pantai itu hampir setengah jam lamanya. Hingga akhirnya bertolak pergi demi mengunjungi pantai yang lain.

Pantai di ujung pertigaan tadi bagus ga, ya?”. Aku menanyai diriku sendiri.

Aku menyusuri melalui rute semula berangkat, melewati Koh Phi Phi Hospital, Maya Restaurant, dan Phi Phi Cabana Hotel untuk akhirnya tiba di pertigaan yang sempat kuindahkan tadi. Berbelok ke utara, aku melewati jalanan sebuah plaza yang lebar dan rapi, jalan itu dipenuhi pertokoan di kanan kirinya. Sedangkan di tengah plaza tampak patung jangkar menjadi landmark plaza. Aku terus melangkah hingga ke ujung utara dan akhirnya kembali menemukan pantai. Loh Dalum Beach adalah nama pantai itu.

Banyak turis yang berbondong-bondong memenuhi Rom Mai Restaurant ketika aku tiba di pantai, restoran itu memang terletak persisi di tepi pantai. Sedangkan beberapa turis lain tampak mendatangi penyewaan kano untuk bersenang-senang pagi itu.

Landmark di dekat Loh Dalum Beach.
Loh Dalum Beach.
Loh Dalum Beach.

Aku hanya berdiri di pinggir pantai menikmati suasana yang masih cenderung sepi, tak ada satupun turis yang turum ke laut. Hingga akhirnya tiga turis pria mendekat ke bibir pantai untuk melakukan aktivitas canoeing.

Tak lebih dari satu jam aku berada di pantai itu, untuk kemudian kembali lagi menuju Dormsin Hostel untuk bersiap diri melakukan eksplorasi ke tempat yang lebih jauh lagi.

Kisah Selanjutnya—->

Berbaur di Hiruk Pikuk Ao Ton Sai Pier

Mataku mengerjap-ngerjap, melawan kantuk yang masih menggelayuti muka, aku memaksakan diri untuk bangun. Kondisi kamar masih gelap ketika aku menyibak gorden capsule box tempatku tidur. Menuruni tempat tidur, dengan sedikit berjingkat, aku memanggul folding bag menuju shared bathroom. Hanya menggosok gigi, mencuci muka, memakai gel rambut dan mengoles roll-on untuk kemudian bersiap diri melakukan eksplorasi.

Pagi itu aku memilih mengenakan celana pendek warna merah dan memakai sepatu boots untuk menghabiskan hari keduaku di Phi Phi Islands. Usai siap, aku menuruni tangga penginapan menuju pintu keluar dan akhirnya kembali menyusuri Chaokoh Road menuju barat.

Aku sudah berencana untuk mencari sarapan di Phi Phi Market terlebih dahulu karena harga makanan di pasar itu sangatlah murah. Jarak pasar hanya berkisar tiga ratus meter dari penginapan, jadi aku hanya perlu melangkah selama lima menit saja.

Aku tiba di pasar, lalu berkeliling untuk mencari menu sarapan yang cocok dengan seleraku pagi itu. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli rice with chicken breast yang kutebus dengan harga 60 Baht saja. Kemudian aku menyantapnya di bawah Marlin Statue, landmark Phi Phi Islands yang terletak tepat di tepian pantai. Maka apa yang terjadi berikutnya?….Setiap turis atau warga lokal yang melintas melewati patung itu, tampak selalu tersenyum melihat tingkah lakuku menyantap menu sarapan pagi itu.

Yuk sarapan….

Aku sendiri akhirnya tak mampu menghabiskan sarapan berporsi besar itu, dengan segala maaf kepada Tuhan, aku membuang sisa sarapan ke dalam tempat sampah….Maafkan aku, Tuhan.

Aku pun melanjutkan perjalanan menuju barat melalui jalanan utama di pantai selatan Phi Phi Islands. Beberapa menit kemudian aku tiba di Ao Ton Sai Pier, pelabuhan penumpang utama di Phi Phi Islands.

Sebetulnya pada sore di hari sebelumnya, aku berlabuh di pelabuhan itu setelah berlayar selama dua jam dari Rassada Pier di Distrik Mueang Phuket. Hanya karena terlalu sore berlabuh, aku tak bisa berlama-lama menikmati Ao Ton Sai Pier. Oleh karenanya pagi itu aku berhenti cukup lama di pelabuhan untuk menikmati suasana dan pemandangan di sekitarnya.

Aku harus melakukan itu karena di keesokan hari, aku harus pulang menuju Jakarta. Oleh karenanya, aku memperhatikan dengan seksama, alur penumpang yang akan menaiki ferry dan apa saja yang perlu dilakukan penumpang di pos penjagaan pelabuhan.

Pagi itu pelabuhan cukup ramai, selain hilir mudik turis, di bagian dermaga juga dipenuhi warga lokal yang menawari jasa pariwisata seperti snorkling, diving, ataupun canoeing di beberapa spot menarik Phi Phi Islands.

Sedangkan pemandangan Ao Ton Sai Pier menampilkan panorama yang memukau, padu padan deretan perahu gypsy milik penduduk lokal yang bersandar rapi di sepanjang pantai, dilengkapi dengan keberadaan dua kapal ferry yang bersandar di ujung dermaga demi bersiap mengantarkan para turis menuju dua kota utama, yaitu Phuket dan Krabi. Sedangkan di sisi barat pelabuhan, bentangan perbukitan yang menjulang dan berwarna hijau semakin memperindah suasana saja.

Gerbang Ao Ton Sai Pier.
Ferry menuju Phuket.
Perahu Gypsy khas Phi Phi Islands.

Hampir setengah jam lamanya aku menikmati suasana pelabuhan, untuk kemudian duduk melepas lelah di teras outlet McDonald’s yang terletak di dekat pelabuhan. Beberapa toko tampak sedang sibuk untuk membuka gerainya, bersiap diri untuk menyambut kehadiram para turis yang akan datang dari trip pertama ferry, yaitu sekitar pukul sepuluh pagi.

Ketika semua toko sudah terbuka dan keadaan mulai ramai, maka aku beranjak dari teras McDonald’s untuk melanjutkan eksplorasi.

Nongkrong di teras McDonald’s….Tuh, di ujung.

Tujuanku berikutnya adalah Ton Sai Beach yang berada di sebelah barat pelabuhan.

Kiah Selanjutnya—->

Korzinka: Penyelamat Makan Malam

<—-Kisah Sebelumnya

Navoiy Shoh Ko’chasi menjelang pukul tujuh malam.

Memunggungi Stasiun Abdulla Qodiriy, aku berusaha menyembunyikan rasa pengecut yang muncul karena panik menghadapi suhu udara 1oC. Tanganku mulai kaku, nafas terasa berat, ditambah lapar yang mulai menyertai setiap ayunan langkah.

Aku terus menatap ke depan ketika melangkah di sepanjang sisi timur Amir Temur Shoh Ko’chasi demi mencari perempatan terdekat untuk merubah haluan ke barat.

Lalu lintas tampak ramai sore itu. Beberapa wakku kemudian, aku tiba di perempatan yang dimaksud. Berdiri di pangkal zebra cross, aku diperhatikan oleh dua polisi bertubuh tegap yang sedang mengatur lalu lintas. Aku yang merasa was-was karenanya bisa bernafas lega karena seusai lampu merah menyala, mereka dengan baik hati membantuku menyeberang dengan memastikan tak ada kendaraan yang melintas selama lampu merah menyala. Walau wajahhnya tampak garang dan galak, aku tak meragukan kebaikan hati kedua polisi itu.

Aku berhasil menyeberangi Amir Temur Shoh Ko’chasi yang memiliki lebar tak kurang dari dua puluh lima meter, untuk kemudian menyusuri trotoar sisi utara Navoiy Shoh Ko’chasi demi menuju Paradise Hostel tempatku menginap.

Namun satu hal yang masih mengganjal di setiap langkah semenjak keluar dari Abdulla Qodiriy Station. Itu karena aku tak kunjung menemukan satu pun kedai food street. Padahal aku membutuhkan seporsi makanan apapun untuk makan malam. Alhasil, aku hanya bisa pasrah jikalau aku memang tak bisa mendapatkan menu makan malam. Aku sudah menyiapkan rencana untuk menyantap saja dua buah “Non” yang sempat aku beli di Chorsu Bazaar pada pagi sebelumnya.

Mataku tetap awas di sepanjang Navoiy Shoh Ko’chasi untuk menemukan kedai food street, namun kurasa mustahil untuk menemukannya, karena aku baru paham bahwa trotoar yang kulalui berada di jalur protokol kota. Setiap jengkal sisi trotoal dijejali perkantoran kelas atas.

Apapun itu….

Ternyata pertolongan Tuhan itu muncul ketika langkahku semakin dekat dengan lokasi penginapan. Aku tetiba melihat dua wanita paruh baya menenteng dua tas berisi belanjaan. Aku mendekat menuju gedung tempat kedua wanita itu keluar.

“KORZINKA”, aku membacanya pelan-pelan.

Mataku awas mengawasi sisi dalam bangunan yang bisa dilihat jelas dari jendela kacanya yang bening dan lebar. Tampak dengan jelas deretan etalase produk seperti layaknya supermarket pada umumnya. Maka aku memutuskan untuk masuk ke dalamnya. Dan sungguh riang hati, ketika tahu bahwa aku benar-benar berada di sebuah supermarket.

Saatnya mencari menu makan malam dan sarapan untuk esok hari”, aku bergumam menang.

Etalase “Non” di Korzinka.
Cari kopi mini sachet di Korzinka.
Berbelanja di Korzinka bersama masyarakat lokal.
Sampai jumpa lagi Korzinka.

Nantinya aku tahu bahwa Korzinka adalah jaringan supermarket terkenal di Uzbekistan.

Setengah jam lamanya aku berbelanja di Korzinka, itu karena begitu senangnya hati menemukan supermarket yang berlokasi sangat dekat dengan penginapan, hanya berjarak kurang lebih seratus meter saja, sehingga tak membuatku khawatir untuk berlama-lama dalam berbelanja di Korzonka.

Inilah daftar belanjaanku sore itu:

  1. Roti “Non”                       :   2.800 Som
  2. Jus Apel Kemasan         :  10.490 Som
  3. Enting-Enting Kacang   :   6.490 Som
  4. Kopi sachet mini  4gram :  4.480 Som

Total  :     24.260 Som atau setara dengan Rp. 33.500

Aku pulang dengan menenteng belanjaan. Aku tak lagi khawatir akan menu sarapan esok hari. Bahkan aku berencan untuk menyeduh kopi yang kubeli saat bersarapan, karena penginapan menyediakan pantry yang memiliki pemanas air.

Aku tiba di Paradise Hostel sekitar pukul setengah tujuh malam.

Sangat kaget ketika tiba, ruangan kamar sangat ramai, itu karena para pejalan asal Turki sedang berkumpul dan bercakap. Aku yang tak mau diam saja, berusaha untuk bergabung dalam percakapan mereka sebelum mandi. Aku berusaha berkenalan dengan pejalan sekamar.

Bahkan malam itu sungguh istimewa, share lobby dipenuhi para tamu hostel. Kembali aku melibatkan diri untuk aktif dalam setiap percakapan hangat dengan mereka sembari menikmati “Non” dan menikmati jus apel segar yang kubeli beberapa jam sebelumnya di Korzinka.

Saatnya istirahat sejenak setelah seharian berpetualang.

Penutup malam keduaku di Tashkent meninggalkan kesan indah nan menyenangkan.

Berkejaran dengan Gelap di Sepanjang O’zbekistan Yo’li

<—-Kisah Sebelumnya

Langkahku menuruni anak tangga di gerbang Stasiun G’afur G’ulom terus diperhatikan oleh seorang wanita yang tampak cantik dalam balutan winter jacket berwarna pink, dia berhenti di tangga jeda demi berbicara dengan seseorang melalui telepon pintarnya. Aku paham bahwa wanita itu berdiri di tangga jeda juga untuk menghindari hawa dingin yang sore itu juga mulai menembus winter jacket bekas yang kukenakan.

Aku mengindahkannya ketika tepat berpapasan dengannya. Mataku lebih tertarik memperhatikan ruangan di ujung lorong, bertanya-tanya dalam hati, kejutan apa lagi yang akan aku temukan di ruangan stasiun mengingat ruangan di setiap stasiun Tashkent Metropoliteni memiliki desain klasik yang berbeda-beda.

Sore itu, aku tak kebingungan lagi tentang bagaimana harus mendapatkan tiket one-way, mengingat pada pagi sebelumnya, aku untuk pertama kalinya membeli tiket Tashkent Metropoliteni di Stasiun Abdulla Qodiriy.

Aku menyerahkan 1.300 Som kepada kasir di loket stasiun. Sesudahnya akan memasuki pintu masuk yang dijaga oleh petugas keamanan. Hanya perlu untuk membuka tas untuk diperlihatkan kepadanya hingga aku diizinkan memasuki peron setelah dinyatakan aman.

Seperti yang kuduga, kembali terpesona, aku terpesona dengan ruangan bawah tanah stasiun yang ditopang oleh tiang-tiang raksasa berwarna hijau dengan lekukan-lekukan klasik di sepanjangnya. Sedangkan langit-langit stasiun dipenuhi dengan pola-pola lingkaran yang dilengkapi lampu-lampu penerang di setiap pusat lingkarannya. Sungguh perwujudan desain interior yang mengesankan.

Peron Stasiun G’afur G’ulom.

Lima menit menunggu, kereta putih berkelir biru datang dari salah satu lorong, decit rodanya memekakkan telinga, getarannya terasa di peron tempatku menunggu.

Sepertinya inilah kereta yang harus kunaiki”, aku membatin.

Benar saja, itulah kereta yang akan membawaku menuju Stasiun Oybek. Tanpa pikir panjang aku melompat masuk di gerbong belakang setelah kereta berhasil menghentikan lajunya. Untuk beberapa detik berhenti, menurunkan dan menaikkan penumpang, maka kereta itu kembali melanjutkan perjalanan.

Aku bersandar pada sebuah tiang di dalam gerbong, menikmati rasa capek usai berjalan kaki seharian, hanya bersandar terpaku, melamun, menyerahkan diri mengukiti laju kereta.

Setidaknya aku harus melewati tiga stasiun lain sebelum tiba di Stasiun Oybek sebagai stasiun transfer menuju Yunusobod Yo’li. Tiga stasiun yang kumaksud adalah Stasiun Alisher Navoiy, Stasiun O’zbekiston, dan Stasiun Kosmonavtlar.

Aku sadar, kesalahanku hanya satu ketika berada di O’zbekistan Yo’li ini, yaitu tidak mencoba berhenti di Stasiun Kosmonavtlar yang konon memiliki desain super klasik nan megah.

Aku melewatkannya begitu saja hingga akhirnya sampai di Stasiun Oybek, untuk kemudian melalui lorong penghubung antar stasiun aku berhasil sampai di Stasiun Ming O’rik.

Stasiun Ming O’rik kembali memamerkan desain klasik lainnya. Memang tiang penyangga ruangannya tampak biasa saja, namun rasa klasiknya terletak pada desain lampu yang diinstall di langit-langit ruangan stasiun. Desainnya mirip stalagtit, unik tetapi tak meninggalkan sisi kewibawaan dari gaya arsitekturnya.

Menunggu selama enam menit, ternyata kereta yang datang memiliki beda bentuk dari kereta O’zbekistan Yo’li. Sore itu, kereta yang datang berwarna sepenuhnya biru langit, berbentuk kotak sempurna dengan usia gerbong yang nampak tua. Aku melompat di gerbong depan demi memasukinya. Kursi gerbong depan dipenuhi oleh penumpang lokal yang tampaknya baru saja pulang dari kantornya masing-masing. Aku memilih berdiri tepat di dekat pintu kereta, karena stasiun tempatku turun tidaklah jauh. Untuk turun di Stasiun Abdulla Qodiry, aku hanya perlu melintasi satu stasiun saja, yaitu Stasiun Yunus Rajabiy.

Peron Stasiun Ming O’rik.
Interior kereta di Yunusobod Yo’li.

Dalam delapan menit aku tiba…..

Maka aku telah berada di titik awal petualanganku kembali.

Aku beranjak keluar dari bawah tanah untuk naik ke plaza stasiun di permukaan. Berhasil menginjakkan kaki di plaza, gelap pun menyambutku. Gemerlap lampu telah berpendar di setiap bangunan di sekitar stasiun. Udara juga semakin dingin terasa.

Plaza di Stasiun Abdulla Qodiriy.
Plaza di Stasiun Abdulla Qodiriy.

Aku yang tak mampu berlama-lama di area plaza, segera beranjak menuju penginapan yang jaraknya hanya berkisar satu kilometer saja dari Stasiun Abdulla Qodiriy.

Kisah Selanjutnya—->

Menuju Stasiun G’afur G’ulom

<—-Kisah Sebelumnya

Udara mulai mendingin ketka aku bertolak dari Moyie Mubarek Library Museum, waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Langkah kakiku kali ini jelas, mengakhiri eksplorasi, menuju penginapan.

Aku membuka aplikasi transportasi Kota Tashkent berbasis Android….Aplikasi itu bernama 3TM. Aku sendiri sudah mahir menggunakan aplikasi itu karena aku telah menginstallnya di telepon pintar sebulan sebelum keberangkatan. Aku bisa dengan mudah memahami beberapa nomor bus kota yang melintas di sekitar penginapan yang kupilih.

Pada awalnya aku berencana menggunakan bus dari Halte Kalkavuz Kanali yang letaknya tepat di sisi selatan dari Hast-Imam. Ada bus bernomor 42 menuju penginapan. Namun aku mengurungkan niat usai melihat penuhnya halte oleh pekerja lokal yang menanti kedatangan bus.

Aku bergegas meninggalkan halte, mencari alternatif lain yang lebih nyaman. Alternatif terbaik adalah menggunakan jasa bus bernomor 109 yang akan berhenti di sebuah halte di depan Masjid Jami’ Akhunguzar, jaraknya hanya satu kilometer di Selatan Halte Bus Kalkavuz Kanali. Tanpa berpanjang pikir, aku melangkah cepat.

Lima belas menit selanjutnya aku tiba…..

Halte itu hanya berupa tiang penanda saja, tanpa tempat duduk, juga tanpa atap. Tepat di gerbang masjid yang langsung berbatasan dengan Zarqaynar Ko’chasi terdapat pedagang “Non” yang menjajakan roti khas Uzbekistan itu kepada para pengunjung yang keluar masuk masjid.

“Non” dengan aneka ragam, bentuk dan warnanya mengkilap sempat menggodaku untuk membelinya. Tetapi karena aku masih meyimpan dua buah “Non” yang pagi sebelumya aku beli di Chorsu Bazaar, aku mengurungkan niat untuk membeli “Non” kembali.

Sudah banyak “Non” yang terjual ketika aku berdiri di tiang halte hingga aku tersadar bahwa tak ada bus yang kunjung datang. Aku kembali berpikir ulang, mengingat sebentar lagi hari akan gelap. Hingga pada suatu waktu, aku kembali mengambil keputusan lain….Ya, aku bermaksud ingin mengunakan jasa Tashkent Metropoliteni menuju penginapan.

Aku pun beranjak dari halte bus untuk menyeberang Zarqaynar Ko’chasi. Aku harus menyisir trotoar sisi selatan demi menggapai Stasiun G’afur G’ulom. Tetapi sungguh pahit rasanya, baru saja aku berhasil menyeberang dan tiba di seberang jalan, bus kota berukuran kecil bernomor 109 tiba di halte tempatku menunggu beberapa saat sebelumnya.

Menuju Stasiun G’afur G’ulom.
Sisi barat Sebzor Ko’chasi.
Gerbang masuk Stasiun G’afur G’ulom.

Aku hanya menatap kesal sejenak lalu gontai menuju stasiun. Beberapa waktu kemudian, aku pun tiba di Stasiun G’afur G’ulom yang merupakan stasiun MRT yang berada pada jalur O’zbekiston Yo’li. Tak berasa aku telah berpindah dari sisi utara ke sisi timur Abdulla Qodiriy Park yang memiliki luas lebih dari 20 Hektar itu. Bisa kamu bayangkan kan seberapa jauh aku berjalan kaki?….

Tepat di sebuah perempatan dengan Ganga Skatepark sebagai landmarknya, aku menatap Halte Bus G’afur G’ulom yang berada di seberang utara jalan. Tapi sial, aku tak mampu menemukan jalur penyeberangan menujunya. Keberadaan flyover yang membentang dari selatan ke utara di atas Sebzor Ko’chasi membuatku terditraksi mencari arah.

Rupanya opsi terakhiru untuk menggunakan bus kota pupus. Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, maka aku memutuskan untuk turun ke bawah tanah melalui pintu masuk Stasiun G’afur G’ulom.

Kisah Selanjutnya—->

Larangan Mengambil Foto di Hast-Imam

<—-Kisah Sebelumnya

Lewat pukul dua siang….

Aku memaksakan langkah menyeberangi pertigaan di hadapan. Abdulla Qodiriy Ko’chasi cukup sibuk siang itu. Aku menunggu giliran menyeberang dengan sabar, berdiri di bawah tiang lampu merah dengan ukuran yang tak cukup besar.

Beberapa saat menunggu, lampu merah berganti hijau, untuk kemudian aku mulai melangkah menapaki jalur penyeberangan yang tak ada markah zebra crossnya. Aku terus mengarahkan pandangan mata ke samping kiri, menjaga diri jikalau ada kendaraan yang menyelonong melanggar lampu merah. Begitulah aku, selalu waspada ketika berpetualang sendirian di negeri orang.

Dari sudut pandang lain, setiap mata pengendara yang berhenti di lampu merah tampak memperhatikan setiap langkahku di jalur penyeberangan itu, karena memang akulah satu-satunya penyeberang jalan yang melintas. Canggung tetapi menjadi sebuah kesan yang menyenangkan tentunya.

Berhasil menyeberangi Abdulla Qodiriy Ko’chasi, hamparan panjang trotoar Qorasaroy Ko’chasi menanti di hadapan. Sejauh mata memandang, trotoar itu tersusun dari beton precast yang berfungsi ganda, selain sebaga u-ditch cover, juga berfungsi sebagai jalur trotoar.

Sementara itu di sisi kanan adalah jalur hijau dimana pohon-pohon berukuran besar, berumur tua, dengan cat putih di setengah batangnya, berbaris rapi di tepian jalan yang tercover oleh hamparan rerumputan nan hijau. Sedangkan ruang kota di sebelah kanan trotoar sepenuhnya tertutup oleh lembaran-lembaran papan seng proyek berlogokan Pemerintah Kota Tashkent “Toshkent Shahar Hokimligi” yang menjadi penanggung jawab pembangunan Islamic Civilization Center di Distrik Olmazor.

Islamic Civilization Center yang akan menjadi bangunan raksasa di sekitar Hast-Imam.

Trotoar yang kulalui tak begitu ramai, justru cenderung sepi dan lengang. Namun, aku telah mengenyahkan ragu, mantap melangkah menuju destinasi terakhir pada petualangan hari keduaku di Tashkent.

Dua puluh menit kemudian, aku tiba di tujuan…..

Sejenak aku terdiam di gerbang tujuan, menatap lekat-lekat Masjid Abdullah Murodkhojayev yang telah berusia sepuluh abad. Sontak rasa penasaran muncul ketika menatap menara kembar masjid yang tinggi menjulang. Oleh karenanya, aku berusaha mendekati masjid dari sisi depan. Hingga tiba tepat berada dibawah kaki menara, aku seolah nampak kerdil, bangunan masjid itu sungguh megah luar biasa, berarsitektur klasik, berdiri sangat kokoh.

Semakin penasaran, aku mencoba menemukan keotentikan arsitektur masjid dari sisi lain. Berpindahlah aku ke sisi selatan yang kebetulan berfungsi sebagai area parkir. Di sisi itulah, aku menemukan ruangan komersial untuk pemberdayaan masjid. Tampak dua belas kios dipergunakan untuk aktivitas perniagaan. Kios-kios itu ramai disinggahi para pengunjung dan siswa yang besekolah di Imam Al Bukhari Islamic Institute.

Masjid Abdullah Murodkhojayev tampak depan.
Masjid Murodkhojayev tampak belakang.

Langkahku semakin intens, berlanjut ke sisi belakang masjid. Di halaman belakangnya yang luas, aku menemukan dua bangunan besar lain, yaitu salah satu bagian Barakhan Madrasah dan Moyie Mubarek Library Museum.

Aku mulai memasuki bangunan bersejarah Barakhan Madrasah, bangunan yang didirikan oleh Raja Navruz Ahmadkhan pada pertengahan Abad ke-16.  Di dalam bangunan selain memiliki banyak ruangan kelas juga terdapat beberapa toko souvenir. Menakjubkannya, sebagian besar lantai plaza bagian dalam madrasah terselimuti oleh lapisan es. Hal ini dimungkinkan karena dinginnya cuaca Tashkent di akhir Desember.

Khatam menikmati suasana di Barakhan Madrasah, aku meninggalkan bangunan klasik itu demi menuju Moyie Mubarek Library Museum. Tak berjarak jauh, tak sampai lima puluh meter, aku tiba di pos penjualan tiket masuk. Aku harus membayar 30.000 Som untuk kemudian penjaga memberikanku selembar tiket dan mempersilahkanku untuk masuk.

Can me take a picture in the museum?”, aku memeperagakan tangan layaknya memfoto sesuatu dengan memicingkan mata

No”, petugas itu melambaikan tangannya sebagai isyarat tak mengizinkan.

Aku pun melepas sepatu boots dan mulai memasuki ruangan museum. Tampak seorang penjaga duduk mengawasi para tamu yang datang. CCTV tampak disiagakan di setiap kamar. Ada satu naskah besar di ruangan utama, adalah naskah Al Qur’an yang sedang dibaca Khalifah Usman bin Affan ketika beliau dibunuh.

Bagian dari Barakhan Madrasah.
Moyie Mubarek Library Museum.

Sedang di ruangan kamar yang berukuran lebih kecil tampak beberapa pajangan mushaf Al Qur’an dari berbagai masa, dari yang berukuran besar hingga Al Qur’an berukuran super kecil. Moyie Mubarek Library Museum menjadi titik terakhir petualangan hari keduaku di Tashkent.

Aku mengakhiri kunjungan lewat pukul empat sore, kemudian bersiap diri untuk pulang menuju penginapan.

Kisah Selanjutnya—->

Memarkir Langkah di Abdulla Qodiriy Park

<—-Kisah Sebelumnya

Aku melangkahkan kaki keluar dari kompleks Dhzuma Mosque, melewati deretan peminta-minta yang didominasi wanita dan anak-anak, kembali melintasi sisi timur pelataran Kukeldash Madrasah yang di penuhi lalu lalang para pelajar. Sama sepertiku, para pelajar itu baru saja usai menjalankan ibadah Shalat Dzuhur di Dhzuma Mosque.

Turun di trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi*1), menyusuri sisi utara wilayah Shaykhontohur Tumani*2), tetiba aku teringat kalau satu-satunya pulpen yang kumiliki telah berpindah tangan ke Tuan Khadirjan, Beberapa waktu sebelumnya, aku memberikan pulpen itu kepadanya usai dia menulis nama, nomor telepon dan alamat tempat tinggalnya pada selembar kertas yang telah terlipat rapi di kantong celanaku.

Sembari melangkah, tatapku awas menyapu pertokoan di sepanjang trotoar, berusaha menemukan toko yang menjual Alat Tulis Kantor. Aku tersenyum kecil ketika melihat sebuah toko kecil yang pintu masuknya terpasang tirai plastik penahan suhu dingin. “ZEBINISO Kitob Do’koni”, begitu nama toko yang kubaca pada nameboardnya.

Berburu pulpen pengganti.

Aku dengan percaya diri memasuki toko, untuk kemudian berdiri sejenak di dalamnya, memperhatikan koleksi novelnya yang berbahasa Rusia. Aku tak berkeinginan membeli, hanya terkesan dengan aksara Kiril yang memenuhi setiap lembaran novel itu.

Ruchka*3)?”, tanganku memperagakan gerakan menulis di atas telapan tangan.

Da*4)”, tangannya merogoh etalase di sampingnya dan mengeluarkan sebuah pulpen. Jarinya pun lincah memencet beberapa tombol kalkulator lalu menunjukkan layarnya padaku.

Oh, Dua Ribu Som”, aku tersenyum membatin

Kurogoh kocek dan menyerahkan pecahan pas kepada perempuan cantik pemilik toko buku itu.

Spasibo*5)”, aku bercakap padanya untuk terakhir kali sebelum pergi meninggalkan toko dari pintu bertirai plastic tebal itu.

Kembali di trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi……

Tentu aku semakin antusias menyusuri trotoar oleh karena berkesempatan untuk berpapasan dengan muda-mudi Tashkent yang melintas….Mereka tampak modis dan berpenampilan menarik.

Hingga langkahku tiba di sebuah perempatan. Furqot Ko’chasilah yang memotong arus Navoiy Ko’chasi sehingga membentuk perempatan besar itu. Furqot atau Furkat pada nama jalan ini didedikasikan untuk seorang scientist terkenal asal Russia, F.N Russanov.

Perempatan itu tampak luas dengan arsitektur taman yang baik. Pohon-pohon tampak asri dengan seni topiary yang diaplikasikan di dalamnya.

Perempatan antara Navoiy Shoh Ko’chasi dan Furqot Ko’chasi.

Bella Cosa Beauty Salon”, aku membaca sebuah nameboard terbesar yang kutemui di deretan pertokoan sisi barat perempatan. Untuk sejenak aku berdiri lama di sisi itu, menikmati suasana sekitar yang udaranya mulai menghangat dengan bersinarnya matahari tanpa penghalang.

Sewaktu kemiudian aku melangkah menuju utara melalui ruas jalan baru. Adalah Zarqaynar Ko’chasi yang mengantarku untuk kembali tiba di Stasiun Chorsu. Stasiun dimana aku menginjakkan kaki di pagi hari beberapa waktu sebelumnya, hanya siang itu aku berada di sisi timur stasiun, sedangkan pagi sebelumnya aku berada di sisi baratnya.

Aku dihadapkan pada lokasi parkir stasiun yang memanjang dari timur ke barat dengan deretan kios makanan di sisi selatannya.

Parkiran sisi timur Chorsu Station.

Lalu aku menatap ke arah seberang Zarqaynar Ko’chasi, ruas jalan yang didediasikan pemerintah Uzbekistan untuk menghormati Zarqaynar, seniman asal negeri itu.

Di seberang jalan, aku melihat keberadaan flyover yang memiliki terowongan di bawahnya dengan dinding bercat biru.

Itu adalah akses terbaik untuk pejalan kaki menuju Hazrati Imam Complex”, aku menatap jalurnya yang tampak sepi. Suasana lengang yang membuatku ragu untuk melintasinya.

Beruntung, beberapa saat kemudian muncul seorang lelaki yang menyeret travel bag yang berbelok dari arah berlawanan melalui terowongan itu. Tanpa pikir panjang aku berlari menuju terowongan. Aku hanya berpikir sederhana, bahwa aku akan berpapasan dengan lelaki itu di tengah-tengah terowongan.

Setidaknya aku tidak sendirian di pertengahan lorong”, aku memutuskan cepat.

Benar saja, aku berpapasan dengannya dan merasa sedikit tenang. Aku berhasil melewati lorong itu dengan cepat, untuk kemudian tiba di sebuah jalan sempit dengan aspal yang tak rata, retak disana-sini, bahkan ada bagiannya yang masih berwujud permukaan tanah. Banyak kendaraan tua diparkirkan di salah satu sisi jalan itu. Sedangkan tepat di sisi kananku adalah sebuah taman kota yang berukuran luas, Abdulla Qodiriy Park namanya.

Davlat Tabiat Muzeyi.

Aku menyusuri tepian barat taman kota yang memiliki luas tak kurang dari 20 hektar tersebut. Semakin jauh melangkah, aku mulai menemukan keramaian. Beberapa muda-mudi tampak melintas di jalanan, tampak mereka sedang pulang dari perkuliahan, begitulah aku menebak dari dandanannya.

Aku sendiri akhirnya berusaha untuk menemukan pintu masuk Abdulla Qodiriy Park demi menikmati keindahan di dalamnya.

Pada akhirnya aku memang menemukan gerbang utama taman itu setelah memutarinya separuh lingkaran. Tapi tampak gerbang taman itu ditutup rapat-rapat. Aku mendekat untuk mencari tahu, mengintip dari gerbang dan mengetahuinya bahwa taman itu sedang menjalani proyek renovasi.

Mengintip bagian dalam Abdulla Qodiriy Park yang ditutup karena renovasi.

Aku pun memutuskan untuk melangkah menjauh dari gerbang dan mencari sebuah tempat duduk di jalur masuk taman. Jalur yang kebanyakan tempat duduknya telah diakuisisi muda-mudi Tashkent demi bersiap menikmati keindahan sore yang beberapa saat kemudian akan tiba.

Patung Abdulla Qodiriy.

Aku terduduk tepat di sisi patung Abdulla Qodiriy, seorang sastrawan terkemuka asal Uzbekistan. Untuk sementara aku memarkirkan langkah di gerbang masuk Abdulla Qodiriy Park sebelum melangkah menuju tujuan akhir yang hanya berjarak 1.5 kilometer lagi.

Keterangan Kata:

Ko’chasi*1) = Jalan

Tumani*2) = Distrik

Ruchka*3) = Pulpen

Da*4) = Ok

Spasibo*5) = Terimakasih

Kisah Selanjutnya—->

Tatapan Perpisahan di Pintu Keluar Dhzuma Mosque

<—-Kisah Sebelumnya

Pelataaran selatan Dhzuma Mosque.

Tuan Khadirjon mendahului langkah, memimpinku menuju ke pelataran lain yang membentang di sisi selatan bangunan besar masjid berkubah hijau rumput.

Memasuki gerbang masjid, dia berkali-kali disapa oleh anak-anak muda yang melintas. Aku yang berusaha terus menyejajari langkahnya, mulai menaruh rasa kagum yang sesungguhnya.

Pasti ini orang penting….Lebih dari perkiraanku sebelumnya”, aku sesekali mencuri momen untuk menatap wajahnya dari samping.

Menyusuri pelataran sisi selatan masjid, arus pengunjung sedikit tersendat karena keberadaan tumpukan pasir dan material bangunan di sepanjang pelataran. Beberapa bagian masjid memang sedang direnovasi.

Ada satu waktu Tuan Khadirjon berhenti, berjongkok dan menyingkirkan beberapa batu bata yang berserakan di tengah pelataran. Aku terkejut dan spontan membantunya merapikan batu bata itu.

These bricks can disturb congregation, Donny

Sure, Sir

You are good person, Donny”, dia menatapku sembari berjongkok

You are better than me, Sir Khadirjon”, aku melempar senyum atas tatapannya.

Come on, Donny!….Adzan had came” dia berdiri menuntunku menuju tempat berwudhlu.

Tempat wudhu diletakkan di bangunan terpisah di belakang pelataran. Tiba di depan bangunan tempat bersuci, aku diam sebentar, memperhatikan lalu lalang pengunjung masjid, melihat bagaimana mereka berwudhu.

Kuperhatikan dengan seksama,

Pertama mereka akan menaruh jaket tebal musim dingin di sebuah gantungan yang ada di atas setiap kran, kemudian duduk pada tempat duduk beton yang disediakan di depan kran, lalu melepas sepatu boots berukuran besar beserta kaos kaki tebalnya.

Tempat berwudhu Dhzuma Mosque.
Mari mengantri untuk berwudhu.

Seusai berwudhu, maka mereka akan mengambul kertas tisu tebal yang ada di atas kran untuk mengelap kaki yang basah. Seumur hidup baru kali ini aku melihat wudhu yang diakhiri dengan mengelap kaki menggunakan kertas tisu. Mungkin karena suhu yang dingin di Tashkent yang menyebabkannya demikian. Sebuah prosesi wudhu yang cukup lama untuk setiap orangnya. Membuatku lama mengantri demi mulai bersuci.

Usai mendapatkan gilirian, aku menduplikasi apa saja yang telah kulihat. Agak sedikit gugup dan gelagapan ketika mulai membuka winter jacket hingga mengelap kaki dengan kertas tisu gulung yang tebal. Itu karena seorang pemuda yang mengantri tepat di sebelah terus melihat prosesiku bersuci. Aku mengakhiri wudhu, bangkit dan menjabat tangan si pemuda yang mengantri itu.

Wa’alaikumsalam, Brother”, dia menjawab salam yang kulempar.

Come on, Donny”, Tuan Khadirjon melambaikan tangannya di mulut pintu. Tampaknya dia sudah selesai bersuci sedari tadi.

Aku mengangguk dan kembali melangkah menuju masjid bersamanya.

Memasuki bangunan masjid, Tuan Khadirjon mendorong daun pintu nan lebar dan tinggi, aku pun menguntit Tuan Khadirjon dari belakang, memasuki sebuah ruang antara. Ruangan yang kumasuki tempak kosong selebar tiga meter, untuk kemudian aku memasuki pintu kedua di dalam ruangan, setelahnya aku baru bisa melihat jama’ah shalat Dzuhur yang sudah memenuhi ruangan utama. Menjalankan shalat sunnah qabla Dzuhur aku terduduk khusyu’ bersama jama’ah lainnya. Menunggu iqamah dikumandangkan.

Berbaur dengan para jama’ah lokal.

Akhirnya beberapa saat kemudian, waktu itu tiba. Kami dalam satu ruangan menjalankan ibadah Shalat Dzuhur berjama’ah dengan khusyu’. Ini menjadi shalat berjama’ah pertamaku di Tashkent. Shalat empat raka’at berjalan lambat dan aku menikmati lantunan demi lantunan ayat suci yang dilantunkan hingga shalat usai.

Melantunkan dzikir dan melantunkan do’a juga telah usai. Tuan Khadirjon tampak bangkit dan melangkah mendekatiku. Aku menyusulnya bangkit, beliau merentangkan kedua tangannya dan memelukku sambil berdiri.

I know you will continue your journey, Donny”, dia tersenyum menatapku

Yes, Sir. Khadirjon. I must go now. Thank you for your kindness”, aku memegang pundak kanannya.

Sampai jumpa lagi Dhzuma Mosque.

Mengucapkan salam, aku pun pergi. Memunggungi Tuan Khadirjon, aku bergegas menuju pintu keluar. Dalam beberapa detik aku sudah berada di halaman, diam sejenak, menatap ke timur dan menetapkan langkah berikutnya

Hazrati Imom Majmuasi” aku berujar pelan.

Kisah Selanjutnya—->