
Aku tak lama mengintip biru jernihnya Pantai Gapang, karena tujuan utamaku bukanlah pantai itu. Setelah mengambil beberapa gambar seperlunya, aku kembali menggeber sepeda motor sewaan menuju barat. Tujuanku tak jauh lagi dari Pantai Gapang. Hanya berjarak tiga kilometer lagi. Itu berarti aku hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit demi menujunya.
Tak lama turun kembali di jalanan, suara bacaan Al-qur’an mulai terdengar sayup dari sebuah masjid besar, Masjid Baitul Muna namanya.Aku pun berpikir bahwa Shalat Jum’at akan segera dimulai. Aku meniatkan berhenti dan melongok ke gerbang masjid. Ternyata belum ada siapa-siapa di halaman dan ruangan masjid. Dan setelah mengecek di “mesin pencari”, aku baru mengetahui bahwa ibadah Shalat Jum’at di Pulau Weh baru akan dimulai satu setengah jam lagi.
Maka tanpa ragu, aku pun kembali menarik gas sepeda motor sewaanku….Sewaktu kemudian, tibalah putaran roda di sebuah tikungan….Aku terus saja melenggang.
Tetiba….
“Sepertinya aku melewatkan sesuatu”, gumamku usai sekelebat melihat antrian mobil di depan gerbang.Maka kuputar kembali arah sepeda motor sewaanku, mendekat ke antrian, dan akhirnya aku pun ikut mengantri.
Giliranku akhirnya tiba….
“Mau nginep, Bang?” pemuda penjaga gerbang menanyaiku
“Engga, Bang. Cuma mau nyebrang”“Lima Ribu, Bang….Tapi nanti nyebrang habis Shalat Jum’at ya….Jam setengah dua”, dia memberi informasi.
“Oh baik, Bang, kalau begitu nanti saya ke sini lagi aja”, aku memutuskan pergi ke tempat lain saja.Sebelum pergi, aku yang penasaran, kembali menatap signboard yang tertera di gerbang.
“SELAMAT DATANG DI TEUPIN LAYEU“, begitulah aku membacanya.
Maka kulihat aplikasi berbasis peta di telepon pintarku. Lokasi itu merujuk pada nama “PANTAI IBOIH”. Nantinya aku akan paham bahwa kedua nama itu merujuk pada tempat yang sama. “Teupin Layeu” adalah nama pantainya, sedangkan “Iboih” adalah nama daerah dimana pantai Teupin Layeu berada.
“Sudahlah….Bukan perkara penting“, aku bergumam.Aku masih memiliki tujuan lain yang lebih penting dan merupakan ikon nasional.
Aku kembali menggeber sepeda motor sewaan lebih cepat, berkejaran dengan waktu Shalat Jum’at.Dan dalam sekejap, aku pun mulai memasuki ruas jalan yang sedang dalam masa perbaikan di sana-sini. Alat-alat berat telah mengakuisisi sepanjang ruas jalan.
Bahkan para pengendara harus melewati ruas itu secara bergantian melalui jalur tunggal sementara. Lalu lintas jalan memang mulai sedikit padat. Itu karena aku sudah mendekati titik akhir tujuan yang pasti juga akan dikunjungi oleh para pelancong kebanyakan.
Aku pun tiba….
Dengan membayar Rp. 5.000, aku memasuki gerbang dan aku diminta oleh petugas parkir untuk memarkir motor di percabangan jalan sebelah kiri. Pengelola tempat wisata menyediakan lokasi parkir tak beraspal di sebuah lahan yang cukup luas. Tetapi aku lebih memilih memarkirkan sepeda motor sewaan tepat di bahu jalan.Aku hanya diperingatkan oleh petugas parkir supaya tidak meninggalkan barang apapun di sepeda motor, karena banyak beruk yang sering mengutil barang-barang milik pelancong. Tapi tak perlu khawatir, aku cuma membawa folding bag berukuran sedang yang semua perlengkapan telah kumasukkan di dalamnya.
Aku melanjutkan langkah melewati jalan utama yang di kiri-kanannya dipenuhi dengan deretan kedai makanan, buah tangan dan souvenir.Untuk kali pertama kedatanganku itu, aku mengindahkan seruan para pembeli yang mengajak setiap pelancong untuk mampir di kedainya.
“Lebih baik makan siang nanti aja saat mau bertolak pulang”, aku bergumam.
Tak lama, langkahku akhirnya tiba di titik terbarat Pulau Weh, titik terbarat Nusantara, yaitu titik Nol Kilometer Indonesia.
Titik inilah yang menjadi titik paling sakral bagi para traveler Indonesia. Titik Nol Kilometer Indonesia ini ditandai dengan kehadiran tugu berwarna biru langit. Tugu ini dinamakan sebagai Tugu Nol Kilometer RI yang ketinggiannya menjulang setinggi 43,6 meter.
Kuperhatikan, tugu itu berhiaskan rencong di keempat sayap berbentuk setengah lingkaran. Rencong sendiri adalah senjata khas Aceh. Rencong dalam Monumen Nol Kilometer ini melambangkan perjuangan rakyat Aceh dalam kemerdekaan Bangsa Indonesia.Sayang di beberapa bagian tugu, besi monumen mulai banyak yang berkarat. Harusnya tugu ini dirawat dengan lebih baik, karena di masa depan pasti akan banyak pelancong yang tak henti-hentinya datang dan berkunjung ke tempat ini.
Aku kembali diam menatap bangunan ikonik itu lekat-lekat.


Kuperhatikan bahwa keistimewaan tugu ini adalah lokasinya yang tepat berada di tepi pantai, sehingga ketika aku mencoba naik ke lantai kedua tugu, pesona Samudera Hindia terpampang dengan indahnya di hadapan.
Saking ramainya suasana, banyak sekali pelancong yang rela antri untuk bisa berfoto di depan dua signboargd, yaitu signboard “Kilometer 0 Indonesia” dan “Sabang Kilometer 0”.
Aku sendiri tak berhasrat mengambil foto di depan signboard itu, aku lebih memilih memperhatikan beberapa ekor beruk yang gigih meminta makan kepada para pelancong yang datang.Aku sendiri hanya meluangkan waktu selama setengah jam di Tugu Nol Kilometer RI itu, karena aku harus berusaha keluar dari area tugu demi mencari kemungkinan keberadaan ibadah Shalat Jum’at di sekitar tugu.
Sayang aku tak menemukannya setelah menengoki setiap sudut di kawasan tugu. Hanya sebuah mushola kecil nan kosong yang kutemukan di salah satu sudut.“Ya sudah….Aku akan menjamak sholatku”, aku memutuskan.Gagal menemukan ibadah Shalat Jum’at, maka bergegaslah aku mencari kedai makan. Aku melewati begitu saja beberapa kedai yang hanya menjual mie rebus berbahan mie kemasan.
Hingga akhirnya aku menemukan sebuah warung nasi di ujung jalan. Pondok Nabila, nama warung nasi itu. Penjualnya adalah seorang muslimah asal Medan.
Di Pondok Nabila, aku hanya menyantap sepiring Nasi Goreng Kampung dengan telor mata sapi setengah matang. Harganya cukup murah dan fair kurasa , hanya Rp. 25.000.

Usai menyantap makan siangku, aku bergegas menuju parkiran sepeda motor demi melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi aku mendadak tersadar bahwa aku telah melupakan sesuatu yang untungnya belum terlambat untuk dilakukan, yaitu mencicipi Rujak Khas Aceh dengan bahan buah Rumbia.Maka aku mencari kedai rujak terdekat dari tempatku berdiri.
Aku menemukan seorang bapak yang sedang mengulek bumbu rujak dan anak gadisnya yang membungkus rujak yang telah diindent oleh para pembeli.“Wah, laris banget….Pakai indent segala”, batinku terkekeh.Aku mendekat ke arah bapak itu….
“Berapaan, Pak ?”
“Lima Belas Ribu, Dek”, si Bapak penjual menjawabku dengan ramah.
“Pesan satu ya, Pak”“Baik, Dek,….Silahkan duduk dulu di dalam kedai, nanti saya buatkan….Saya ngelayanin yang sudah pesan duluan ya, Dek”“Baik, Pak”, aku meninggalkannya dan melangkah ke dalam kedai semi permanen untuk duduk di salah satu kursinya.
Setelah lima belas menit menunggu, rujak khas Aceh yang kupesan akhirnya tiba.

Hmmmh….Penampakannya yang aduhai membuatku menyantapnya pelan-pelan.Sungguh cita rasa rujak yang luar biasa. Asam, pedas, manis, gurih, segar dan kelat bercampur menjadi satu dalam sajian Rujak Aceh itu.
Maka akupun menikmatinya dengan khusyu’ sebelum aku pergi menyeberang ke Pulau Rubiah.Kisah Selanjutnya—->