Rujak Aceh di Titik Nol Kilometer Indonesia

<—-Kisah Sebelumnya

Pantai Gapang.

Aku tak lama mengintip biru jernihnya Pantai Gapang, karena tujuan utamaku bukanlah pantai itu. Setelah mengambil beberapa gambar seperlunya, aku kembali menggeber sepeda motor sewaan menuju barat. Tujuanku tak jauh lagi dari Pantai Gapang. Hanya berjarak tiga kilometer lagi. Itu berarti aku hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit demi menujunya.

Tak lama turun kembali di jalanan, suara bacaan Al-qur’an mulai terdengar sayup dari sebuah masjid besar, Masjid Baitul Muna namanya.

Aku pun berpikir bahwa Shalat Jum’at akan segera dimulai. Aku meniatkan berhenti dan melongok ke gerbang masjid. Ternyata belum ada siapa-siapa di halaman dan ruangan masjid. Dan setelah mengecek di “mesin pencari”, aku baru mengetahui bahwa ibadah Shalat Jum’at di Pulau Weh baru akan dimulai satu setengah jam lagi.

Maka tanpa ragu, aku pun kembali menarik gas sepeda motor sewaanku….

Sewaktu kemudian, tibalah putaran roda di sebuah tikungan….Aku terus saja melenggang.

Tetiba….

Sepertinya aku melewatkan sesuatu”, gumamku usai sekelebat melihat antrian mobil di depan gerbang.

Maka kuputar kembali arah sepeda motor sewaanku, mendekat ke antrian, dan akhirnya aku pun ikut mengantri.

Giliranku akhirnya tiba….

Mau nginep, Bang?” pemuda penjaga gerbang menanyaiku

Engga, Bang. Cuma mau nyebrang”“Lima Ribu, Bang….Tapi nanti nyebrang habis Shalat Jum’at ya….Jam setengah dua”, dia memberi informasi.

Oh baik, Bang, kalau begitu nanti saya ke sini lagi aja”, aku memutuskan pergi ke tempat lain saja.

Sebelum pergi, aku yang penasaran, kembali menatap signboard yang tertera di gerbang.

SELAMAT DATANG DI TEUPIN LAYEU“, begitulah aku membacanya.

Maka kulihat aplikasi berbasis peta di telepon pintarku. Lokasi itu merujuk pada nama “PANTAI IBOIH”. Nantinya aku akan paham bahwa kedua nama itu merujuk pada tempat yang sama. “Teupin Layeu” adalah nama pantainya, sedangkan “Iboih” adalah nama daerah  dimana pantai Teupin Layeu berada.

Sudahlah….Bukan perkara penting“, aku bergumam.

Aku masih memiliki tujuan lain yang lebih penting dan merupakan ikon nasional.

Aku kembali menggeber sepeda motor sewaan lebih cepat, berkejaran dengan waktu Shalat Jum’at.

Dan dalam sekejap, aku pun mulai memasuki ruas jalan yang sedang dalam masa perbaikan di sana-sini. Alat-alat berat telah mengakuisisi sepanjang ruas jalan.

Bahkan para pengendara harus melewati ruas itu secara bergantian melalui jalur tunggal sementara. Lalu lintas jalan memang mulai sedikit padat. Itu karena aku sudah mendekati titik akhir tujuan yang pasti juga akan dikunjungi oleh para pelancong kebanyakan.

Aku pun tiba….

Dengan membayar Rp. 5.000, aku memasuki gerbang dan aku diminta oleh petugas parkir untuk memarkir motor di percabangan jalan sebelah kiri. Pengelola tempat wisata menyediakan lokasi parkir tak beraspal di sebuah lahan yang cukup luas. Tetapi aku lebih memilih memarkirkan sepeda motor sewaan tepat di bahu jalan.

Aku hanya diperingatkan oleh petugas parkir supaya tidak meninggalkan barang apapun di sepeda motor, karena banyak beruk yang sering mengutil barang-barang milik pelancong. Tapi tak perlu khawatir, aku cuma membawa folding bag berukuran sedang yang semua perlengkapan telah kumasukkan di dalamnya.

Aku melanjutkan langkah melewati jalan utama yang di kiri-kanannya  dipenuhi dengan deretan kedai makanan, buah tangan dan souvenir.

Untuk kali pertama kedatanganku itu, aku mengindahkan seruan para pembeli yang mengajak setiap pelancong untuk mampir di kedainya.

Lebih baik makan siang nanti aja saat mau bertolak pulang”, aku bergumam.

Tak lama, langkahku akhirnya tiba di titik terbarat Pulau Weh, titik terbarat Nusantara, yaitu titik Nol Kilometer Indonesia.

Titik inilah yang menjadi titik paling sakral bagi para traveler Indonesia. Titik Nol Kilometer Indonesia ini ditandai dengan kehadiran tugu berwarna biru langit. Tugu ini dinamakan sebagai Tugu Nol Kilometer RI yang ketinggiannya menjulang setinggi 43,6 meter.

Kuperhatikan, tugu itu berhiaskan rencong di keempat sayap berbentuk setengah lingkaran. Rencong sendiri adalah senjata khas Aceh. Rencong dalam Monumen Nol Kilometer ini melambangkan perjuangan rakyat Aceh dalam kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Sayang di beberapa bagian tugu, besi monumen mulai banyak yang berkarat. Harusnya tugu ini dirawat dengan lebih baik, karena di masa depan pasti akan banyak pelancong yang tak henti-hentinya datang dan berkunjung ke tempat ini.

Aku kembali diam menatap bangunan ikonik itu lekat-lekat.

Deretan kedai souvenir di Titik Kilometer 0 Indonesia.
Pemandangan dari lantai 2 Tugu Nol Kilometer RI.
Tugu Nol Kilometer RI.

Kuperhatikan bahwa keistimewaan tugu ini adalah lokasinya yang tepat berada di tepi pantai, sehingga ketika aku mencoba naik ke lantai kedua tugu, pesona Samudera Hindia terpampang dengan indahnya di hadapan.

Saking ramainya suasana, banyak sekali pelancong yang rela antri untuk bisa berfoto di depan dua signboargd, yaitu signboardKilometer 0 Indonesia” dan “Sabang Kilometer 0”.

Aku sendiri tak berhasrat mengambil foto di depan signboard itu, aku lebih memilih memperhatikan beberapa ekor beruk yang gigih meminta makan kepada para pelancong yang datang.

Aku sendiri hanya meluangkan waktu selama setengah jam di Tugu Nol Kilometer RI itu, karena aku harus berusaha keluar dari area tugu demi mencari kemungkinan keberadaan ibadah Shalat Jum’at di sekitar tugu.

Sayang aku tak menemukannya setelah menengoki setiap sudut di kawasan tugu. Hanya sebuah mushola kecil nan kosong yang kutemukan di salah satu sudut.

Ya sudah….Aku akan menjamak sholatku”, aku memutuskan.Gagal menemukan ibadah Shalat Jum’at, maka bergegaslah aku mencari kedai makan. Aku melewati begitu saja beberapa kedai yang hanya menjual mie rebus berbahan mie kemasan.

Hingga akhirnya aku menemukan sebuah warung nasi di ujung jalan. Pondok Nabila, nama warung nasi itu. Penjualnya adalah seorang muslimah asal Medan.

Di Pondok Nabila, aku hanya menyantap sepiring Nasi Goreng Kampung dengan telor mata sapi setengah matang. Harganya cukup murah dan fair kurasa , hanya Rp. 25.000.

Pondok Nabila.
Ayam goreng kampung itu warnanya putih tanpa kecap dan saus.

Usai menyantap makan siangku, aku bergegas menuju parkiran sepeda motor demi melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi aku mendadak tersadar bahwa aku telah melupakan sesuatu yang untungnya belum terlambat untuk dilakukan, yaitu mencicipi Rujak Khas Aceh dengan bahan buah Rumbia.

Maka aku mencari kedai rujak terdekat dari tempatku berdiri.

Aku menemukan seorang bapak yang sedang mengulek bumbu rujak dan anak gadisnya yang membungkus rujak yang telah diindent oleh para pembeli.

Wah, laris banget….Pakai indent segala”, batinku terkekeh.Aku mendekat ke arah bapak itu….

Berapaan, Pak ?

Lima Belas Ribu, Dek”, si Bapak penjual menjawabku dengan ramah.

Pesan satu ya, Pak

Baik, Dek,….Silahkan duduk dulu di dalam kedai, nanti saya buatkan….Saya ngelayanin yang sudah pesan duluan ya, Dek”“Baik, Pak”, aku meninggalkannya dan melangkah ke dalam kedai semi permanen untuk duduk di salah satu kursinya.

Setelah lima belas menit menunggu, rujak khas Aceh yang kupesan akhirnya tiba.

Buah Rumbia yang digantung dan membuat penasaran.
Rujak Aceh dengan buah Rumbia.

Hmmmh….Penampakannya yang aduhai membuatku menyantapnya pelan-pelan.Sungguh cita rasa rujak yang luar biasa. Asam, pedas, manis, gurih, segar dan kelat bercampur menjadi satu dalam sajian Rujak Aceh itu.

Maka akupun menikmatinya dengan khusyu’ sebelum aku pergi menyeberang ke Pulau Rubiah.

Kisah Selanjutnya—->

Harta Tersembunyi Pantai Utara Pulau Weh

Aku berhasil menitipkan backpack di PUM Losmen. Itu juga setelah aku berkali-kali menekan lonceng losmen yang sedikit soak.

Bang Ari yang masih menyipitkan mata terbangun, keluar dari kamar dan menemuiku.

Kan bisa WA bang?”, dia menegurku

Oh, maaf Bang Ari, tadi sudah saya WA tapi tidak dibalas sama Abang”, aku menegaskan sembari memohon maaf.

Saya mau nitip tas aja bang, saya sudah pesan kamar via online”, aku menegaskan maksud.

Setelah Bang Ari mengiyakan, aku segera mengambil peralatan seperlunya dari backpack, menaruhnya di dalam folding bag yang kupanggul, untuk kemudian menyerahkan backpack kepadanya.

Sebelum benar-benar pergi, aku memperhatikan lobby dan koridor losmen. Semua tampak bersih. Aku yakin tidak salah memilih losmen. 

Aku sendiri tak menyadari bahwa aku akan sedikit menemukan hal yang menggelikan ketika nantinya sudah memasuki kamar.

Aku pamitan kepada Bang Ari…..Sambil melihat nomor HP Bang Ari yang terpampang di meja reception.

Apakah nomor itu aktif….Kok Bang Ari tidak membalas WAku”, aku masih berpikir.

Menuruni tangga, aku kembali menaiki sepeda motor sewaan yang kuparkirkan di pinggir jalan.

Sudah jam sepuluh pagi lewat ketika aku kembali turun di jalanan Sabang.

Aku memutar arah di Jalan Perdagangan untuk menggapai Jalan Cut Nyak Dien demi mendapatkan akses menuju barat. Ya, aku akan menyambangi titik terbarat pulau Weh sekaligus titik terbarat Nusantara.

Kamu tahu kan tempat yang kumaksud?

Aku berhasil menggapai Jalan Cut Nyak Dien, tetapi kemudian tetiba terpikir sesuatu.

Oh, iya….Nanti malam motorku parkir dimana ya?….Tadi kulihat tidak ada tempat parkir di losmen”, aku tetiba tersadar.

PUM Losmen yang kumaksud memang hanya menempati lantai 2 sebuah kompleks ruko.

Ah pikir nanti saja lah….Waktuku tak banyak”. Aku harus berlomba dengan waktu.

Aku kembali menggeber kendaraan lebih kencang, melintasi jalanan pulau Weh yang sepi. Pemandangan berubah. Kiri kanan jalan terhampar kebun-kebun warga yang luas dan hijau.

Selama menarik gas, ada dua perdebatan dalam diri. Otakku selalu berpikir untuk terus menggeber sepeda motor demi menghemat waktu eksplorasi. Sedangkan di sisi kiri dan kananku sesekali terhampar pemandangan laut yang indah nan cantik dan menarik minat hati untuk berhenti.

Beberapa kali aku telah melewatkan spot-spot cantik, bahkan semenjak permulaan perjalanan dari Kota Sabang di beberapa menit sebelumnya.

Tapi kemudian entah kenapa akhirnya aku berhenti mendadak pada sebuah spot. Hati nurani menginterupsi scenario perjalananku sendiri.

Aku memutuskan untuk mampir di setiap spot indah yang akan kutemui di depan.

Di hadapan telah terpampang panorama indah. Tepat di tepian jalan di daerah Kreung Raya. Aku memasang standar motor lalu berdiri tegak menikmati panorama itu. Tepat di seberang jalan adalah keramaian warung kopi dengan penikmatnya yang terus menatap keberadaanku. Aku mengindahkan tatapan mereka dengan terus menghadap ke arah pantai.

Untuk beberapa saat aku duduk di atas jok motor menikmati panorama indah itu.

Lima menit kemudian aku melanjutkan perjalanan.

Tetapi baru saja berkendara selama lima menit, aku kembali menemukan spot yang lebih indah. Berada dibalik sebuah kedai panggung di tepian dinding jalan yang terjal. Kedai itu dibikin menggantung di atas tebing jalan berpenopang kayu-kayu berukuran besar.

Sementara itu, di sebelah kiri kedai terdapat area titik pandang yang dibuat menempel dengan kedai. Kedai itu tutup, panggung titik pandang itu lengang. Maka aku memutuskan naik ke atas panggung itu dan menikmati keindahan pantai Pulau Weh yang sungguh eksotis.

Kali ini agak lama, karena pemandangannya memang sungguh indah, Untuk beberaa saat aku membiarkan waktu berlalu demi meresapi dan menyimpan memori keindahan yang ada di depan mata.

Panorama di Kreung Raya.
Panorama di atas panggung titik pandang.

Usai puas, aku kembali menggeber sepeda motor….

Kali ini aku dibawa melaju tepat di bibir pantai. Membuat pandanganku tak lagi terfokus ke depan melainkan lebih sering menatap ke sisi kanan. Birunya laut terpampang jelas di sepanjang jalan, berjeda cepat dan teratur dengan julangan tinggi pokok-pokok nyiur yang banyak tumbuh di sepanjang pantai.

Jalur yang eksotis….”, aku tersenyum membatin.

Jalanan tepat di sisi pantai utara Pulau Weh.

Beberapa saat kemudian aku tiba di daerah Batee Shoek,

Di daerah ini kembali aku menemukan sebiah view tepat di sisi tebing pantai, berupa tanah lapang berumput hijau yang berbatasan langsung dengan bibir laut yang tertahan oleh tebing setinggi tak lebih dari satu meter.  Dari tanah lapang itu, aku bisa menikmati pantai, sekaligus mendengarkan debur ombak yang menghantam tebing rendah itu silih berganti.

Panorama di Batee Shoek.
Tepat di bibir pantai.

Kembali meneruskan perjalanan, sepeda motorku mulai memasuki sebuah tikungan tajam sekaligus menanjak tajam, Tikungan Batee Shoek adalah sebutan untuk tikungan itu.

Di sepanjang tanjakan, dua motor wisatawan lokal yang membawa trolley bag berukuran besar dengan kondisi berboncengan dengan mudah kulewati. Kedua motor wisatawan itu tampak kepayahan menanjak.

Berikutnya….

Aku memasuki Kawasan Hutan Kemasyarakatan di daerah Aneuk Glee. Jalur dari tahap perjalanan ini tampak sepi, hanya satu dua kedai mie yang bisa kutemui sepanjang jalur hutan sekaligus gunung sepanjang lima kilometer itu.

Dan hanya ada satu titik pandang ke arah pantai yang bisa kudapatkan di atas gunung yang sedang kulewati.

Panorama di Hutan Kemasyarakatan Aneuk Glee
Gerbang Pantai Gapang.

Aku mulai sumringah ketika mulai menemui perumahan penduduk. Aku juga semakin antusias karena menemukan sebuah spot wisata….Pantai Gapang namanya.

Maka aku memutuskan untuk mampir sebentar…..

Kisah Selanjutnya —->

Candi Gumpung 2: Imajinasi Masa Lalu yang Indah

<—-Kisah Sebelumnya

Suhu udara menghangat….

Matahari mulai mendaki ufuk timur ketika aku tuntas menikmati jengkal demi jengkal petilasan Candi Gumpung.

Rasa kagum memenuhi ruang imajinasi, berhasil membawaku ke dalam hayalan ritual-ritual keagamaan masa lalu yang berlangsung di candi itu.

Sementara itu, aku membuang tatapan ke sisi lain. Ada sebidang sebaran candi lagi di pojok utara.

Aku harus melihat kumpulan candi itu, jika melewatkannya maka peluang dan kesempatanku untuk mengunjunginya di lain waktu akan kecil”, aku sudah melangkah ketika ucapan dalam batin itu usai.

Melangkahlah aku ke sisi utara. Tak jauh, jaraknya hanya seratus meter.

Sungguh kompleks candi yang menakjubkan”, aku menggeleng-gelengkan kepala menatap luasan candi hingga ke titik tertimur.

Bahkan, menurut percakapan empat sekawan peneliti asal Jawa Barat yang aku dengar setiba di pintu gerbang Kompleks Candi Muaro Jambi beberapa menit sebelumnya, masih banyak menapo yang betebaran di seantero kompleks candi tersebut.

Menapo sendiri merujuk pada gundukan-gundukan tanah yang di dalamnya berisi reruntuhan candi yang telah terpendam berabad-abad silam. Hingga kini, sebaran menapo itu belum sempat dipugar karena menunggu anggaran pemugaran dari negara.

Aku tiba di reruntuhan candi yang kumaksud,

Satu spot yang pertama kutuju adalah papan informasi yang terletak di sisi selatan candi. Berdasarkan informasi yang kubaca, diketahui bahwa detik itu aku berdiri di depan Candi Gumpung 2.

Candi Gumpung 2 adalah situs sejarah yang merupakan kumpulan lima belas struktur stupa. Pada saat ditemukan sruktur tersebut hanya menyisakan bagian pondasi dan bagian tubuh, sedangkan bagian atas yang berbentuk stupa sudah banyak yang hilang. Batu stupa yang ditemukan hanya berupa profil berupa bata yang tidak lengkap. Fungsi stupa dalam tradisi Buddha adalah sebagai tempat persembahan untuk menghormati tokoh suci dalam sejarah ajaran Buddha ataupun para guru utama di masa lampau. Pendirian stupa juga berhubungan dengan penghormatan kitab suci, seperti Abhidarma, Vinya dan Sutta.

Candi Gumpung 2 dilihat dari kejauhan.
Struktur utama Candi Gumpung 2.
Candi pendamping di sisi utara Candi Gumpung 2.
Bagian dari stupa yang berhasil di rekonstruki.

Candi Gumpung 2 terdiri dari satu susunan candi utama di tengah di dampingi lima susunan candi perwara di sisi utara dan dua susuan candi perwara di sisi selatan.

Candi Perwara dalam arsitektur candi-candi Jawa diidentikkan dengan candi yang dibangun mengelilingi candi utama. Dalam manuskrip lain, candi perwara juga sering disebut sebagai Candi Pengiring.

Hanya ada satu stupa yang coba direkontruksi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi. Stupa itu berdiri gagah di atas candi pendamping di sisi utara.

Sejenak aku duduk tertegun di atas hijaunya rerumputan, tepat di tengah pelataran reruntuhan Candi Gumpung 2.

Aku berusaha menikmati hasil rekonstruksi Candi Gumpung 2 itu. Penampilan candi yang terkesan klasik walaupun hanya memamerkan bagian-bagian pondasi dari bangunan candinya saja. Toh aku bisa mengimajinasi tampilan menjulangnya di masa-masa awal pembangunannya lima belas abad silam.

Sejenak aku melarutkan diri dalam imajinasi masa lalu yang indah……

Jejak Jawa Candi Gumpung

Ramadhan hari kedua belas….

Pagi itu langit cerah sempurna, pertanda akan sangat terik pada siang harinya. Sementara itu itu, aku telah bersiap untuk perjalanan cukup jauh, tak kurang dari 25 km aku akan menempuhnya.

Hampir pukul delapan pagi ketika aku sudah duduk di sofa lobby OYO 2049 Tassa Kost Syariah yang berlokasi di kawasan Telanaipura. Sedangkan tujuanku jelas, yaitu Kompleks Candi Muaro Jambi.

Aku menatap sebuah aplikasi transportasi online di layar telepon pintarku. Tampak jelas di layar bahwa setidaknya dibutuhkan perjalanan selama 45 menit apabila menggunakan sepeda motor, biaya menunjukkan di angka Rp. 66.000.

Hmmhhh….Mahal juga ya”, aku bergumam dalam hati.

Karena tak ada pilihan lain, aku akhirnya mengeksekusi pesanan ojek online itu. Pengemudi ojek tiba dalam lima menit dan aku segera berjibaku di jalanan menuju tujuan. Perjalanan menggunakan sepeda motor ini, sebagian besar porsi perjalanannya harus melewati jalan penuh rawa dan hutan, yaitu Jalan Lintas Jambi-Muara Sabak. Perjalanan yang cukup berat, karena harus berjibaku dengan truk-truk bermuatan penuh di sepanjang ruasnya.

Selama di perjalanan, pengemudi ojek online itu menjelaskan bahwa nanti pada saat pulang dari kompleks candi, aku tidak akan pernah menemukan ojek online lagi. Kebanyakan wisatawan menuju ke sana menggunakan mobil pribadi. Oleh karenanya, aku disarankan untuk mencari ojek pangkalan sebagai cara terbaik bagiku untuk  ke kembali Kota Jambi.

Menjelang pukul sembilan pagi…..

Aku tiba……

Berhenti di pintu gerbang. Entahlah….Pintu loket tiket atau kantor jaga itu ternyata masih tertutup rapat, tak ada seorang pun di dalamnya. Maka aku melenggang melewati gerbang dengan leluasa tanpa membayar apapun.

Aku tiba di ujung Jalan Gerbang Candi Muaro Jambi. Tak ada jalan lagi di titik itu. Selebihnya pengunjung akan diarahkan untuk berjalan kaki atau menyewa sepeda ontel jika ingin berkeliling Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Candi Muaro Jambi yang memiliki luas hampir 4.000 hektar. Konon Kompleks Candi Muaro Jambi berfungsi sebagai perguruan tinggi tertua di Indonesia dan terluas di Asia Tenggara. Banyak pelajar dari India, Tiongkok dan Tibet belajar di kompleks candi itu. Pernah digunakan selama lima abad lamanya sebagai tempat menimba ilmu, tepatnya dari Abad VII hingga Abad XII.

Turun dari ojek online,

Aku terduduk di sebuah gazebo, di sudut awal kompleks candi tepatnya. Mengambil nafas sejenak usai berkendara motor dengan jarak yang cukup jauh. Mengamati hamparan lahan yang rata nan menghijau dengan tengara Candi Gumpung di kejauhan. Itulah candi terdekat dari tempatku duduk.

Candi Gumpung terlihat dari gazebo tempatku duduk.

Aku tak sendiri, ada empat sekawan berusia paruh baya di gazebo itu. Menguping dari percakapan mereka, aku tahu bahwa mereka telah berada dua malam di kompleks candi itu. Sepertinya mereka memang fokus melakukan eksplorasi.

Pak, ini untuk masuk ke candi itu apakah perlu tiket?”, aku harus segera bertanya karena ingin segera mengeksplorasi kompleks candi.

Loh, tadi di depan tidak dimintain  tiket ya, bang?”, salah satu dari mereka bertanya balik

Tidak, Pak

Oh, kalau begitu langsung masuk aja, Bang.  Tidak ada pemeriksaan tiket kok di dalam”, dia menjelaskan dengan yakin karena sudah dari sehari sebelumnya mereka mengeksplorasi kompleks candi itu.

Dengan wajah sumringah, aku undur diri dari gazebo, meninggalkan rombongan peneliti itu. Melewati jalur ganda pejalan kaki yang dipisahkan lajur hijau yang dijejali pohon-pohon besar.

Tepat di sisi kanan tempatku melangkah, berdiri Museum Candi Muaro Jambi. Dari informasi yang kudapatkan di pelataran museum, aku mengetahui bahwa berbagai jenis arca, artefak, koleksi batu bata merah penyusun candi, hingga logam-logam bersejarah disimpan di dalamnya.

Museum Candi Muaro Jambi yang tutup.

Tapi entah kenapa pintu museum itu tertutup rapat-rapat. Aku hanya tersenyum tipis ketika meninggalkan pelatarannya begitu saja. Aku kehilangan satu venue penting pagi itu.

Lindap di tikungan, untuk kemudian aku dihadapkan pada tanah lapang berumput. Apik dan rapi bak lapangan sepakbola berstandar internasional.  Beberapa pekerja wanita berkaos dengan warna seragam tampak sibuk memotong rumput dan menyapu lahan berumput itu dari dedauan yang gugur.

Sementara itu, di tengah tanah lapang berumput itu berdiri gagah Candi Gumpung. Keberadaannya hanya terpisahkan dengan reruntuhan pintu gerbangnya yang berada tepat di hadapanku. Tentu aku harus melewati gerbang itu untuk mendekati candi.

Rupanya pengelola candi membuat jembatan besi melintang di atas sisa-sisa reruntuhan gerbang yang tak terlalu tinggi. Jembatan itu jelas sekali ditujukan untuk menjaga batu bata asli penyusun gerbang yang sudah ada sejak tahun 800-an Masehi.

Melewati jembatan berketinggian rendah itu, aku berlanjut menapaki tanah lapang berumput hingga tiba di sebuah bagian candi yang berupa luasan penampang merata yang dibentuk oleh susunan batu bata merah tanpa dinding dan tiang bangunan. Di tengah bidang pelataran batu itu, terdapat dua bidang kecil umpak-umpak batu yang dulunya mungkin digunakan sebagai penyangga dua tiang saka yang digunakan dalam ritual awal keagamaan.

Dalam arsitektur candi-candi Jawa, bagian seperti itu disebut Mandapa, satu bagian tak terpisahkan dari candi utama yang memiliki fungsi sebagai tempat persiapan sebuah ritual keagamaan.

Usai mengamati bagian Mandapa dengan cermat, aku melanjutkan eksplorasi ke bangunan utama candi. Secara sekilas, garis keliling Candi Gumpung memiliki bentuk bujur sangkar. Bagian dindingnya disusun dari batu bata merah. Sepertinya batu bata merah itu direkatkan satu sama lain dengan tehnik kosot, tehnik yang juga digunakan dalam bangunan-bangunan peninggalan Kerajaan Majapahit.

Keunikan pada sisi depan candi adalah adanya batu andesit dengan ukiran khas seperti ukiran pada candi-candi di Jawa. Batu itu adalah Makara yang menggambar perwujudan Dewa Air. Tampak jelas bahwa candi itu digunakan sebagai tempat peribadatan bagi masyarakat pemeluk agama Buddha pada masanya.

Lihatlah Mandapa di depan bangunan Candi Gumpung itu !
Makara berbahan batu andesit.
Bentuk Candi Gumpung tampak belakang.

Karena usia candi berada pada rentang masa pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, maka diduga bahwa Candi Gumpung memiliki hubungan yang erat dengan Kerajaan Sriwijaya.

Setelah cukup puas menikmati pesona Candi Gumpung, maka aku melanjutkan perjalanan ke bangunan candi yang lain.

Yuk….Ikuti aku !

Kisah Selanjutnya—->

Fighting Anxiety at Cochin International Airport

<—-Previous Story

A concern came with the alertness of the Air Asia AK 39 cabin crew who were busy checking all passengers as a sign that the plane would soon be landed on the Cochin International Airport runway.

Air Asia’s six wheels even hit the ground before one o’clock in the morning, while my head was still full of questions.

“Will there be a passenger waiting room at the airport after the immigration counter?”

“If there is no such facility, is it true that I have to wait outside the airport building until the sun rises in Kerala?”

“Or do I have to carry out Plan B where I will sleep while sitting in a restaurant outside the airport terminal building?”….Yes, that was my final plan if there wasn’t a waiting room at the airport after completing immigration matters.

Never mind, I’ve prepared myself for all possibilities….

The beautiful Indian flight attendant smiled while signaling that it was safe for passengers to leave the cabin. I stepped along the aisle of the cabin confidently.

Took a Look at the Arrival Hall

Walking through the non-glass aerobridge made me unable to enjoy the situation around the apron. Because usually I would stand on the side of the aerobridge and take some pictures of the unloading activity around the plane. But I was still lucky because I was directed through the arrival hall corridor with glass walls, I thought the windows were wide enough and allowed me to enjoy the airport view facing the runway.

Cochin International Airport Terminal 3 starting corridor.
The duty-Free area before the immigration counter.
Baggage conveyor belt area.
Came on, took a peek at the toilet….It was clean…

I stared at the eight-filled arrival card that the flight attendant gave me a moment before landing while continuing to rush along the floor without a carpet until I arrived at the immigration counter.

“Stupid….”, I cursed myself that apparently had lost the only pen to fill out the arrival card. At the tables where foreign passengers filled out the sheets, there wasn’t even a pen that could be used.

As a result, I had to go around borrowing pens from passengers who had finished filling out the arrival cards. Without hesitation, several passengers seemed to ignore me and chose to refuse on the grounds of being in a hurry.

But an unexpected incident came….The male passenger who sat next to me on the whole flight came over….

“For you….Just keep it”, with an Indian accent, he smiled.

“Thank you, Sir…”, I said

“Happy traveling….”, he smiled and walked away leaving me to immediately join the group of worshipers from the Sabarimala Ayyappa Temple who seemed to be pushing towards the immigration desk.

Table?

Yups, this is the most unique immigration counter I’ve ever encountered.

At Cochin International Airport, the immigration counter is not in the form of standing counters, but a counter that is set very similar to an interview table. Every foreigner will be seated in front of the immigration officer and interrogated with several questions. It’s tense, but for me, the excitement side stands out more.

I took out my passport, eVisa, and Hotel Booking Confirmation while waiting for a European woman to be interrogated at the immigration desk. After that, I was asked to sit down and the officers began to interrogate me.

Two attendants stood by to question me at the counter, one sitting facing the laptop and one standing.

As soon as I handed in the documents, an officer sitting in front of a laptop immediately started looking for information about me in their immigration database.

Immigration officer: “Mr. Donny Suryanto? If yes, you’ve visited India once, haven’t you?”

Me: “Yes, Sir. New Delhi and Agra. Beautiful cities in your country”.

Immigration Officer: “How long will you visit Kochi?”

Me: “Two days”.

Immigration officer: “Oh, just two days. Why?”

Me: “This is just a transit trip to get a cheap flight to Dubai, Sir. Cause I’m a backpacker, Sir”

Immigration officer: “Clever…No matter for a very short vacation. Happy traveling, Mr. Donny”

Me: “Thank you, Sir”.

I very quickly and easily went through the interrogation stages at the Cochin International Airport immigration counter. Now I hurry and swing through customs and easily arrived at the exit door.

I was so happy when in front there was a small row of seats.

“Yeaaa….I’ll wait for the morning in that row of chairs”, my worries have vanished.

This was the waiting chair.
It was on my right-hand side that was where I exchange Dollars.

This was the waiting chair.

It was on my right-hand side that was where I exchange Dollars.

But before actually sitting down, I started hunting for Rupees for purposes while exploring Kochi. I approached the foreign currency exchange counter owned by Thomas Cook Change Currency.

Me: “How much is the minimum Dollar which can be exchanged here, Sir?”

Counter clerk: “100 Dollars, Sir”

Me: “Oh, I’m sorry, I just need to change a few dollars into Rupees”

Counter clerk: “No problem, Sir”

I left the counter to go to another counter that can serve exchanges under 100 US Dollars. Finally I was able to exchange 5 US Dollars and 5 Malaysian Ringgits to get 320 Rupees at the Weizmann Forex Money Exchange. That much rupees would even be left over for my two day adventure in Kochi. Very cheap right?…..

Meanwhile, for communication access, I decided to use an Airtel 4G SIM card. Because I bought it after exchanging US Dollars, I bought the SIM card with a 3GB quota using a 5 US Dollar bill.

“It takes four hours to activate your card”, said the seller to me as soon as I left the telecommunications counter.

Although in the end, I would never be able to activate the SIM card that I bought during my adventure exploring Kochi….Damn.

Several Rupees were in hand and communication access was in hand, now I could sit in a row of empty seats at the last end of the arrival hall. India was known for its cold air in January, so I feel grateful to be able to wait for the morning to come inside the airport.

It was still half past three in the morning when I sat on one of the benches…..

For more than five hours of waiting time, I could only witness the discipline of a soldier guarding the entrance gate to the area inside the airport. The soldier was never tired of combining sitting and standing movements for hours to check the traffic of airport staff, airline ground staff, and other officers when going in and out of the area inside the airport building.

Or witness the typical ritual when some guests pickers place their palms on the feet of the person being picked up as a form of respect. The rest I could never completely close my eyes in that waiting chair.

And so on, until exactly eight in the morning, I decided to leave the waiting room to go to the Royal Wings Hotel which was located 1.3 kilometers in the west of airport.

As usual, before I left the airport area, I took the time to explore all sides outside the airport building. Here were some spots in Cochin International Airport that I could show to you.

Cloak Room to the west of the Terminal 3 exit door.
Drop-off zone.
Arrival corridor.
If there were no waiting chairs in the airport building, I planned to wait at the Chili Restaurant which was open 24 hours.
Car parking area.
The elegance of Cochin International Airport located in the Aerotropolis Nedumbassery.
Solar panels ground which was the main source of energy for Cochin International Airport.
Cochin International Airport gate.

Did you want to know the Departure Hall of Cochin International Airport?…I would show you later….Be patient.

Came on, explore!….

What’s in Kochi?….

Nasi Campur Gili Trawangan

<—-Kisah Sebelumnya

Aku mengembalikan snorkle yang kusewa beberapa jam lalu. Menaruhnya di etalase sewa, karena si empunya persewaan sedang tak ada di tempat.

Aku bertanya kepada seorang lokal yang sedang melintas di depan persewaan. Menanyakan keberadaan kamar bilas untuk umum. Tetapi usahaku nihil hasil. Menurutnya susah untuk menemukan tempat bilas umum di Gili Trawangan. Adapun para wisatawan yang bersnorkeling biasa membilas badannya di hotel tempatnya menginap. Memang benar adanya, di kawasan sepanjang pantai Gili Trawangan telah diakuisisi oleh bisnis perhotelan.

Akhirnya aku disarankan untuk menuju masjid agung saja jika ingin berbilas. Ide yang bagus menurutku, karena aku bisa sekaligus menjalankan ibadah shalat Dzuhur di sana.

Tetapi nanti sajalah….
Lebih baik, aku melanjutkan aktivitas bersepedaku mengelilingi gili terlebih dahulu sebelum berbilas.

Tanpa pikir panjang. Aku tak jadi berganti celana. Melainkan kembali mengenakan t-shirt lengan panjang. Masih bertelanjang kaki, untuk kemudian kembali mengayuh sepeda sewaanku menuju ke utara gili.

Menyusuri sepanjang jalan sisi pantai, aku memperhatikan beberapa lahan di pinggir pantai sisi dalam yang telah diblokade dengan pagar berpanel beton.

Tanah ini pasti sudah dimiliki para pengusaha kaya yang siap menyulapnya menjadi hotel, restoran ataupun bangunan bisnis lainnya“, aku bergumam menggeleng-gelengkan kepala. Tentunya, ini dampak dari Lombok yang telah menjadi tujuan penting bisnis pariwisata.

Tak terasa, aku telah sampai di titik terutara gili.

Keadaan berubah 180 derajat….

Jalanan berubah menjadi ruas penuh pasir. Tidak ada lagi pavling block yang tersusun rapi lagi. Pasir putih nan tebal itu membuat kayuhan sepedaku semakin berat. Memaksaku untuk turun dari sepeda dan mendorong sepeda sewaan sembari terus berjalan kaki menjelajahi gili.

Tak lama, aku hanya sanggup bertahan hingga dua ratus meter. Telapak kakiku kepanasan karena terus menginjaki pasir yang suhunya naik karena terpaan intens sinar matahari.

Tanah-tanah kosong berpagar panel beton di sisi kiri milik para pengusaha.
Jalanan berpasir di utara gili.

Aku segera memutar balik. Kembali ke arah selatan gili. Menyusuri lagi jalanan yang telah kulalui sebelumnya.

Dan akhirnya, beberapa saat setelahnya, adzan Dzuhur berkumandang dari tengah gili. Aku memutuskan untuk break sebentar dalam bereksplorasi dan kemudian mencari arah sumber suara adzan itu.

Aku mengejar lantunan adzan yang sebentar lagi lindap. Kembali mengayuh sepeda sewaan dengan cepat. Hingga akhirnya, aku menemukan masjid itu. Hanya berjarak setengah kilometer dari titik tempat aku melakukan snorkeling.

Masjid Agung Baiturrahman Gili“, aku membaca nama masjid itu.

Tanpa pikir panjang. Aku memarkirkan sepeda dan mulai mendekati gerbang masjid. Dan sungguh beruntung karena aku menemukan tempat bilas umum di dekat gerbang itu.

Aku berpaling dari masjid, bergegas menuju tempat bilas. Karena penuhnya antrian di kamar bilas yang memiliki bak mandi, maka aku memutuskan untuk menuju kamar ganti saja, tak mandi dan hanya berganti pakaian.

Ahh, air laut gili kan jernih”, aku membela diri dan merasa tak kotor setelah bersnorkeling.

Selesai berganti baju dengan cepat, aku segera bersuci dan mulai menjamak shalat di teras belakang masjid.

Seusai shalat, aku memilih relax, mengistirahatkan otot yang fatigue dengan merebahkan diri di atas karpet tebal masjid, sejenak memejamkan mata karena kantuk yang teramat sangat.

Sesaat bisa terlelap untuk kemudian terbangun karena perutku mulai lapar. Aku bangkit, meninggalkan masjid dan mulai berburu makan siang. Tapi aku kurang beruntung, harga makanan yang ditawarkan restoran-restoran pinggir pantai cukup mahal. Banyak menu makan siang yang dibanderol dengan harga lebih dari seratus ribu rupiah.

Restoran-restoran pinggir pantai.
Pelabuhan Gili Trawangan.
Nasi campur ayam di kedai makan sederhana.

Oleh karenanya, aku memutuskan untuk menuju ke arah pelabuhan. Aku yakin banyak warung makan untuk kelas pekerja di sana. Hanya warung-warung makan demikian yang biasa menyediakan makanan dengan harga murah dan terjangkau.

Beberapa saat mengayuh, aku tiba di Pelabuhan Gili Trawangan. Memelankan kayuhan, mataku terus menatap ke setiap sudut jalan untuk menemukan penjual nasi. Bersyukur, aku menemukannya seratus meter di selatan pelabuhan. Ada wanita paruh baya penjual nasi campur di sebuah kedai makan. Nasi campur itu telah dibungkus dengan daun pisang dengan berbagai macam menu di dalamnya. Nyatanya harga sebungkus nasi campur itu sangat terjangkau, hanya Rp. 10.000 per bungkus.

Bersyukur aku bisa menyantapnya siang itu…..

Failed and Succeeded: The Story of India’s eVisa Hunt

<—-Previous Story

I have experienced that applying for an eVisa was easier and the chances of being accepted were greater than applying for a Regular Visa. It was enough to attach the required documents and pay at the online payment gate, the e-Visa would be issued according to the planned time of arrival in the country.

At least I had made eVisa Taiwan, Sri Lanka, United Arab Emirates, Bahrain, and Oman. Everything went smoothly and the eVisa was easy for me to get.

Well, this time I will share a little story about how I made India’s e-Visa three times.

India’s eVisa is the second eVisa that I’ve ever pursued after the first eVisa that I’ve taken care of, i.e. eVisa Taiwan.

At that time….End of 2017….

The mental challenge that was so heavy after getting a Jet Airways flight ticket towards the capital of India, made my quest for an Indian e-Visa less enthusiastic. Getting an Indian eVisa was indeed very easy. I only needed to complete the data on the e-form and attached documents in the form of a photo of myself and a scan of the passport biodata sheet requested by the official India eVisa website. Then I only needed to wait some time for the eVisa to be issued. But the lack of enthusiasm in dealing with the e-Visa lied in the feeling of anxiety about visiting that Gandhi’s Country.

The eVisa validity period to entering India was short, which was around four months, making me had to apply for this eVisa close to the departure date.

I myself applied for this eVisa twenty days before departure and the eVisa was approved the day after submission after paying 50 US dollars at the payment gate. The application address was as follows: https://indianvisaonline.gov.in/visa/

This was my first story of hunting for an Indian eVisa.

The email I got after submitting data.
The next day the eVisa application had GRANTED status.
Check it out!…. Any entry point in India that could use this eVisa.
Tracking eVisa status on the application page.
Was my photo handsome or not?…. Hahaha.

Second Experience

Whereas my next experience in applying for an Indian eVisa occurred on November 8, 2018.

At that time, India’s eVisa was made free by the Indian government on June 18, 2018. The idea itself was conveyed by Nerendra Modi during a meeting of the Indian Diaspora in Jakarta.

Where was my destination at that time?….

Mumbai….Yups, I planned to get out of Chhatrapati Shivaji International Airport heading to the city center during a transit of more than 13 hours. At that time Jet Airways would take me from Dhaka to Colombo and transit in Mumbai.

Maybe due to a change in policy from a paid eVisa to a free eVisa, there had been a change of address on the India eVisa page. I submitted the eVisa application myself, exactly two months before departure.

Because the Web URL that I entered was wrong, the decision to accept or not my eVisa application never reached my email. The URL I went to at that time was https://indianvisaonline.gov.in/visa/

Do I then plan to reapply?

No….Because at the same time, there was a change in Jet Airways flight from Dhaka to Mumbai. The change in flight schedule didn’t allow me to get out of the airport, let alone head to the city center. Because the change in flight schedule apart from shortening the transit time also made 80% of my transit time fall at night. Hence, it would be impossible for me to explore Mumbai at night….Too risky.

In the end, I decided, I wouldn’t continue the continuation of this eVisa application because basically, I didn’t need it anymore. But my curiosity was prolonged, finally, I tried to find the correct Indian e-Visa application page address. And I found it, here is the URL in question: https://indianvisaonline.gov.in/eVisa/

Even though this page was wrong, the appearance of the e-form turned out to be exactly the same as the e-form on the correct page.
The page for checking the status of eVisa applications was also the same.

Third Experience

The third submission for the India eVisa was when I intended to explore the Middle East Region and decided to take entry to Dubai from Kochi.

The decision to jumping off to the Middle East from Kochi was of course closely related to the budget conditions I had. This condition was strengthened by the availability of low-cost Srilankan Airlines flights from Kochi to Dubai with temporary transit in Colombo. Of course, I chose to jump from Kochi also based on a strong desire to return to nostalgia with the rich culture of India.

The next opportunity occurred at the end of 2019. I applied for India eVisa to explore Kochi.

I processed this application by visiting the eVisa India page twice.

On December 4, I filled out the e-form partially due to busy work. Partially filling out the e-form during the day, I had to complete it in the afternoon until finally at four o’clock in the afternoon I was able to submit the e-Visa application.

This was the advantage of applying for an India eVisa where we could fill out the e-form several times (not fill in once). Usually, at the opportunity to fill out the first e-form, we would be given an Application ID No. which was entry access to our submission data if we wanted to edit or complete data.

On the third occasion of making this India eVisa, I submitted my eVisa application on December 4, 2019, and eVisa got GRANTED status on December 8, 2019.

Email sending that filling in the partial filling of my eVisa application was stored.
Notice that my e-Visa submission e-form was successful and waiting to be processed.
Wow, what a joy….GRANTED.

So, it was easy to make an Indian eVisa….

Come on, the pandemic was over, let’s go to India.

Berburu Penyu di Gili Trawangan

Fast boat yang merapat di Pelabuhan Gili Trawangan.

Menjelang pukul sebelas pagi, public boat yang kutumpangi perlahan merapat di Pelabuhan Gili Trawangan, perahu yang kutumpangi tepat datang bersisian dengan fast boat berkelir kuning emas yang membawa para wisatawan asing dari Pelabuhan Padang Bai di Pulau Bali. Pelabuhan Padang Bai sendiri berjarak hampir 70 km dari Pelabuhan Gili Trawangan. Perlu waktu 1,5 jam untuk melakukan perjalanan laut di antara kedua pelabuhan itu.

Fast boat itu merapat dengan elegan di dermaga yang sepertinya memang dipersiapkan untuk perahu-perahu besar sepertinya. Wajah para wisatawan asing itu tampak sumringah. Sebagian diantara mereka berseru-seru riang melihat ramainya aktivitas di sepanjang garis pantai Gili Trawangan. Seperti kebiasaan umum para wisatawan asing di Bali, mereka tampak mengenakan pakaian santai seolah hendak bersiap diri untuk melakukan aktivitas di sepanjang pantai.

Sementara itu, di sisi lain, aku mulai berjibaku demi menuruni public boat yang kunaiki. Pengemudi perahu telah mematikan dan mendongakkan ketiga mesin tempelnya. Para warga pun mulai berebut turun dari buritan. Berbagai keranjang buah, sayuran dan bahan pokok lainnya mulai diturunkan satu persatu dari geladak. Aku menunggu hingga aktivitas itu usai dan baru kemudian menuruni perahu. Karena public boat ini berlabuh tepat di pinggir pantai, maka setiap penumpang harus pandai melompat turun, menyesuaikan irama debur ombak yang menerpa pantai untuk menghindari basahnya sepatu.

Public boat merapat di salah satu pantai Gili Trawangan.

Berhasil turun, aku pun melangkah meninggalkan bibir pantai….

Mataku awas mencari tempat penyewaan sepeda karena aku ingin segera berkeliling Gili Trawangan. Aku sepenuhnya paham bahwa aturan adat di Gili Trawangan membuat setiap wisatawan tidak boleh menggunakan sepeda motor untuk berwisata.

Tetiba seorang pria muda menghampiriku dari sisi belakang.

Sepeda, Bang?

Oh, ya….Berapaan, Bang?”, aku menanggapinya serius.

60 ribu, Bang….Seharian”.

40 lah, Bang. Cuma sebentar, ga sampai sore sudah selesai”, aku menawar

Ok lah, Bang….Ambil saja….Ayo pilih aja, Bang….Ikut saya”, dia memanduku untuk melihat koleksi sepeda sewaannya.

Aku memilih sepeda berkeranjang. Lumayan, keranjang itu bisa untuk menaruh folding bag. Masak iya mau memanggul tas seharian, pegel kan?.

Pria muda itu hanya mengingatkanku untuk selalu mengunci sepeda setiap aku memarkirkannya karena sering para turis memakai sepeda sembarangan dan membawa sepeda sewaan orang lain. Walau sepeda itu tidak hilang tetapi cukup merepotkan pengelola penyewaan untuk mencari keberadaannya.

Sewaktu kemudian….

Aku mulai larut di jalanan di sepanjang garis pantai Gili Trawangan. Jalanan selebar 7 meter itu ramai dengan lalu lalang sepeda.

Tetiba kayuhanku terasa berat. Setelah kuperiksa ternyata ban sepeda yang kunaiki kempes. Aku memutuskan untuk kembali ke tempat persewaan. Setelah dicek ulang, ternyata sepedaku hanya kekurangan angin saja. Dengan sedikit memompa, masalah itu selesai dengan mudah.

Aku kembali mengayuh, berkejaran dengan beberapa cidomo*1) yang mengangkut wisatawan maupun barang-barang logistik. Di tepian jalan, jalur trotoar ramai dengan wisatawan yang memilih berjalan kaki mengeksplorasi gili*2), beberapa dari mereka tampak baru saja tiba di gili dengan memanggul backpack berukuran besar menuju ke penginapan, beberapa diantaranya bahkan hendak meninggalkan gili dengan berjalan kaki menuju pelabuhan untuk mengejar keberangkatan fast boat terdekat.

Di seberang lain jalan, berderet restoran penuh dengan wisatawan asing yang lebih memilih bersantai dengan menikmati berbagai macam jenis kuliner, baik lokal ataupun western. Deretan bar tepi pantai juga terisi dengan wisatawan yang menikmati berbagai minuman bersoda, air kelapa, juga minuman beralkohol. Menjadi sebuah daya tarik untuk mengunjunginya, karena deretan bar itu menyediakan kursi-kursi panjang yang disusun di bibir pantai sebagai tempat berjemur. Tak sedikit pula outlet open trip yang menawarkan jasa wisata ke tiga pulau utama di Gili Tramena*3).  Di spot lain, tampak para wisatawan asing sedang menjalani kursus singkat scuba diving yang dilatih oleh trainer lokal professional di kolam-kolam renang berukuran sedang milik beberapa hotel.

Cidomo di jalanan Gili Trawangan.
Situasi pantai sisi timur di Gili Trawangan.
Area unbathe di pantai timur Gili Trawangan.


Dinamika pariwisata di Gili Trawangan bergeliat luar biasa siang itu.

Maka tak terasa, tibalah aku di titik yang kutuju. Pantai itu berada tepat di seberang penginapan Villa Unggul. Kuhentikan kayuhan sepeda, mengunci sepeda di slot parkir pinggir jalan, lalu bergegas menuju tempat penyewaan snorkle.

Beruntung aku menemukan tempat penyewaan snorkel dengan harga yang cukup terjangkau, hanya Rp. 25.000 untuk sekali pemakaian sepuasnya.

Maka tak menunggu lama, aku segera berganti baju dan mulai berburu penyu. Memulai snorkling, aku takjub, perairan Gili Trawangan tampak jernih dengan dasar laut berwarna putih. Beberapa batu karang berukuran kecil tampak terlihat di sepanjang hamparan pantai. Beberapa ikan karang tampak mondar-mandir sibuk mencari makanan.

Pucuk dicinta ulam tiba, aku menemukan penyu di salah satu titik. Penyu itu berukuran sedang, masih berusia muda sepertinya. Sedang sibuk memakan rumput yang tumbuh di dasar laut.

Tak lama kemudian, turis-turis yang sedang bersenorkeling pun mendekat. Bersama-sama menikmati pemandangan langka itu, kami terus berenang mengikuti kemana penyu itu mencari makan tanpa menyentuhnya sama sekali. Membiarkan penyu itu bebas beraktivitas. Baru kali ini aku melihat penyu di habitatnya secara langsung.

Bahkan siang itu, aku berhasil menemukan dua penyu. Mengikuti kedua penyu itu berenang membuat aktivitas snorkelingku di Gili Trawangan begitu berkesan.

Jasa penyewaan snorkle.
Berburu penyu….



Dalam satu setengah jam, aku memutuskan untuk mengakhiri aktivitas snorkelingku. Aku bergegas ke arah pantai, mengembalikan snorkle yang aku sewa dan kemudian bergegas mencari tempat bilas.

Perjalananku di Gili Trawangan terus berlanjut….

Kisah Selanjutnya—->

Keterangan:

Cidomo*1) : Delman dengan roda dari ban bekas mobil ala Gili Trawangan

gili*2) : Pulau

Gili Tramena*3) : Gili Trawangan Meno Air

Second Chance to India: Air Asia AK 39 from Kuala Lumpur (KUL) to Kochi (COK)

<—-Previous Story

Air Asia flight route AK 39 (source: flightaware).

Going to India always has a thrill in a side of my heart. The provocation of irresponsible information sometimes succeeds in making the guts tremble.

Gusts of news ranging from security factors, culinary hygiene, scam variations, and other gripping things began to cloud my mind that afternoon.

Therefore, before leaving for India, for five days I warmed my guts in Kuala Terengganu and Kuala Lumpur, hoping that by leaving them I would be able to carry courage. But that afternoon it seemed as if I was still building up the courage from zero again.

In the continuation of my adventure, India would be the prelude to my main destination, i.e. the Middle East. Why was that?…. The only reason was that India was always giving many chances to get cheap tickets to the main tourist city in the Arabian Peninsula, i.e. Dubai. In addition to tickets, India also provided a variety of starting points to jump into that city.

As for my adventure history, after New Delhi and Agra two years earlier, this time I chose another point of departure, i.e. Kochi, an exotic tourist destination in southwest India.

—-****—-

I enjoyed the soft texture of white rice at Quizinn by RASA after 24 hours of not tasting this idol’s food. The white rice at that time also represented the last Ringgit I had, starting the next day I was using Rupees.

Five minutes before the Air Asia Ak 39 check-in desk opened, I finished eating white rice with the last piece of fried egg.

As I stated above, instead of getting excited, my chest was beating fast…” Oh India, please make peace with my adventure this time”, I calmed my heart.

Rising from my seat in a corner of the food court on the 2M floor, I carried my favorite blue backpack. Stepping up to the Departure Hall on the 3rd floor.

“It turned out that the queue was long….”, my confidence to become the first queue fell.

The contortions of the queue, which was dominated by Indians, kept me in the bloated queue. After all, I remained calm, there was still a long way to the flight, still four hours away. I started taking out the zipper bag to prepare documents, i.e. passports, hotel booking confirmations in India, tickets to and from India, and free Indian e-Visa sheets.

“Do you have a Visa?”, the check-in desk staff firmly asked me.

“This is Miss”, I handed over all the documents I had prepared.

“Was Indonesia to India enough with e-Visa, Sir?” That female officer asked her senior colleague.

That senior staff confirmed and that female officer finally printed the boarding pass for me.

The first stage was over, I rushed to the International Departure Gate which was heavily guarded by several Aviation Security. In the front queue, there weren’t a few prospective passengers who were being held back due to carrying too much cabin baggage. In addition to Aviation Security, several Air Asia airline ground staff closely monitored passengers who cheated by carrying excess cabin baggage.

For me?….. It was easy, I pass through the gate without checking. Even with the inspection, I would still pass, because I had weighed the entire load of my backpack before heading to the check-in desk….Easy, only 6.5 kilograms.

“Where is the direction to gate L14?”, I asked myself.

I continued along the long corridors until I descended an escalator which at the bottom was already blocking several columns of the screening gate.

As usual, I always took off my shoes when I pass through the screening gate, it was all because I would feel lazy if I had to repeat the screening process when my shoes rang the screening door.

I easily pass it….

Now I only needed to continue through the remaining corridors to reach gate L14.

Let’s hunt for boarding passes.
Thanks, God….
One of the corridors in the International Departure Hall is KLIA2.
Those are the directions to the Air Asia AK 39 departure gate.

A little after seven in the evening, I arrived at the gate in question.

“Hhmmmhhhh….An hour and a half to boarding”, I sat on a chair outside the waiting room which was still tightly closed.

I decided to perform the prayer and filled up drink bottles at the free water station. And in the remaining time, I just sit waiting until the waiting room door opens an hour before the flight.

Luckily while waiting, my boredom was dampened by the cute behavior of a little Indian toddler whose behavior was so adorable.

—-****—-

Waiting in the waiting room, I was again stunned by a large group of Hindu congregation. From the all-black uniform worn, I could identify the congregation as coming from the Sabarimala Ayyappa Temple, located in the State of Kerala, India.

The peculiarity of the Indian Hindu congregation was that they do not use footwear. Some Hindus in India believed that not using footwear was a form of respect for the Gods.

Dressed in black and Lungi*1) was also the religious appearance of the group. I had to sit mingled in the waiting room with their group.

While the view in the glass window was a perfectly parked Airbus A320 Twin Jet aircraft, dominantly white with a blue-red color combination and bearing the tourism promotion jargon “Sarawak More to Discover”.

Waiting patiently for it to end…

Boarding calls for Air Asia flight AK 39 filled the airport ceiling.

I immediately got up and prepared my passport and boarding pass to pass the final inspection of prospective passengers before entering the cabin. Ahhh….I couldn’t wait.

At half past nine I started boarding…..

Inside the waiting room Gate L14.
That’ was AK 39.
Passing the aerobridge to the aircraft cabin.
My favorite Airline.
Cabin situation while hunting for a seat.
Look at those Indian citizens…..Do you want to go to India or not?

Entering the cabin of the small-body aircraft, I looked for seat number 11E. On the next 3 hours and 40 minutes of flight, I would sit in the middle column, making it difficult for me to capture beautiful portraits of the earth.

When the boarding process was over, in my row there was only me and one of the Hindu congregation. Therefore, I decided to move to an aisle seat to get relief from the 3,000 km flight.

—-****—-

To my surprise, when I opened the Travel 360 inflight magazine, I found a self-portrait of a travel influencer that seemed familiar to me. I was very familiar with his surname….Groves.

I made sure it was a beautiful traveler from Aussie whom I had known a year earlier in Samosir, Eloise Groves. He once told a story under the Naisogop waterfall that he had a brother named Jackson Groves who was a travel influencer. Seeing the similarity in the facial expressions of the figure in the inflight magazine I was reading with the figure that often appears on Eloise’s Facebook page, I’m 100% sure it was her big brother.

And it was true, later I would get confirmation from Eloise that it was her sibling after sending a short message through the Facebook messenger application when I arrived in India.

Trying to close my eyes after flipping through Travel 360, I tried to sleep. But I didn’t sleep. That was how I was, never completely fell asleep every time I sat on the plane.

That was Jackson Groves in Air Asia’s Inflight magazine.
Arrive at Terminal 3 Cochin International Airport.
Let’s explore the airport!

Finally, the awaited time has arrived….

At one o’clock in the morning, Air Asia AK 39 landed at Cochin International Airport, a magnificent airport in the State of Kerala in southwest India.

Thank God….

Now I was even further away from home.

Kochi which was nearly 9,000 km from Jakarta.

Let’s explore….What was in Kochi?

To get flight tickets from Kuala Lumpur to Kochi, you can search for them on 12go Asia Asia with the following link:  https://12go.asia/?z=3283832

Next Story—->

Description of the word:

Lungi*1) = A long piece of cloth that is wrapped around the waist and is a typical Indian dress.

Fort Malborough: Peninggalan Inggris di Bengkulu

<—-Kisah Sebelumnya

Aku tiba persis di depan kawasan Fort Malborough. Usai menyerahkan ongkos tunai beserta tips kepada pengemudi ojek online yang mengantarkanku, maka aku segera menuju loket penjualan tiket. Dengan membayar tiket masuk sebesar Rp. 5.000, aku diizinkan memasuki bagian Ravelin dari benteng itu.

Ravelin sendiri merujuk pada bagian pertahanan pertama benteng yang memiliki bentuk segitiga dan dihubungkan ke bangunan utama benteng melalui sebuah jembatan yang melintasi parit pertahanan.

Di Ravelin ini, aku mendapati dua ruangan penting, yaitu Barak Pegawai EIC (East India Company) dan Ruang Jaga. Beberapa batu nisan para petinggi tentara Inggris juga disimpan di bagian Ravelin.

Beruntung sekali, aku bertemu dengan seorang pria paruh baya yang biasa menjadi tour guide di benteng tersebut. Kebetulan dia sedang beristirahat, maka tak ada salahnya aku meluangkan waktu untuk bercakap-cakap dengannya menggali informasi.

Daripadanya aku mendapatkan sedikit cerita sejarah bahwa Inggris datang ke Bengkulu selain mengincar rempah-rempah juga mengincar emasnya. Dia menambahkan bahwa saking melimpahnya Bengkulu dengan emas, maka logam mulia dari Bengkulu itu dipakai untuk pembuatan bagian lidah api Monumen Nasional (Monas).

Dia juga sedikit menjelaskan bahwa sebetulnya benteng pertama Bangsa Inggris berada tiga kilometer di utara Fort Malborough. Benteng itu bernama Fort York.

Usai menggali informasi dari tour guide paruh baya itu, aku mulai mengeksplore beberapa informasi penting di kedua ruang utama Ravelin.

Beberapa menit kemudian bagian Ravelin usai kujelajahi.

Selanjutnya aku memasuki bagian Curtain Wall.

Curtain Wall merujuk pada bagian benteng yang berbentuk tembok tebal yang dibatasi oleh dua bastion (menara) di kedua ujung dinding.

Maka dalam sekejap aku menemukan ide menarik….

Aku paham bahwa cara terbaik untuk menikmati pesona Fort Malborough yang sangat luas adalah dengan mengamatinya dari ketinggian. Maka satu-satunya cara terbaik untuk bisa memfasilitasi ide ini adalah dengan menaiki bagian curtain wall yang memiliki bidang area cukup lebar di atasnya.

Berhasil menaiki Curtain Wall, maka terpampang dengan jelas bentuk benteng secara utuh. Dilihat dari sekilas pandangan bahwa Fort Malborough memiliki desain bangunan seperti kura-kura dengan ravelin sebagai bagian kepala. Sedangkan empat bastion menjadi bagian kakinya.

Tampak di bagian timur adalah bagian bangunan yang dimanfaatkan sebagai ruang tahanan. Bagian utara digunakan sebagai bangunan administrasi. Sedangkan pelataran segi empat di tengah-tengah benteng digunakan sebagai area terbuka dimana deretan meriam diposisikan siap menembak ke arah laut. Sedangkan tembok barat digunakan sebagai dinding pertahanan yang untuk menahan serangan musuh dari arah laut.

Dan untuk mendalami sejarah benteng ini, mau tidak mau, aku harus mengunjungi ruangan demi ruangan yang ada di seluruh bagian benteng.

Aku pun rela meluangkan waktu lebih lama untuk menjelajahi benteng. Dan daripadanya aku mendapatkan beberapa informasi penting tentang sejarah Fort Malborough dari masa ke masa.

Gerbang Fort Malborough.
Lihatlah dinding tebal Fort Malborough di bagian terluar.
Bagian atas Curtain Wall.
Pelataran Fort Malborough.
Bangunan Fort Malborough sisi paling utara.
Bangunan Fort Malborough sisi timur.

Dikisahkan dari artikel, foto dan gambar-gambar lainnya bahwa Fort Malborough dibangun tiga abad silam dan dinamai dari nama jenderal terkenal Ingris Jhon Churchill Duke of Malborough. Benteng ini terletak di tepian Pantai Tapak Padri.

Pada tahun 1685, untuk pertama kali Inggris datang dengan tiga kapal besarnya ke Bengkulu, yaitu Kapal The Caesar, The Resolution dan The Defence di bawah pimpinan Kapten J. Andrew dan kemudian menemui penguasa setempat yaitu Depati Bangsa Raja. Niat semula yang hanya ingin berdagang lada, produk agraria dan hasil hutan lainnya, selanjutnya Inggris mulai memperkuat pangkalan dagangnya di Selebar dengan membangun Fort York, maka awal mula kolonialisasi dimulai.

Selain rempah, Inggris juga mengincar emas di seluruh pertambangan di daerah Lebong. Kekayaan emas di Sumatera Inilah kemudian memberikannya julukan sebagai Swarnadwipa (Pulau Emas), Mayoritas jalur emas Sumatera tersebut berada  sepanjang patahan Bukit Barisan.

Tak lebih dari setengah abad. Pada tahun 1712, Kapten Joseph Collet membangun Fort Malborough untuk menggantikan Fort York yang lokasinya kurang strategis. Konon Fort York ini terletak di daerah rawa dan menyebabkan para tentara menderita disentri dan malaria.

Fort Malborough sendiri dibangun di atas lahan seluas 4,5 Ha oleh buruh yang didatangkan dari India. Benteng ini memiliki 72 meriam yang moncongnya menuju laut lepas. Dindingnya memiliki ketebalan hingga 3 meter.

Benteng ini juga sempat diperluas dengan penambahan gudang senjata dan barak militer untuk 120 tentara. Benteng juga memiliki parit di sekelilingnya yang dahulu ditempatkan beberapa jebakan mematikan di dalamnya.

Pada awal tahun 1700-an, perlawanan dilakukan oleh para Raja di Bengkulu karena EIC mulai memonopoli perdagangan rempah di Bengkulu. Pangeran Nata Diraja (Kerajaan Selebar) gugur dalam pertempuran ini. Inggris akhirnya sukses menaklukkan Kerajaan Selebar, Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Sungai Lemau, dan Kerajaan Sungai Itam di Bengkulu.

Perlawanan rakyat terus berlangsung hingga akhirnya pada akhir tahun 1700-an, pihak Inggris kehilangan Kapten Robert Hamilton dalam sebuah peperangan panjang.

Pada tahun 1800-an awal, masa penjajahan berlanjut dengan kebijakan tanam paksa kopi dan lada di Bengkulu. Balasan atas kekejaman tentara Inggris tersebut adalah dengan terbunuhnya Residen Thomas Parr yang terkenal kejam.

Inggris sendiri mampu bercokol selama 139 tahun di Bengkulu dari tahun 1685 hingga 1824. Masa kolonialisme Inggris baru terputus karena terjadinya Traktar London pada 1824. Menurut traktat itu Inggris harus menukar Bengkulu dengan Singapura dan Malaka yang awalnya dikuasai Belanda.

Begitu beruntung diriku mendapatkan pengetahuan berharga tersebut. Satu hal lain yang kudapatkan dalam eksplorasi benteng ini adalah pemahaman tentang kata “Bencoolen” yang merupakan pengucapan tentara-tentara Inggris untuk “Bengkulu”.

Ini tentu terkait dengan pengalaman travelingku yang pernah mengantarkanku untuk mengenal area “Bencoolen” di Singapura. Aku pernah menginap di kawasan itu dua kali. Dan sejak kunjunganku ke Bengkulu membuatku paham bahwa kata “Bencoolen” itu merujuk pada Bengkulu. Tentu hal ini bisa dimaklumi karena sebelum Traktat London terjadi, tentara-tentara Inggris itu pernah menguasai dan hidup di Bengkulu.

Nah, cukup sampai di sini ya cerita tentang Fort Marlborough. Saya sarankan kamu berkunjung ke sana jika berkunjung ke Bengkulu.