Wat Chedi Luang (2): Ladyboy Super Anggun

<—-Kisah Sebelumnya

Detak jantungku melambat, perasaanku menjadi tenang….Itu terjadi ketika aku berlama-lama memperhatikan warga lokal yang beribadat dengan menangkupkan dupa di kedua telapak tangannya serta mengucapkan do’a di pelataran dekat Phaya Yakkharat.

Pastinya, aku siap melanjutkan eksplorasi di luasnya Wat Chedi Luang. Maka melangkahlah aku ke sisi barat, melewati pelataran hijau di sebelah San Lak Mueang. Area rerumputan itu dibelah dengan batuan andesit yang disusun teratur sebagai pijakan kaki pengunjung demi menjaga keasrian rerumputan.

Aku meniti pelan batuan andesit itu hingga tiba di sebuah kuil kecil. Lalu memperhatikan sejenak dari luar, untuk kemudian perlahan menaiki anak tangga demi mendekati sebuah patung. Maka berdirilah aku sejenak di depan patung itu dan memperhatikan sekitar demi mencari informasi.

Adalah Phra Indra (Dewa Indra), patung tegap dari batu berwarna hitam, memegang trisula di tangan kirinya dan menunggangi seekor gajah putih berkepala tiga.

Ternyata ada juga Dewa Indra dalam agama Buddha di Thailand”, aku manggut-manggut sendirian.

Mengunjungi sejenak saja Phra Indra, aku kembali menelusuri jalan semula menuju pelataran depan San Lak Mueang.

Kini saatnya menuju ke bagian utama”, aku membatin penuh rasa penasaran.

Phra Indra.
San Lak Mueang.
Area donasi kuil.

Aku bergerak menuju pusat area kuil. Menyusuri jalur lebar dengan tenda di sisi kirinya. Satu rombongan turis tampak khusyu’ mendengarkan penjelasan dari pemandu lokal. Aku yang tak paham Bahasa Tiongkok, mencoba memahami maksud dengan mengamati gestur si pemandu.

Nantinya aku akan paham bahwa pemandu itu mengajak turis yang dibawanya untuk berdonasi kepada kuil dengan cara membeli daun emas yang bisa ditempelkan ke patung-patung Buddha yang disediakan di tenda tersebut.

Cara berdonasi lain juga bisa dilakukan dengan membeli sebuah kertas untuk kemudian si pembeli bisa menuliskan nama dan memasukkannya ke dalam peti.

Aku berdiri cukup lama melihat prosesi donasi para rombongan itu.

Begitu rombongan itu selesai melakukan donasi, maka pemandu mengajaknya menuju ke kuil utama. Aku pun menguntitnya dari belakang dan bersama rombongan turis itu aku memasuki kawasan utama kuil.

Maka berdirilah dengan megah, gagah, artistik dan relijius sebuah bangunan setinggi 82 meter. Aku telah benar-benar berhadapan dengan Wat Chedi Luang sore itu. Adalah bangunan berwarna merah bata dari abad ke-14 yang pembangunannya diperuntukkan sebagai tempat penyemayaman abu jenazah dari ayahanda Raja Saen Muang Ma.

Aku mengamati sejenak, tampak bagian tertinggi Chedi dihubungkan dengan lantai terbawahnya dengan undakan anak tangga yang pada pangkalnya dijaga oleh dua naga hitam berkepala lima.

Aku mengayunkan langkah ke utara, hingga langkah itu tetiba melambat ketika aku melihat keberadaan seorang perempuan cantik yang tampak mesra berbicara dengan seorang pria bule di sebuah bangku besi tepat di bawah pohon berketinggian rendah.

Aku mengeram langkah beberapa detik kemudian, berhenti penasaran…..Kurasa ada yang aneh.

Ada yang tak biasa dengan cara tertawa perempuan cantik itu. Aku berdiri sejenak meliriknya, dari tampilan detail yang kulihat dengan akurat, aku yakin dia adalah seorang ladyboy dengan paras menawan, anggun dan benar-benar mirip perempuan sejati…Luar biasa.

Hilang rasa penasaran itu, aku pun mulai mengindahkan keberadaan mereka berdua dan memilih untuk melanjutkan eksplorasi.

Wat Chedi Luang tampak dari timur.
Wat Chedi Luang tampak dari utara.
Buddhist Manuscript Library and Museum.
Buddha tidur di salah satu bagunan kuil.
Wihan Luangpu Mun Bhuridatto.

Maka sampailah aku di sudut utara, dihadapkan pada bangunan Khas Kerajaan Lan Na. Adapun nama bangunannya adalah Buddhist Manuscript Library and Museum, sebuah tempat penampung sejarah yang memiliki banyak koleksi fragmen potongan arca dan peninggalan lainnya terkait Buddhisme yang telah membumi di Thailand sejak beberapa abad silam.

Tak membutuhkan waktu lama di museum itu, hingga akhirnya aku memutuskan bergerak ke sisi barat. Di sisi itu terdapat sebuah wihara bernama Wihan Luangpu Mun Bhuridatto, sebuah bangunan keagamaan yang dibangun dengan arsitektur Kerajaan Lan Na dan dianggap meniru bentuk bangunan Wat Ton Kwen yang terletak di Royal Park Rajapruek.  Wihara ini dibangun pada abad ke-19 pada masa pemerintahan Raja Phra Chao Kawirorotsuriyawong, Raja ke-6 Chiang Mai, dan digunakan sebagai tempat penyimpanan kursi singgasana kerajaan. Bahkan wihara ini juga digunakan untuk menyimpan gigi geraham dan patung dari biksu Luangpu Mun, seorang biksu terkenal Thailand berdarah Laos yang berjasa mendirikan Tradisi Hutan Thai yang merupakan salah satu garis keturunan Buddha Theravada.

Dan akhirnya, dengan menyelesaikan kunjunganku di Wihan Luangpu Mun Bhuridatto, berarti aku telah menyelesaikan kunjungan di keseluruhan spot Wat Chedi Luang.

Sebuah keberuntungan bagiku bisa mengunjungi kuil agung itu dan seutuhnya aku bisa mengatakan dalam hati bahwa kunjungan di Wat Chedi Luang adalah hal yang sangat berkesan ketika aku berada di kota Chiang Mai.

From the Garden City to the Green Hills: Bangalore to Wayanad Adventure

Introduction

Bangalore, also referred to as the “Garden City of India,” is a thriving city renowned for its energetic urban environment and thriving IT sector. But sometimes, in the middle of this hectic existence, the pull of nature becomes too strong. Nestled in the Western Ghats, Wayanad is a verdant paradise that is only a few hours’ drive from Bangalore. This post describes the trip from Bangalore to Wayanad Green Hills and explains why it’s the ideal getaway for Bangaloreans looking for peace and adventure.

The Desire to Get Away in Nature

Bangaloreans frequently find themselves longing for a getaway from the concrete jungle as the sun rises above the city’s skyscrapers and technological parks. The everyday grind, workplace meetings, and traffic congestion of the city may exhaust even the most dedicated urbanite. The verdant hills and placid surroundings of Wayanad appeal like a peaceful oasis and a safe shelter for exploration during these times.

The Wayanad Road

The trip from Bangalore to Wayanad is a tale unto itself, full of encounters that change from the city to the countryside, from the busy to the peaceful, and from the familiar to the unfamiliar. The roughly 280-kilometer car excursion reveals an amazing planet.

Mysore: A Royal Prelude A stopover in Mysore 

en route to Wayanad sets the stage for a royal adventure. This historic city, renowned for its grandeur, is highlighted by the majestic Mysore Palace, whose Indo-Saracenic architecture and opulent interiors offer a glimpse into the royal heritage of Mysore. It’s a stunning prelude to the grandeur of the Western Ghats. Those seeking spiritual solace can find solace in the city’s neighboring Chamundi Hill, with its Chamundeshwari Temple. Climbing this sacred hill offers breathtaking panoramic views of Mysore and an opportunity to reflect and refresh.

Bandipur: A Wilderness Break

The route to Wayanad winds through the vast Bandipur National Park, one of India’s most important wildlife sanctuaries, as it leaves Mysore behind. The adventure is enhanced by the possibility of seeing a range of species, including deer and elephants.

The breathtaking natural splendor of the Western Ghats is vividly brought to memory by the Bandipur experience. You get the impression that you are in a real wilderness because of the deep trees, vibrant vegetation, and the sounds of the wild. You become aware that you are entering a new world at this point.

Gateway to the Green Hills: Wayanad

The boundary between Karnataka and Kerala is where Wayanad, a region known for its pristine natural beauty, begins. It’s noticeable to move from the busy metropolis of Karnataka to Kerala’s meandering highways and verdant plantations. The aroma of spices such as pepper, cardamom, and coffee permeates the air, giving a taste preview of what’s to come.

The main town of Wayanad, Sultan Bathery, serves as your entry point to this fascinating area. Historical importance may be found in the town’s name, which is thought to be derived from Tipu Sultan, who sheltered there during one of his military expeditions. Sultan Bathery is the ideal starting point for your Wayanad excursion, with a variety of lodging choices ranging from cozy homestays to upscale resorts.

The Natural Charms of Wayanad

Wayanad, an area endowed with pristine natural beauty, has plenty to offer lovers of the outdoors:

Chembra Peak: The tallest mountain in Wayanad, Chembra mountain, is a trekker’s paradise. The walk offers panoramic views and the heart-shaped Chembra Lake at the peak is a fascinating sight.

Banasura Sagar Dam: Encircled by the verdant Banasura Hills, Banasura Sagar Dam is the biggest earthen dam in India. A peaceful experience is taking a boat trip on the dam.

Edakkal Caves: The Neolithic rock carvings found in the Edakkal Caves provide a fascinating window into the history and culture of the area.

Meenmutty Falls: This three-tiered waterfall is hidden away in the jungle and can only be reached by hiking through it; the trip itself is just as worthwhile as the goal.

Thirunelli Sanctuary: This historic Hindu temple is a serene, spiritual place hidden away among beautiful vegetation.

Wayanad Wildlife Sanctuary: With a wide variety of plants and animals, the sanctuary offers views of elephants, tigers, leopards, and a variety of bird species.

Accepting the Traditions

Wayanad is home to a rich cultural legacy in addition to its natural beauty. The Paniya, Kurichiya, and Kattunayakan indigenous tribes in Wayanad have distinctive lifestyles that are intricately entwined with the forests. Experience their rituals, traditions, and artistic creations by going to their tribal communities. Their unique dancing styles and artisan handwoven goods provide a window into the rich cultural diversity of the area.

In summary

Traveling from Bangalore’s Garden City to Wayanad’s Green Hills is an experience that transcends simple transportation. Traveling from the crowded urban jungle to the untainted wildness of the Western Ghats is the goal. You may discover calm, refuel your soul, and re-establish a connection with the natural world via it.

Together with recollections of delicious meals and breathtaking scenery, you return to Bangalore with a sense of inner calm and quiet that comes only from Wayanad. Traveling from Bangalore to Wayanad is an enchanting voyage through a beautiful nature that revitalizes and revives the tired spirit of the city. So gather your belongings, go on the road, and discover the wonders of Wayanad starting at the Garden City to the Green Hills.

Wat Chedi Luang (1): Lelah di Tempat Pembakaran Dupa

<—-Kisah Sebelumnya

Langkahku sedikit melambat ketika meninggalkan Wat Muen Tum, itu karena letak destinasiku tak jauh lagi, hanya berjarak tiga ratus meter lagi.

Tetapi belum juga sampai di tujuan, langkahku dihadang oleh keberadaan kuil lain. Wat Chang Taem namanya. Kuil ini adalah vihara tempat disimpannya Buddha Fon Saen Ha yang berusia lebih dari seribu tahun. Fon Saen Ha sendiri memiliki makna sepuluh ribu tetes hujan, maka khalayak sering memanggil Wat Chang Taem sebagai “Kuil Sepuluh Ribu Tetes Hujan”.

Namun, aku harus merelakan destinasi itu karena waktu yang sangat terbatas. Aku memilih untuk melanjutkan langkah menuju tujuan utama.

Namun sejenak aku menghentikan langkah, sebuah pesan Whatsapp datang dari pimpinan di perusahaan tempatku bekerja. Aku diminta membeli beberapa perlengkapan untuk dibawa di acara konferensi di Phuket.

Beruntung, aku melihat keberadaan sebuah gerai 7-Eleven di ujung blok. Tanpa pikir panjang, aku melangkah menujunya dan berbelanja kebutuhan konferensi di gerai itu.

Aku memang harus standby kapan pun perihal pekerjaani, karena tujuanku datang ke Thailand adalah menghadiri sales conference di Phuket yang akan berlangsung tiga hari semenjak ketibaanku di Chiang Mai.

Lepas menyelesaikan urusan belanja kantor, aku segera melanjutkan eksplorasi. Beruntung tujuan utama destinasi hari itu ada di seberang gerai 7-Eleven.

Adalah Wat Chedi Luang, sebuah kuil yang berasal dari abad ke-14 yang sore itu telah berada di hadapan. Aku memang tak bisa melihat bagian dalamnya, kerena setiap sisi pelataran kuil ditutup oleh tembok.

Aku yang diselimuti rasa penasaran, segera memasuki gerbang, mengambil antrian di loket penjualan tiket. Antrian yang tak terlalu panjang, membuatku lebih cepat dalam medapatkan tiket, setelah aku menyerahkan uang sebesar 50 Baht kepada seorang penjaga loket wanita berusia muda.

Kompleks Wat Chedi Luang tampak depan.
Loket penjualan tiket Wat Chedi Luang.

Bagian pertama dari Wat Chedi Luang yang kusambangi adalah San Lak Mueang. “Lak Mueang” berarti “Pilar Kota”, hal ini merujuk pada adat isitiadat di Thailand yang selalu membuat pilar tunggal pertama sebelum membangun sebuah kota. Pilar ini biasanya dibuat dari batang pohon Akasia dan ditaruh di sebuah kuil kota.

Di San Lak Mueang, aku tak bisa melihat keberadaan “Pilar Kota” yang dimaksud karena pilar itu telah diabadikan di dalam tanah.

Selain patung King Kawila (Raja Chiang Mai yang memerintah pada abad ke-18) yang kutemukan di bagian depan San Lak Mueang, aku juga menemukan papan yang menjelaskan aturan berkunjung dimana wanita yang sedang mengalami menstruasi dilarang berkunjung karena dianggap akan mempermalukan dan merusak kesucian “Pilar Kota”.

San Lak Mueang dengan patung King Kawila.
Bagian dalam San Lak Mueang.

Lepas mengunjungi San Lak Mueang, aku bergeser ke sisi selatan area kuil. Terdapat satu bangunan unik dengan patung raksasa berwarna hijau. Raksasa itu bernama Phaya Yakkharat yang merupakan penjaga “Pilar Kota” di sisi selatan dan dibangun pada abad ke-18 oleh Raja Kawila.

Di area Wat Chedi Luang juga terdapat raksasa dengan fungui serupa di sisi utara kuil, namaya Wat Amonthep. Keduanya telah ditakdirkan untuk menjaga “Inthakhin” atau “Pilar Kota” Chiang Mai.

Kuil Phaya Yakkharat.
Phaya Yakkharat si penjaga setia Inthakhin.

Aku merasa Lelah lepas mengunjungi Phaya Yakkharat, oleh karenanya aku memilih istirahat sejenak dan duduk di belakang sebuah area lapang dimana para pengunjung memanjatkan do’a dengan membakar dupa.

Untuk sementara aku menikmati aktivitas religius itu sebelum melanjutkan perjalanan mengeksplorasi Wat Chedi Luang yang memiliki luas tak kurang dari enam hektar.

Kisah Selanjutnya—->

All You Need to Know about Kedarnath Yatra

Introduction

Kedarnath, situated in the state of Uttarakhand, India, is a widely acclaimed pilgrimage center of great significance. Tucked away in the serene embrace of the Garhwal Himalayas, it rests at an impressive altitude of approximately 3,583 meters. Kedarnath holds a revered place in the hearts of Hindus, being regarded as one of their holiest destinations.

In the following article, we embark on a comprehensive exploration of the Kedarnath Yatra, endeavoring to unravel its profound importance, guide you on the optimal seasons for a visit, delineate the trekking trail, and shed light on the myriad attractions that grace the region’s landscape.

Significance of Kedarnath:

Kedarnath holds immense religious significance for Hindus as it is believed to be one of the twelve Jyotirlingas (lingams of light) of Lord Shiva. According to Hindu mythology, Lord Shiva appeared here in the form of a fiery column of light to bless the Pandavas, the central characters of the ancient epic Mahabharata. The main deity in the Kedarnath temple is a Shiva Lingam, which is considered to be self-manifested and is worshipped with great reverence.

Best Time to Visit:

The Kedarnath Yatra traditionally kicks off in late April or early May, concluding in November. The prime period for visiting Kedarnath falls within the summer months, spanning from May to June, characterized by agreeable weather conditions and accessibility to the temple. Conversely, the monsoon season, spanning July to September, ushers in copious rainfall and frequent landslides, rendering the pilgrimage quite challenging. Finally, the winter season, from November to April, is marked by heavy snowfall, leading to the temple’s closure and the temporary suspension of the yatra.

Trekking Route:

The Kedarnath Yatra involves a mountainous trek of approximately 16 kilometers from Gaurikund to Kedarnath. Gaurikund serves as the starting point for the pilgrimage, and it is easily accessible by road from major cities in Uttarakhand. The trek passes through picturesque landscapes, dense forests, and several small villages, offering breathtaking views of the snow-capped peaks of the Himalayas.

En route to Kedarnath, pilgrims come across various significant landmarks, including the Triyuginarayan temple, which is believed to be the location of Lord Shiva and Goddess Parvati’s celestial wedding. It is a popular site for devotees to take a break and seek blessings before continuing their journey.

Accommodation Options:

Throughout the trek, there are several stops where pilgrims can find accommodation options ranging from dharamshalas (guesthouses) to tented camps. These accommodations provide basic facilities such as food, shelter, and medical assistance. It is advisable to make prior bookings due to the heavy influx of pilgrims during the peak season. Once pilgrims reach Kedarnath, there are lodges and guesthouses available for an overnight stay.

Kedarnath Temple and Rituals:

The Kedarnath temple, a masterpiece of ancient architecture, is the main attraction of the yatra. It is built from large stone slabs and stands amidst the mighty mountains, providing a serene and divine atmosphere. The temple is open for darshan (worship) from 6:00 AM to 2:00 PM and then from 5:00 PM to 9:00 PM, during which devotees can offer their prayers and seek blessings from Lord Shiva.

Several rituals are performed at the Kedarnath temple, including the Rudra Abhishekam, where the Shiva Lingam is bathed with various sacred substances such as milk, Ghee (clarified butter), honey, and water. Aartis (devotional worship) and bhajans (hymns) are also conducted, creating a spiritual ambiance that resonates with the devotees.

Other Attractions:

Apart from the Kedarnath temple, there are several other attractions in and around the area that are worth exploring. One such attraction is the Vasuki Tal lake, situated at an elevation of 4,150 meters. This picturesque lake offers breathtaking views of the surrounding glacier-covered peaks and provides a peaceful environment for meditation and relaxation.

Another notable landmark near Kedarnath is the Chorabari Tal, also known as Gandhi Sarovar, which is a glacial lake formed from the melting of the Chorabari glacier. This lake holds religious significance and is a popular pit stop for pilgrims undertaking the yatra.

The Kedarnath Yatra is a spiritual journey that offers a unique opportunity to connect with divinity amidst the majestic Himalayas. The trek through the scenic landscapes, the serene ambiance of the Kedarnath temple, and the rituals performed during the pilgrimage create an unforgettable and transformative experience. It is a pilgrimage that holds immense religious and cultural importance for Hindus, and it continues to attract devotees from all over the world who seek solace, devotion, and a deeper connection with the divine.

Wat Muen Tum: Tempat Dimana Raja Memulai Tahta

<—-Kisah Sebelumnya

Aku masih menyisir sisi barat Prapokkloa Road. Jalanan arteri semakin ramai saja seiring menit berjalan, mungkin karena matahari tak lagi garang.

Lagi…..Tiga menit melangkah, aku melihat keberadaan sebuah kuil di sisi timur jalan. Kali ini berbeda, tak seperti Wat Jet Lin yang senyap. Kuil yang ada di hadapan tampak lebih dinamis, ada beberara biksu muda sedang beraktivitas di dalamnya, juga para wisatawan yang hilir mudik, keluar masuk kuil.

Aktivitas itu berhasil menggagalkan niatku yang pada awalnya ingin melewatkan saja keberadaan kuil itu.

Aku pun mulai menyeberangi Prapokkloa Road. Jalan dua arah selebar tak kurang dari enam meter itu belum begitu ramai dengan kendaraan yang melintas.

Berhasil menyeberang, aku berhasil tiba tepat di depan gerbang kuil, menghadap sebuah papan nama beton.

Wat Muentoom”, aku membacanya jelas.

Bak memasuki gerbang istana Kerajaan Lan Na, aku mulai menginjakkan kaki di halaman kuil. Tampak dua biksu muda sedang sibuk mengurusi kuil. Satu biksu tampak sedang menyirami tanaman di sekitar kuil. Sedangkan seorang lagi tampak duduk di bawah tenda sedang menyiapkan perlengkapan peribadatan.

Aku sepenuhnya paham bahwa mengambil foto biksu tanpa izin adalah tindakan yang tidak terpuji, maka kuputuskan untuk langsung saja menuju ke bangunan belakang kuil.

Menyisir bangunan dari sisi selatan, aku terpesona dengan keberadaan bentuk ukir dari makhluk mitologi Buddha yang berwujud setengah manusia dan setengah burung, Kinnara nama makhluk itu. Dalam ajaran Buddha, Kinnara adalah makhluk surgawi yang pandai memainkan kecapi.

Tiba di bagian belakang kuil, aku menemukan area lapang yang menjadi tempat parkir beberapa mobil milik pemerintah yang mungkin digunakan sebagai inventaris kuil dan sebagian lagi kuduga adalah milik pengunjung kuil.

Aku berdiri lama di area parkir nan lapang demi menikmati keindahan arsitektur kuil, untuk kemudian berusah mencari informasi apapun mengenai kuil di hadapan.

Gerbang Wat Muen Tum tampak depan
Kuil utama Wat Muen Tum.
Sisi selatan Wat Muen Tum.
Bangunan bagian belakang Wat Muen Tum.
Perwujudan Chinte.

Mue Tum?……

Menilik secara historis, kata “Muen Tum” pada kuil ini merujuk pada seorang bangsawan kerajaan. Sudah bisa ditebak bahwa dialah yang membangun kuil ini.

Sedangkan secara fungsi, Wat Muen Tum akan digunakan sebagai tempat penjemputan raja baru Dinasti Mangrai yang akan naik tahta setelah dimandi sucikan di Wat Phakhao. Wat Phakhao juga dikenal sebagai White Cloth Temple (Kuil Kain Putih) karena raja yang akan dinobatkan akan dimandikan dalam pakaian serba putih di kuil ini. Wat Phakhao sendiri terletak setengah kilometer di timur Wat Muen Tum.

Kembali ke pelataran belakang Wat Muen Tum. Di bagian ini aku juga menemukan bangunan dengan arsitektur khas Kerajaan Lan Na, yaitu memiliki atap bertingkat dengan kemiringan tinggi. Listplank di sepanjang tingkatan atap mengadopsi bentuk tubuh naga dengan kepalanya di setiap ujung atapnya.

Sedangkan di setiap sisi pintu kuil dijaga oleh sepasang Chinte, yaitu perwujudan singa yan menjadi ikon religi di Thailand.

Sejenak untuk terakhir kali, aku kembali berdiri di pelataran belakang, menikmati keindahan Wat Muen Tum yang dalam waktu beberapa menit ke depan, akan kutinggalkan.

Lima menit menjadi waktu yang sangat cepat untuk menikmati keindahan Wat Muen Tum. Tetapi memang aku harus terpaksa pergi karena waktu hampir menginjak pukul setengah lima sore.

Kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Aku menuju ke bagian depan kuil melalui sisi utaranya. Dan begitu tiba di Prappokkloa Road, aku kembali melanjutkan langkah menuju utara.

Kisah Selanjutnya—->

Things You Need to Know about Leh Ladakh Bike Trip

Introduction:

Conversating on a Leh Ladakh bike trip is a dream for many adventure enthusiasts and travel affectionists. Situated in the Himalayan region of India, Ladakh offbreath landscapes, challenging heights, and an experience that’s nothing short of excitement. However, a successful bike trip requires meticulous planning, especially when it comes to budgeting and costs. In this guide, we’ll delve into the various aspects of planning a Leh Ladakh bike trip, including costs, tips, and a sample itinerary.

Budgeting and Costs:

Before revving up your bike and hitting the road, it’s crucial to have a clear understanding of the costs involved. While the actual expenses can vary based on factors like the duration of your trip, type of accommodation, and personal preferences, here’s a breakdown of the major expenses to consider:

Travel and Accommodation: The travel costs primarily include fuel for your bike. The distance from your starting point to Leh can impact this significantly. Accommodation options range from budget guesthouses to luxury hotels. Camping is also a popular and budget-friendly option.

Permits and Fees: Ladakh is a protected region, and tourists are required to obtain Inner Line Permits to visit certain areas. These permits come with a nominal fee.

Food and Drinks: Food expenses can vary depending on whether you choose to dine at local eateries or prefer restaurants. Local cuisine is generally more affordable.

Rentals and Repairs: If you’re renting a bike, factor in the rental charges and also keep a buffer for any potential repairs your bike might need during the journey.

Miscellaneous: This includes expenses for activities like sightseeing, shopping, and any unexpected costs that may arise during the trip.

Tips for Cost-Effective Travel:

While a Leh Ladakh bike trip can be a memorable experience, it’s important to keep your expenses in check. Here are some tips to help you make the most of your adventure while being budget-conscious:

Travel with a Group: Traveling in a group can help in cost-sharing for accommodation, fuel, and other expenses. Plus, it’s safer and more enjoyable to share the experience with others.

Pack Light: Carrying excess baggage can impact your bike’s fuel efficiency. Pack only the essentials to save on fuel costs.

Choose Accommodation Wisely: Consider budget options like guesthouses, hostels, and camping sites. This not only saves money but also offers a more immersive experience.

Eat Local: Indulge in the local cuisine as it’s often more affordable than eating at fancy restaurants. Plus, it’s a great way to experience the culture.

DIY vs. Guided Tours: While guided tours provide convenience, planning your own trip gives you more control over your expenses. Research and plan the route beforehand.

Maintenance Check: Ensure your bike is in top condition before starting the trip. Regular maintenance can prevent costly breakdowns during the journey.

Sample Itinerary:

Here’s a sample 10-day itinerary for a Leh Ladakh bike trip, focusing on key destinations and approximate costs:

Day 1-2: Start your journey from Manali, covering around 330 km. Stay in budget guesthouses (approximately $15-25 per night).

Day 3-4: Ride to Jispa (138 km) and then to Sarchu (80 km). Camp in Sarchu or opt for budget accommodations.

Day 5: Head to Leh (250 km). This leg might have slightly higher fuel costs due to longer distance.

Day 6-7: Explore Leh and nearby attractions. Visit monasteries and enjoy local cuisine.

Day 8: Ride to Nubra Valley (150 km). Experience the famous sand dunes and stay in a guesthouse.

Day 9: Proceed to Pangong Lake (160 km). Camp by the stunning lake under the stars.

Day 10: Return to Leh. Relax and prepare for your journey back home.

Conclusion:

A Leh Ladakh bike trip is an adventure of a lifetime, offering unmatched natural beauty and an adrenaline rush like no other. While costs are a significant aspect of planning, careful budgeting and smart choices can make the journey affordable without compromising on experiences. Whether you’re a solo traveler or part of a group, the memories and stories you’ll gather from this journey will undoubtedly be worth every penny spent. So, plan wisely, ride safely, and get ready to create unforgettable memories amidst the majestic Himalayas.

Wat Jet Lin: Sisi Artistik di Prapokkloa Road

<—-Kisah Sebelumnya

Jarum jam merangkak pasti menuju angka empat ketika aku terperanjat dan terbangun.

Usai makan siang, untuk beberapa saat aku tertidur pulas di bunk bed tingkat atas milik Le Light House & Hostel. Mungkin tidur yang tak nyenyak di Changi International Airport pada malam sebelum kedatanganku di Chiang Mai yang membuatnya demikian.

Aku merengkuh folding bag di sisi ranjang dan menuruni bunk bed dengan pelan. Tentu aku tak mau mengganggu pelancong lain yang sedang tidur siang. Beruntung sesaat sebelum terlelap, aku telah menyiapkan semua perlengkapan eksplorasi dalam folding bag kecil dan sudah menyimpan travel bag pada sebuah loker yang disediakan hostel.

Dengan langkah sedikit berjinjit, aku menyapa dua staff hostel wanita yang duduk di samping salah satu bunk bed yang telah selesai dibersihkannya. Satu diantaranya tampak sedang meratakan sprei yang baru saja dipasangnya.

Sawadikap”, aku menyapanya sangat pelan.

Keduanya pun menjawab dengan kata yang sama sembari menangkupkan kedua telapak tangannya di dada.

Keluar dari pintu kaca geser, aku menuruni tangga dan mulai mengenakan sepatu, demikian adanya, sepatu memang yang harus dilepas di lantai bawah sesuai aturan hostel.

Akhirnya aku meninggalkan hostel dengan menyusuri Bumrung Buri Alley 4, sebuah jalanan kampung yang bisa menembuskanku menuju Prapokkloa Road dimana destinasi yang akan kutuju berada.

Sepinya jalan kampung itu berhasil menyiutkan nyali sore itu. Aku hanya terus melangkah secepat mungkin demi segera menemukan jalan arteri. Aku berfokus untuk segera menemukan keramaian. Beruntung dalam enam menit aku tiba di jalan utama.

Aku pun menurunkan tempo, melangkah lebih pelan dan menikmati pemandangan di sisi kiri dan kanan Prapokkloa Road.

Prapokkloa Road Soi 4

Tampak beberapa pedagang kaki lama, mulai menyiapkan lapak demi menyambut keramaian malam yang dalam beberapa menit kemudian akan hadir. Penggorengan dan panggangan mulai dipanasi, bahan-bahan makanan mulai dikeluarkan dari freezer box, dan lampu penerangan pun mulai dinyalakan.

Aku terus melangkah di bawah siraman mentari sore yang masih sedikit menyengat. Beberapa turis asing pun sama, berseliweran di setiap titik di ruas Prapokkloa Road demi menggapai destinasinya masing-masing.

Aku cukup menyadari bahwa Chiang Mai dikenal sebagai kota terbesar kedua di Thailand yang memiliki tujuh puluh kuil di dalamnya. Jadi sudah pasti, aku akan mudah menemukan kuil di sepanjang jalan-jalan arteri di Chiang Mai.

Benar saja, delapan menit sejak pertama kali melangkah meninggalkan hostel, aku menjumpai sebuah kuil. Adalah Wat Jet Lin yang menjadi kuil pertama yang kutemui di Chiang Mai.

Wat Jet Lin atau orang lokal menyebutnya Wat Chedlin berdiri artistik dengan warna dominan putih dan berpagar batu bata merah di sekelilingnya. Ketika aku tiba, Wat Jet Lin tampak sepi dan tiada satu orang pun di dalamnya. Oleh karenanya aku memutuskan untuk tidak menyinggahinya. Itu juga karena tujuan utama sore itu bukanlah Wat Jet Lin.

Wat Jet Lin tampak depan.
Wat Jet Lin tampak samping.

Aku harus segera mencapai tujuan sebelum gelap mengakuisisi hari”, gumamku dalam hati.

Kisah Selanjutnya—->

Golden Soup Malatang: Sesaat Tertidur Pulas

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan Le Light House & Hostel sejenak menuju ke timur. Menurut aplikasi berbasis peta di telepon pintarku, tempat makan itu hanya berjarak tak lebih dari seratus meter saja.

Menyusuri Bumrungburi Road untuk berburu makan siang.

Beberapa menit melangkah pun akhirnya aku tiba di tempat makan itu. Aku yang kelaparan bergegas memasuki kedai dan disambut oleh tiga pelayan wanita berusia sangat muda. Mereka mempersilahkan kepadaku untuk mengambil beberapa menu yang tersaji di etalase.

Tanpa pikir panjang, aku pun mengambil beberapa pokcoy, sawi, satu keping mie warna ungu, wortel, beberapa potong cumi, jamur, bakso, dua potongan kecil tuna dan udang. Aku menyerahkan menu itu kepada salah satu dari mereka.

Dengan gesit dia memencet-mencet tombol di mesin kasir.

One mineral water. Ms”, aku memintanya memasukkanya dalam tagihan.

128 Baht, Sir”, kasir wanita itu menyebut angka tagihan.

Aku pun membayarnya dan setelahnya dia memintaku untuk menunggu di salah satu bangku.

Dala lima menit, hidangan tiba. Karena terlanda kelaparan akut, aku menyantap dengan lahap semua menu dalam kuah sup hangat dan gurih itu.

Selama tiga puluh menit lamanya aku menikmati menu pertamaku di Chiang Mai itu itu untuk kemudian selepas menghabisinya, aku mengambil sebotol mineral water dari sebuah freezer.

Ini dia Malatang Soup.

Menenggaknya separuh, maka aku memutuskan untuk menyudahi waktuku bermakan siang.

Rasa penasaran yang tinggi membuatku melangkah ke salah satu pelayan.

What’s the name of this dish, Ms?”, aku yang penasaran memberanikan bertanya

Malatang Soup, Sir”,

Oh, thank you for the information

With pleasure, Sir”, dia menjawab singkat

Melangkah keluar kedai, aku mengambil telepon pintar di saku kanan. Mengetikkan nama “Malatang Soup” ke mesin pencari.

Dengan cepat aku menemukannya. Lepas membaca satu paragraf tentangnya, langkahku pun terhenti. Aku menggeleng-gelengkan kepala di sisi jalan.

Mesin pintar mengatakan bahwa walau beberapa versi Malatang adalah halal namun pada dasarnya kuah pedas itu ada kemungkinan besar direbus menggunakan tulang babi.

Aku terkekeh membacanya tetapi kemudian berusaha tenang dan memohon ampun kepada Tuhan jika kuah Malatang yang kusantap beberapa menit sebelumnya benar-benar direbus menggunakan tulang babi.

Aku melanjutkan langkah menuju hotel karena waktu menunjukkan hampir pukul dua siang…Waktu check-in hampir tiba.

Aku tiba di Le light House & Hostel untuk kemudian duduk kembali di salah satu bangku cafenya. Namun baru beberapa menut duduk, seorang pria yang menggantikan resepsionis wanita sebelumnya tetiba memanggilku.

Le Light House & Hostel tampak depan.

Hello….Are you Mr. Donny?”, dia memanggilku dari arah belakang

Yes, sir…That’s right”, aku menoleh lalu menjawab pertannyaannya

Sir, you can check-in now….Come here!”, dia memanggilku

Aku memberikan paspor dilanjutkan dengan dia mengcopynya, untuk kemudian dia menyerahkan pasporku kembai padaku bersamaan dengan kunci kamar.

Setelah mendengarkan penjelasan singkat tentang prosedur hotel dari resepsionis pria itu, aku berjalan menuju pintu belakang bangunan, menaiki tangga di sisi kirinya untuk kemudian melepas sepatu dan pergi menuju kamar melalui tangga tersebut.

Sesampai kamar. Aku membongkar travel bag, mengambil folding bag lalu mengambil perlengkapan penting seperti dompet, lembar itinerary, power bank, air mineral, obat-obatan, dan kamera mirrorless Canon EOS M10, lalu menaruh beberapa pakaian ganti di salah satu loker.

Aku yang mengantuk berat, memutuskan untuk naik ke kasur di ranjang tingkat atas, dan tanpa sadar untuk beberapa waktu kemudian tertidur pulas di atas kasur……

Lalu bagaimana eksplorasiku siang menjelang sore itu.

Kisah Selanjutnya—->

Nag Tibba Trek: Journey to the Serpent’s Peak

Introduction 

Nestled in the picturesque Indian state of Uttarakhand, the Nag Tibba trek is a hidden gem among the multitude of trekking destinations in the Himalayas. It offers an enthralling adventure, taking you through dense forests, serene meadows, and to the summit of Nag Tibba, often referred to as the “Serpent’s Peak.” This trek provides a perfect blend of natural beauty, cultural experiences, and a moderate level of challenge.

The Mystique of Nag Tibba:

Nag Tibba, which translates to “Serpent’s Peak,” derives its name from its unique, serpentine appearance. It stands at an elevation of around 9,915 feet (3,022 meters) above sea level, making it an ideal destination for both novice and seasoned trekkers. The trek offers captivating views of the surrounding valleys, providing an experience that’s both visually and spiritually rewarding.

The Journey Begins:

The base camp for the Nag Tibba trek is Pantwari, a small village located at a distance of around 85 kilometers from the hill station of Mussoorie. Pantwari is not only the starting point for the trek but also a window into the local culture and lifestyle of the Garhwal region.

Trek Itinerary:

The Nag Tibba trek typically spans over 2-3 days, allowing trekkers to soak in the scenic beauty of the area and acclimatize to the altitude. Here’s a rough itinerary for the trek:

Day 1: Pantwari to Nag Mandir (Nag Temple)

  • The first leg of the trek begins from Pantwari and takes you to Nag Mandir (Nag Temple), a distance of approximately 5 kilometers.
  • This segment is a gradual ascent, surrounded by dense oak and rhododendron forests.
  • The temple is dedicated to the serpent god and is an essential pilgrimage spot for the locals.

Day 2: Nag Mandir to Nag Summit

  • This is the most challenging part of the trek, covering around 4 kilometers to reach the Nag Tibba summit.
  • Trekkers encounter steep inclines and rocky terrain.
  • As you climb higher, the views of the Himalayan peaks, including Bandarpoonch and Swargarohini, become increasingly captivating.
  • Upon reaching the summit, the sense of accomplishment is overwhelming, and the 360-degree panoramic views are a sight to behold.

Day 3: Descending to Pantwari and Departure

  • The final day involves descending back to Pantwari, retracing the same route.
  • This downhill trek is generally easier and faster than the ascent.
  • After reaching Pantwari, you can rest and then prepare to depart for your next destination.

The Wonders of Nag Tibba:

The Nag Tibba trek is a journey filled with natural wonders and cultural experiences:

  1. Flora and Fauna: Nag Tibba is part of the Nag Tibba Wildlife Sanctuary, known for its diverse flora and fauna. You can spot various bird species, including the Himalayan monal, as well as wild animals like leopards and musk deer.
  2. Camping in the Wilderness: Along the trail, there are numerous camping spots, allowing trekkers to immerse themselves in the natural beauty of the region. 
  3. Garhwali Culture: Interact with the warm and hospitable locals in Pantwari. Explore their culture, sample traditional cuisine, and even participate in local festivities if your timing aligns.
  4. Stunning Sunsets: The Nag Tibba summit is renowned for its breathtaking sunsets. Watching the sun dip below the horizon with the Himalayan peaks as a backdrop is a sight to cherish.
  5. Photographer’s Paradise: Every step of the trek offers stunning photography opportunities. From the lush forests to the snow-capped peaks, there’s something for every photography enthusiast.

Trek Essentials:

To ensure a safe and enjoyable Nag Tibba trek, make sure to carry the following essentials:

  • Appropriate Clothing: Layering is key. Good quality trekking boots are a must.
  • Backpack: A sturdy and comfortable backpack for carrying essentials is essential.
  • Water and Food: Carry sufficient water, and pack some energy-rich snacks.
  • Trekking Poles: These provide stability and support during the trek.
  • First Aid Kit: A basic medical kit for minor injuries is a must.

Best Time to Trek:

The Nag Tibba trek is accessible throughout the year, making it a versatile destination. 

  • Spring (March to April): The landscape is adorned with vibrant rhododendron blooms, and the weather is pleasant.
  • Summer (May to June): Ideal for escaping the scorching plains. The weather is mild, and the meadows are lush.
  • Monsoon (July to September): While the trek is possible, monsoon months bring heavy rainfall, which can make trails slippery.
  • Autumn (October to November): This is a fantastic time with clear skies and beautiful autumn foliage.
  • Winter (December to February): For those seeking a snowy adventure, this is the time. However, it’s essential to be prepared for sub-zero temperatures.

Conclusion:

The Nag Tibba trek is an expedition that combines the joys of trekking with the magic of the Himalayan wilderness. It’s a journey that not only tests your physical endurance but also rewards you with awe-inspiring natural beauty and cultural insights. The feeling of standing atop the “Serpent’s Peak” is truly something that stays with you long after you’ve descended.

So, pack your bags, put on your trekking boots, and embark on this journey to the heart of the Garhwal Himalayas. The Nag Tibba trek is an adventure waiting to be explored, offering a taste of the Himalayan mystique that is second to none.

Taksi dari Chiang Mai International Airport Menuju Pusat Kota

<—-Kisah Sebelumnya

Logo AOT tersebar di sekian banyak property bandara ketika tatapan mataku awas mencari keberadaan konter penyedia jasa taksi. AOT sendiri merujuk pada Airports of Thailand PCL, pengelola resmi Chiang Mai International Airport.

Beruntung aku dengan cepat menemukan konter taksi resmi “Chiang Mai Airport Taxi” yang berlokasi di dekat Door 11. Konter itu dijaga oleh staff wanita berusia paruh baya.

Hello Mam, How much is the taxi fare to Mueang Chiang Mai District?” aku bertanya lugas

150 Baht, Sir”, dia menjawab penuh senyum

OK, I take the taxi”, aku mengajukan permohonan sembari menyerahkan ongkos yang dimaksud.

Just wait here for about ten minutes, and show this receipt to the taxi driver when he picks you up from Gate 11!”, dia menunjuk pintu keluar.

Konter penyedia jasa taksi di Chiang Mai International Airport.

Mengikuti instruksinya, aku pun duduk di salah satu deret bangku bandara demi menunggu kedatangan pengemudi taksi yang dimaksud. Hingga pada akhirnya, beberapa menit kemudian,  seorang pria muda mendatangiku.

Taxi is ready, Sir”, dia menyapa dari sisi kiri tempatku duduk

Aku menoleh, memandang sebentar, lalu bangkit, “Oh, okay….I’m ready, Sir….Come On!

Aku mengikuti langkahnya menuju drop off zone di depan bangunan terminal. Tampak dari kejauhan, sebuah mobil listrik berwarna putih besutan Morris Garage (MG) telah menunggu dengan mesin menyala langsam.

Lepas memasukkan semua barang bawaan ke bagasi, aku menaiki mobil listrik itu dari pintu depan sisi kiri. Aku menghempaskan badan di kursi empuknya hingga akhirnya taksi merayap menuruni drop off zone menuju jalan utama kota.

Drop -off Zone Chiang Mai International Airport.

Chiang Mai is very hot, Sir”, aku menyela ketika dia berkonsentrasi di kemudi.

Yes, Sir….It’s been scorching these past few days”, dia menyeka dahinya yang berkeringat.

Tanpa suara, taksi itu meluncur cepat hingga akhirnya menjangkau jalur arteri menuju Le Light House & Hostel. Taksi terus meluncur cepat menuju timur, membelah kesibukan Mahidol Road.

Selanjutnya, aku tak banyak bercakap dengan pengemudi taksi, melainkan lebih memilih untuk menikmati suasana kota saja di sepanjang perjalanan menuju penginapan.

Perjalanan itu sendiri berlangsung sangat cepat, pengemudi muda itu melahap jarak lima kilometer hanya dalam waktu dua belas menit saja.

Tibalah aku di penginapan…..

Can I take a photo of the receipt?”, aku menunjuk nota pembayaran taksi di pintu sisi pengemudi.

Just take it. This is for you”, pengemudi itu sungguh baik, dia malahan memberikan nota pembayaran itu. Aku memang harus melakukan hal itu supaya nota pembayaran bisa aku reimburs ke kantor.

Ini dia penampakan taksi bandara yang kutunggangi.

Lepas turun dari taksi, aku langsung menuju ke lobby penginapan yang sebagian besar ruangannya didominasi oleh keberadaan Le Light Cafe. Pagi itu cafe sedang dikunjungi beberapa pengunjung yang kesemuanya tampak santai sembari menikmati hidangannya masing-masing.

Aku menggeret travel bag menuju resepsionis demi mengkonfirmasi kamar yang telah kupesan melalui sebuah aplikasi e-commerce perjalanan ternama.

Hi Ms….I’m Donny from Indonesia…I’ve booked a bed in your hostel….Can I check in now?”, aku menanyakan sesuatu yang sebetulnya sudah sadar bahwa permintaan check-in itu tak akan dikabulkan oleh si empunya penginapan.

Sir, you are on our list but check-in will only open at 2 pm”, wanita muda itu ramah menjawab.

Meja resepsionis Le Light House & Hostel.

Sadar diri belum bisa memasuki kamar, maka aku mundur dari meja resepsionis dan memilih untuk duduk di salah satu pojok cafe. Aku hanya duduk tanpa membeli apapun, hanya perlu menunggu hingga waktu hingga check-in tiba.

Tapi aku kalah, satu jam lamanya menunggu, akhirnya kelaparan melanda. Aku bangkit dan melangkah ke meja kasir untuk melihat menu makanan yang tersedia. Namun sayang, aku hanya menemukan berbagai jenis kue dan hidangan ringan saja di setiap lembaran menu yang kubaca.

Aku yang sangat menginginkan makanan hangat berkuah memutuskan untuk mencari tempat makan di luar penginapan.

Can I put my backpack in your locker?”, aku memohon pertolongan kepada resepsionis wanita itu.

Surely, Sir”, dia tersenyum ramah…..”Put there!”, dia menunjuk ke pojok lobby.

Thank you, Ms… I’ll just have a quick lunch”, aku menjelaskan.

Sejenak aku berburu tempat makan pada aplikasi berbasis peta dan kemudian menemukannya dalam waktu singkat.

Membuka pintu depan cafe, aku turun ke Bumrung Buri Road menuju tempat makan yang tertera di peta digital.

Aku melangkah cepat berkejaran dengan lapar…..Alamak

Kisah Selanjutnya—->