Teka-Teki Bus No. 67 Tashkent

<—-Kisah Sebelumnya

Akhinya Ku Menemukanmu….#naff.

Samar aku melihat pemberhentian bus kota itu, tapi aku belum yakin benar apakah itu halte bus yang sedang kucari. Aku terus melangkah mendekatinya.

Aku tiba beberapa menit kemudian….

Halte bus itu berukuran tak telalu besar untuk standar ukuran halte bus bandara. Tak semegah halte bus DAMRI Soetta tentunya.

Setiba di halte, aku berhenti sejenak, mengamati segenap petunjuk yang bisa memberikanku informasi penting. Tapi tak kunjung menemukannya. “Aku harus mencari cara lain berburu informasi”, aku memutuskan cepat.

Hingga akhirnya aku melihat kehadiran sosok pemuda yang sedang menunggu bus di salah satu sisi halte, pemuda itu sedang sibuk dengan tab di tangannya.

Ini bisa menjadi opsi terbaikku”, aku pun melangkah mendekati pemuda itu.

Hello, brother. Will bus No. 67 pass this shelter?”, aku mengajukan pertanyaan kepadanya.

Oh, that’s right”, dia membuang tatapnya dari tab di tangannya.

Oh, thank you for your information. Do I need a card or not to get on the bus?”, aku mengimbuhkan.

There are two options. You can use a card like this (dia menunjukkan kartu berlangganan busnya) or you can pay on the bus”. Bahasa Inggris pemuda itu sangat fasih

Oh Okay…I understand. How much for the fare?”, aku terus menyelidik.

It’s really cheap, only 1,400 Som….By the way, where are you from?”, untuk pertama kalinya dia menyerobot sebuah pertanyaan.

I’m Donny from Indonesia…. Did you just come home from work?

Call me Umid. I’m from Samarkand….Oh no, I’m a student at Tashkent University of Information Technologies.”, dia akhirnya memperkenalkan diri.

Pertemuan singkatku dengan Umid menjadi momen yang cukup berkesan karena aku beruntung menemukan seseorang yang bisa berbahasa Inggris dengan baik dan banyak memberikan informasi yang berguna bagi eksplorasiku di Tashkent beberapa hari ke depan.

Umid memberikan informasi bahwa aku harus mencicipi “Palov” makanan khas mereka. Dia juga menjelaskan bahwa 97% penduduk Uzbekitan beragama muslim, jadi budaya Islam sangat kuat tercermin di setiap sendi kehidupan “Negeri Jalan Sutera” tersebut. Dia juga memberikan pernyataan yang menenangkan hati bahwa jalanan di Tashkent sangatlah aman ditelusuri walau malam telah tiba. Satu lagi, dia menyarankanku untuk menggunakan bus kota dan MRT saja untuk melakukan eksplorasi karena tarif kedua jenis transportasi itu sangatlah murah. Apalagi, seluruh penjuru kota Tashkent terhubung oleh dua moda transportasi tersebut.

Ah, satu lagi yang masih kuingat. Dia menyebutku sebagai lelaki pemberani dan suatu saat setelah dia mendapatkan pekerjaan pasca kuliah, dia akan mulai menjelajah dunia sepertiku…..Wah, tersanjung banget aku tuh….Wkwkwkwk.

Meluncur ke pusat kota.

Beinnxxx…..Beinnxxx”, sebuah bus berukuran besar merapat di platform. Seorang kondekur laki-laki paruh baya melompat ke platform dan otomatis tersenyum lebar di depanku. Dia berbicara Bahasa Uzbek kepada Umid yang aku tak paham akan maknanya.

Maka aku yang penasaran, memulai melempar tanya kepada Umid.

What he say about me?

He asked where you came from, I answered Indonesia. Then he said your national football team plays well in last Asian Cup Qualifiers”, pungkas Umid.

Pernyataan Umid itu langsung mengingatkan memoriku tentang kemenangan heroik Timnas Indonesia atas Kuwait dengan skor 2-1.

Ahahaha, Umid….Tell him, My national team usually loses if against the Uzbekistan national team

Akhirnya kami bertiga tertawa terbahak ketika Umid dengar cerdas dan cepat menjadi penerjemah percakapanku dengan seoramg kondektur bus yang baru datang.

Akhirnya, bus kota bernomor 47 yang ditunggu-tnuggu Umid tiba. Setelah berpamitan denganku akhirnya dia menaiki bus sarat penumpang itu.

Sementara aku masih penuh kesan menunggu kedatangan bus bernomor 67.

Berselang lima menit…..bus itu datang.

Bu avtobus…*1).” Kondektur itu rupanya diberi tahu Umid mengenai nomor bus kota yang sedang aku tunggu sehingga kodektur itu mengetahui nomornya.

Thank you, Sir”, aku membungkukkan badan dan beringsut meninggalkannya.

Aku melompat masuk dari pintu tengah ke dalam bus bernomor 67 yang langsam berhenti. Lalu duduk di salah satu bangku sisi tengah. Bus masih tampak kosong. Lima menit menaikkan penumpang seadanya untuk kemudian bus itu meluncur pergi meninggalkan Terminal 2, Islam Karimov Tashkent International Airport.

Bus menyusuri Jalan Bobur Ko’chasi menuju pusat kota.

Sambil menunggu penumpang lain naik. Aku bertanya kepada seorang penumpang pria tentang bagaimana cara membayar tarif bus kepada kondektur.

Maka terjadilah pecakapan terunik di dunia.

How to pay the bus fare?”, aku menunjukkan selembar 5.000 Som.

Ty*2)” Menujuk mukaku,

Den’g*3)”, menunuk selembar uang 5.000 Som yang kupegang.

Ona zhenshchina*4)”. Dia menunjuk ke kondektur wanita yang berdiri  di bagian depan.

Podoyti blizhe*5)‘” dia menggerakkan telapak tangannya dari depan ke belakang.

 “Den’g”, menunjuk lagi uangku lalu berganti menunjuk ke kondektur itu.

Aku hanya terus tersenyum demi memahami setengah bahasa isyarat itu.

Okay….Sepertinya petualanganku sudah terselip sebuah permainan teka-teki. Aku menunduk, mengangguk-anggukkan kepala.

Setidaknya 50 menit ke depan, aku akan aman di dalam bus kota yang kunaiki ini”, aku membatin dan senyumku tak terbendung.

Note:

Bu avtobus*1)                     = Itu bus

Ty*2)                                = Anda

Den’g*3)                         = Uang

Ona zhenshchina*4)   = Perempuan itu

Podoyti blizhe*5)         = Datang Mendekat

Decit Sedan di Sebelah Kaki

<—-Kisah Sebelumnya

Di depanku telah berkerumun berbagai orang dengan kepentingannya masing-masing. Batas berdiri meraka tertahan di sebuah pembatas metal yang ditempatkan di area setelah drop-off zone, berjarak tak kurang dari lima puluh meter dari exit gate bangunan bandara.

Sebagian banyak dari mereka adalah para penjemput. Mereka berseru-seru memanggil nama para penumpang pesawat yang satu-persatu keluar dari exit gate. Tentu tak akan ada seorang pun yang berharap atas kedatanganku. Bahkan ketika aku telah tegak berdiri di depan exit gate dan menatap lekat kerumunan itu. Hanya ada satu kelompok penunggu saja yang memposisikan aku sebagai tamu istimewa di mata mereka….Ya, siapa lagi kalau bukan para pengemudi taksi yang tampak sumringah melihat kehadiranku di pintu bandara.

Taxiiii…..Taxiiii”, suara-suara yang jamak terdengar ketika aku keluar dari sebuah bandara. Aku yang sedari beberapa waktu lalu telah siap menghadapi para pengemudi taksi, akhirnya melangkah menuju halte bus yang letaknya berada di bangunan terminal bandara sebelah.

Aku melangkah cepat melalui kerumunan itu, mengabaikan banyak pengemudi taksi yang mengajakku berbicara demi menaiki taksi mereka.

Ternyata langkahku tak mulus hingga seorang pengemudi taksi menguntitku dari belakang. Sepertinya dia tak mudah menyerah sepertiku.

Brother, my taxi is cheap….Only ten Dollar, brother….Come!”, dia memegang tangan kananku dengan maksud menarik ke taksinya.

Sorry, Sir. I will go by city bus, My destination isn’t far”, aku menolaknya pelan dengan menarik tanganku kembali sembari terus melangkah menuju sisi kiri Terminal 1 bandara.

The bus is closed now, Sir….It wasn’t operating at this time”, Dia terus menguntitku. Tetapi aku adalah smart traveler yang tak akan mudah tertipu. Dari berbagai sumber yang telah kubaca sebelum berangkat berpetualang, aku tahu bahwa jam operasioanl city bus di Tashkent akan tutup pukul sepuluh malam. Dan itu masih dua setengah jam lagi. Aku masih punya cukup waktu tentunya.

I will wait for 10 minutes, Sir. If It doesn’t operate, I will use your cab”, aku tersenyum demi menjaga perasaan pengemudi taksi itu.

Aku terus melangkah cepat hingga dia memilih meninggalkanku dan kemudian mencari penumpang lain yang lebih menguntungkan baginya.

Yeaaa….”, Aku mengepalkan tangan, memenangi pertarungan kecil itu. Meninggalkan area parkir Terminal 1 dan bergegas menuju ke Terminal 2. Kali ini musuhku bukan sopir taksi, melainkan udara super dingin yang dengan mudah menembus winter jacketku. aku lupa mengenakan setelan long john sedari berangkat dari Kuala Lumpur sembilan jam sebelumnya.

Bangunan Terminal 2 bandara sudah terlihat di kejauhan. Aku terus melangkah dengan sedikit rasa panik karena udara dingin yang terus mengintimidasi ditambah lagi dengan suasana pinggiran Terminal 1 bandara yang nampak senyap.

Saking paniknya, ketika menyeberang di salah satu jalur penghubug antar terminal, aku lupa melihat ke kiri dan ke kanan. Itu juga karena fur-trimmer hood dari winter jacketku menutupi sempurnanya pandangan mata.

Bimmm…..Bimmmm….Bimmm”, sebuah sedan putih berhenti mendecit tepat beberapa sentimeter di sebelah kaki kiriku.

Astaga…..” aku refleks melompat, lalu berhenti di depan sedan yang telah berhenti sempurna tersebut. Aku menengok ke arah pengemudi. Dia membuka kaca pintu mobilnya dan berteriak “Heyy…..” sembari menjulurkan tangannya ke depan.

I’m sorry, Sir….I’m sorry….I didn’t see”, aku menangkupkan kedua telapak tangan di dada sembari melangkah mendekatinya.

Be careful, brother!….. It would have been a problem if I had bumped you a few minutes ago.” Dia mengingatkanku sembari meredakan kekesalannya.

I understand and sorry….

No matter….”, dia menutup pintu kaca dan menginjak pedal gasnya kembali, menghilang di tikungan dan meninggalkanku sendiri lagi.

Dan heeeiiii…..Tetiba aku merasakan tangan dan kakiku bergemetar. Ini bukan karena hawa dingin sekitar melainkan karena takut setelah insiden beberapa menit sebelumnya.

Entah apa jadinya, jika aku cedera karena tertabarak mobil tadi”. Aku menelan ludah. Mungkin petualanganku akan terhenti di Tashkent dan masuk ke rumah sakit kota. Sejenak aku berhenti melangkah demi memikirkan itu.

Sudahlah….”, aku harus segera melupakan insiden tersebut.

Ya, Tuhan….Sebetulnya dimana halte bus yang sedang kucari?”, aku menghela napas, kemudian kembali menaruh fokus untuk memperhatian sekitar.

Beeinxxx….Beeeinxx”, ah aku mendengar klakson bus itu. Menoleh ke arahnya, dan terlihat jelas kelir hijau warnanya di salah satu sudut Termina 2 bandara.

Oh, di situ….”, aku tersenyum telah menemukan tempatnya.

Maka aku bergegas melangkah menujunya.

Kisah Selanjutnya—->

Salah Tiket Menuju Jakabaring Sport City

<—-Kisah Sebelumnya

Suasana di Stasiun Demang.

Aku bergegas melompat ke salah satu gerbong LRT Sumatera Selatan. Di gerbong tengah tepatnya. Suasana di dalam gerbong tentu tak akan pernah penuh karena aturan PPKM Level 3 yang masih diterapkan pemerintah provinsi. Bangku LRT itu berselang-seling diduduki penumpang.

Aku?….Ya, aku lebih memilih berdiri saja di dekat pintu gerbong.

Sesaat kemudian, LRT berjalan lagi menyusuri jalur layangnya.

Di satu sisi, suara gesekan roda dan rel yang khas Ketika LRT berjalan membuatku rindu akan suasana serupa yang sering kutemukan di luar negeri. Maklum hamper dua tahun lamanya aku absen bepergian ke luar negeri.

Di sisi lain, aku sangat bangga karena salah satu provinsi di Indonesia telah berhasil membangun dan mengoperasikan LRT. MRT dan LRT selalu saja menjadi transportasi elit dalam pola pikirku.

Aku sungguh beruntung, dengan berdiri di dalam gerbong, aku bisa dengan leluasa mengamati pemandangan kota di bawah jalur layang LRT. Pemandangan terindahnya tentu ketika rangkaian gerbong LRT melintasi lebarnya sungai Musi.

Heiiii…..Aku tak berhenti di Stasiun Ampera walaupun tiket yang kubeli seharusnya hanya bisa mengantarkanku hingga stasiun itu. Aku memang salah memilih tujuan ketika membeli tiket di Stasiun Demang.

Aku cuek saja mengikuti arus LRT demi menuju Stasiun Jakabaring. Aku sudah bersiap diri apabila harus membayar denda ketika turun beberapa menit ke depan.

Dalam 25 menit akhirnya aku benar-benar tiba….

Melompat dari gerbong, aku langsung menuju ticket collection gate. Memindai tiket yang kumiliki dan ternyata gerbang keluar itu terbuka. Itu artinya aku tidak perlu membayar biaya tambahan atas kesalahanku dalam membeli tiket.

Mungkin saja rute Stasiun Demang menuju Stasiun Jakabaring dan Stasiun Demang menuju Stasiun Ampera memilki tarif yang sama. “Ah itu tak perlu dipermasalahkan….Yang terpenting aku sudah tiba di tujuan”, aku membatin.

Aku bergegas menuruni stasiun melalui sebuah escalator dan akhirnya berdiri tepat di sisi Jalan Gubernur H. Bastari. Sudah menjadi kebiasaan, aku mulai mengabadikan beberapa situasi di sekitar Tugu Parameswara.

Parameswara sendiri adalah nama seorang raja besar di Palembang. Dipercaya dalam berbagai jejak sejarah bahwa seluruh keturunan etnis Melayu berasal dari Kota Palembang. Hal ini tentu tak bisa dipisahkan dari perpindahan Raja Parameswara dari Kota Palembang menuju ke Temasek (sekarang Singapura). Di masa keemasannya, beliau terkenal dengan julukan Iskandar Syah setelah menjadi penguasa di Kesultanan Melaka di Malaysia.

Suasana Tugu Parameswara sangatlah ramai ketika aku mengambil beberapa foto ikonik. Hal ini dikarenakan letak tugu yang berada di sebuah bundaran. Selain itu, tugubtersebut juga menjadi tengara utama di pintu masuk kompleks Jakabaring Sport City.

Jakabaring?…Apa sebetulnya makna katanya?

Jakabaring adalah singkatan “Ja” yang berarti Jawa, “Ka” berarti Kaba (sebutan orang Semendo), “Ba” berarti Batak, dan “Ring” yang berarti Komering. Itulah keempat suku yang banyak meninggali Kota Palembang.

Tugu Parameswara yang menyiratkan sejarah Melayu.
Jalan Gelora Sriwijaya – Jalur masuk ke Stadion Gelora Sriwijaya.
Sungai artifisial yang dibuat mengelilingi stadion.
Tiba juga di Plaza Stadion.

Salah satu hal yang membuatku berkesan saat berada di Jakabaring Sport City adalah ketika beberapa pengemudi sepeda motor ikut berpose narsis Ketika aku mengabadikan beberapa spot di sekitar Tugu Parameswara tersebut. Keramahan warga Palembang tersebut mampu memunculkan tawa dan secara tak langsung membuatku merasa seakan sangat dekat dengan rumah.

Semakin lama berada di bawah tugu ikonik itu, membuatku kesabaranku habis…..Eits, kesabaran untuk bertemu destinasi inti di kompleks olahraga itu ya….Bukan limit kesabaran untuk baku hantam….Iissh iisshh iisshh.

Maka aku menyegerakan langkah demi menuju Kompleks Stadion Gelora Sriwijaya. Aku perlahan menelusuri jalur panjang menuju ke stadion utama, memanfaatkan trotoar sisi kiri Jalan Gelora Sriwijaya dengan terus mengikuti sekelompok warga yang sedang berjalan bersama menuju ke tempat yang sama.

Suasana dikiri kanan jalur masuk itu tampak hijau. Tak sedikit dahan pepohonan yang menjulur ke arah jalan dan menjadi atap alam trotoar.

Di spot lain, tepatnya di ujung timur jalan telah menanti sebuah plaza luas yang digunakan warga untuk sekedar duduk dan beraktivitas ringan menikmati pagi, juga menjadi tempat yang nyaman untuk anak-anak berlarian dan bermain, serta menjadi spot terbaik untuk berswa foto dengan latar belakang Stadion Gelora Sriwijaya.

Akhirnya aku mulai membaurkan diri dengan bergabung Bersama warga sekitar di plaza itu. Merasakan aura kekeluargaan di area plaza.

Sejenak aku menikmati keindahan di pagi yang cerah itu.

Teringat Malam-Malam Beku di Agra

<—-Kisah Sebelumnya

Islam Karimov Tashkent International Airport Terminal 2.

Konsisten menjaga ketenangan, aku menghadap petugas Aviation Security yang menjaga kotak pemindai di screening gate dekat pintu keluar bangunan bandara.

Can I go to Arrival Hall inside? I have a problem with a SIM Card I bought at that counter”, aku menunjuk ke Tourist Information Center setelah berhadapan dengan petugas Aviation Security yang bepostur tinggi besar.

Sure….Just go there”, dia tersenyum mempersilahkan.

Thanks, Sir” aku masuk ke kembali dan lansung menuju ke tempat penjualan SIM Card yang kumaksud.

Aku tiba di konter…..

This SIM Card didn’t activate yet, Sir”, aku langsung bercakap kepada penjaga konter karena kebetulan dia sedang tidak melayani pembeli.

Are you sure?….Let me check”, dia meminta smartphoneku.

Yeaaa….I hope you can solve it”, aku sungguh berharap permasalahanku bisa selesai dengan cepat.

Penjaga konter belia itu mengambil kembali SIM Card dari smartphone yang kuberikan, meletakkannya pada sebuah alat kecil dengan nyala cahaya berwarna merah, kembali melakukan aktivitas yang tak kupahami, memasukkan kembali SIM Card dalam smartphoneku, mengutak-atik settingan di smartphone untuk beberapa saat.

Hingga kemudian,

Please check again, Sir….I think this SIM Card had activated and is ready to use”, dia menyerahkan smartphoneku.

Sejenak aku membuka aplikasi berbasis peta, mencari lokasi halte Bus Kota No. 67- bus yang akan kutunggangi dalam beberapa waktu ke depan. Kabar baiknya bahwa aplikasi itu menunjukkan tempat dimana halte berada.

Yeaaa….It work…..Thanks you, Sir”.

Karena telah kehilangan banyak waktu, maka aku kembali menuju exit gate.

Aku melangkah dengan setengah berlari untuk keluar dari bangunan Terminal 1, hingga seruan tegas menegurku,

Hei, you…Screening your backpack again!”, seorang petugas aviation security yang lain meneriakiku ketika aku berusaha melewati screening area dengan terburu-buru. Aku masih menganggap bahwa backpackku telah steril dan sudah lolos pemeriksaan beberapa menit sebelumnya di alat pemindai yang sama.

Tetapi karena perintah itu, akhirnya aku kembali memindai backpack untuk kemudian dinyatakan bersih dan aku diizinkan menuju ke exit gate.

Aku berhenti sejenak, menatap layar smartphone, melihat posisi halte bus kota No. 67. Aku memahami denahnya, halte itu dua ratus meter jauhnya di sebelah kiri pintu keluar, tepat di depan area parkir Terminal 2 bandara.

Maka dengan yakin aku melangkah keluar.

Tiba di luar bangunan terminal, aku berdiri sejenak, terdiam

Suasana di luar sana telah sempurna gelap, malam memang sudah hadir. Udara sarat dengan kabut, sejenak aku teringat malam-malam beku di Agra awal 2018 silam. Jarak pandang menjadi tak begitu jauh, sedangkan suhu jatuh pada skala -2o Celcius.

Aku menemukan tantangan baru.

Harus berhasil menemukan penginapan yang telah kupesan. Jaraknya 10 kilometer di utara, menaiki bus umum dan harus menembus malam yang beku.

Inilah satu kondosi yang kupikirkan dengan keras sedari berangkat dari rumah.

“Aku akan memenangkannya”, aku mengepalkan tangan mengumpulkan keberanian.

Kisah Selanjutnya—->

Terkagum dengan Hijau Retinanya…..

<—-Kisah Sebelumnya

Aku masih mengatur napas panjang, mencoba tenang di meja konter penjualan SIM Card. Mencoba untuk tidak panik.

I have failed to set up a SIM card with this quota five times. Or maybe, Do you want to try another type of data quota? Maybe better.” Dia menjelaskan.

No, I don’t want”, aku menukas tegas.

Oh, Okay….Just wait”, dia menaruh packaging SIM Card yang sudah tersobek di sudut meja.

Pria muda itu untuk sesaat berpindah melayani pelanggan yang lain.

Sedangkan aku terus menatap jam digital pada layar FIDS di tengah ruangan bangunan bandara. Untuk kemudian terdengar suara tertuju kepadaku,

I have a same problem with you”, seorang pelancong wanita berparas cantik bicara dari sisi belakangku.

Aku menoleh, tidak langsung menjawab tapi sejenak terpesona dengan hijau retinanya lalu memperhatikan gerakan tangan kirinya yang memegang sebuah paspor.

Itu paspor Russia”, aku membatin, aku sungguh mengenali paspor berwarna merah tersebut.

Are you sure?…. What did you do to fix it?”, aku memulai percakapan dengannya.

I buy the more bigger data”, tukasnya singkat sembari mengernyitkan dahi.

“How much did you buy?”, aku terus menatap matanya dengan percaya diri.

90.000 Som for 50 GB”, dia menjelaskan dengan sedikit jengkel sepertinya karena telah mengeluarkan budget berlebih.

I think that’s the best solution so you can go to downtown soon”, aku berusaha meleramkan kejengkelannya.

Yes, I will immediately go to downtown because the night is getting darker”, dia tersenyum, membereskan perlengkapannya dan mulai menarik trolley bagnya. “Bye”, dia melambaikan tangan.

Bye, I’ll try my best”, aku tersenyum dan berpura-pura tenang.

Tetiba terdengar suara dari meja konter penjualan SIM Card.

Hello, Sir….Your smartphone, please!”, seorang pria muda lain berbicara kepadaku

Aku membalikkan badan. “Oh sure, this is”, aku menyerahkan smartphoneku

Just wait, Sir”, dia menelungkupkan sembari menurun-naikan telapak tangannya sebagai usaha untuk menenangkanku.

Dia mulai mengutak-atik smartphoneku dan menggunakan alat elektronik yang aku tak paham fungsinya. Berkali-kali dia menaruh Beeline SIM Card yang kubeli pada alat itu lalu memasukkan ke dalam smartphone dan mengatur beberapa settingan di dalamnya.  

Hingga beberapa waktu kemudian, dia berucap, “It’s work”, dengan senyum memberikan smartphone itu kepadaku.

Benar saja, SIM Card itu kurasa telah aktif, aku melihat bar 4G itu telah menyala.

Selanjutnya aku menyerahkan 65.000 Som kepadanya dan kemudian bergegas pergi menuju exit gate bangunan bandara.

Aku melangkah menuju pintu keluar yang kumaksud melalui sebuah screening gate. Memindai backpack dengan cepat aku mudah melaluinya. Berlanjutlah langkahku yang sudah di dekat pintu keluar.

Pikiranku hanya satu, mencari keberadaan halte city bus demi menuju penginapan.

Dari beberapa sumber informasi yang kudapatkan, aku tahu bus kota itu bernomor 67 yang memiliku rute dari Islam Karimov Tashkent International Airport hingga ke Yunusobod.

Yunusobod sendiri adalah nama sebuah distrik. Orang lokal menyebut distrik dengan istilah “Tumani”. Di distrik itulah dormitory yang kupesan berada. Satu dari dua belas distrik yang membentuk Ibu Kota Tashkent. Yunusobod menjadi distrik penting karena jalan protokol utama ada di sana. Distrik dengan 20% populasi Tashkent.

Dengan percaya dirinya, aku membuka aplikasi berbasis peta. Menekan beberapa menu di dalamnya.

Damn….Aplikasi ini tak bekerja, belum terhubung dengan internet”, aku menatap kembali ke bagian dalam bangunan bandara. “Aku harus masuk ke dalam lagi….Menemui penjual SIM Card itu”, aku berpikir menghitung situasi.

Aku masih terperangkap di masalah yang sama.

Kisah Selanjutnya—->

Lima Ringgit yang Tertekuk

<—-Kisah Sebelumnya

Menyapukan pandangan ke segenap sudut Terminal 1-Islam Karimov Tashkent International Airport.

Sekali lagi aku menyapukan mata dengan cermat ke segenap penjuru bangunan bandara. Pelan-pelan tatapan mataku meyelidik di setiap sudutnya. Dan akhirnya aku menemukan money changer di salah satu sudut, konter penukarannya berukuran mungil serta menjadi satu-satunya money changer yang ada di Terminal 1. Aku bergegas melangkah mendekatinya, masuk ke dalam antrian dan membuka kembali lembar itineraryku.

Aku mencantumkan budget untuk eksplorasi di setiap negara pada lembar itinerary tersebut. Dari rencana yang kususun, aku membutuhkan budget sebesar 570.000 Som.

Jadi berapa Dollar Amerika yang harus aku tukarkan ke dalam Som Uzbekistan?

Biasanya aku menggunakan formula 100%+20% ketika menetapkan jumlah Dollar yang harus kutukar ketika pertama kali memasuki wilayah sebuah negara. Artinya aku akan menukarkan Dollar lebih banyak 20% dari budget yang kuanggarkan demi menanggulangi terjadinya budget tak terduga.

Oleh karena formula itulah, maka aku membutuhkan uang sebanyak 684.000 Som. Itu berarti aku cukup menukar 60 Dollar saja untuk mengeksplorasi Tashkent….Duhhh, murah bingitz kan ya?

Tiba di depan money changer, aku menyerahkan Dollar beserta paspor kepada teller yang bertugas. Menghitung dengan cepat, teller itu akhirnya memberikan Som kepadaku.

You must keep this receipt if you want to sell your remaining Dollars to us”, teller wanita tersebut memberi penjelasan dengan penuh senyum.

Okay, Mam”, Aku menjawab singkat.

Aku sibuk memasukkan Som yang baru saja kudapat ke dalam dompet. Untuk kemudian sebuah sahutan tegas memanggilku.

Youuuu…….”, aku menoleh ke sumber suara

Hellooo….Youuuu”, petugas imigrasi itu jelas sekali menunjukku

Meeee…..”, aku menunjuk hidungku sendiri

Yessss…..You…..Come!”, dia melambaikan tangan supaya aku mendekatinya.

Jantungku berdegup kencang, “ Aduh, ada masalah apa ini…..?”, Wajahku pias.

Aku bergegas menujunya sambil menenteng backpack dengan menggantungkan satu shoulder strapnya di lengan karena terburu-buru.

Your Passport, please…..!”, dia menatapku lekat ketika aku tiba di hadapannya

Astaga, aku mau diapain?”, aku membatin sambil merogoh backpack demi mengeluarkan paspor.

This is, Sir”, aku menyerahkannya

Oh, Indonesia….”, dia hanya melihat sekejap pasporku kemudian melemparkan senyuman ramah.

This is for you….”, dia menyerahkan selembar uang Lima Ringgit Malaysia yang tampak tertekuk kepadaku.

Wooow…..Ringgit….Thank you, Sir”, aku berbalas senyum dan menerima pemberian petugas imigrasi dengan riang.

Astaga….Kirain mau diapain”, aku membatin sembari pergi menjauh dari konter imigrasi.

Lumayan buat tambahan uang makan di Kuala Lumpur saat perjalanan pulang beberapa hari ke depan”, aku menyunggingkan senyum tipis.

Beli SIM Card lokalnya di situ, gaes…

Usai mendapatkan Som, maka aku bergegas menuju ke konter penjualan SIM Card lokal.

Can I buy an 8G data plan?”, aku melemparkan tanya ke pria belia penjaga Tourist Service Center.

We don’t have that one”, dia menjawab sekenanya karena sedang sibuk melayani seorang pelancong asal India. “You can buy the 20G one”, dia mengimbuhkan informasi.

How much?” Aku bertanya singkat.

65.000 Som, Sir” dia menjawab dengan aksen English yang cukup baik.

Ok, I take it”, aku tak berpikir panjang karena sepenuhnya sadar bahwa di luar sana malam semakin berkuasa.

Usai melayani pelancong India, pria belia itu meminta smartphoneku, mengeluarkan SIM Card, menggantinya dengan Beeline SIM Card, kemudian mulai mengotak-atik settingan untuk melakukan aktivasi.

Dia tampak serius dan fokus. Tetapi aku justru semakin was-was karena berkali-kali dia gagal mengaktifkan Beeline SIM Card itu di smartphoneku.

Berkali-kali gagal melakukan, tampaknya membuat dia menyerah.

Your phone is in problem, Sir. I can’t activate it”, dia menyerahkan smartphoneku dan berpindah melayani pelancong lain.

Aku menelan ludah…..

Bagaimana aku bisa tiba di penginapan jika tak memiliki kuota data?”, aku menundukkan kepala di konter itu…..Berpikir keras mencari solusi, semetara waktu hampir menyentuh pukul tujuh malam.

Come on….God, help me”, aku menukas pelan.

Kisah Selanjutnya—->

Saling Tatap, Tersenyum Lalu Mengernyitkan Dahi

<—-Kisah Sebelumnya

Suasanan Arrival Hall setelah konter imigrasi.

Aku menarik shoulder strap kuat-kuat untuk menegakkan backpack di punggung. Maklum aku baru menginjak hari pertama petualangan, muatan backpackku masih sempurna penuh, enam koma delapan kilogram beratnya, tidak kurang, tidak pula lebih.

Menatap sejenak dinding kaca bangunan terminal hingga ke setiap sudut, selanjutnya aku menaiki tangga di depan entrance gate Terminal 1 – Islam Karimov Tashkent International Airport. Dan tuntas melintasi daun pintu kacanya, maka secara bersamaan aku telah berdiri di salah satu antrian konter imigrasi.

Aku memandang lekat-lekat deretan konter imigrasi itu, bentuknya menyerupai box telepon umum. Hanya ada microphone dan lubang kecil di bagian bawah untuk berkomunikasi antara pelancong dan petugas imigrasi. Berbeda dengan konter imigrasi umumnya yang biasanya berbentuk konter setengah badan sehingga pengunjung bisa bercakap dengan petugas secara langsung tanpa penghalang apapun.

Aku segera menurunkan backpack, mengeduk isinya demi menemukan satu zipper file folder berwarna kuning dimana segenap dokumen perjalananku tersimpan di dalamnya. Satu paspor aktif, dua paspor non-aktif, lembaran-lembaran itinerary, sepuluh e-ticket penerbangan berbeda serta empat hostel confirmation booking tersimpan rapi di dalam folder itu.

Usai menemukannya, aku memegangnya erat, memanggul backpack kembali dan melanjutkan antrian. Antrian di jalurku tampak didominasi oleh warga Asia Tengah seperti Kazakhstan, Tajikistan, Kirgistan dan Turkmenistan. Selebihnya adalah pelancong asal Eropa dan Russia. Hanya diriku sendiri yang menjadi satu-satunya turis asal Asia Tenggara….Keren ga sich?……Hmmh #sombong.

Satu hal yang perlu kuceritakan perihal rasa diri ketika berada di antrian imigrasi negara asing adalah was-was. Seorang solo traveler biasanya akan melihat di sepanjang antrian untuk mencari solo traveler lain. Sangat mudah untuk ditemukan, mana diantara antrian itu, seorang solo traveler atau group traveler. Biasanya dua solo traveler akan saling tatap, tersenyum lalu mengernyitkan dahi….Pertanda kita merasakaan ketegangan yang sama sebelum menghadap meja imigrasi….Hahaha.

Tetapi sore itu, selama mengantri, terlihat tak ada sesuatu yang dipersulit oleh petugas imigrasi di antrianku. Aku berharap hal itu akan terus berlangsung hingga proses keimigrasianku tuntas.

Next……”, teriakan yang lazim kudengar di antrian imigrasi.

Ini giliranku…..Whatever happens, happens”, aku mantap melangkah.

Aku tiba di depan konter imigrasi, menyerahkan paspor. Atas inisiatifku sendiri, kuselipkan lembar pemesanan hostel tempatku menginap, tiket penerbangan Uzbekistan Airways menuju Kazakhstan sebagai jaminan bahwa aku akan meninggalkan Tashkent. Demikianlah keunggulanku, selalu detail mempersiapkan sesuatu. Ketika pelancong lain hanya menyerahkan paspor maka sudah menjadi kebiasaan bahwa aku akan menyerahkan dokumen tiga kali lebih lengkap dari pelancong lain.

Sejenak petugas imigrasi itu terdiam, memeriksa segenap dokumen yang kuberikan. Membaca lembar demi lembar. Hanya saja, aku mulai khawatir ketika dia terhenti pada salah satu halaman paspor. Dia mengambil sebuah alat semacam pemancar sinar ultraviolet. Berkali-kali  petugas itu meletakkan pasporku di bawahnya. Aku tah dia sedang mendeteksi security ink di dalam pasporku, tinta itulah yang menjadi satu komponen penting dalam setiap paspor yang bisa digunakan untuk mengecek keabsahan sebuah paspor.

Aku begitu tegang menunggunya….Aku terus menatap wajah serius petugas imigrasi itu.

Tapi kabar baik masih berpihak padaku. Usai mengecek pasporku berkali-kali, petugas imigrasi itu akhirnya membubuhkan stempel free visa di halaman akhir paspor yang kemudian membuatku susah mencari keberadaan stempel itu.

Aku diperbolehkan memasuki wilayah yuridis Uzbekistan melalui sebuah jalur sempit di samping konter imigrasi.

Aku menarik napas panjang…..Aku berhasil memasuki Uzbekistan.

Yiaaaayyyy……Uzbekistan sendiri akhirnya menjadi negara ke-29 di dunia yang pernah aku kunjungi.

Sesenang-senangnya diriku, aku tetap waspada bahwa sejatinya aku sedang berkejaran dengan gelap. Aku sadar bahwa semakin lama berada di bangunan terminal bandara, resiko keamanan menuju ke penginapan di saat gelap juga semakin meningkat.

Oleh karenanya, aku harus segera membereskan segenap keperluan. Aku menyapukan pandangan ke segenap penjuru bangunan Terminal 1. Terminal itu tidak terlalu besar. Aku mudah sekali melihat setiap ujung ruangannya. Ya…..Aku mencari keberadaan money changer.

Melihat ke segala penjuru, tapi tak kunjung menemukannya. Aku khawatir karena bagaimana bisa membeli SIM card beserta paket datanya apabila tak bisa menukar Dollar yang kumiliki ke mata uang lokal.

Aku menarik napas dalam-dalam….Berusaha tenang.

Kisah Selanjutnya—->

Do Svidanya, Donny…..

<—-Kisah Sebelumnya

Touchdown Tashkent.

Satu budaya baru dari Kawasan Asia Tengah yang kudapatkan dalam penerbangan Uzbekistan Airways HY 554 adalah cara pegungkapan respek dan rasa terimakasih segenap penumpang kepada air crew. Seluruh penumpang asal Uzbekistan tampak bertepuk tangan meriah ketika roda pesawat berhasil menyentuh landas pacu untuk pertama kalinya.

Aku mengira kejadian itu hanyalah hal insidentil yang terjadi dalam penerbangan itu. Tetapi ternyata tidak. Budaya itu terus kutemui dalam penerbangan di Kawasan Asia Tengah. Aku menemukan kebiasaan yang sama ketika terbang bersama Air Astana dalam menjelajah beberapa wilayah Kazakhstan.

Di sebelah bangku, Dasha menunjukkan wajah sumringah. “Mungkin liburannya telah banyak meninggalkan kesan”, aku menduga-duga ketika akhirnya dia menoleh kepadaku.

Posadka*1)….Donny”, sembari mengacungkan kedua jempolnya di hadapanku.

Nice landing, Dasha….We arrive”, aku pun tak bisa lagi menyumputkan senyum.

Dasha mengeluarkan jaket tebal dari tas yang dia taruh di bawah kakinya, mengenakannya, dia tampak anggun dengan jaket bulunya yang berwarna biru langit itu.

Kurtka*2)….Donny”, dia menunjuk-nunjuk diriku,

Holodno*3)….”, dia menunjuk ke luar jendela pesawat.

Aku hanya menebak-nebak apa yang dituturkannya,

Pakai jaketmu, Donny. Di luar sana dingin”, aku terkekeh dalam hati.

Okay, Dasha”, aku berucap kepadanya antusias. Lalu menurunkan backpack dari bagasi kabin, mengeduk isinya, mengeluarkan jaket musim dingin bekas yang kubeli di Pasar Baru beberapa hari sebelum keberangkatan, lalu mengenakannya dengan cepat.

Ty Krasivyy*4), Donny”, Dasha kembali mengacungkan jempolnya. Sementara itu, aku hanya menengadahkan kedua tangan demi merespon ungkapannya sembari tersenyum. “Not bad”, batinku berucap.

Keluar dari kursi, Dasha mengucapkan salam perpisahan.

Do Svidaniya*5), Donny” dia melambaikan tangan dan bergabung dengan teman-teman satu perusahaannya.

Come on, kembali ke mode awal, Donny….Solo Traveling….Kamu akan bertemu orang-orang baik lagi di luar sana, Donny….Percayalah!”, aku menguatkan diri.

Aku menengok ke jendela, tidak ada aerobridge yang menempel di pintu pesawat. Itu artinya akan ada apron shuttle bus yang menunggu segenap penumpang di kaki pesawat. Aku melangkah ke pintu belakang yang sudah di jaga oleh satu pramugari dengan seragam blazzer berwarna hijau. Merangsek di antrian dan akhirnya aku benar-benar tiba di bibir pintu.

Oh God, Tashkent…..”, Aku tak sengaja telah melamparkan senyum menatap hamparan luas Islam Karimov International Airport.

Islam Karimov International Airport tampak dari pintu pesawat.
Uzbekistan Airways HY 554 Kuala Lumpur-Tashkent.

Izvinite*6)….Izvinite”, seorang penumpang berkata di belakangku. Itu karena aku mendadak terhenti di bibir pintu karena terkesima dengan pemandangan di bawah sana.

Hamparan luas apron dengan sebaran pesawat berbagai ukuran milik maskapai penerbangan Uzbekistan Airways. Puluhan light tower telah dinyalakan sebagai pertanda bahwa hari tengah menyambut datangnya malam. Sementara itu kabut tipis menjadi latar utama bandara terbesar di seantero Uzbekistan tersebut. Di sisi lain, satu unit apron shuttle bus berwarna biru terparkir dengan mesin menyala langsam siap menjemput segenap penumpang.

Aku menuruni mobile stairs, udara segar bersuhu -2o Celcius menerpa mukaku yang tak berpelindung, tanganku juga merasakan dingin yang sama. Tapi aku tak mau berlari, aku berjalan pelan menikmati suasana sebelum benar-benar memasuki shuttle bus.

Aku sudah di dalam shuttle bus beberapa waktu kemudian. Menanti penumpang lain datang memenuhi bus. Setelah terisi sepenuhnya, maka shuttle bus mulai membelah luasnya apron bandara demi mengantarkan penumpangnya menuju bangunan Terminal 1.

Untuk sesaat aku terlarut dalam perjalanan singkat di sepanjang apron, masih tak percaya aku berada di Tashkent. Sebuah kota yang hampir satu dekade terakhir bahkan tak pernah masuk dalam rencana untuk kusinggahi. Tapi takdir mengatakan lain, aku dimasukkan ke dalam pesona Tashkent yang di keesokan hari sudah bisa kujelajahi.

Apron shuttle bus itu berhenti. Aku telah tiba di bangunan Terminal 1. Mataku awas mengamati sekitar. Tepat turun dari pintu shuttle bus, Sebidang luasan pintu kaca menyambutku. Sementara di dalam sana terlihat jelas konter-konter imigrasi sedan sibuk melayani para penumpang untuk masuk ke wilayah yuridis Uzbekistan.

Baru kali ini aku melihat, konter imigrasi diletakkan tepat di depan pintu kedatangan penumpang….Amazing”, aku bisa tertawa kecil ketika menatapnya.

Aku mulai menggila, beberapa penumpang menatapku kerena aku tertawa ringan sendirian.

Note:

*1). Posadka = Pendaratan

*2). Kurtka = Jaket

*3). Holodno = Dingin

*4). Ty Krasivyy = Kamu terlihat tampan

*5). Do Svidaniya = Sampai jumpa

*6). Izvinite = Permisi atau maaf

Kisah Selanjutnya—->

Nervous di Atas Revoljucii

<—-Kisah Sebelumnya

Pegunungan Revoljucii di Tajikistan

Aku duduk menatap ke jendela sisi kanan. Hamparan putih salju di pegunungan Revoljucii menjadi pemandangan utama di sejauh mata memandang. Keindahannya telah menyirap segenap penumpang untuk berebut menontonnya.

Ketika penumpang di kolom tengah berdiri dan berseru-seru melihat keindahan alam itu, justru aku hanya duduk termangu menatap hal yang sama. “Ini sama tatkala aku menikmati indahnya Pegunungan Himalaya ketika terbang bersama Thai Airways di atas teritorial Nepal enam tahun silam.”, aku membatin.

Tatapanku sejenak berpindah ke layar LCD di depan. Jari telunjukku lincah memainkan tampilan menu di dalamnya. Aku mencari informasi berapa waktu tersisa bagi Uzbekistan Airways HY 554 untuk tiba di tujuan.

24 menit lagi aku akan  tiba”, aku mematung sejenak.

Jantungku berdegup lebih kencang. Aku mengaku pada diriku sendiri bahwa nervous telah menguasai diri. Setidaknya ada tiga hal yang membuat demikian. Tiga hal yang memenuhi segenap ruang di otakku.

Pertama….Suhu.

Terakhir kali mengunjungi negara empat musim adalah tahun 2016 silam. Taiwan-Jepang-Korea Selatan kala itu. Aku sepertinya telah kehilangan insting menjelajah negara yang sedang memasuki musim dingin. Selalu saja ada yang membuatku was-was dengan cuaca dingin. Dan kabar menegangkannya adalah Uzbekiztan termasuk negara yang Sebagian besar wilayahnya berada di iklim sedang dengan garis lintang yang lebih tinggi dar Korea Selatan. Aku akan memasuki suhu minimal -2o Celcius dalam waktu beberapa menit ke depan.

Kedua….Malam.

Tiba di saat malam adalah sesuatu hal yang selalu saja menyelipkan sebuah ketegangan. Menjelajah malam di kota lain di negeri sendiri saja membuat otak berpikir lebih keras, apalagi ini sebuah kota yang jaraknya 7.000 kilometer dari rumah. Aku terus me-rehearsel setiap tahapan langkahku menuju ke penginapan setiba di Tashkent beberapa saat lagi.

Ketiga….Imigrasi.

Menghadap ke meja imigrasi sebuah negara selalu saja menjadi tahapan yang sungguh mendebarkan. Oleh karenanya, aku selalu berdo’a setiap memasuki area imigrasi, memohon pertolongan Tuhan untuk mempertemukanku dengan opsir imigrasi yang baik hati dan mempermudah setiap langkahku untuk memasuki sebuah negara baru. Aku sendiri pernah mengalami hal kurang mengenakkan di imigrasi Busan dan imigrasi Kuala Lumpur. Dan siapa sangka aku akan menemukan masalah yang sama ketika menghadap imigrasi Maldives pada saat perjalanan pulang dari perjalanan panjang yang sedang kujalani tersebut.

Kembali ke kursi pesawat….

Pilot telah memberikan perintah kepada setiap awak kabin untuk mempersiapkan diri melakukan pedaratan. Lantas, para awak kabin melakukan pemeriksaan kepada setiap sabuk pengaman yang dikenakan penumpang, memastikan setiap kursi tegak sandarannya dan memastikan keadaan di luar bisa dilihat dari setiap jendela.

Maka, terjadilah percakapan antara pilot di kokpit dan menara pengawas, aku paham bahwa sang pilot sedang meminta izin untuk mendarat.

Pesawat perlahan menurunkan ketinggian, menembus beberapa gumpalan awan di lapisan bawah atmosfer, membuat goncangan lembut di pesawat berbadan lebar tersebut. Pemandangan kota Tashkent mulai tampak dari ketinggian.

Roda pesawat yang dikeluarkan dari lambung terdengar dari dalam kabin. Runway sudah semakin dekat. Pemandangan di luar berubah menjai garis-garis cepat yang bergerak berlawanan arah dengan laju pesawat.

Hentakan lembut yang kuharapkan terjadi. Roda pesawat sudah berputar di landas pacu.

Aku mendarat….

Aku tiba…..

Aku tak sabar lagi menginjakkan kaki di Islam Karimov Tashkent International Airport, bandara ke-37 di luar negeri yang pernah aku kunjungi.

Kisah Selanjutnya—>

Elektrokromik….Teknologi yang Membuatku Tampak Bodoh

<—-Kisah Sebelumnya

Tepat satu setengah jam kemudian, para pramugari mulai sibuk berhilir mudik mempersiapkan inflight meal. Mereka sudah berganti pakaian, paduan baju lengan pendek dengan corak merah dan syal warna hijau menjadikan mereka tampak anggun bak model di sepanjang aisle. Mereka gesit membagikan makanan dan minuman kepada penumpang.

Aku sendiri menerima satu set inflight meal berisi enam item makanan, terdiri dari rice with chicken curry, bread, salad, buah jeruk, kue pie dan peanut snack. Saking banyaknya, aku tak mampu menghabiskannya, aku pun berinisiatif untuk menyimpan beberapa diantaranya untuk makan malam ketika tiba di Tashkent beberapa waktu ke depan.

Segenap penumpang tampak sibuk menyantap hidangan mereka masing-masing, begitu pula dengan diriku.

Dan usai menandaskan makanan yang diberikan, maka para pramugari mengambil nampan-nampan makanan tersebut.

Seusainya, awak kabin mulai mengondisikan keadaan supaya penumpang bisa beristirahat mengingat penerbangan itu adalah perjalanan panjang. Hal ini tentu didukung dengan kondisi di luar pesawat yang mulai tampak gelap. Oleh karenanya, tak sedikit dari penumpang mulai terlelap dengan keadaan.

Aku yang tak bisa tertidur, memilih menghabiskan waktu untuk menonton film. Sesekali penumpang dari bangku belakang mendatangi penumpang wanita yang duduk di sebelahku. Mereka sering kali melakukan tos gelas yang berisi jus jeruk. Tampaknya mereka sedang merayakan sebuah keberhasilan.

Aku yang penasaran, mencoba menyapa penumpang di sebelah kananku.

Looks like, you’re celebrating a success?”, aku memulai percakapan

Success…..Da…..Da”, dia terbata-bata menjawab. Aku paham bahwa dia tidak mahir berbahasa Inggris. Dan sepenuhnya aku paham bahwa “Da” adalah Bahasa Rusia untuk kata “Ya”.

Are you working in TIENS?”, aku menyelidik.

TIENS….Da…Da….You Know”, dia tersenyum menunjuk-nunjuk kepadaku

Dari situ, dia membuka smartphonenya lalu menunjukkan beberapa foto-foto perjalanannya mengikuti tour yang diselenggarakan oleh TIENS, dan aku paham salah satu fotonya berada di Jalan Sudirman, Jakarta.

I’m from Jakarta”, aku menengadahkan kedua telapak tanganku di depannya.

Ohhhh…..Jakarta”, dia menunjukku lagi.

Yeaa…..”, aku tersenyum.

Haaaa….Jakarta good….Good”, dia tersenyum ringan.

Ja….Dasha”, dia mengajakku bersalaman.

Me….Donny”, aku menjabat tangannya.

Dasha….Teman bercakap-cakap yang ramah.

Sore itu, di udara, kami berdua bercakap akrab dengan berbagai cara. Menjadikan perjalanan tak lagi membosankan.

Pada beberapa momen ketika kami lelah bercakap, Dasha meminta izin beristirahat sejenak. Maka ketika dia tidur, aku melanjutkan perjalanan tetap tanpa terlelap, melainkan memilih menonton beberapa film.

Sesekali melihat ke kursi sekitar. Sebagian besar penumpang telah lelap tertidur…..Tetap, aku tak bisa memejamkan mata. Aku masih memaksakan mataku untuk menyelesaikan film “In Our Prime” yang sedang kuputar.

Aku begitu tertegun melihat Kim Dong Hwi yang memerankan tokoh Ji Woo, seorang siswa yang berjuang untuk menaklukkan matematika dengan cara belajar kepada seorang petugas keamanan sekolah yang ternyata adalah seorang genius. Penjaga keamanan sekolah itu bernama Hak Sung yang diperankan oleh Choi Min Sik.

Itu film yang sangat keren menurutku. (Kamu harus menontonnya, ya!)

Beberapa saat usai menyelesaikan dalam menonton film, tetiba jendela kabin sebelah kiriku mendadak berubah dari gelap ke terang.

Astaga, ternyata di luar sana masih siang. Aku mencoba memainkan logika.

Jika dari Kuala Lumpur saja berangkat pukul sebelas siang, dan pesawat terbang ke arah barat, maka pesawat senantiasa mengejar matahari yang bergerak untuk tenggelam di ufuk. Itu artinya, pesawat akan selalu mendapatkan cahaya. Oleh karenanya, situasi di luar tetap masih terang”, Aku berpikir.

Lalu kenapa jendela pesawat itu beberapa jam lalu tampak gelap.

Itulah kebodohanku yang tak pernah kusadari. Adalah teknologi manipulasi bernama “Elektrokromik”. Teknologi yang mengalirkan listrik pada sebuah gel elektronik di antara dua lapisan kaca jendela pesawat sehingga menyebabkan kaca berubah menjadi gelap. Sehingga, seakan-akan kondisi di luar sana telah gelap dan menstimulasi penumpang untuk beristirahat.

Dan kenapa tetiba kaca jendela itu berubah terang….Ternyata beberapa penumpang sedang memantau sesuatu. Di bawah sana tertampil puncak-puncak gunung es yang tampak terlihat indah. Itulah puncak Revoljucii yang terletak di Tajikistan.

Tajikistan….Hmmhhh, sebentar lagi aku akan tiba di Tashkent.

Kisah Selanjutnya—->