Al Ghubaiba Bus Station: Menunggu Dubai Bus No. 8

<—-Kisah Sebelumnya

Tepat tengah hari aku terduduk di pelataran utara Al Fahidi Fort. Aku duduk tepat di depan Dhow Boat –perahu tradisional khas Timur Tengah– yang menjadi property milik Dubai Museum. Sementara sang surya menyelinap malu di balik gumpalan awan yang melindungi kota dari sinar teriknya.

Para pengunjung masih berlalu lalang di hadapan demi menikmati nostalgia masa lalu Dubai di seantero museum. Sementara aku sedang berpikir keras, mencoba mempertaruhkan waktu antara menyudahi petualangan atau menambah lagi satu area destinasi.

Destinasi itu berjarak hampir dua puluh kilometer di arah selatan, tepat di pesisir pantai Jumeirah. Daerah itu bernama Umm Suqeim, area pantai dimana bangunan hotel ternama Burj Al Arab berada. Letaknya di sebelah utara pulau reklamasi elit Palm Jumeirah yang kukunjungi sehari sebelumnya.

Aku berpikir keras karena siang itu aku mulai memiliki faktor pembatas, yaitu penerbangan menuju Muscat pada malam harinya.

Kuperkirakan membutuhkan waktu tak kurang dari tiga setengah jam untuk perjalanan pulang pergi hingga tiba di penginapan kembali. Tentu aku harus kembali ke penginapan untuk mengambil backpack yang kutitipkan di Zain East Hotel semenjak check-out pagi hari sebelumnya.

Sementara itu, paling tidak membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mengeksplorasi kawasan Umm Suqeim. Jadi paling tidak aku akan sampai kembali di penginapan pada pukul enam sore. Penerbanganku ke Muscat sendiri akan dimulai pada pukul sembilan malam.

“Tidak usah ragu, Donny….Masih cukup waktu untuk melakukan eksplorasi tambahan…Cepat….Cepat….Cepat”, aku meyakinkan diriku sendiri untuk membuang rasa ragu

Aku pun segera menetapkan rute dan titik tolak untuk berangkat. Aku yang tak memiliki kuota internet lagi, segera memahami peta secara manual. Beruntung sebuah aplikasi berbasis peta memecahkan permasalahan itu, aku diarahkan oleh aplikasi itu untuk menggunakan jasa Dubai Bus No. 8 yang berangkat dari Al Ghubaiba Bus Station.

Kuperhatikan dengan cemat di dalam peta digital bahwa terminal bus itu berada sekitar satu setengah kilometer di barat tempatku berdiri, Dubai Museum.

Aku segera mengayunkan langkah cepat menujunya. Aku tiba dalam dua puluh menit, dengan nafas tersengal aku memasuki terminal itu dari sisi 16th Street di sisi barat terminal.

Begitu memasuki area terminal aku terdiam sejenak. Memperhatikan segenap penjuru terminal. Aku menyunggingkan senyum oleh karena perwujudan terminal yang diluar dugaanku sendiri. Al Ghubaiba Bus Station hanyalah sebuah tanah lapang beraspal yang disekat sekat dengan concrete barrier. Hanya ada beberapa platform yang diberikan atap, sisanya adalah tanah lapang dengan tiang-tiang penanda rute.

Dari sekian luas terminal, tentu akan membutuhkan banyak waktu jika aku harus menyisirnya satu per satu demi menemukan platform dimana Dubai Bus No. 8 akan berangkat. Untuk menyingkat waktu itu, aku bertanya ke seorang petugas terminal yang tampak mengatur lalu lintas di dalamnya.

“Over there…In west side near McDonald’s outlet, Sir”, petugas itu menjelaskan sembari menunjukkan tangannya jelas ke satu titik.

Hanya sedikit bagian dar terminal yang berkanopi.
Mari lihat lebih dekat!
Penampakan sebagian besar terminal. Area terbuka yang luas.
Platform Dubai Bus No.8 dengan tujuan akhir Ibn Battuta Metro Station.

Dengan petunjuk itu, aku pun menemukan platform dengan mudah. Dan ketika berdiri di depan platform, naluri blogger mendorongku untuk segera mengambil beberapa foto yang kuanggap perlu.

Wait….Wait….Wait. Don’t take picture with me in it”, tegur seorang pria India yang duduk di bangku platform. Dia mendekatiku dan memintaku memperlihatkan foto yang baru saja kuambil. Aku pun mengabulkannya.

Yes…this….you must delete this photo”, dia menunjuk ke layar kamera mirrorlessku.

Okay, Sir…No Matter, I deletes it now”, aku menenangkannya.

Usai kejadian itu, aku pun duduk bersebelahan dengannya dan kami berdua malah bercakap akrab sembari menunggu kedatangan bus.

Sebut saja namanya Sanu yang merantau dari tempat kelahirannya di India demi mengadu nasib di kota megapolitan Dubai.

Percakapan hangat itu terasa begitu cepat dan segera terhenti karena Dubai Bus No. 8 telah tiba di platform.

Saatnya menuju Umm Suqeim….

Kisah Selanjutnya—->

Dubai Museum: Bagian dari Tembok Kota Bur Dubai

<—-Kisah Sebelumnya

Membelakangi Bur Dubai Al Kabeer Masjid, aku menatap kuat bangunan mirip benteng di hadapan. Aku berdiri tepat di sisi utaranya dan tampak area parkir sisi utara itu dipenuhi oleh kendaraan. Sebuah pertanda bahwa bangunan benteng itu sedang ramai dikunjungi para wisatawan.

Kuperhaikan jelas bahwa keramaian itu terletak di sisi barat benteng, tampak bendera Uni Emirat Arab berkibar megah berdampingan dengan bendera Dubai Culture & Arts Authority di sisi itu.

“Itu pastilah pintu masuk menuju benteng”, aku mengambil kesimpulan cepat.

Kuputuskan untuk berjalan melingkar memotong arus Ali bin Abi Taleb Street dan aku berhasil mencapai sisi barat benteng dengan cepat. Benteng itu terletak berseberangan dengan gedung Kementrian Keuangan Uni Emirat Arab.

Dubai Museum”, aku membaca papan nama itu.

Memasuki area depan maka pemandangan tiga buah meriam kuno menyambutku. Hanya perlu membayar uang masuk sebesar 3 Dirham untuk bisa menikmati sisi dalam Dubai Museum.

Inilah bekas benteng abad ke-18 yang kini bertransformasi menjadi museum pameran multimedia tentang sejarah & warisan budaya lokal. Al Fahidi Fort adalah nama asli benteng tersebut.

Di dalamnya tertampil sejarah Dubai sebelum minyak bumi ditemukan di Uni Emirat Arab. Disebutkan pada masa itu, mayoritas warga lokal masih memperjuangkan ekonominya dengan menyelam untuk berburu mutiara dan mencari ikan.

Perahu-perahu masa lalu yang berusia lebih dari seabad dan digunakan untuk berburu hasil laut pun ditampilkan di museum ini.

Tak tanggung-tanggung, pemerintah Uni Emirat Arab menyediakan lahan seluas lebih dari satu hektar untuk menempatkan Dubai Museum di kawawan Al Fahidi Historical District tersebut.

Sisi utara Al Fahidi Fort.
Yuk masuk….
Ini dia bagian depannya.
Dinamakan juga sebagai Dubai Museum.
Dubai Museum sisi selatan.

Dari papan informasi di pintu museum, aku mengetahui informasi mengenai waktu berkunjung di Dubai Museum, yaitu hari Sabtu hingga hari Kamis (pukul 08:30 sd 20:30), hari Jum’at (pukul 14:30 sd 20:30) dan Hari Libur Nasional (pukul 08:30 sd 20:30).

Larangan umum seperti menyentuh benda bersejarah di dalam museum, makan dan minum di dalam museum, merokok, membuang sampah sembarangan, anak-anak harus ditemani orang dewasa dan pengawasan oleh CCTV sudah pasti ada pada papan informasi

Namun dua hal yang membuatku antusias yaitu larangan membawa tas berbobot berat ke dalam museum, jika pengunjung membawa tas jenis itu maka dia harus menaruhnya di pos keamanan. Satu lagi yang membuatku hatiku riang adalah tersedianya pemandu wisata gratis untuk pengunjung.

Pemandu wisata gratis inilah yang kumanfaatkan sebaik mungkin untuk menjelajah seisi museum dengan banyak informasi yang kuterima.

Pemandu wisata itu menjelaskan dengan gamblang bahwa tembok kota adalah wujud arsitektur yang menonjol dari konteks perkotaan pada kota-kota tua. Tembok tersebut mengelilingi kota untuk bertahan dan menyelamatkan mereka dari serangan musuh. Sepanjang sejarah, terdapat banyak contoh dinding kota yang memainkan peranan penting dalam melindungi kota, sebut saja Kota Kairo, Damaskus dan Baghdad.

Di masa lalu, Kota Dubai sendiri memiliki dua tembok kota. Tembok kota tertua dibangun di kawasan Bur Dubai yang dibangun pada tahun 1.800. Tembok itu mengelilingi kota tua yang didalamnya termasuk Al-Faheidi Fort, Masjid Agung Bur Dubai, dan perumahan warga. Sedangkan tembok kota kedua dibangun di Distrik Deira yang dibangun pada pertengahan Abad ke-19.

Tembok kota Bur Dubai dibangun menggunakan batu koral dan gypsum. Ketebalannya mencapai 50 cm, dengan panjang tak kurang dari 600 meter dan ketinggian mencapai 2,5 meter. Sayangnya di permulaan Abad ke-20, tembok kota itu dihancurkan untuk mengakomodasi pemekaran kota.

Satu-satunya bukti tersisa dari tembok kota tersebut tentunya adalah pondasinya yang kemudian direstorasi pada tahun 2001 oleh Bagian Bangunan Bersejarah Pemerintah Kota Dubai.

Hmhhh….Menarik ya.

Jadi inget tembok kota Batavia yang ditemukan pula pondasinya…..

Kisah Selanjutnya—->