Tepat tengah hari aku terduduk di pelataran utara Al Fahidi Fort. Aku duduk tepat di depan Dhow Boat –perahu tradisional khas Timur Tengah– yang menjadi property milik Dubai Museum. Sementara sang surya menyelinap malu di balik gumpalan awan yang melindungi kota dari sinar teriknya.
Para pengunjung masih berlalu lalang di hadapan demi menikmati nostalgia masa lalu Dubai di seantero museum. Sementara aku sedang berpikir keras, mencoba mempertaruhkan waktu antara menyudahi petualangan atau menambah lagi satu area destinasi.
Destinasi itu berjarak hampir dua puluh kilometer di arah selatan, tepat di pesisir pantai Jumeirah. Daerah itu bernama Umm Suqeim, area pantai dimana bangunan hotel ternama Burj Al Arab berada. Letaknya di sebelah utara pulau reklamasi elit Palm Jumeirah yang kukunjungi sehari sebelumnya.
Aku berpikir keras karena siang itu aku mulai memiliki faktor pembatas, yaitu penerbangan menuju Muscat pada malam harinya.
Kuperkirakan membutuhkan waktu tak kurang dari tiga setengah jam untuk perjalanan pulang pergi hingga tiba di penginapan kembali. Tentu aku harus kembali ke penginapan untuk mengambil backpack yang kutitipkan di Zain East Hotel semenjak check-out pagi hari sebelumnya.
Sementara itu, paling tidak membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mengeksplorasi kawasan Umm Suqeim. Jadi paling tidak aku akan sampai kembali di penginapan pada pukul enam sore. Penerbanganku ke Muscat sendiri akan dimulai pada pukul sembilan malam.
“Tidak usah ragu, Donny….Masih cukup waktu untuk melakukan eksplorasi tambahan…Cepat….Cepat….Cepat”, aku meyakinkan diriku sendiri untuk membuang rasa ragu
Aku pun segera menetapkan rute dan titik tolak untuk berangkat. Aku yang tak memiliki kuota internet lagi, segera memahami peta secara manual. Beruntung sebuah aplikasi berbasis peta memecahkan permasalahan itu, aku diarahkan oleh aplikasi itu untuk menggunakan jasa Dubai Bus No. 8 yang berangkat dari Al Ghubaiba Bus Station.
Kuperhatikan dengan cemat di dalam peta digital bahwa terminal bus itu berada sekitar satu setengah kilometer di barat tempatku berdiri, Dubai Museum.
Aku segera mengayunkan langkah cepat menujunya. Aku tiba dalam dua puluh menit, dengan nafas tersengal aku memasuki terminal itu dari sisi 16th Street di sisi barat terminal.
Begitu memasuki area terminal aku terdiam sejenak. Memperhatikan segenap penjuru terminal. Aku menyunggingkan senyum oleh karena perwujudan terminal yang diluar dugaanku sendiri. Al Ghubaiba Bus Station hanyalah sebuah tanah lapang beraspal yang disekat sekat dengan concrete barrier. Hanya ada beberapa platform yang diberikan atap, sisanya adalah tanah lapang dengan tiang-tiang penanda rute.
Dari sekian luas terminal, tentu akan membutuhkan banyak waktu jika aku harus menyisirnya satu per satu demi menemukan platform dimana Dubai Bus No. 8 akan berangkat. Untuk menyingkat waktu itu, aku bertanya ke seorang petugas terminal yang tampak mengatur lalu lintas di dalamnya.
“Over there…In west side near McDonald’s outlet, Sir”, petugas itu menjelaskan sembari menunjukkan tangannya jelas ke satu titik.
Hanya sedikit bagian dar terminal yang berkanopi.
Mari lihat lebih dekat!
Penampakan sebagian besar terminal. Area terbuka yang luas.
Platform Dubai Bus No.8 dengan tujuan akhir Ibn Battuta Metro Station.
Dengan petunjuk itu, aku pun menemukan platform dengan mudah. Dan ketika berdiri di depan platform, naluri blogger mendorongku untuk segera mengambil beberapa foto yang kuanggap perlu.
“Wait….Wait….Wait. Don’t take picture with me in it”, tegur seorang pria India yang duduk di bangku platform. Dia mendekatiku dan memintaku memperlihatkan foto yang baru saja kuambil. Aku pun mengabulkannya.
“Yes…this….you must delete this photo”, dia menunjuk ke layar kamera mirrorlessku.
“Okay, Sir…No Matter, I deletes it now”, aku menenangkannya.
Usai kejadian itu, aku pun duduk bersebelahan dengannya dan kami berdua malah bercakap akrab sembari menunggu kedatangan bus.
Sebut saja namanya Sanu yang merantau dari tempat kelahirannya di India demi mengadu nasib di kota megapolitan Dubai.
Percakapan hangat itu terasa begitu cepat dan segera terhenti karena Dubai Bus No. 8 telah tiba di platform.
The second part of Msheireb Museum is Bin Jelmood House.
Who is Bin Jelmood?….He was a famous slave trader in Doha during the slavery era. He was often known as “The Rock”, referring to his convictions and stubbornness at the time.
This edition is more serious than Company House edition, friends….Be prepared to read more solemnly.
Come on, let’s got in!….It was hot outside, you know.
At the beginning of Bin Jelmood House exploration, I entered an audio-visual room which narrated the time of slave trading from Africa to Europe.
The shape of an ancient Doha house, the courtyard was in the middle.
It was told…Europe in the Middle Ages where slavery was supported by a social system called SERFDOM.
At that time, slaves wore special accessories in the form of bracelets called Manilla and it was a historical fact that one of four Athenians would become slaves and worked in the olive fields. In another part of the world, Syria, there were slavery contracts between the buyers and sellers of slaves.
“The Indian Ocean World” Sessiom.
Civilizations in Africa and Asia, especially India, Middle East, and Sriwijaya (Indonesia) developed through the Indian Ocean.
In the maritime history of Indian Ocean, goods and slaves were traded between countries in Africa and the Gulf region. Meanwhile, between India and East Asia, goods and slaves were traded via the Silk Road (this route had two routes, land and sea). One of the pictures in the museum showed the export of oxen (oxen) from Madagascar to Mauritius.
Events in the eastern hemisphere were also depicted in black and white photographs, namely the activities of Dutch East Indies on the spices export at Jakarta Port in 1682, while in India, trading ships carried opium from Calcutta to China.
“Slavery in The Indian Ocean World ”Session
The legendary slave story was here.
Slavery was very prevalent in the pre-Islamic period, where slaves from Egypt, the Eastern Mediterranean and Africa were sold to Mecca and Baghdad which were the main slave markets in the Middle East. One of stories was about a famous slave named Antarah bin Shaddad Al-Absi who was born by an Ethiopian slave with father who be a Bani Abas leader. Then the story of Abdullah Ibn Abi Quhafa (Abu Bakr Ash-Shidiq) who became an important figure in the history of slave liberation, one of the famous slaves freed by him was Bilal bin Rabah Al-Habashi. Then Islam came down in Middle East and forbade slavery between human beings.
Some of the methods of slavery around Indian Ocean were through war, punishment for crimes, invasions, kidnapping, selling family members and debt bondage.
“Slaves’Status in The Indian Ocean World”Session
Among the upper classes, slavery indicated the master’s level of influence and wealth.
During the Abassid Empire (Abasiy), the Mamluk Army (Mamluk Army) was formed from slaves of Balkans, Caucasus and Europe. This army was very famous during the rule of Ayyubid dynasty in Egypt in the 12th century. There was also the Janissaries Troop formed by the Ottoman Empire in Turkey consisting of youth from Christian families who were trained in religious and military principles.
In the mid-19th century, clove plantations were highly developed in East Africa. This resulted in the enslavement of 1.6 million people there. In this section, the museum displayed a sword belonging to a Zanzibar slave at that time.
There was also a story about Tippu Ti (Hamed bin Muhammed Al-Murjebi), the owner of seven clove plantations and 10,000 slaves. This businessman from Swahili-Zanzibari Ivory captured and sold slaves on the orders of King Leopold of Belgium who was the authority on Congo.
Another heart-wrenching story was about the Persian King Bahram Gur who stepped on his favorite slave girl named Azada from a horse, simply because she did not value his hunting abilities. In ancient times slaves would only be guaranteed their life if they were integrated into their master’s family, this could be done if slaves were able to communicate in thir master’s language and were willing to embrace their master’s religion.
Five Rooms Describing Slavery in Qatar.
Illustration of slave activity at Bin Jelmood House in the past.
At the beginning of the 20th century, Qatar’s population was only 27,000 and the fact was that one in six of its citizens was a slave. The ownership of slaves was a guarantee for pearl exporting businessmen as well as importers, that their goods would be safe in the harsh desert voyages and treacherous sea voyages.
Qatar was still quiet at that time.
In 1868, Sheikh Mohammed bin Thani signed a protection treaty from British Government. Meanwhile in 1872, the Ottoman Empire established a military garrison in Doha until the end of World War I. After their departure in 1916, the British began to exert influence in Qatar through their base in Bahrain.
In the 18th century, Qatar had a positive impact on global economic developments. Mainly because of the increasing world demand for pearls. In order to increase the pearl catch, there was slavery of workers in the pearl catching industry in Qatar.
In the early 19th century, as many as 2,000-3,000 slaves were sent to Middle East, especially Oman, to be traded.
Meanwhile, at the end of the 19th century, slaves were employed in Qatar, taken from East Africa and the Red Sea, thousands more were imported from Zanzibar, slaves were brought by Dhow Boat across the Indian Ocean to Qatar. At the beginning of the 20th century, because of the opposition to slavery in East Africa, slaves began to be taken from Baluchistan.
The slave population in Qatar continued to be maintained by their masters by marrying their fellow slaves which of course would give birth to children as slaves as well.
The effects of the increased capture of slaves in Africa were disturbing to general community in the region. This was what causes endless wars in Africa.
At the time of slaves capturing, slaves would be chained and walked from Mozambique, Congo, Malawi and Zambia as far as 1,000 miles to Kilwa coast in Tanzania, sometimes before reaching the shore, they would be killed by the robbers, then slaves who survived then for weeks even months would sail for sale to Middle East and Yemen.
Illustration of slave abduction in Africa.
In Zanzibar’s slave market, female slaves would be dressed in fine clothes and jewelry so that they were sold at a high price. Buyers would usually check their physical health and beauty before buying them. Even slaves would be given new names such as Faida (profit), Baraka (blessing) and Mubaroka (blessed). To illustrate nominally, in 1926, a 24-year-old male slave diver in Qatar could be purchased for 1,210 Rupees.
Slaves in Doha and Al Wakra, some of whom lived together with their masters, ate the same food and wore the same clothes. Some of them separately live next to the house provided by the employer.
In daily life, slave girls would work to prepare food and took care of the children. While male slaves after the pearl shell hunting season was over, would work looking for firewood, breaking stones, transporting water, and being security guards for city officials.
Then there was social acculturation, slaves who initially were the majority of non-Muslims accepted the presence of Islam in their lives, then they embraced it. Likewise, the children of slaves will automatically become Muslims because of the religion of their parents.
Illustration of a slave with their daily work.
But their origin culture remain attached and could not be abandoned. Slaves from West Africa, Ethiopia, Sudan, Somalia, Egypt, Tunisia and Morocco often performed the Zar Ritual when their master was asleep at night. This Zar ritual was considered to be able to give spirit and enthusiasm to get physical and mental health.
Over time, it turned out that the demand for slaves increased throughout Qatar when the pearl industry became booming and was needed by the world.
In practice, slave pearl divers would work from dawn to sunset. A small basket would be draped around their neck to store about 8-10 oysters they picked up from seabed. They would dive with an average time of 90 minutes and could dive up to 50 times per day.
Pearl diver’s slave.
Year after year, Qatar’s economic uncertainty caused its population to decrease from 27,000 to 16,000 and only 4,000 of them were still interested in working in pearl industry. Slaves began to be sent to oil fields to work and their wages would be shared with their masters.
“The Richness of Diversity”Session
Diversity in Qatar today.
The migration of slaves over hundreds years in Qatar contributed to the formation of Qatari culture in terms of cuisine, music and language. Qatar people then know Indian Biryani, Levantine Mansaf, Spanish Paella, and Balaleet. Other cultures which developed include playing Mancala and decorating the body with Qatari Henna.
Qatar had long been the meeting point of people migration who carried their respective cultures because it was located at the crossroads of Indian Ocean trade routes. In fact, many people who initially only stopped by ended up settling in Qatar.
“Knowing Our Ancestors”Session
From fossil and archaeological studies, it was known that the ancestors of Qatari people came from Africa.
Included in this session were the subject of DNA and its inheritance, the anatomy taught by Avicenna, the human genome and the reading of DNA sequences that could help humans to treat certain diseases based on this information.
That genes also affected blood type, hair and eye color. In some studies it was said that genes would make humans become super tasters (tasting something bitter than normal people) and non-tasters (not sensitive to taste).
Back to slavery…
In the late 19th century, Britain began to initiate the reduction of slavery in Middle East. They often rescued slave ships and brought them to British territory. This was because, since the end of the 18th century, the people of Western Europe through their parliaments cast the opinion on the abolition of slavery.
The early days of the struggle to abolish slavery.
There was the right moment when British signed the Qatar protection agreement on November 3, 1916. This was used by British to ask Sheikh Abdullah Bin Jassim Al-Thani to stop the practice of slavery in Qatar as a condition. But Qataris objected to this abolition.
The success of slavery abolition was only effective when Qatar succeeded in exporting its oil abroad. With the profits from oil trading, Qatari government was able to pay compensation money to slave owners to free their respective slaves. And finally, in April 1952, the practice of slavery was officially banned in all of Qatar.
After the ban, many slaves were granted Qatari citizenship by the Emir and many of them were accepted to work with full salaries in Qatar’s oil companies.
“Qatar, a Pioneer in Personalized Healthcare”Session
Health achievements in Qatar.
Qatar was a country which was committed to genetic research and was a pioneer in personalized medicine, which was a management of patient care in the medicine world based on patient genotype information, so that an evaluation could be carried out to determine an appropriate treatment for disease type which patient were suffering from.
Qatar was making progress by establishing Qatar Biobank, a place to store health information and biological samples from its citizens. This biobank was very helpful in the Qatar Genome Program launched by the government. This program was funded by Qatar Foundation through Qatar National Research Fund and was also funded by the Ministry of Health.
Qatar was also home to research centers such as Qatar Biomedical Research Institute at Hamad bin Khalifa University, Qatar University Biomedical Research Center and Weill Cornell Medicine.
Qatar also had a National Diabetes Center, a National Premarital Screening and Counseling Program, and a Qatar Newborn Screening Program.
“Modern Slavery”Session
Example of Modern Slavery.
You need to know that around 27 million people have become victims of modern slavery around the world. This type of slavery was caused by rampant human trafficking.
Some surprising facts include:
2.5 million people were in forced labour, including sexual exploitation.
Human trafficking was the most profitable international crime, along with drugs and arms trafficking.
Profits from human trafficking per year reached 31.6 billion US Dollars.
The majority of human trafficking victims were 18-24 years old.
1.2 million children were trafficked every year.
From 190 countries in the world, 161 countries have a role in this human trafficking. Either as a source, destination or as a transit country.
Political and humanitarian crises often place vulnerable groups (women and children) from less developed areas in human trafficking risk.
Many children in the 1990s were employed in factories, fishing boats, mining, agricultural land and underage women were employed in sexual industry. They work more than normal hours, sometimes without pay, living only with minimal food and minimal housing.
“Organizations”Session
Qatar struggles to abolish slavery in the modern era.
Then many organizations have sprung up in the world which were moving to end human trafficking, they hold meetings with governments in countries which still have modern slavery practices, they meet labor agencies around the world to work together to fight the practice of modern slavery.
Qatari House for Lodging and Human Care was one of many organizations which protected human trafficking victims. This organization provided health services, psychiatric consultation, legal assistance, rehabilitation, as well as cooking and sewing courses.
Qatar was the first and largest financier in UN Global Action Plan to Combat Human Trafficking. Qatar as also funding The Arab Initiative for Capacity Building in Combating Human Trafficking which was a collaboration between UNODC and the Arab League.
Finally…. I couldn’t believe I was at the end of this session at Bin Jelmood House. I took the time to entering the toilet, took pictures of the lobby and courtyard, then thanked all the staff at reception desk when I was about to leave the museum.
Sign pole on Omar Al Mukhtar Street as a marker for the presence of DECC MRT station.
My adventure in West Bay area was already in extra time. But it didn’t break my spirit to keep exploring new destinations in the vicinity. I wasn’t in a hurry to leaving West Bay, even though my steps had arrived at Doha Exhibition & Convention Center (DECC) and DECC MRT station gate was already tempting in front of my eyes. In the midday heat, I made my way to a modern shopping center in this business district. It was the luxury in it that attracted me to explore this entire modern mall.
Arriving at a large T-junction, I took a right to follow the flow of vehicles on Conference Center Street. Three hundred meters later I entered City Center Doha malls’s drop off path. I didn’t go straight into it, but I tried to get the best picture in front yard of this famous shopping mall. Understandably, I had to queue with other impromptu photographers.
Conference Center Street situation right in front of City Center Doha.
This is the face of City Center Doha (CCD Mall).
I slowly started to enter a mall entrance. Through an automatic glass door, I slowly stepped stairs on the right and found a information desk right in the middle of room. Meanwhile, to the left of mall entrance, you can see a large replica of a dhow boat which is a model of a traditional Middle Eastern ship. While behind the information desk, is an ice rink arena.
Mall entrance to CCD Mall.
Dhow Boat replica.
Ice rink on first floor.
Stepping floor-by-floor, I felt like playing “hide and seek” with African-looking security guards. Looks like they’ve been watching me for a long time. Maybe my arrival that didn’t look like to shopping and was just busy taking floor-to-floor photos made them watch me. I sometimes just sit on a few chairs provided on several sides of this mall. After they seem off guard, then I would immediately take pictures of some points which I targeted.
The mall roof made from glass made my curiosity unstoppable, through the escalator I stepped one by one CCD floor until it was right under the roof. Looked so beautiful the view of skyscrapers tip.
The view from top floor.
Then from top floor I started to explore mall corridor on right to see some well-known stores such as QuiCksilver apparel from Australia, Columbia Sportswear from America, Adidas from Germany, Sun & Sand Sports and also Max Fashion from Dubai.
Al Afkar Art Gallery on fifth floor.
Please note that this mall is connected to three international standard hotels, namely Shangri-La Doha, Marriot Marquis Hotel and Rotana City Center Doha. It occupies an area of 14 hectares and has 350 shops in it. Built by Aamal Company Q.P.S.C, the retail market leader in Qatar. This is the largest shopping mall in West Bay area which is located right in the heart of business district
Right wing corridor.
Before ending my visitation, I went down to ground floor to see restaurant area. I saw that there was a place which was so crowded compared to other places in same location, i.e dining tables in front of House of Tea, a cafe company from Qatar.
House of Tea in restaurant zone.
Mosque and toilet.
That was a little story about City Center Doha which is the largest modern shopping center in West Bay area.
Damn…. I haven’t showered since yesterday morning.
Visiting The Pearl Monument made me happy beyond measure, in addition to exploring Qatar history, my eyes were spoiled by beautiful view of Doha Corniche. A seven-kilometer long promenade reveals the arch of Doha Bay which be crammed with skyscrapers at its end. Meanwhile, distribution of traditional tourist dhow boats which were quietly anchored along the bay became a natural interior which made charming situation.
The sun was starting to fade, the sea breeze added to the coolness along promenade. The pedestrian path on the shores of Doha Bay looked neat and beautiful. The shoreline was bordered by smooth and flat concrete at the height of an adult’s hip following the curve of beach. While the promenade was lined with good quality paving blocks and bordered with Al Corniche Street, there was an elongated garden with green grass and colorful flowers which brought to life by hydroponic techniques. So, if you visit the Middle East region, the view of hydroponic hoses planted on the ground to grow beautiful flowers is common.
Right in front of The Pearl Monument beach, there was an artificial land outcrop which was used to lean by hundreds of Dhow Boats. therefore this place was known as Dhow Harbor. The port, which juts out into the sea for half a kilometer, had a main port area of four hectares.
The main surface of this port was still in the form of white sandy soil, while on all four sides there were paved paths which allowed vehicles to entering port area. This sandy part was used for docking several boats for repairs.
Seen along the rocky embankment of the port, residents used it to channel their fishing hobby. Meanwhile, I just sat on embankment and stared at beautiful West Bay area from a distance.
On other hand, I was being followed by a South Asian face, in a white robe and red turban. His funny behavior and continuously imitating my activities, made me not feel scared but rather amused. I decided to approach him and talk. His name is Safwan and he had only left Dhaka for three months to work in Doha. He didn’t seem to know that I was a tourist, so he felt like he had a friend who worked in Doha….Hahaha, so what did you think? What profession did he think about my job in Doha?….Wkwkwk.
Our conversation ended with each other taking photos with background view of West Bay Area….See you later, Safwan.
On the right side of Dhow Harbor, I could see an iconic building which made as if it floated on the surface of water. This building was known as the Museum of Islamic Art. Needed to spend for about 50 Riyal to entering this beautiful building and got to know about the history of Islam in Qatar in the past.
Still on the right side precisely at the edge of harbor, I could enjoy in detail about the beauty of Dhow Boat which was neatly parked in calm waters without waves. A brown wooden boat with a terraced deck which was usually used as a tourist boat to navigating the beautiful beaches of Doha.
So make sure that you visit the Doha Corniche when in Qatar.
Bagian kedua dari Msheireb Museum adalah Bin Jelmood House.
Siapakah sosok Bin Jelmood?….Dia adalah pedagang budak terkenal di Doha pada masa perbudakan masih berlangsung. Dia sering dikenal dengan sebutan “The Rock”, merujuk pada pendirian dan kekerasan hatinya kala itu.
Eh, edisi ini lebih serius dari edisi Company House, ya temans….Bersiaplah membaca lebih khusyu’.
Yuk, kita mulai masuk!….Panas di luar, tauk.
Di awal penjelajahan Bin Jelmood House, aku memasuki sebuah ruang audio visual yang menceritakan masa perdagangan budak dari Afrika ke Eropa.
Bentuk rumah Doha zaman dahulu, halaman berada di tengahnya.
Dikisahkan…Eropa di Abad Pertengahan dimana perbudakan didukung oleh sistem sosial yang disebut dengan SERFDOM.
Kala itu, para budak dipakaikan aksesoris khusus berupa gelang bernama Manilla dan fakta yang telah menjadi sejarah bahwa satu diantara empat warga Athena akan menjadi budak dan dipekerjakan di ladang zaitun. Di belahan dunia lain, Syria, terdapat kontrak perbudakan antara pembeli dan penjual budak.
Sesi “The Indian Ocean World”.
Peradaban di Afrika dan Asia khususnya India, Timur Tengah, dan Sriwijaya (Indonesia) berkembang melalui Samudera Hindia.
Dalam sejarah maritim Samudera Hindia, barang dan budak diperdagangkan antara negara-negara di Afrika dan wilayah Teluk. Sementara antara India dan Asia Timur, barang dan budak diperjualbelikan melalui Jalur Sutra (jalur ini memiliki dua rute, darat dan laut). Salah satu gambar di museum memperlihatkan ekspor oxen (lembu) dari Madagaskar ke Mauritius.
Kejadian di belahan timur dunia juga digambarkan dalam foto hitam putih, yaitu tentang kegiatan Hindia Belanda pada ekspor rempah-rempah di Pelabuhan Jakarta pada tahun 1682, sementara di India, kapal-kapal dagang membawa opium dari Calcutta menuju Tiongkok
Sesi “Slavery in The Indian Ocean World ”
Kisah para budak yang melegenda ada di sini.
Perbudakan sangat marak dilakukan pada masa sebelum Islam, dimana budak dari Mesir, Mediterania Timur dan Afrika dijual ke Mekah dan Baghdad yang merupakan pasar utama budak di Timur Tengah. Salah satu kisahnya adalah tentang budak terkenal bernama Antarah bin Shaddad Al-Absi yang dilahirkan oleh budak Ethiopia dengan bapak seorang pemimpin Bani Abas. Kemudian kisah Abdullah Ibn Abi Quhafa (Abu Bakar Ash-Shidiq) yang menjadi figur penting dalam sejarah pembebasan budak, salah satu budak terkenal yang dibebaskan olehnya adalah Bilal bin Rabah Al-Habashi. Lalu Islam turun di Timur Tengah dan melarang adanya perbudakan antar sesama manusia.
Beberapa metode perbudakan di sekitar Samudera Hindia adalah melalui perang, hukuman atas kejahatan, invasi, penculikan, penjualan anggota keluarga dan jeratan hutang.
Sesi “Slaves’Status in The Indian Ocean World”
Di kalangan kelas atas, perbudakan menunjukkan level pengaruh dan kesejahteraan sang tuan.
Di masa Kekaisaran Abassid (Abasiyah), dibentuklah Pasukan Mamluk (Mamluk Army) yang dibentuk dari kalangan budak Balkan, Kaukasus dan Eropa. Pasukan ini sangat terkenal semasa kekuasaan Dinasti Ayyubid di Mesir pada Abad ke-12. Terdapat juga Pasukan Janissaries yang dibentuk oleh Kekaisaran Utsmaniyah di Turki yang beranggotakan pemuda dari keluarga kristiani yang dilatih dengan kaidah agama dan militer.
Pada pertengahan Abad ke-19, perkebunan cengkeh sangat berkembang di Afrika Timur. Hal ini berdampak dengan diperbudaknya 1,6 juta orang disana. Di bagian ini, museum menampilkan sebuah pedang milik budak Zanzibar pada masa itu.
Dikisahkan juga seorang Tippu Ti (Hamed bin Muhammed Al-Murjebi), pemilik tujuh perkebunan cengkeh dan 10.000 budak. Pengusaha dari Swahili-Zanzibari Ivory ini menangkap dan menjual budak atas perintah Raja Leopold dari Belgia yang merupakan pemegang otoritas di Kongo.
Cerita menyayat hati lainnya adalah tentang Raja Persia, Bahram Gur yang menginjak budak perempuan kesayangannya yang bernama Azada dari atas kuda, hanya karena dia tidak menghargai kemampuan berburunya. Pada zaman dahulu budak hanya akan terjamin hidupnya jika dia dintegrasikan menjadi bagian dari keluarga sang majikan, hal ini bisa dilakukan jika si budak mampu berkomunikasi dengan bahasa tuannya serta mau memeluk agama tuannya.
Lima Ruangan yang Mendeskripsikan Perbudakan di Qatar.
Ilustrasi aktivitas budak di Bin Jelmood House tempo dulu.
Di awal Abad ke-20, penduduk Qatar hanya berjumlah 27.000 jiwa dan faktanya adalah satu dari enam warganya adalah seorang budak. Kepemilikan budak merupakan jaminan bagi para pebisnis ekspor mutiara dan juga para importir, supaya barang mereka tetap aman dalam perjalan gurun yang keras dan pelayaran laut yang berbahaya.
Qatar masih sepi ya kala itu.
Pada tahun 1868, Sheikh Mohammed bin Thani menandatangani perjanjian perlindungan dari Pemerintah Inggris. Sementara pada tahun 1872, Kekaisaran Utsmaniyah membentuk garnisun militer di Doha hingga akhir Perang Dunia I. Setelah kepergian mereka pada tahun 1916, Inggris mulai menanamkan pengaruh di Qatar melalui pangkalan mereka di Bahrain.
Pada Abad ke-18, Qatar terdampak positif dalam perkembangan ekonomi global. Terutama karena meningkatnya permintaan dunia akan mutiara. Untuk meningkatkan hasil tangkap mutiara inilah terjadilah perbudakan pekerja pada industri tangkap mutiara di Qatar.
Di awal Abad ke-19, sebanyak 2.000-3.000 budak dikirim ke Timur Tengah khususnya Oman untuk diperdagangkan.
Sedangkan pada akhir Abad ke-19, budak yang dipekerjakan di Qatar, diambil dari Afrika Timur dan Laut Merah, ribuan lagi didatangkan dari Zanzibar, para budak itu dibawa dengan Dhow Boat menyeberangi Samudera Hindia menuju Qatar. Pada awal Abad ke-20, karena terjadi penentangan perbudakan di Afrika Timur maka budak mulai diambil dari Baluchistan.
Populasi budak di Qatar terus dijaga para tuannya dengan cara menikahkan sesama budak yang tentu akan melahirkan anak sebagai budak juga.
Efek dari peningkatan penangkapan budak di Afrika ternyata mengganggu komunitas umum di wilayah tersebut. Hal inilah yang menyebabkan peperangan tiada henti di Afrika.
Pada masa penangkapan budak, budak akan dirantai dan berjalan dari Mozambik, Kongo, Malawi dan Zambia sejauh 1.000 mil menuju pantai Kilwa di Tanzania, terkadang sebelum sampai di pantai, mereka akan terbunuh oleh para perampok, kemudian budak yang selamat maka selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan akan berlayar untuk dijual ke Timur Tengah dan Yaman.
Ilustrasi penculikan budak di Afrika.
Di pasar budak Zanzibar, budak wanita akan dikenakan pakaian bagus dan perhiasan supaya harga jualnya mahal. Pembeli biasanya akan mengecek kesehatan fisik dan kecantikan sebelum membelinya. Bahkan budak akan diberikan nama baru seperti Faida (keuntungan), Baraka (berkat) dan Mubaroka (diberkati). Sebagai gambaran secara nominal, pada tahun 1926, seorang budak penyelam laki-laki berusia 24 tahun di Qatar bisa dibeli dengan harga 1.210 Rupee.
Budak di Doha dan Al Wakra, beberapa diantaranya hidup serumah bersama tuannya, memakan makanan yang sama dan memakai pakaian yang sama. Sebagian dari mereka tinggal terpisah di sebelah rumah yang disediakan sang majikan.
Dalam keseharian, budak perempuan akan bekerja menyiapkan makanan dan mengasuh anak-anak. Sedangkan para budak laki-laki setelah musim berburu kerang mutiara usai, akan bekerja mencari kayu bakar, memecah batu, mengangkut air, dan menjadi penjaga keamanan para pejabat kota.
Kemudian terjadilah akulturasi sosial, budak yang awalnya adalah mayoritas non-muslim menerima kehadiran Islam dalam kehidupannya, lalu mereka memeluknya. Begitu pula anak-anak budak secara otomatis akan menjadi muslim karena agama orang tuanya.
Ilustrasi budak dengan pekerjaan sehari-harinya.
Tetapi budaya asal mereka tetap melekat dan tak bisa ditinggalkan begitu saja. Para budak asal Afrika Barat, Ethiopia, Sudan, Somalia, Mesir, Tunisia dan Maroko sering mengadakan Ritual Zar pada saat tuannya sudah tertidur di malam hari. Ritual Zar ini dianggap bisa memberikan ruh dan semangat untuk mendapatkan kesehatan fisik dan mental.
Seiring berjalannya waktu, ternyata permintaan budak meningkat di seantero Qatar ketika industri mutiara menjadi booming dan dibutuhkan oleh dunia.
Pada prakteknya, budak penyelam mutiara akan bekerja dari fajar hingga tenggelamnya matahari. Keranjang kecil akan dikalungkan di leher untuk menyimpan 8-10 oyster yang diambilnya dari dasar laut. Mereka akan menyelam dengan rataan waktu 90 menit dan bisa melakukan penyelaman hingga 50 kali per hari.
Budak penyelam mutiara.
Tahun berganti tahun, ketidakjelasan ekonomi Qatar menyebabkan pengurangan jumlah penduduk dari 27.000 jiwa menjadi 16.000 jiwa dan hanya 4.000 jiwa diantaranya yang masih tertarik bekerja di industri mutiara. Para budak mulai dikirim ke ladang minyak untuk bekerja dan upahnya akan dibagi bersama tuannya.
Sesi “The Richness of Diversity”
Keberagaman di Qatar saat ini.
Perpindahan budak selama ratusan tahun di Qatar berkontribusi atas terbentuknya budaya Qatar dalam hal kuliner, musik dan bahasa. Masyarakat Qatar kemudian mengenal Indian Biryani, Levantine Mansaf, Spanish Paella, dan Balaleet. Budaya lain yang berkembang diantaranya adalah bermain Mancala dan menghias tubuh dengan Qatari Henna.
Qatar telah lama menjadi titik pertemuan dari perpindahan manusia yang membawa budayanya masing-masing karena terletak di persimpangan jalur perdagangan Samudera Hindia. Bahkan banyak orang yang awalnya hanya singgah akhirnya menetap di Qatar.
Sesi “Knowing Our Ancestors”
Dari studi fosil dan arkeologi, diketahui bahwa nenek moyang bangsa Qatar berasal Afrika.
Diselipkan di sesi ini adalah perihal DNA dan pewarisannya, anatomi yang diajarkan oleh Avicenna, genom manusia dan pembacaan susunan DNA yang bisa membantu manusia untuk mengobati sejumlah penyakit tertentu berdasarkan informasi tersebut.
Bahwa gen juga mempengaruhi tipe darah, rambut dan warna mata. Di beberapa studi mengatakan bahwa gen akan menjadikan manusia menjadikan super taster (mengecap sesuatu lebih pahit dari orang normal) dan non-taster (tidak peka rasa).
Kembali ke masalah perbudakan…..
Di akhir Abad ke-19, Inggris mulai memprakarsai pengurangan angka perbudakan di Timur Tengah. Mereka sering meyelamatkan kapal budak dan dibawa ke wilayah teritori Inggris.`Hal ini dikarenakan, sejak akhir Abad ke-18, masyarakat Eropa Barat melalui parlemennya melemparkan opini penghapusan perbudakan.
Masa-masa awal perjuangan menghapus perbudakan.
Ada momen yang tepat ketika terjadi penandatangan kesepakatan perlindungan Qatar oleh Inggris pada 3 November 1916. Hal ini dimanfaatkan Inggris untuk meminta Sheikh Abdullah Bin Jassim Al-Thani untuk menghentikan praktek perbudakan di Qatar sebagai syarat. Tetapi warga Qatar menolak penghapusan ini.
Keberhasilan penghapusan perbudakan baru efektif diterima saat Qatar berhasil mengekspor minyaknya ke luar negeri. Dengan keuntungan penjualan minyak, pemerintah Qatar bisa membayar uang kompensasi kepada para pemilik budak untuk membebaskan budaknya masing-masing. Dan akhirnya, pada April 1952, praktek perbudakan secara resmi dilarang di seluruh Qatar.
Setelah pelarangan itu, banyak budak yang diberi kewarganegaraan Qatar oleh Sang Emir dan banyak diantara mereka diterima bekerja dengan gaji penuh di perusahaan minyak Qatar.
Sesi “Qatar, a Pioneer in Personalized Healthcare”
Pencapaian bidang kesehatan di Qatar
Qatar adalah negara yang berkomitmen terhadap penelitian genetik dan menjadi negara pioneer dalam personalized medicine, yaitu suatu manajemen penanganan pasien di dunia kedokteran berdasarkan informasi genotype pasien, sehingga bisa dilakukan evaluasi untuk mengetahui penanganan yang cocok untuk jenis penyakit yang diidap.
Qatar membuat kemajuan dengan mendirikan Qatar Biobank yaitu tempat menyimpan informasi kesehatan dan sampel biologis dari warga negaranya. Biobank ini sangat membantu dalam Qatar Genome Programme yang diluncurkan oleh pemerintah. Program ini didanai oleh Qatar Foudation melalui Qatar National Research Fund dan juga didanai oleh Menteri Kesehatan.
Qatar juga menjadi tempat didirikannya pusat-pusat penelitian seperti Qatar Biomedical Research Institute di Hamad bin Khalifa University, Qatar University Biomedical Researc Center dan Weill Cornell Medicine.
Qatar juga memiliki National Diabetes Center, National Premarital Screeningand Counselling Programme, serta Qatar Newborn Screening Programme.
Sesi “Modern Slavery”
Contoh Modern Slavery.
Perlu kamu ketahui bahwa sekitar 27 juta manusia telah menjadi korban perbudakan modern di seluruh dunia. Perbudakan jenis ini diakibatkan oleh maraknya human trafficking.
Beberapa fakta mengejutkan diantaranya adalah:
2,5 juta orang adalah tenaga kerja paksa, termasuk eksploitasi sexual.
Human trafficking adalah kejahatan internasional paling banyak memberi keuntungan uang, bersama narkoba dan arms trafficking (perdagangan senjata).
Keuntungan dari human trafficking per tahun mencapai 31,6 milyar Dolar Amerika.
Mayoritas korban human trafficking berusia 18-24 tahun.
1,2 juta anak-anak diperdagangkan tiap tahun.
Dari 190 negara di dunia, 161 negara memiliki peran dalam perdagangan manusia ini. Baik sebagai sumber, tujuan atau sebagai negara transit.
Krisis politik dan kemanusiaan sering menempatkan golongan rentan (wanita dan anak-anak) dari wilayah-wilayah kurang berkembang pada resiko human trafficking (perdagangan manusia).
Banyak anak-anak pada era 1990-an dipekerjakan di pabrik-pabrik, kapal-kapal ikan, pertambangan, lahan pertanian dan wanita-wanita di bawah umur dipekerjakan di industri sexual. Mereka bekerja melebihi waktu normal, terkadang tanpa upah, hanya hidup dengan makanan seadanya dan tempat tinggal seadanya.
Sesi “Organizations”
Perjuangan Qatar menghapus perbudakan di era modern.
Kemudian banyak bermunculan organisasi di dunia yang bergerak untuk mengakhiri human trafficking, mereka melakukan pertemuan dengan pemerintah di negara-negara yang masih terdapat praktik perbudakan modern, mereka bertemu para agensi tenaga kerja di seluruh dunia untuk bersama-sama melawan praktek perbudakan modern.
Qatari House for Lodging and Human Care adalah salah satu dari sekian banyak organisasi yang melindungi para korban human trafficking. Organisasi ini memberikan pelayanan kesehatan, konsultasi psikiater, bantuan hukum, rehabilitasi, serta kursus memasak dan menjahit.
Qatar adalah pendana pertama dan terbesar untuk UN Global Action Plan to Combat Human Trafficking. Qatar juga mendanai The Arab Initiative for Capacity Building in Combating Human Trafficking yang merupakan kolaborasi antara UNODC dan Arab League.
Akhirnya….
Tak terasa aku sudah berada di akhir sesi di Bin Jelmood House ini. Aku menyempatkan diri memasuki toilet, mengambil gambar selasar dan halaman, kemudian mengucapkan terimakasih kepada segenap staff di reception desk ketika hendak meninggalkan museum.
Sign pole di Omar Al Mukhtar Street sebagai penanda keberadaan stasiun MRT DECC.
Petualanganku di area West Bay sudah di injury time. Tapi tak mematahkan semangatku untuk terus menelusuri destinasi baru di sekitarnya. Aku tak tergesa meninggalkan West Bay, walau langkahku sudah sampai di Doha Exhibition & Convention Center (DECC) dan gerbang stasiun MRT DECC sudah menggoda di depan mata. Di teriknya tengah hari, aku mengayunkan langkah menuju sebuah pusat perbelanjaan modern di distrik bisnis ini. Angan kemewahan di dalamnyalah yang menarik minatku untuk menelaah seisi mall modern itu.
Tiba di sebuah pertigaan besar aku mengambil arah ke kanan mengikuti arus kendaraan di Conference Centre Street. Tiga ratus meter kemudian aku memasuki jalur City Center Doha drop off. Aku tak langsung memasukinya, tetapi aku berusaha mendapatkan gambar terbaik di pelataran depan shopping mall kenamaan itu. Maklum, aku harus mengantri bersama para photographer dadakan lainnya.
Suasana Conference Centre Street tepat di depan City Center Doha.
Inilah muka dari City Center Doha (CCD Mall).
Perlahan aku mulai memasuki mall entrance. Melalui pintu kaca otomatis, kunaiki perlahan tangga di sebelah kanan dan kujumpai information desk tepat di tengah ruangan. Sementara di sebelah kiri mall entrance, tampak replika besar dhow boat yang merupakan model kapal tradisional kebanggaan Timur Tengah. Sementara di belakang information desk, adalah arena ice rink itu berada.
Mall entrance CCD Mall.
Replika Dhow Boat.
Ice rink di lantai pertama.
Menaiki lantai-demi lantai, aku serasa bermain kucing-kucingan dengan para security berperawakan Afrika. Sepertinya, mereka memperhatikanku sedari tadi. Mungkin kedatanganku yang tampak tak bermaksud berbelanja dan hanya sibuk mengambil foto dari lantai ke lantai membuat mereka mengawasiku. Aku terkadang hanya duduk di beberapa kursi yang disediakan di beberapa sisi mall. Setelah mereka tampak lengah, maka aku akan segera mengambil gambar beberapa titik yang kusasar.
Atap mall yang terbuat dari kaca membuat rasa penasaranku tak terbendung, melalui escalator aku menaiki satu demi satu lantai CCD hingga tepat berada di bawah atap itu. Tampak begitu indah ujung para pencakar langit itu.
Pemandangan dari lantai teratas.
Kemudian dari lantai teratas aku mulai menelusuri koridor mall sebelah kanan untuk melihat beberapa toko ternama seperti apparel Quiksilver dari Australia, Columbia Sportswear asal Amerika, Adidas asal Jerman, Sun & Sand Sports dan juga Max Fashion asal Dubai.
Al Afkar Art Gallery di lantai lima.
Perlu diketahui bahwa mall ini terkoneksi dengan tiga hotel bertaraf internasional yaitu Shangri-La Doha, Marriot Marquis Hotel dan Rotana City Center Doha. Menempati lahan seluas 14 hektar dan memiliki 350 toko di dalamnya. Dibangun oleh Aamal Company Q.P.S.C, pemimpin pasar retail di Qatar. Inilah shopping mall terbesar di area West Bay yang diletakkan tepat di jantung distrik bisnis itu
Koridor sayap kanan.
Sebelum mengakhiri kunjungan, aku turun ke ground floor untuk melihat area restoran. Aku melihat terdapat tempat yang begitu ramai dibandingkan tempat lain di lokasi yang sama, yaitu meja makan di depan House of Tea, sebuah perusahaan cafe asal Qatar.
House of Tea di zona restoran.
Musholla dan toilet.
Itulah sedikit cerita tentang City Center Doha yang menjadi pusat perbelanjaan modern terbesar di area West Bay.
Mengunjungi The Pearl Monument membuatku bahagia tak terkira, selain mendalami sejarah Qatar, mata dimanjakan dengan indahnya pemandangan Doha Corniche. Promenade sepanjang tujuh kilometer ini menampakkan lengkungan Teluk Doha yang dijejali gedung pencakar langit di ujungnya. Sementara sebaran traditional dhow boat wisata yang diam terjangkar di sepanjang teluk menjadi interior alam yang mengelokkan suasana.
Matahari sudang mulai langsir, angin laut menambahkan sejuk di sepanjang promenade. Jalur pejalan kaki di tepian Doha Bay itu tampak rapi nan asri. Pinggiran pantai dibatasi beton halus dan rata setinggi pinggul orang dewasa mengikuti lekuk pantai. Sementara promenade dilapisi paving block berkualitas baik dan berbatasan dengan Al Corniche Street disematkan taman memanjang dengan bentangan rumput hijau dan bunga warna-warna yang dihidupkan dengan teknik hidroponik. Jadi, kalau kamu berkunjung ke kawasan Timur Tengah, pemandangan selang-selang hidroponik yang ditanam di permukaan tanah untuk menumbuhkan bunga-bunga cantik adalah hal yang biasa.
Tepat di depan arah pantai The Pearl Monument, terdapat jorokan daratan buatan yang digunakan untuk bersandar ratusan Dhow Boat. oleh karenanya tempat ini dikenal dengan nama Dhow Harbour. Pelabuhan yang menjorok ke arah laut sepanjang setengah kilometer ini memiliki area utama pelabuhan seluas empat hektar.
Permukaan utama pelabuhan ini masih berwujud tanah berpasir putih sedangkang di keempat sisinya tersedia jalur beraspal yang memungkinkan kendaraan memasuki area pelabuhan. Bagian berpasir inilah yang dimanfaatkan untuk docking beberapa perahu untuk dilakukan perbaikan.
Tampak di sepanjang tanggul berbatu pelabuhan, dimanfaatkan oleh warga untuk menyalurkan hobby memancing mereka. Sementara aku hanya duduk manis di tanggunl dan lekat memandangi area West Bay yang tampak indah dari kejauhan.
Di lain sisi, sedari tadi aku diikuti oleh seorang berwajah Asia Selatan, dengan gamis putih dan surban merah. Tingkahnya yang lucu dan terus menirukan aktivitasku, membuatku tak merasa takut tapi justru merasa geli. Kuputuskan mendekatinya dan berbincang. Namanya Safwan dan baru tiga bulan meninggalkan Dhaka untuk bekerja di Doha. Dia sepertinya tak tahu kalau aku seorang turis, sehingga dia merasa memiliki teman senasib yang bekerja di Doha….Hahaha, jadi menurutmu, dia mengiraku bekerja di bidang apa ya di Doha?….Wkwkwk.
Percakapan kami berakhir dengan saling mengambilkan foto berlatar West Bay Area….Sampai jumpa lagi Safwan.
Di sisi kanan Dhow Harbour, tampak bangunan ikonik yang dibuat seolah mengapung di permukaan air. Bangunan itulah yang dikenal dengan Museum of Islamic Art. Perlu merogoh kocek sebesar Rp. 200.000 untuk memasuki bangunan indah itu dan mengenal sejarah islam di Qatar pada masa lalu.
Masih di sisi kanan tepat di pangkal pelabuhan, aku bisa menikmati dengan detail keindahan Dhow Boat yang rapi terparkir di perairan tenang tak berombak. Perahu kayu berwarna cokelat dengan dek bertingkat yang biasa digunakan sebagai perahu wisata dalam mengarungi indahnya pantai Doha.
Jadi pastikan Anda mengunjungi Doha Corniche ketika berada di Qatar.