Matahari mulai mendaki ufuk timur ketika aku tuntas menikmati jengkal demi jengkal petilasan Candi Gumpung.
Rasa kagum memenuhi ruang imajinasi, berhasil membawaku ke dalam hayalan ritual-ritual keagamaan masa lalu yang berlangsung di candi itu.
Sementara itu, aku membuang tatapan ke sisi lain. Ada sebidang sebaran candi lagi di pojok utara.
“Aku harus melihat kumpulan candi itu, jika melewatkannya maka peluang dan kesempatanku untuk mengunjunginya di lain waktu akan kecil”, aku sudah melangkah ketika ucapan dalam batin itu usai.
Melangkahlah aku ke sisi utara. Tak jauh, jaraknya hanya seratus meter.
“Sungguh kompleks candi yang menakjubkan”, aku menggeleng-gelengkan kepala menatap luasan candi hingga ke titik tertimur.
Bahkan, menurut percakapan empat sekawan peneliti asal Jawa Barat yang aku dengar setiba di pintu gerbang Kompleks Candi Muaro Jambi beberapa menit sebelumnya, masih banyak menapo yang betebaran di seantero kompleks candi tersebut.
Menapo sendiri merujuk pada gundukan-gundukan tanah yang di dalamnya berisi reruntuhan candi yang telah terpendam berabad-abad silam. Hingga kini, sebaran menapo itu belum sempat dipugar karena menunggu anggaran pemugaran dari negara.
Aku tiba di reruntuhan candi yang kumaksud,
Satu spot yang pertama kutuju adalah papan informasi yang terletak di sisi selatan candi. Berdasarkan informasi yang kubaca, diketahui bahwa detik itu aku berdiri di depan Candi Gumpung 2.
Candi Gumpung 2 adalah situs sejarah yang merupakan kumpulan lima belas struktur stupa. Pada saat ditemukan sruktur tersebut hanya menyisakan bagian pondasi dan bagian tubuh, sedangkan bagian atas yang berbentuk stupa sudah banyak yang hilang. Batu stupa yang ditemukan hanya berupa profil berupa bata yang tidak lengkap. Fungsi stupa dalam tradisi Buddha adalah sebagai tempat persembahan untuk menghormati tokoh suci dalam sejarah ajaran Buddha ataupun para guru utama di masa lampau. Pendirian stupa juga berhubungan dengan penghormatan kitab suci, seperti Abhidarma, Vinya dan Sutta.
Candi Gumpung 2 dilihat dari kejauhan.
Struktur utama Candi Gumpung 2.
Candi pendamping di sisi utara Candi Gumpung 2.
Bagian dari stupa yang berhasil di rekonstruki.
Candi Gumpung 2 terdiri dari satu susunan candi utama di tengah di dampingi lima susunan candi perwara di sisi utara dan dua susuan candi perwara di sisi selatan.
Candi Perwara dalam arsitektur candi-candi Jawa diidentikkan dengan candi yang dibangun mengelilingi candi utama. Dalam manuskrip lain, candi perwara juga sering disebut sebagai Candi Pengiring.
Hanya ada satu stupa yang coba direkontruksi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi. Stupa itu berdiri gagah di atas candi pendamping di sisi utara.
Sejenak aku duduk tertegun di atas hijaunya rerumputan, tepat di tengah pelataran reruntuhan Candi Gumpung 2.
Aku berusaha menikmati hasil rekonstruksi Candi Gumpung 2 itu. Penampilan candi yang terkesan klasik walaupun hanya memamerkan bagian-bagian pondasi dari bangunan candinya saja. Toh aku bisa mengimajinasi tampilan menjulangnya di masa-masa awal pembangunannya lima belas abad silam.
Sejenak aku melarutkan diri dalam imajinasi masa lalu yang indah……
Pagi itu langit cerah sempurna, pertanda akan sangat terik pada siang harinya. Sementara itu itu, aku telah bersiap untuk perjalanan cukup jauh, tak kurang dari 25 km aku akan menempuhnya.
Hampir pukul delapan pagi ketika aku sudah duduk di sofa lobby OYO 2049 Tassa Kost Syariah yang berlokasi di kawasan Telanaipura. Sedangkan tujuanku jelas, yaitu Kompleks Candi Muaro Jambi.
Aku menatap sebuah aplikasi transportasi online di layar telepon pintarku. Tampak jelas di layar bahwa setidaknya dibutuhkan perjalanan selama 45 menit apabila menggunakan sepeda motor, biaya menunjukkan di angka Rp. 66.000.
“Hmmhhh….Mahal juga ya”, aku bergumam dalam hati.
Karena tak ada pilihan lain, aku akhirnya mengeksekusi pesanan ojek online itu. Pengemudi ojek tiba dalam lima menit dan aku segera berjibaku di jalanan menuju tujuan. Perjalanan menggunakan sepeda motor ini, sebagian besar porsi perjalanannya harus melewati jalan penuh rawa dan hutan, yaitu Jalan Lintas Jambi-Muara Sabak. Perjalanan yang cukup berat, karena harus berjibaku dengan truk-truk bermuatan penuh di sepanjang ruasnya.
Selama di perjalanan, pengemudi ojek online itu menjelaskan bahwa nanti pada saat pulang dari kompleks candi, aku tidak akan pernah menemukan ojek online lagi. Kebanyakan wisatawan menuju ke sana menggunakan mobil pribadi. Oleh karenanya, aku disarankan untuk mencari ojek pangkalan sebagai cara terbaik bagiku untuk ke kembali Kota Jambi.
Menjelang pukul sembilan pagi…..
Aku tiba……
Berhenti di pintu gerbang. Entahlah….Pintu loket tiket atau kantor jaga itu ternyata masih tertutup rapat, tak ada seorang pun di dalamnya. Maka aku melenggang melewati gerbang dengan leluasa tanpa membayar apapun.
Aku tiba di ujung Jalan Gerbang Candi Muaro Jambi. Tak ada jalan lagi di titik itu. Selebihnya pengunjung akan diarahkan untuk berjalan kaki atau menyewa sepeda ontel jika ingin berkeliling Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Candi Muaro Jambi yang memiliki luas hampir 4.000 hektar. Konon Kompleks Candi Muaro Jambi berfungsi sebagai perguruan tinggi tertua di Indonesia dan terluas di Asia Tenggara. Banyak pelajar dari India, Tiongkok dan Tibet belajar di kompleks candi itu. Pernah digunakan selama lima abad lamanya sebagai tempat menimba ilmu, tepatnya dari Abad VII hingga Abad XII.
Turun dari ojek online,
Aku terduduk di sebuah gazebo, di sudut awal kompleks candi tepatnya. Mengambil nafas sejenak usai berkendara motor dengan jarak yang cukup jauh. Mengamati hamparan lahan yang rata nan menghijau dengan tengara Candi Gumpung di kejauhan. Itulah candi terdekat dari tempatku duduk.
Candi Gumpung terlihat dari gazebo tempatku duduk.
Aku tak sendiri, ada empat sekawan berusia paruh baya di gazebo itu. Menguping dari percakapan mereka, aku tahu bahwa mereka telah berada dua malam di kompleks candi itu. Sepertinya mereka memang fokus melakukan eksplorasi.
“Pak, ini untuk masuk ke candi itu apakah perlu tiket?”, aku harus segera bertanya karena ingin segera mengeksplorasi kompleks candi.
“Loh, tadi di depan tidak dimintain tiket ya, bang?”, salah satu dari mereka bertanya balik
“Tidak, Pak”
“Oh, kalau begitu langsung masuk aja, Bang. Tidak ada pemeriksaan tiket kok di dalam”, dia menjelaskan dengan yakin karena sudah dari sehari sebelumnya mereka mengeksplorasi kompleks candi itu.
Dengan wajah sumringah, aku undur diri dari gazebo, meninggalkan rombongan peneliti itu. Melewati jalur ganda pejalan kaki yang dipisahkan lajur hijau yang dijejali pohon-pohon besar.
Tepat di sisi kanan tempatku melangkah, berdiri Museum Candi Muaro Jambi. Dari informasi yang kudapatkan di pelataran museum, aku mengetahui bahwa berbagai jenis arca, artefak, koleksi batu bata merah penyusun candi, hingga logam-logam bersejarah disimpan di dalamnya.
Museum Candi Muaro Jambi yang tutup.
Tapi entah kenapa pintu museum itu tertutup rapat-rapat. Aku hanya tersenyum tipis ketika meninggalkan pelatarannya begitu saja. Aku kehilangan satu venue penting pagi itu.
Lindap di tikungan, untuk kemudian aku dihadapkan pada tanah lapang berumput. Apik dan rapi bak lapangan sepakbola berstandar internasional. Beberapa pekerja wanita berkaos dengan warna seragam tampak sibuk memotong rumput dan menyapu lahan berumput itu dari dedauan yang gugur.
Sementara itu, di tengah tanah lapang berumput itu berdiri gagah Candi Gumpung. Keberadaannya hanya terpisahkan dengan reruntuhan pintu gerbangnya yang berada tepat di hadapanku. Tentu aku harus melewati gerbang itu untuk mendekati candi.
Rupanya pengelola candi membuat jembatan besi melintang di atas sisa-sisa reruntuhan gerbang yang tak terlalu tinggi. Jembatan itu jelas sekali ditujukan untuk menjaga batu bata asli penyusun gerbang yang sudah ada sejak tahun 800-an Masehi.
Melewati jembatan berketinggian rendah itu, aku berlanjut menapaki tanah lapang berumput hingga tiba di sebuah bagian candi yang berupa luasan penampang merata yang dibentuk oleh susunan batu bata merah tanpa dinding dan tiang bangunan. Di tengah bidang pelataran batu itu, terdapat dua bidang kecil umpak-umpak batu yang dulunya mungkin digunakan sebagai penyangga dua tiang saka yang digunakan dalam ritual awal keagamaan.
Dalam arsitektur candi-candi Jawa, bagian seperti itu disebut Mandapa, satu bagian tak terpisahkan dari candi utama yang memiliki fungsi sebagai tempat persiapan sebuah ritual keagamaan.
Usai mengamati bagian Mandapa dengan cermat, aku melanjutkan eksplorasi ke bangunan utama candi. Secara sekilas, garis keliling Candi Gumpung memiliki bentuk bujur sangkar. Bagian dindingnya disusun dari batu bata merah. Sepertinya batu bata merah itu direkatkan satu sama lain dengan tehnik kosot, tehnik yang juga digunakan dalam bangunan-bangunan peninggalan Kerajaan Majapahit.
Keunikan pada sisi depan candi adalah adanya batu andesit dengan ukiran khas seperti ukiran pada candi-candi di Jawa. Batu itu adalah Makara yang menggambar perwujudan Dewa Air. Tampak jelas bahwa candi itu digunakan sebagai tempat peribadatan bagi masyarakat pemeluk agama Buddha pada masanya.
Lihatlah Mandapa di depan bangunan Candi Gumpung itu !
Makara berbahan batu andesit.
Bentuk Candi Gumpung tampak belakang.
Karena usia candi berada pada rentang masa pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, maka diduga bahwa Candi Gumpung memiliki hubungan yang erat dengan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah cukup puas menikmati pesona Candi Gumpung, maka aku melanjutkan perjalanan ke bangunan candi yang lain.
Aku tiba persis di depan kawasan Fort Malborough. Usai menyerahkan ongkos tunai beserta tips kepada pengemudi ojek online yang mengantarkanku, maka aku segera menuju loket penjualan tiket. Dengan membayar tiket masuk sebesar Rp. 5.000, aku diizinkan memasuki bagian Ravelin dari benteng itu.
Ravelin sendiri merujuk pada bagian pertahanan pertama benteng yang memiliki bentuk segitiga dan dihubungkan ke bangunan utama benteng melalui sebuah jembatan yang melintasi parit pertahanan.
Di Ravelin ini, aku mendapati dua ruangan penting, yaitu Barak Pegawai EIC (East India Company) dan Ruang Jaga. Beberapa batu nisan para petinggi tentara Inggris juga disimpan di bagian Ravelin.
Beruntung sekali, aku bertemu dengan seorang pria paruh baya yang biasa menjadi tour guide di benteng tersebut. Kebetulan dia sedang beristirahat, maka tak ada salahnya aku meluangkan waktu untuk bercakap-cakap dengannya menggali informasi.
Daripadanya aku mendapatkan sedikit cerita sejarah bahwa Inggris datang ke Bengkulu selain mengincar rempah-rempah juga mengincar emasnya. Dia menambahkan bahwa saking melimpahnya Bengkulu dengan emas, maka logam mulia dari Bengkulu itu dipakai untuk pembuatan bagian lidah api Monumen Nasional (Monas).
Dia juga sedikit menjelaskan bahwa sebetulnya benteng pertama Bangsa Inggris berada tiga kilometer di utara Fort Malborough. Benteng itu bernama Fort York.
Usai menggali informasi dari tour guide paruh baya itu, aku mulai mengeksplore beberapa informasi penting di kedua ruang utama Ravelin.
Beberapa menit kemudian bagian Ravelin usai kujelajahi.
Selanjutnya aku memasuki bagian Curtain Wall.
Curtain Wall merujuk pada bagian benteng yang berbentuk tembok tebal yang dibatasi oleh dua bastion (menara) di kedua ujung dinding.
Maka dalam sekejap aku menemukan ide menarik….
Aku paham bahwa cara terbaik untuk menikmati pesona Fort Malborough yang sangat luas adalah dengan mengamatinya dari ketinggian. Maka satu-satunya cara terbaik untuk bisa memfasilitasi ide ini adalah dengan menaiki bagian curtain wall yang memiliki bidang area cukup lebar di atasnya.
Berhasil menaiki Curtain Wall, maka terpampang dengan jelas bentuk benteng secara utuh. Dilihat dari sekilas pandangan bahwa Fort Malborough memiliki desain bangunan seperti kura-kura dengan ravelin sebagai bagian kepala. Sedangkan empat bastion menjadi bagian kakinya.
Tampak di bagian timur adalah bagian bangunan yang dimanfaatkan sebagai ruang tahanan. Bagian utara digunakan sebagai bangunan administrasi. Sedangkan pelataran segi empat di tengah-tengah benteng digunakan sebagai area terbuka dimana deretan meriam diposisikan siap menembak ke arah laut. Sedangkan tembok barat digunakan sebagai dinding pertahanan yang untuk menahan serangan musuh dari arah laut.
Dan untuk mendalami sejarah benteng ini, mau tidak mau, aku harus mengunjungi ruangan demi ruangan yang ada di seluruh bagian benteng.
Aku pun rela meluangkan waktu lebih lama untuk menjelajahi benteng. Dan daripadanya aku mendapatkan beberapa informasi penting tentang sejarah Fort Malborough dari masa ke masa.
Gerbang Fort Malborough.
Lihatlah dinding tebal Fort Malborough di bagian terluar.
Bagian atas Curtain Wall.
Pelataran Fort Malborough.
Bangunan Fort Malborough sisi paling utara.
Bangunan Fort Malborough sisi timur.
Dikisahkan dari artikel, foto dan gambar-gambar lainnya bahwa Fort Malborough dibangun tiga abad silam dan dinamai dari nama jenderal terkenal Ingris Jhon Churchill Duke of Malborough. Benteng ini terletak di tepian Pantai Tapak Padri.
Pada tahun 1685, untuk pertama kali Inggris datang dengan tiga kapal besarnya ke Bengkulu, yaitu Kapal The Caesar, The Resolution dan The Defence di bawah pimpinan Kapten J. Andrew dan kemudian menemui penguasa setempat yaitu Depati Bangsa Raja. Niat semula yang hanya ingin berdagang lada, produk agraria dan hasil hutan lainnya, selanjutnya Inggris mulai memperkuat pangkalan dagangnya di Selebar dengan membangun Fort York, maka awal mula kolonialisasi dimulai.
Selain rempah, Inggris juga mengincar emas di seluruh pertambangan di daerah Lebong. Kekayaan emas di Sumatera Inilah kemudian memberikannya julukan sebagai Swarnadwipa (Pulau Emas), Mayoritas jalur emas Sumatera tersebut berada sepanjang patahan Bukit Barisan.
Tak lebih dari setengah abad. Pada tahun 1712, Kapten Joseph Collet membangun Fort Malborough untuk menggantikan Fort York yang lokasinya kurang strategis. Konon Fort York ini terletak di daerah rawa dan menyebabkan para tentara menderita disentri dan malaria.
Fort Malborough sendiri dibangun di atas lahan seluas 4,5 Ha oleh buruh yang didatangkan dari India. Benteng ini memiliki 72 meriam yang moncongnya menuju laut lepas. Dindingnya memiliki ketebalan hingga 3 meter.
Benteng ini juga sempat diperluas dengan penambahan gudang senjata dan barak militer untuk 120 tentara. Benteng juga memiliki parit di sekelilingnya yang dahulu ditempatkan beberapa jebakan mematikan di dalamnya.
Pada awal tahun 1700-an, perlawanan dilakukan oleh para Raja di Bengkulu karena EIC mulai memonopoli perdagangan rempah di Bengkulu. Pangeran Nata Diraja (Kerajaan Selebar) gugur dalam pertempuran ini. Inggris akhirnya sukses menaklukkan Kerajaan Selebar, Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Sungai Lemau, dan Kerajaan Sungai Itam di Bengkulu.
Perlawanan rakyat terus berlangsung hingga akhirnya pada akhir tahun 1700-an, pihak Inggris kehilangan Kapten Robert Hamilton dalam sebuah peperangan panjang.
Pada tahun 1800-an awal, masa penjajahan berlanjut dengan kebijakan tanam paksa kopi dan lada di Bengkulu. Balasan atas kekejaman tentara Inggris tersebut adalah dengan terbunuhnya Residen Thomas Parr yang terkenal kejam.
Inggris sendiri mampu bercokol selama 139 tahun di Bengkulu dari tahun 1685 hingga 1824. Masa kolonialisme Inggris baru terputus karena terjadinya Traktar London pada 1824. Menurut traktat itu Inggris harus menukar Bengkulu dengan Singapura dan Malaka yang awalnya dikuasai Belanda.
Begitu beruntung diriku mendapatkan pengetahuan berharga tersebut. Satu hal lain yang kudapatkan dalam eksplorasi benteng ini adalah pemahaman tentang kata “Bencoolen” yang merupakan pengucapan tentara-tentara Inggris untuk “Bengkulu”.
Ini tentu terkait dengan pengalaman travelingku yang pernah mengantarkanku untuk mengenal area “Bencoolen” di Singapura. Aku pernah menginap di kawasan itu dua kali. Dan sejak kunjunganku ke Bengkulu membuatku paham bahwa kata “Bencoolen” itu merujuk pada Bengkulu. Tentu hal ini bisa dimaklumi karena sebelum Traktat London terjadi, tentara-tentara Inggris itu pernah menguasai dan hidup di Bengkulu.
Nah, cukup sampai di sini ya cerita tentang Fort Marlborough. Saya sarankan kamu berkunjung ke sana jika berkunjung ke Bengkulu.
Melintas keluar dari exit gate bangunan terminal di Bandar Udara Fatmawati Soekarno (sebut saja FatSoe), aku melengos, menghindari incaran para sopir taksi yang sedang berburu penumpang.
Nampaknya strategi itu tak berjalan baik. Tetap saja para sopir taksi itu mengejarku. Mereka menyejajari langkahku yang akhirnya membuatku terpaksa berkamlufase dengan melemparkan kebohongan kepada setiap pengemudi taksi yang datang menghampiri, “Di jemput teman, Bang”, itu saja alibi yang mampu kusampaikan.
Ternyata ampuh cara itu…..
Lepas dari sasaran pengemudi taksi, aku bergegas menuju sisi timur bangunan bandara. Ke arah bangunan terminal baru. Sesampai di sana, tatapku cepat mencari keberadaan petugas Aviation Security untuk menanyakan satu hal, apalagi kalau bukan keberadaan DAMRI.
Melihat seorang petugas yang sedang sibuk memberikan penjelasan kepada dua penumpang wanita belia yang tampak kebingungan, maka aku menghampirinya. Aku sabar menunggu percakapan mereka usai.
“Pak, adakah Bus DAMRI ke pusat kota di bandara ini?”, aku bertanya tanpa basa-basi terlebih dahulu.
“Oh, tidak ada, Bang. Lebih baik naik taksi saja”, dia menjawab cepat.
“Kalau ojek online bisa ambil penumpang dari bandara atau tidak, Pak?”
“Bisa, Bang. Tapi harus diluar gerbang, di pinggir jalan raya sebelah sana”. Dia menunjuk satu titik di luar area bandara.
“Terimakasih ya, Pak” aku pun melangkah meninggalkannya.
Aku berjalan meninggalkan bandara melalui beberapa jalur di sekitaran area parkir demi menuju ke gerbang bandara. Aku harus menuju ke salah satu titik di ruas Jalan Depati Payung Negara yang berjarak tak jauh dari bangunan terminal bandara, tak lebih dari tiga ratus meter tepatnya.
Bandar Udara Fatmawati Soekarno.
Bye Fatsoe.
Jalan Depati Payung Negara.
Menunggu ojek online di sini.
Melintas kantin bandara yang letaknya berdekatan dengan pos polisi bandara, maka aku sudah bisa melihat ruas jalan yang kumaksud. Melangkah cepat mendekatinya, aku tiba di gerbang bandara beberapa saat kemudian.
Aku berjalan sembari memainkan jari di layar telepon pintar demi mencari jasa “ojek online buatan anak bangsa”. Tetapi sial, aplikasi ojek online di layar smartphone terus menyampaikan informasi bahwa driver tidak tersedia dalam jangkauan. Aku berkali-kali mengulang pemesanan. tetapi tetap saja demikian….Nihil,
Aku memutuskan melangkah ke barat, hampir dua ratus meter jauhnya. Kemudian memutuskan untuk berhenti dan duduk di salah satu bangku trotoar berpeneduh pokok nan lebat. Keberadaanku yang seorang diri di sepanjang trotoar nan sepi dalam keadaan memanggul backpack 25L, menjadikanku sasaran empuk bagi para ojek pangkalan yang terus datang menawariku jasa. Aku yang sedikit gugup terus menolak setiap tawaran itu sembari mencari ojek online.
“Kenapa aku tidak mencoba jenis jasa ojek online yang satu lagi?”, aku memutuskan dengan cepat untuk menginstall aplikasinya dan berburu daripadanya.
“Yes….”, aku mendapatkannya. Hanya saja posisi sepeda motor di layar smartphoneku itu lama sekali tak bergerak. Bersyukur aku bisa menghubungi pengemudi itu dan dia memintaku untuk tetap menunggu karena si pengemudi ojek online itu tampaknya sedang bersiap keluar rumah untuk mulai bekerja.
Hampir lima belas menit, pengemudi itu tiba. Menggunkan motor manual model lama. Tanpa ragu aku menaikinya.
“Fort Malborough, Bang”, aku menegaskan tujuan kepadanya.
Tak perlu waktu lama, sepeda motor meluncur menuju ke pusat kota. Jalanan menuju pusat kota masih sepi siang itu. Membuat sepeda motor yang kutumpangi bisa melesat dengan cepat walau motor itu sudah tergolong tua.
Perjalanan terindah menaiki ojek online tersebut adalah ketika melintas di Jalan Pariwisata karena di sepanjang mata memandang di sisi kiri jalan itu membentang keelokan Pantai Panjang yang memamerkan debur ombak Samudra Hindia.
Gerbang terdepan Fort Malborough.
Lihatlah kanal yang mengelilingi benteng.
Beruntung pengemudi ojek online bisa diajak bercakap di sepanjang fokus menatap ke arah depan. Pengemudi ojek belia itu memberikan informasi-informasi penting mengenai Festival Tabot yang sedang berlangsung di Bengkulu dan titik-titik terbaik untuk menikmati senja di sepanjang Pantai Panjang.
Usai menempuh perjalanan selama setengah jam dan menempuh jarak sepanjang tujuh belas kilometer, akhirnya aku tiba di pintu gerbang Fort Malborough.
Menjelang sore ketika aku beringsut meninggalkan Bukit Clara. Memunggungi aksara raksasa tersohor, aku mengikuti koridor memanjang tepat di tengah tenda-tenda kuliner di area WTB Food Market.
WTB Food Market sendiri adalah pasar kuliner di Kota Batam yang aktif di malam hari. Sayang sore itu aku sedang berpuasa Tarwiyah, membuatku hanya sekelebat saja menikmati awal keramaian yang mulai tampak. Para pelapak kuliner sedang sibuk-sibuknya menata bangku, membuka payung-payung raksasa, mengelap gerobak-gerobak makanan, beberapa dari mereka sudah mulai memanaskan minyak di penggorengan raksasa.
Jalur pasar kuliner malam itu memanjang tak kurang dari 150 meter. Membuat bau harum makanan menyebar ke setiap sudutnya. Aku mencoba membayangkan keramaiannya saat malam tiba beberapa waktu ke depan dengan berdiri dari salah satu sisi sehingga bisa menyapukan pandangan ke segenap penjuru pasar kuliner tersebut.
“Hmmhh….Jadi ini semua tadi adalah permata wisata di daerah Teluk Tering”, aku sejenak merangkum perjalananku sedari dua jam sebelumnya dimana aku telah menyempatkan bersujud syukur di Masjid Raya Batam, menikmati keindahan Bukit Clara dengan tengara raksasanya hingga detik itu bediri di salah satu sudut WTB Food Market.
WTB Food Market yang tampak sedang bersiap menyambut malam.
Lihat Selembayung di sudut atap Kantor DPRD Kota Batam itu.
Beberapa saat kemudian, aku mulai merelakan pergi meninggalkan tempat itu, Melangkah melalui sebuah bundaran mini yang merupakan akses menuju rumah wakil rakyat, Kantor DPRD Kota Batam. Satu hal yang langsung tetangkap dalam pikiranku ketika melihat kantor wakil rakyat itu adalah sematan “Selembayung” di ujung atapnya.
Kamu tahu ga sih makna aksesoris “Selembayung” pada bangunan melayu di Provinsi Riau Kepulauan?
Gaes….Selembayung melambangkan makna kerukunan dan kesetiaan. Selembayung jika diamati dari dekat berwujud sulur berjalin dari bunga-bunga yang indah. Biasanya berwarna emas yang merupakan simbol kemakmuran masyarakat Melayu.
Melanjutkan langkah hingga memotong Jalan Engku Putri maka aku tiba di Gerbang Selatan Dataran Engku Putri. Kedatanganku ternyata menemui masalah karena pintu gerbang itu tampak terkunci rapat-rapat. Aku perlu menunggunya hingga 10 menit dengan duduk di salah satu sisinya. Tetapi tetap saja gerbang itu tak bergerak sedikitpun.
Tak mau kehabisan waktu, aku memutuskan mencari cara lain untuk memasuki Kawasan Dataran Engku Putri. Bergerak ke barat untuk mulai menyusuri Jalan Ahmad Yani maka aku mulai menelusuri lebuh itu.
Beruntung setelah mengayunkan langkah hampir setengah kilometer jauhnya, aku menemukan gerbang barat alun-alun utama Kota Batam itu, tepatnya di salah satu sisi Jalan Ahmad Yani. Dari pintu itulah aku akan masuk. Ternyata memang hanya gerbang itu yang terkesan ramai saking banyaknya warga lokal yang memarkir berbagai jenis kendaraannya di salah satu sisinya.
Perlahan aku memasuki pintu gerbang tersebut, berdiri tepat di sisi dalam dan kemudian berdiri tertegun menikmati suasana di dalam Dataran Engku Putri. Panorama hijau dan klasik sungguh mendominasi.
Sabuk hijau tampak rapat mengelilingi di keempat sisi alun-alun, sedangkan sebuah bundaran plaza di pusat alun-alun juga dibatasi oleh sabuk hijau dari bagian lain di sekitarnya. Membuat bundaran plaza itu menjadi focal point dan bagian terindahnya.
Sebelum kuperlihatkan konten apa yang ada di dalam alun-alun itu, beginilah kiranya intermezzo yang mungkin bisa sedikit memperkaya ruang memori kalian.
Dataran Engku Putri, sejatinya siapakah beliau?
Engku Putri adalah tokoh nasional dari tahun 1800-an. Beliau merupakan seorang putri penguasa Kerajaan Riau-Lingga. Bapaknya bernama Raja Haji Fisabilillah, merupakan raja ke-4 Kerajaan Riau-Lingga. Engku Putri pada masa dewasanya adalah permaisuri dari Sultan Johor ke-3 yang bernama Sultan Mahmud Riayat Syah. Dari kisah ini, bisa kita ambil kesimpulan bahwa Kerajaan Riau-Lingga masih memiliki hubungan darah dengan banyak Kesultanan besar di Negeri Jiran. Makanya jangan berantem ya ama negeri sebelah, masih saudara sendiri loh!…..Hihihi.
Semasa hidup, Engku Putri berperan sebagai pemegang regalia kerajaan. Regalia adalah semua alat yang menjadi tanda kebesaran dan keagungan kerajaan.
Nah udah paham lah ya….
Gerbang Selatan Dataran Engku Putri.
Skatepark di selatan Dataran Engku Putri.
Batam Centre Park.
Museum Batam Raja Ali Haji.
Mari kembali ke alun-alun….!
Aku hinggap di sisi selatannya, tertegun dengan kehadiran beberapa bule yang berlatih di skatepark. Entah, kenapa sesuatu yang berbau bule itu selalu menarik di negeri ini, pikiranku telah tercemar dengan budaya itu. Skatepark sederhana itu seakan menjadi oase bagi pecinta olah raga “Papan seluncur beroda”. Selama mengeksplorasi Batam, memang jarang kutemukan keberadaan skatepark di Propinsi Kepulauan Riau tersebut.
Sedangkan di sisi timur skatepark, membentang lapangan bola sepak dengan latar belakang julangan meninggi Kantor Walikota Batam. Tapi bukan titik itu yang kemudian menjadi tempatku menaruhkan minat. Melainkan aku pergi ke bagian inti alun-alun, sebuah bundaran bertajuk Batam Centre Park.
Bundaran itu berdiameter 150 meter, berkelilingkan jogging track yang ramai dijejali warga lokal yang sedang menguras kalori, sedangkan di sisi lain, terdapat kesibukan sekelompok orang yang sedang mempersiapkan alun-alun sebagai tempat pelaksanaan ibadah shalat Idul Adha yang akan diselenggerakan esok hari.
Duh, kamu jadi tahu deh kalau aku ke Batam pas ada long weekend karena Hari Libur Nasional Idul Adha. Bandel emang, bukannya lebaran di rumah, malah kelayapan ke Batam.
Sementara itu di sisi utara , sebuah bangunan klasik berwarna putih berdiri elegan. Adalah Museum Batam Raja Ali Haji yang menjadi tengara penting di Alun-Alun Batam. Raja Ali Haji adalah pemegang tampuk pertama pemerintahan Kota Batam masa lampu. Beliau sendiri adalah cucu dari raja ke-4 Kesultanan Riau-Lingga. Museum itu sendiri menayangkan perkembangan berbagai sektor Kota Batam dari masa kesultanan, penjajahan hingga masa modern.
Eksplorasiku di Dataran Engku Putri akhirnya terhenti di Museum Batam Raja Haji Ali. Hal ini terjadi selesai mengeksplorasi museum menjelang pukul enam sore. Hari mulai gelap, aku yang sedang berpuasa harus segera mencari tempat berbuka yang nyaman.
Aku bergegas melompat ke salah satu gerbong LRT Sumatera Selatan. Di gerbong tengah tepatnya. Suasana di dalam gerbong tentu tak akan pernah penuh karena aturan PPKM Level 3 yang masih diterapkan pemerintah provinsi. Bangku LRT itu berselang-seling diduduki penumpang.
Aku?….Ya, aku lebih memilih berdiri saja di dekat pintu gerbong.
Sesaat kemudian, LRT berjalan lagi menyusuri jalur layangnya.
Di satu sisi, suara gesekan roda dan rel yang khas Ketika LRT berjalan membuatku rindu akan suasana serupa yang sering kutemukan di luar negeri. Maklum hamper dua tahun lamanya aku absen bepergian ke luar negeri.
Di sisi lain, aku sangat bangga karena salah satu provinsi di Indonesia telah berhasil membangun dan mengoperasikan LRT. MRT dan LRT selalu saja menjadi transportasi elit dalam pola pikirku.
Aku sungguh beruntung, dengan berdiri di dalam gerbong, aku bisa dengan leluasa mengamati pemandangan kota di bawah jalur layang LRT. Pemandangan terindahnya tentu ketika rangkaian gerbong LRT melintasi lebarnya sungai Musi.
Heiiii…..Aku tak berhenti di Stasiun Ampera walaupun tiket yang kubeli seharusnya hanya bisa mengantarkanku hingga stasiun itu. Aku memang salah memilih tujuan ketika membeli tiket di Stasiun Demang.
Aku cuek saja mengikuti arus LRT demi menuju Stasiun Jakabaring. Aku sudah bersiap diri apabila harus membayar denda ketika turun beberapa menit ke depan.
Dalam 25 menit akhirnya aku benar-benar tiba….
Melompat dari gerbong, aku langsung menuju ticket collection gate. Memindai tiket yang kumiliki dan ternyata gerbang keluar itu terbuka. Itu artinya aku tidak perlu membayar biaya tambahan atas kesalahanku dalam membeli tiket.
Mungkin saja rute Stasiun Demang menuju Stasiun Jakabaring dan Stasiun Demang menuju Stasiun Ampera memilki tarif yang sama. “Ah itu tak perlu dipermasalahkan….Yang terpenting aku sudah tiba di tujuan”, aku membatin.
Aku bergegas menuruni stasiun melalui sebuah escalator dan akhirnya berdiri tepat di sisi Jalan Gubernur H. Bastari. Sudah menjadi kebiasaan, aku mulai mengabadikan beberapa situasi di sekitar Tugu Parameswara.
Parameswara sendiri adalah nama seorang raja besar di Palembang. Dipercaya dalam berbagai jejak sejarah bahwa seluruh keturunan etnis Melayu berasal dari Kota Palembang. Hal ini tentu tak bisa dipisahkan dari perpindahan Raja Parameswara dari Kota Palembang menuju ke Temasek (sekarang Singapura). Di masa keemasannya, beliau terkenal dengan julukan Iskandar Syah setelah menjadi penguasa di Kesultanan Melaka di Malaysia.
Suasana Tugu Parameswara sangatlah ramai ketika aku mengambil beberapa foto ikonik. Hal ini dikarenakan letak tugu yang berada di sebuah bundaran. Selain itu, tugubtersebut juga menjadi tengara utama di pintu masuk kompleks Jakabaring Sport City.
Jakabaring?…Apa sebetulnya makna katanya?
Jakabaring adalah singkatan “Ja” yang berarti Jawa, “Ka” berarti Kaba (sebutan orang Semendo), “Ba” berarti Batak, dan “Ring” yang berarti Komering. Itulah keempat suku yang banyak meninggali Kota Palembang.
Tugu Parameswara yang menyiratkan sejarah Melayu.
Jalan Gelora Sriwijaya – Jalur masuk ke Stadion Gelora Sriwijaya.
Sungai artifisial yang dibuat mengelilingi stadion.
Tiba juga di Plaza Stadion.
Salah satu hal yang membuatku berkesan saat berada di Jakabaring Sport City adalah ketika beberapa pengemudi sepeda motor ikut berpose narsis Ketika aku mengabadikan beberapa spot di sekitar Tugu Parameswara tersebut. Keramahan warga Palembang tersebut mampu memunculkan tawa dan secara tak langsung membuatku merasa seakan sangat dekat dengan rumah.
Semakin lama berada di bawah tugu ikonik itu, membuatku kesabaranku habis…..Eits, kesabaran untuk bertemu destinasi inti di kompleks olahraga itu ya….Bukan limit kesabaran untuk baku hantam….Iissh iisshh iisshh.
Maka aku menyegerakan langkah demi menuju Kompleks Stadion Gelora Sriwijaya. Aku perlahan menelusuri jalur panjang menuju ke stadion utama, memanfaatkan trotoar sisi kiri Jalan Gelora Sriwijaya dengan terus mengikuti sekelompok warga yang sedang berjalan bersama menuju ke tempat yang sama.
Suasana dikiri kanan jalur masuk itu tampak hijau. Tak sedikit dahan pepohonan yang menjulur ke arah jalan dan menjadi atap alam trotoar.
Di spot lain, tepatnya di ujung timur jalan telah menanti sebuah plaza luas yang digunakan warga untuk sekedar duduk dan beraktivitas ringan menikmati pagi, juga menjadi tempat yang nyaman untuk anak-anak berlarian dan bermain, serta menjadi spot terbaik untuk berswa foto dengan latar belakang Stadion Gelora Sriwijaya.
Akhirnya aku mulai membaurkan diri dengan bergabung Bersama warga sekitar di plaza itu. Merasakan aura kekeluargaan di area plaza.
Sejenak aku menikmati keindahan di pagi yang cerah itu.
Dengan dihantarkan ojek online akhirnya aku tiba juga di RedDoorz near Griya Agung 2. Di penginapan itulah aku akan menginap selama 3 hari 2 malam selama berada di Palembang. Aku tiba menjelang kumandang adzan Maghrib.
Malam itu aku tak mencari sesuatu yang spesial, melainkan hanya menikmati seporsi Pecel Lele dari sebuah tenda makan yang berada tepat di seberang hotel tempatku menginap.
Selebihnya aku mengistirahatkan badan lebih awal demi membalas kurangnya waktu tidur di malam sehari sebelumnya.
—-****—-
Pukul setengah delapan pagi….
Aku betul-betul sudah siap melakukan eksplorasi hari keduaku di Palembang. Aku sudah berecana untuk mengunjungi markas besar Laskar Wong Kito yang pernah menjadi kampiun Liga Indonesia pada awal tahun 2000-an.
Karena lokasi Gelora Sriwijaya yang terletak berdekatan dengan Stasiun LRT Jakabaring maka aku memutuskan untuk menujunya dengan memanfaatkan jasa LRT Sumatera Selatan. Setelah kuperhatikan rutenya, stasiun LRT terdekat dari tempatku menginap adalah Stasiun Demang. Oleh karenanya aku akan memulai perjalanan pagi itu dari stasiun tersebut.
Untuk menghemat ongkos, maka aku memutuskan untuk berjalan kaki saja demi menggapai Stasiun Demang. Itu berarti aku haru menapaki jalur pejalan kaki sejauh hampir satu setengah kilometer.
“Sembari mencari menu sarapan yang tepat”, aku menguatkan niat.
Perjalanan pun dimulai dari Jalan Sei Hitam.
Kamu tahu kan makna kata “Sei”?
Yups….”Sei” dalam Bahasa Melayu bermakna “Sungai”. Hal ini memberikan arti bahwa penginapan dimana aku tinggal sangat dekat dengan bantaran Sungai Hitam, walaupun aku tak pernah menjumpainya….Atau mungkin itu hanya persepsiku sendiri.
Sejauh menelusuri Jalan Sei Hitam, aku tak menemukan satupun kedai makanan yang bisa kusinggahi demi mendapatkan seporsi menu sarapan.
Maka kubuangkan langkah menuju Jalan Inspektur Marzuki. Melangkah menuju ke timur, mataku awas menyapu sekitar. Sesuai insting, aku menemukan sebauh kedai bubur ayam yang menebarkan aroma harum ke sekitar. Tanpa ragu, aku pun memasuki kedai itu.
Yuk sarapan!…..
Sumpah….Ini enak banget.
Ruas Jalan Inspektur Marzuki.
Ternyata baru ada satu pengunjung di dalamnya. Aku mengambil duduk di salah satu spot dan berlanjut dengan memesan seporsi bubur ayam kepada seorang ibu sang pemilik kedai.
Tak menunggu lama, pesananku tiba. Aku pun mulai menyendok bubur ayamku suap demi suap. Aku merasakan cita rasa yang familiar di lidah. Tentu ini tak lepas dari pemilik kedai yang berasal dari Bandung. Sesekali si ibu berbicara menggunakan Bahasa Sunda ketika bercakap dengan pria yang kuduga adalah suaminya. Juga tepampang jelas sebuah tulisan “Bubur Bandung” berukuran besar di dinding kedai.
Beberapa saat kemudian, pengunjung lain mulai berdatangan. Tampaknya “Cakwe” menjadi menu popular di kedai bubur tersebut. Banyak pengunjung yang memesannya dan membungkusnya pulang.
Usai menikmati semangkuk bubur ayam, aku pun melanjutkan perjalanan. Meneruskan langkah di Jalan Inspektur Marzuki yang berkontur menanjak dan menurun membuatku terkadang berada di ketinggian. Di titik itulah penampakan Stasiun Demang yang sedang kutuju terlihat dengan jelas.
Semakin bersemangat untuk mendekatinya, maka aku mempercepat langkah.
Aku akhirnya benar-benar tiba di salah satu stasiun di rute LRT Sumatera Selatan. Menaiki escalator dari salah satu sisi Jalan Demang Lebar Daun, mengantarkanku berada di dalam bangunan stasiun.
“Rupanya nama stasiun ini sesuai dengan nama jalan raya yang berada tepat di bawahnya”, aku membatin.
Tiba di konter penjualan tiket, entah kenapa aku tetiba berucap “StasiunAmpera, Kak”.
Jelas itu tujuan yang salah….
Tiba di Stasiun Demang.
Stasiun Demang bagian dalam.
Platfiorm Stasiun Demang.
Fine!….Aku sudah terlanjur membeli tiket yang salah dan harus segera menaiki LRT yang pintunya sudah terbuka dan menungguku untuk naik ke dalamnya…..
Sinar surya masih saja terik ketika aku meninggalkan halaman depan Benteng Kuto Besak.
Jarum jam merapat ke angka tiga, pertanda bahwa sebentar lagi surya akan tenggelam. Tapi aku masih enggan merapat ke penginapan walaupun sebenarnya waktu check-in sudah lewat.
Masih memanggul backpack berukuran besar, aku yang sedari beberapa waktu sebelumnya berdiri di samping Air Mancur Kuto Besak, untuk kemudian mengarahkan ke pandangan ke hamparan memanjang Sungai Musi nan elok. Dari kejauhan saja, sungai besar itu begitu mengundang rasa penasaran.
Alun-Alun Palembang.
Tugu Ikan Belido.
Sementara di sisi barat, tampak keberadaan Tugu Ikan Belido. Ikan yang biasanya sering kutemukan di kemasan kerupuk khas Sumatera. Ikan inilah yang menjadi satwa endemik Sungai Musi.
Karena rasa penasaran yang tinggi akan bentuk ikan Belida yang sesungguhnya, maka aku mendekati tugu tersebut. Seakan menjadi magnet tersendiri, Tugu Ikan Belido tersebut menjadi titik favorit yang sering dikunjungi para warga lokal untuk sekedar berfoto atau duduk disekitarnya demi menikmati suasana indah di sore hari. Tugu itu memang tampak klasik karena paduan motif songket khas Palembang yang tersemat di badan bangunan.
Aku hanya sebentar saja menikmati tugu itu, karena selanjutnya aku lebih tertarik untuk duduk dan menikmati aktivitas di sepanjang Sungai Musi.
Duduk di salah satu sisi, aku menikmati aktivitas bocah-bocah Sekolah Dasar yang sedang mandi di tepian sungai. Mereka berempat melompat berkali-kali ke bagian sungai yang tenang, bahkan tampak cuek tanpa busana sekalipun, mereka asyik dengan dunianya sendiri. Seolah mereka tak memperhatikan sekian pasang mata sedang memperhatikan polah mereka yang mengundang gelak tawa. Sesekali seorang bapak tua sang pemilik perahu angkutan umum memeperingatkan mereka untuk tidak melompat di beberapa bagian berbahaya karena keberadaan tonggak-tonggak kayu yang runcing.
Sementara itu di sisi lain, lalu lalang kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara membuat sepanjang aliran Sungai Musi tampak makmur. Kapal-kapal itu tampak menghantarkan hasil tambang batu bara ke beberapa smelter di bagian hilir sungai.
Perahu-perahu angkutan penumpang sederhana menjadi bumbu lain yang memenuhi aktivitas di tepian sungai musi. Perahu Ketek namanya, mungkin karena bunyinya yang bersuara “tektektektektek”. Sungai Musi tampak menjadi nadi kehidupan tersendiri bagi masyarakat Kota Palembang.
Aku begitu terhanyut dengan aura kesibukan di sepanjang Sungai Musi, sementara di belakangku aktivitas lain masyarakat mulai terlihat. Lapak-lapak kuliner mulai disusun, penjual mainan anak-anak mulai berdatangan dan persewaan wahana permainan anak-anak mulai bergeliat. Aku yang kemudia menengok dan menghadap ke belakang merasa terkagum dengan keramaian itu. Aku pun bertanya kepada seorang ibu yang sedang mendorong anaknya di sebuah stroller.
“Ramai banget ada acara apa ya, Bu?”, aku bertanya dengan polosnya
“Itu acara untuk menyambut perayaan tahun baru, Bang”, dia menjawab penuh senyum
“Oalah, saya lupa Bu kalau malam nanti itu malam tahun baru”, aku terkekeh. “Ada kembang api ya, Bu di Jembatan Ampera nanti malam?”, aku menambahkan pertanyaan.
“Oh engga, Bang. Pertunjukan kembang api masih dilarang karena kan masih PPKM level 3, takut mengundang keramaian”. Sang Ibu menjelaskan.
“Oh bener juga ya, Bu”, aku mengangguk paham.
Tongkang Pengangkut Batubara.
Jembatan Ampera terlihat dari Alun-Alun Palembang.
Geliat keramaian menyambut perayaan tahun baru.
Maka sebagai langkah penutup, sore itu aku menyempatkan waktu untuk berkeliling dan melihat-lihat dertan tenda dan lapak yang didirikan. Dan setelahnya aku memutuskan untuk menyegerakan diri menuju penginapan yang sudah aku pesan secara daring. Penginapan itu berada di daerah Siring Agung.
Aku memesan ojek online dan menuju ke penginapan…..
Usai mengambil foto terakhir Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dari pelatarannya, aku memutuskan pergi. Tetapi aku mengambil jalan lain untuk keluar dari area museum, hal ini dikarenakan jalur utama untuk memasuki museum sedang ditutup karena aktivitas renovasi.
Dengan terpaksa aku harus melakukan perbuatan tak sopan, aku harus menginjak rumput untuk keluar dari sisi samping. Melompati saluran drainase maka tibalah aku di sisi selatan Jalan Dr. AK Gani. Nama jalan ini merujuk pada Dr. Adnan Kapau Gani, seorang tokoh Pahlawan Nasional Indonesia yang pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri pada tahun 1947.
Jalan itu menampilkan bentangan tembok setebal dua meter layaknya dinding pertahanan. Tertarik dengan nuansa klasiknya maka aku menyusuri sekeliling tembok tua tersebut ke arah selatan. Hingga tiba di ujung jalan, aku memindahkan langkah menuju barat, masih menyusuri jalur di sepanjang dinding. Jalur tersebut tak lain lagi adalah Jalan Sultan Mahmud Badaruddin, yang merupakan jalan utama selebar empat meter yang melintas di sisi depan Benteng Kuto Besak.
Benteng Kuto Besak sendiri adalah benteng berusia hampir dua setengah abad dengan luasan tak kurang dari lima hektar. Benteng ini pada masa keemasannya adalah bangunan Keraton Kesultanan Palembang Darussalam. Hanya saja, saat ini Benteng Kuto Besak digunakan sebagai markas Komando Daerah Militer (KODAM) II Sriwijaya.
Tiba di titik utama, maka aku tertegun dengan sebuah gerbang besar berjuluk Lawang Koeta Besak yang merupakan pintu utama untuk memasuki area benteng. Hanya karena telah menjadi bangunan markas militer, maka di pintu gerbang utama itu terdapat pos penjagaan militer yang dijaga beberapa serdadu bersenjata.
Lawang Koeta Besak
Sepenuhnya aku paham bahwa tak sembarangan orang bisa memasuki area dalam Benteng Kuto Besak dengan mudah. Tetapi aku yang diselimuti rasa penasaran mendalam, berusaha untuk mendekati salah satu serdadu yang sedang berjaga.
“Selamat siang, pak. Saya Donny, wisatawan dari Jakarta. Apakah saya bisa masuk ke dalam Benteng Kuto Besak untuk melihat-lihat?”, aku memberanikan diri untuk memulai bertanya.
“Oh, maaf pak. Ini kantor militer, setiap orang tidak boleh sembarangan masuk demi keamanan”, dia menjawab tegas sembari memegang senapan laras panjang di tangan kanannya.
“Oh, baik pak jika demikian. Terimakasih ya, pak”, aku menjawab tegas dan singkat tanpa memunculkan opsi bertanya kembali.
Aku pun pergi meninggalkan gerbang utama Benteng Kuto Besak. Aku lebih memilih untuk menepi di salah satu titik Jalan Sultan Mahmud Badaruddin. Aku memutuskan untuk mengambil beberapa gambar menarik dari luar benteng.
Tembok Benteng Kuto Besak.
Aku yang termangu menikmati kegagahan Benteng Kuto Besak pun masuk ke dalam imajinasi masa lalu. Membayangkan bagaimana pada masa kemakmuran Kesultanan Palembang Darussalam. Memperkirakan bagaimana bentuk aktivitas anggota kerajaan di dalam Benteng Kuto Besak dan aktivitas perdagangan rakyatnya di sekitaran Sungai Musi yang membentang memanjang di depan benteng.
Aktivitas masa lalu yang klasik dan luar biasa tentunya…….
Usai satu jam menikmati panorama di atas Jembatan Ampera, maka aku memutuskan untuk turun. Melangkahlah kaki menuju pangkal jembatan sisi utara, aku kembali mengitari Bundaran Air Mancur Palembang. Dengan susah payah aku menyeberangi Jalan Mayjen. H. M. Ryacudu yang siang itu dialiri arus cepat kendaraan.
Berhasil menyeberangi jalan lebar itu dengan pengawasan seorang opsir polisi lalu lintas, lantas aku melintas di depan Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) yang di setiap sisinya rapat tertutup lembaran-lembaran seng. Monumen kenamaan Palembang itu sedang mengalami renovasi besar-besaran.
Aku mengindahkan keberadaannya dengan terus melangkah menyusuri salah satu sisi Taman Ampera. Aku mantab melangkah menuju ke suatu tempat yang telah kuincar sedari beberapa waktu sebelumnya.
Ya….Aku ingin mengunjungi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Maka beberapa menit kumudian, aku benar-benar tiba di pelataran museum besar itu. Berdiri di pelatarannya, sejenak aku termangu. Bangunan dua lantai berarsitektur khas Eropa itu lengang, tampak tak ada siapapun di sana.
Aku yang diselimuti rasa penasaran, memberanikan diri untuk menaiki tangga kembarnya yang dipisahkan oleh tiang gerbang lantai pertama. Begitu tiba di lantai atas, tetiba ada seorang lelaki setengah baya memanggilku.
“TIketnya di lantai bawah, dek”, dia menunjukkan tangan ke pintu gerbang lantai pertama.
“Oh, baik, pak”, aku enoleh dan sigap menjawab.
Aku pun bergegas turun dan dengan cepat menuju loket penjualan tiket di lantai pertama. Loket itu berada di ruangan sebelah dalam.
“Pantas tak terlihat”, aku membatin.
Usai memberikan uang sebesar lima ribu rupiah, aku diberikan selembar tiket masuk oleh seorang pria muda sang penjaga loket.
Aku juga diberikan sebuah tas jinjing berbahan kain. Cukup mudah untuk memahami bahwa tas itu berfungsi untuk menaruh sepatu. Hal itu memiliki arti bahwa setiap pengunjung harus bertelanjang kaki dalam mengeksplorasi museum.
Tak membuang waktu, aku kembali naik ke lantai atas untuk memulai petualangan.
Pada tahap awal, museum ini memamerkan beberapa prasasti kuno. Maka pada salah satu spot, aku tertegun di depan prasasti Kedukan Bukit. Dahulu, aku sering mendengar nama prasasti ini di dalam buku pelajaran sejarah. Di depan prasasti itu, aku khusyu’ mengamati aksara Pallawa yang tertera di permukaan batu hitam. Kedukan Bukit sendiri adalah nama desa dimana prasasti ini ditemukan oleh arkeolog C.J Batenberg.
Tulisan dalam Prasasti itu mengisahkan perjalanan seorang Raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang bersama 20.000 pasukannya usai menaklukkan daerah Bernama Minanga.
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Kursi yang dipakai oleh Kesultanan Palembang Darussalam.
Kayaknya itu singgasana raja deh.
Andai kamarku kek gitu…wkwkwkwk.
Gucinya keren kan?…
Peninggalan sejarah lain yang dipamerkan di museum itu adalah Prasasti Talang Tuo, Prasasti Boom Baru, patung Budha berukuran kecil, berbagai macam kendi masa lalu, pakaian kebesaran para petinggi Kerajaan Palembang, beberapa senjata tradisional khas Palembang seperti Roodoos, Tumbak Lado serta kerajinan kuningan.
Sedangkan hiasan dinding meseum menampilkan beberapa informasi bersejarah seperti selembar peta yang dibuat oleh anak buah Laksamana Cheng Ho bernama Ma Huan, peta perdagangan pada zaman keemasan Sriwijaya, silsilah raja Palembang, peta Keraton Kuto Gawang, lukisan tentang Perang Palembang antara Kesultanan Palembang melawan Kolonial Belanda yang meletus pada tahun 1821 hingga masa pengasingan Sultan Mahmud Badaruddin II.
Jalur kunjungan di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II ini dimulai dari lantai kedua dan diakhiri di lantai pertama.
Selama tak kurang dari satu jam aku menikmati perjalanan sejarah Palembang di museum tersebut.
Kisah sejarah yang perlu dipahami oleh generasi muda bangsa…………….