Kebobolan Kartu Kredit dari Departure Hall Cochin International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Masih saja gelap ketika aku meninggalkan kedai makanan dan menyeberangi Airport Road demi menggapai Terminal 3 Cochin International Airport.

Pagi itu pesawatku akan terbang meninggalkan Kochi menuju Colombo. Penerbangan yang kuambil adalah connecting flight Srilankan Airlines menuju destinasi akhir, yaitu Dubai.

Menelusuri beberapa jalur mobil di halaman bandara nan luas, aku merasa aman saja karena keberadaan para polisi bandara yang berkeliling mengamankan situasi.

Dalam dua puluh menit aku tiba tepat di halaman depan Terminal 3.

Menyeberangi drop-off zone, maka secara otomatis aku berada di departure hall bagian luar. Aku berusaha mencari keberadaan Flight Information Display System (FIDS) di selasar keberangkatan. Dengan mudah aku menemukannya dan kemudian mulai memperhatikan larik-larik informasi yang terpampang di layar tersebut.

Tetapi beberapa menit menunggui fragmen demi fragmen tampilan, nomor penerbanganku tak kunjung muncul. Sementara kursi-kursi di selasar keberangkatan perlahan mulai dipenuhi oleh para calon penumpang yang datang.

Apa oleh buat, aku yang penuh inisiatif, bergegas mendekati pintu masuk menuju departure hall bagian dalam.

Please, show your ticket and passport, Sir !”, seorang serdadu bersenjata laras panjang menahanku di pintu hall.

Oh okay……This is, Sir”, aku memberikan passport dan e-ticket cetak.

Dalam beberapa waktu kami berdua terdiam. Aku menunggu sang serdadu memeriksa dokumen yang kuberikan, sedangkan dia dengan khusyu’ membolak-balik halaman passportku serta mengamati lekat-lekat e-ticket cetak yang kuberikan.

This flight isn’t ready yet to check-in, Sir. Please wait for thirty minutes outside”, dia mengembalikan segenap dokumen yang tadi kuberikan sembari menunjuk deret bangku yang sebetulnya telah penuh oleh calon penumpang lain yang menunggu penerbangan mereka masing-masing.

Aku segera meninggalkan serdadu itu karena antrian memasuki departure gate mulai mengular. Bersyukur tersisa satu bangku kosong yang baru saja ditinggalkan oleh seorang calon penumpang dan membuatku nyaman menunggu hingga proses check-in penerbanganku dibuka.

Selama menunggu aku tertegun dalam mengamati aktivitas para penumpang India yang sibuk mempersiapkan bagasinya di luggage wrapping service. Timbul pertanyaan dalam hati: “apakah penanganan bagasi di India bermasalah?”.

Di percobaan yang kedua, serdadu itu mengizinkanku untuk memasuki departure hall karena check-in counter untuk penerbanganku telah berstatus OPEN. Melewati penjagaan para serdadu, selanjutnya aku pun diperiksa dengan sangat ketat di screening gate. Di India memang selalu begitu, bahkan setiap memasuki stasiun MRT di New Delhi, aku harus menjalani pemeriksaan ketat di screening gate stasiun. Mungkin aksi-aksi radikal masih menjadi perhatian penting di sana.

Aku tiba di check-in counter…..

Setelah menunggu beberapa proses check-in penumpang yang mengantri di depanku selesai, maka kemudian menjadi giliranku untuk menghadap ke check-in desk. Seperti biasa, aku bergegas menyerahkan passport, e-ticket dan hotel booking confirmation.

“Where is your destination?”, petugas wanita nan manis melontarkan pertanyaan standar.

“Dubai, Ms”.

“Do you have Unitd Arab Emirates Visa”, dia kembali menanyakan satu dokumen penting tersisa.

“Sure. Ms”, aku memberikan eVisa kepadanya.

Setelah beberapa waktu mengamati eVisa yang kuberikan, dia memanggil temannya. Kini petugas check-in desk laki-laki datang menghampiri meja. Mereka berdua tampak berdiskusi sambil menunjuk-nunjuk eVisa yang kuberikan. Hal ini tentu membuatku tegang, aku berfikir cepat: “Mungkin ada yang salah dengan dokumenku”.

Selepas berdiskusi, tampak petugas pria bersiap diri berbicara padaku dengan mimik serius.

“What do you go to Dubai for?”, dia melontarkan pertanyaan pertama

“Just tourism, Sir”

“Is this your first time go to Dubai?”, pertanyaan kedua terlontarkan.

“Yes, Sir”

“Why don’t you use direct flight from Jakarta to Dubai”, pertanyaan ketiga terucap.

“So expensive Sir if I take a direct flight from Jakarta. Outside of that, I went to Malaysia and India before arrive in Dubai because I’m a travel blogger and I need to take some content”, aku menjawab jelas dan jujur.

“Can I see you vlog?”

Not vlog, Sir…but it’s blog”, aku menegaskan

“Yeaa…whatever of that”

“This is, Sir. I had exkplored some region like South East Asia, East Asia, South Asia”

“Oh, nice…So it’s your time to explore Middle East area?”

“Exactly, Sir….for that I’m here now”

“Okay…I”ll give you two tickets for this connecting flight ?”

“Thank you very much, Sir”

“….Welcome….”

Beberapa waktu kemudian dia memberikan dua lembar tiket Srilankan Airlines. Satu tiket untuk penerbangan Kochi-Colombo dan satu lagi untuk penerbangan Colombo-Dubai.

“Oh yeeaa, don’t forget to take picture with nice spot behind this counter ! …There are many elephant sculpture there….And don’t forget to write it in your blog, Okay….hahahah ! ”, untuk pertama kalinya dia menampakan senyum dan berkelakar akrab di depanku.

“Oh Okay, with my pleasure, Sir….I love this airport”, aku mencoba menjawab seakrab mungkin dan dia hanya tersenyum menggeleng-gelengkan kepalanya saja.

Sebenarnya, aku sudah mengetahui keberadaan ikon bandara itu, hanya saja aku hampir terlupa untuk menyambanginya karena interogasi beberapa waktu lalu yang membuatkan sejenak berkurang ingatan. Beruntung check-in desk staff laki-laki itu memberitahuku sehingga aku tidak kehilangan momen mengabadikan ikon itu.

Menuju departure gate.
Drop-off zone.
Check-in zone.
Patung-patung gajah yang menjadi ikon Cochin International Airport.

Selepas keluar dari check-in area, aku segera mengurus departure stamp di konter imigrasi. Tahapan keluar dari sebuah negara selalu saja berproses cepat, aku berhasil melaluinya dengan mudah untuk kemudian mengikuti petunjuk di sepanjang koridor untuk tiba di waiting room di sepanjang gate pemberangkatan.

Ruang tunggu Cochin International Airport memang terlihat unik, antar ruangan gate di desain tidak bersekat sehingga menjadikan ruang tunggu dengan sembilan gate itu tampak lega. Kursi-kursi tunggal berukuran lebar dengan dudukan busa pun disediakan di sepanjang gate.

Kuputuskan untuk mengambil salah satu bangku untuk duduk menunggu boarding time yang masih dua jam lagi. Kemudian aku berusaha untuk mengakses WiFi bandara untuk mencari beberapa informasi penting mengenai pariwisata Dubai.

Baru saja berhasil mengakses WiFi, aku menerima sebuah notifikasi dari WordPress untuk segera memperpanjang penggunaan domain blog perjalanan yang saya miliki karena beberapa hari ke depan masa berlakunya akan habis.

Aku berfikir, daripada mengambil resiko kehilangan domain di saat sedang melakukan perjalanan, maka aku memutuskan memperpanjang domain tersebut saat itu juga.

Ternyata menghilangkan resiko kehilangan domain tersebut, membuatku mendapatkan resiko lain tanpa kusadari. Kesalahan utama yang kulakukan dengan melakukan pembayaran menggunakan kartu kredit menggunakan akses WiFi bandara ternyata memunculkan resiko baru, yaitu kemungkinan pembajakan data oleh para hacker atas kartu kreditku.

Dan benar apa adanya nanti bahwa beberapa bulan setelah aku pulang dari petualangan menjelajah kawasan Timur Tengah, kartu kreditku kebobolan. Beruntung eksekusi pembayaran yang dilakukan si hacker dinyatakan gagal sehingga proses tagihan ke salah satu bank swasta kenamaan di Jakarta otomatis dibatalkan….Hmmh, ada-ada saja.

Waktu menunggu yang terlalu lama, membuatku gatal untuk kembali melakukan eksplorasi. Kuputuskan untuk kembali berkeliling ke seluruh departure gate hingga naik ke lantai dua yang secara mayoritas digunakan sebagai duty free zone.

Gate.
Duty free zone.
Food court area.
Saatnya terbang menuju Colombo.

Di tengah waktu berkeliling hall, aku sejenak merapat ke salah satu pojok dimana Fligt Information Display System (FDIS) dan beberapa Advertisement LCD diinstalasi. Aku sejenak tertegun membaca informasi pada salah satu layar LCD. Aku membaca informasi itu dalam hati:

“Cochin International Airport…The recipients of United Nation’s Highest Environmental Honor, The Champion of the earth-2018”

Wahhhh….Keren ya bandara ini.

Hanya karena departure gates yang tak terlalu luas membuatku tak membutuhkan banyak waktu untuk mengeksplorasinya. AKhirnya kuputuskan untuk kembali menunggu saja hingga boarding timeku tiba.

Kisah Selanjutnya—->

Malam Terakhir di Kochi

<—-Kisah Sebelumnya

Aku bergegas menuruni anak tangga di Stasiun Aluva demi mengejar airport bus yang akan melewati Service Road yang berada di bawah stasiun. Karena Stasiun Aluva adalah stasiun layang yang berada di atas jalan itu.

Menepi di salah satu sisi, aku melihat kedatangan bus berwarna oranye dari sisi kanan. Aksara India yang berada di kaca depan berhasil memunculkan ragu. Untuk memastikan bahwa bus itu menuju bandara, aku memberanikan diri bertanya kepada wanita muda yang kebetulan akan melintas di trotoar dimana aku menunggu. Dilihat dari penampilannya, aku menebak bahwa wanita muda penuh gaya itu pastinya seorang karyawati kantoran. Dilihat dari blazer hitamnya yang rapi dan sepatu kerjanya yang mengkilat.

Yes, Sir. That bus goes to airport”, dia menjawab pertanyaanku sembari melemparkan senyum.

Mengucapkan terimakasih kepadanya, aku segera menaiki bus itu yang beberapa saat sebelumnya berhenti di depan halte.

Bus itu tampak penuh, tetapi si kondektur laki-laki bertubuh kurus itu menunjukkan satu kursi paling belakang yang masih kosong. Aku mengangguk dan bergegas mengakuisisi bangku itu.

Satu kejadian yang membekas hingga saat ini adalah ketika si kondektur itu menagih ongkos 42 Rupee kepadaku. Karena tak ada uang bernominal kecil, menjadikanku tak bisa membayar tarif tersebut. Bersyukur seorang pria muda yang duduk di sebelah kiri berbaik hati menukar uangku dengan pecahan kecil sehingga aku bisa membayar ongkos bus tersebut.

Thank you, Sir for your kindness

Welcome…”, dia menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum menjawabnya.

Semakin mendekati bandara, tatapanku tertuju dengan pemandangan di sisi kanan jendela bus. Mencoba mengamati dengan seksama, aku baru tersadar bahwa yang kulihat adalah ladang panel surya yang teramat luas. Aku masih belum faham untuk apa panel surya diinstalasi di ladang seluas itu.

Pertanyaan itu akhirnya terjawab ketika aku iseng melakukan browsing di sebuah penginapan di Dubai. Maklum selama di India aku tidak berhasil mendapatkan jaringan internet untuk melakukan browsing.

Halte bus dekat Stasiun Aluva.
Airport bus yang kunaiki.
Ladang panel surya dekat bandara.

Jawabannya adalah Cochin International Airport ternyata menggunakan energi listrik tenaga surya untuk pengoperasiannya.

Mengikuti rute airport bus yang kunaiki, mau tak mau, aku harus turun di dalam area bandara. Tetapi setelahnya, untuk menuju penginapan tentu tak susah karena Hotel Royal Wings yang kuinapi hanya berjarak  satu setengah kilometer dari bandara.

Dalam dua puluh menit melangkah akhirnya aku tiba….

Di meja resepsionis, aku segera mengambil backpack yang sedari pagi kutitipkan, setelahnya seorang staff hotel tanpa seragam mengantarkanku menuju lantai dua.

Memasuki kamar, aku segera membongkar semua isi backpack dan menumpahkannya di atas kasur. Sudah menjadi kebiasaanku untuk mengecek ulang keberadaan perlengkapan-perlengkapan penting dalam perjalanan. Usai memastikan semuanya lengkap, aku segera memutuskan untuk mencari makan malam.

Tetapi baru saja melangkah keluar kamar, staff hotel yang tadi mengantarkanku datang kembali.

You are in the wrong room, I’m sorry, can I switch to other room, Sir?” dia menyampaikan informasi.

Oh, Okay….No problem”, aku menjawab.

Aku pun memasuki kamar kembali dan bermaksud mengepack kembali semua perlangkapan yang sudah berantakan di atas kasur.

Rupanya staff ini melongok sebentar dari pintu. Setelah mengetahui bahwa kamar yang kumasuki sudah berantakan maka dia mengurungkan niat untuk memindahkanku.

Sir, I’,m sorry, I think it will be busy if you switch your room. So better, you are still here”, dia sepertinya menyerah menungguku yang sedang melakukan packing.

Akhirnya aku pun tetap akan menginap di kamar yang sama.

Usai mendapatkan kepastian nomor kamar maka segera melakukan rutinitas lain.

Aku menuruni tangga dan duduk di lobby. Aku berfikir keras karena SIM Card yang tak kunjung berfungsi semenjak kubeli pagi sebelumnya telah memblokade diriku dari informasi apapun. Sebetulnya aku hanya ingin mengecek penerbangan esok pagi, apakah ada perubahan jadwal atau tidak. Oleh karenanya, demi memastikan, aku harus mengecek email. Karena setahuku, runway Cochin International Airport sedang direnovasi yang menyebabkan banyak penerbangan terkena delay tadi pagi.

Aku terpaksa meminta password untuk bisa mengakses WiFi penginapan kepada si pemilik yang sedang duduk di meja resepsionis.

“This is the password…Don’t use it to access video, Okay !”, dia berpesesan dengan muka serius.

“Oh Okay, Sir. I just want to check my flight information for tomorrow. Just it, no more”,

“Okay…Okay”, dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Hmmhhh…Baru kali ini menginap di hotel yang pemakaian WiFinya dibatasi….Aneh bin ajaib memang India.

Aku lega, karena tidak ada informasi lanjutan apapun mengenai penerbanganku esok pagi.

Maka langkah selanjutnya yang kulakukan adalah mencari money changer untuk menukarkan Rupee tersisa ke Dollar Amerika. Di beberapa money changer dekat penginapan, aku mendapatkan penolakan karena jumlah Rupee yang akan kutukarkan menurut mereka jumlahnya sangat kecil.

Aku tentu tak menyerah begitu saja. Sekecil apapun Rupee tersisa yang kupegang tentu sangat berharga dalam perjalanan berikutnya.

Bersyukur aku menemukan money changer rumahan di sekitar hotel, money changer kecil itu dengan sigap menerima sisa Rupee yang kupunya. Akhirnya aku mendapat tambahan 7 Dollar Amerika untuk perjalanan berikutnya.

Menggenapkan aktivitas di malam terakhirku di Kochi maka kuputuskan untuk segera berburu makan malam. Tak susah mencari makanan halal hingga pada akhirnya aku memilih duduk di salah satu kursi Al Madheenaa Restaurant.

Memesan seporsi butter rice dan segelas chai, aku menikmati makan malam terahirku di Kochi. Aku benar-benar menikmati menu terenakku selama di berpetualang di Kochi.

Di akhir sesi makan malam, aku membayar 120 Rupee dan bergegas meninggalkan restoran tersebut dan masih membawa sedikit Rupee tersisa yang cukup kugunakan untuk membeli sarapan esok pagi.

Restoran dekat penginapan. Dijamin halal.
Hmmhh….Alhamdulillah, menu begitu aja sudah paling nikmat.

Aku terburu langkah kembali ke penginapan….

Malam itu aku harus mencuci t-shirt dan celana panjang yang telah kukenakan seharian. Tanpa pikir panjang, setiba di kamar aku dengan cekatan mencucuinya lalu mengangin-anginkannya di bawah kipas kamar. Aku berharap esok pagi sudah bisa melipatnya dalam kondisi kering.

Saatnya untuk bersantai dan beristirahat. Hotel itu memang tampak super sederhana. Bagaimana tidak, televisi tabung model lama yang tersedia hanya menampilkan tak lebih dari lima channel sehingga rencana untuk meghibur diri menjadi gagal total.  

Oleh karenanya, aku lebih memilih untuk mengemas perlengkapan ke dalam backpack dan segera beristirahat supaya esok hari badan kembali segar.

—-****—-

Pukul lima pagi aku terbangun….

Mengguyur badan dengan air hangat, bermunajat kepada Allah dalam Shalat Subuh dan memastikan semua perlengkapan tak tertinggal maka aku memutuskan untuk segera melakukan check-out.

Aku check-out menjelang pukul enam pagi, lalu bergegas menuju kedai jajanan di dekat penginapan untuk menyantap sarapan secara sederhana saja. Tiga potong jajanan lokal kusantap dengan lahap lalu kulengkapi dengan menyeruput secangkir chai panas untuk menghangatkan badan di tengah dinginnya udara pagi kota Kochi.

Can this change be exchanged for any food?”, aku menyerahkan semua uang recehku kepada si pemilik kedai. Dengan sigap dia memasukkan beberapa potong jajanan ke dalam kantong plastik.

Dengan penuh senyum aku menerimanya lalu menyelipkannya ke dalam folding bag. Sekantong plastik jajanan itu bisa kugunakan untuk makan siang nanti ketika transit di Colombo.

Kulanjutkan langkah menuju bandara. Tetapi gundah kembali menggelayuti. Mungkin aku kekurangan literasi dalam persiapan berpetualang sehingga menjadikanku khawatir akan Dubai yang konon sangat ketat dalam aturan mambawa obat-obatan.

Menurut sumber yang aku baca, harus ada permohononan izin secara resmi yang bisa diajukan secara online kepada otoritas Uni Emirat Arab jika ingin membawa obat-obatan. Dan aku tak sempat menyiapkannya.

Oleh karena itulah, aku harus mengambil keputusan gegabah ini. Aku yang tak mau ambil pusing akhirnya membuang sekantong obat yang kubawa di sebuah tong sampah di dekat kedai. Hal bodoh yang mungkin pernah kulakukan. Semenjak detik itu pula, aku sudah melakukan perjudian besar, yaitu mengeksplorasi kawasan Timur Tengah tanpa obat-obatan sama sekali.

Oh, Donny….Si cowboy backpacker….

Kisah Selanjutnya—->

Pohon Kelapa dari Kochi Metro

<—-Kisah Sebelumnya

Menunggang ulang ferry menuju daratan utama Fort Kochi, tatap mata berkali-kali tertuju pada penunjuk waktu digital di gawai….maklum aku tak lagi mengenakan jam tangan dalam beberapa kurun waktu terakhir.

Lepas dari antrian yang mengular, aku mendapatkan tiket untuk berlayar jarak pendek menuju dermaga di seberang perairan yang berjarak tak lebih dari satu kilometer.

Selepas ferry berlabuh di dermaga, alih-alih segera menuju ke Kochi Airport Bus Terminal, aku malah berbelok berlawanan arah menuju timur, menapaki Calvathy Road untuk melongok sejenak dermaga lainnya yang dimiliki Fort Kochi. Aku masih saja oportunis untuk menuju ke pulau lain….Aku ingin ke Wellington Island.  

Aku menyisir jalanan di belakang rombongan pelancong lokal yang kesemuanya adalah gadis belia India, dengan pakaian sari yang khas India, kesemuanya berambut panjang terkepang dan terkuncir serta berkulit gelap tapi tetap saja manis. Sesekali mereka menengok ke arahku, merasa sadar sedang kukuntit dari belakang. Aku merasa cuek saja, sengaja aku berbuat demikian untuk menghindari scam yang mungkin saja muncul. Setidaknya berjalan di belakang rombongan gadis India itu mampu membuatku merasa tak berjalan seorang diri.

Dalam jarak delapan ratus meter, tiba juga diriku di dermaga yang dimaksud. Tak seperti dermaga yang menuju Vypeen Island, dermaga menuju Wellington Island tampak lebih tertata rapi. Ada bangunan dermaga yang menjadi pusat aktivitas para penumpang.

Aku kembali melihat waktu yang tetampil di gawai pintar, hanya ada waktu tersisa empat puluh lima menit jika ingin berangkat menuju Wellington Island.

Aku terduduk membisu di salah satu bangku pelabuhan, berfikir keras berkali-kali. Tetapi tetap saja, realita mengatakan bahwa waktuku tak akan pernah cukup. Artinya, tak ada yang bisa diperbuat lagi, aku harus bergegas pulang ke penginapan dan menutup eksplorasi.

Alhasil, melangkahlah aku menuju Kochi Airport Bus Terminal. Dalam lima belas menit, aku pun tiba. Dan tak terduga, aku bertemu kembali dengan sopir dan kondektur yang sama seperti saat aku berangkat menuju Fort Kochi dari bandara pagi tadi.

Sontak kondektur perempuan setengah baya itu tersenyum dan menunjukkan jari ke arahku ketika aku melompat naik dari pintu depan, rupanya dia masih mengenali raut mukaku. Aku membalas senyumnya dan sebelum duduk aku bertitip pesan penting kepadanya, “Drop me off at Vyttila Station, Mam !”.

Oooooh…Vyttila Station….Oke, don’t worry”, dia menjawab dengan aksen dan gaya khas….Menggeleng-gelengkan kepalanya.

Usai memastikan kondektur perempuan itu memahami pesanku, aku segera mengambil tempat duduk dan lagi-lagi waktuku harus terbuang karena menunggu bus dipenuhi oleh penumpang.

Usai semua bangku terisi oleh penumpang, maka bus mulai bertolak menuju Aerotropolis Nedumbassery.

—-****—-

Aku diturunkan di sebuah perempatan besar dengan kesibukan proyek flyover di atasnya. Perjalanan sejauh dua puluh kilometer kubayar dengan ongkos sebesar 40 Rupee.

Berdiri di perempatan, aku mengawasi sekitar, feeling telah mengarahkanku untuk melangkah ke barat demi menemukan Stasiun Vittyla. Maka dengan penuh kepercayaan diri kulangkahkan kaki menujunya.

Menyisir trotoar panjang di tepian Sahodaran Ayyappan Road nan ramai kendaraan, aku terus mengawasi sekitar. Tetapi….Semakin jauh melangkah, aku tak kunjung melihat keberadaa stasiun MRT yang kucari.

Dan pada akhirnya, kuputuskan bertanya saja kepada seorang penjahit yang sedang khusyu’ bekerja di kiosnya.

Dia mengernyitkan dahi begitu faham aku tersasar. Menghentikan pekerjaannya, dia keluar dari kios dan berjalan menuju trotoar sambil memintaku mengikutinya. Dia menunjuk arah timur dan dengan jelas memintaku untuk menyeberangi perempatan di bawah proyek flyover dan melangkah lurus setelah menyeberangi perempatan tersebut.

Mengucapkan terimakasih, aku melangkah ke arah semula.

Sesampai di perempatan, aku bertanya kepada seorang opsir polisi yang kebetulan sedang bertugas mengurai kemacetan. Dia menunjukkan arah dimana untuk sampai ke seberang jalan, aku harus melintasi area bawah jalan layang yang dipenuhi oleh para pekerja proyek.

Aku berhasil tiba di seberang jalan, maka selanjutnya aku kembali melangkah meneruskan jarak tersisa untuk menemukan Stasiun Vyttila.

Alhamdulillah…Aku akhirnya menemukannya….

Penuh kegirangan, aku segera memasuki bangunan stasiun dan langsung berburu tiket. Menggunakan lift, dari Ground Level aku menuju ke Concourse Level. Di lantai itulah dengan mudah aku menemukan konter penjualan tiket. Kali ini aku hanya akan membeli single journey ticket untuk menuju Stasiun Aluva.

Dengan membayar 60 Rupee aku mendapatkan tiket yang dimaksud dan segera menuju ke platform.

Menunggu MRT di Kerala menjadikanku teringat ketika menjelajah beberapa stasiun MRT di New Delhi di awal tahun 2018. Saat itu aku melihat bahwa standar keamanan di MRT New Delhi dilakukan dengan sangat ketat oleh Central Industrial Security Force (CISF) yang merupakan pasukan polisi bersenjata yang bekerja di bawah Parlemen India. Di bawah pengawasan mereka, jangan harap bisa mengambil foto dengan mudah di MRT New Delhi.

Mengingat pengalaman tersebut, aku tak memberanikan diri memotret situasi stasiun dengan terang-terangan.

MRT yang kutunggu pun tiba….Perlahan merapat di sepanjang sisi platform, tanpa ragu aku segera menaikinya dan di dalam gerbong aku memilih berdiri saja di dekat pintu. Tujuanku adalah menikmati keindahan Kerala, mengingat MRT ini melintas di jalur rel layang sehingga sepanjang perjalanan akan memamerkan pemandangan kota yang indah dari ketinggian.

Perempatan dimana aku diturunkan.
Stasiun Vyttila.
Konter penjualan tiket Kochi Metro.
Inilah Mass Rapid Transportation ke-11 dari 13 MRT di luar negeri yang pernah kunaiki.
Suasana ketika pertama kali memasuki gerbong.
Penampakan kereta-kereta reguler India.
Stasiun Aluva.

Sejauh mata memandang, banyak sekali kutemukan pohon kelapa yang bertebaran di sudut-sudut kota. Memang ….Mengapa negara bagian ini disebut dengan “Kerala”.

 Ya “Kerala” memiliki makna “Tanah Kelapa”, maka sudah tepat jika dinamakan demikian, karena aku dengan mudah menemukan pohon kelapa hingga ke tengah kota.

Di sepanjang perjalanan, tak sedikit penumpang tampak heran memperhatikanku yang terlalu sering mengambil gambar lewat jendela kereta. Mereka pastinya faham bahwa aku adalah pelancong asing yang sedang mengabadikan kota. Untuk menetralkan suasana, aku berusaha melemparkan senyum ramah kepada beberapa penumpang yang tampak sesekali memperhatikan keberadaanku.

Semakin menjauhi Stasiun Vyttila, suasana gerbong semakin penuh, tampak kebanyakan dari mereka adalah karyawan yang sedang dalam perjalanan pulang dari kantor mereka masing-masing. Sungguh waktu yang tepat bagiku untuk mencicip transportasi kebanggan warga Kerala sore itu karena aku menaikinya tepat pada jam-jam sibuk masyarakat lokal dalam menggunakan MRT.

Tak terasa, Kochi Metro semakin mendekat ke Stasiun Aluva yang merupakan stasiun paling ujung dari rute reguler Metro Kochi. Aku pun bersiap turun…. 

Aku masih berjarak lima belas kilometer dari penginapan, jadi aku masih harus melanjutkan perjalanan menuju Aerotropolis Nedumbassery menggunkan airport bus.

Begitu Kochi Metro menghentikan segenap rodanya, aku segera menuruni lantai atas stasiun untuk menuju jalan raya demi mencegat airport bus yang akan melewati Stasiun Aluva.

Terimakasih Kochi Metro yang sudah memberikan pengalaman berharga dalam perjalananku di Kerala…

Kisah Selanjutmya—->

Sejenak Mengintip Vypeen Island

<—-Kisah Sebelumnya

Seturunnya dari ferry, aku mengibarkan bendera putih ketika bernegosiasi dengan perut….Aku memutuskan berburu porsi tambahan untuk meredam protesnya.

Menyibak antrian penumpang di sepanjang jalan menikung keluar dari Vypeen Ferry Port, aku dipertemukan dengan sebuah shopping complex. Aku bergegas menyambanginya demi mencari apapun yang bisa dimakan dalam waktu cepat.

Di kios paling ujung, terdekat dengan sisi pelabuhan, aku melihat keberadaan sebuah kios kecil yang mendisplay kue-kuean khas India. Tanpa ragu aku mendekatinya dan sesampai di depan etalase aku mulai memilih jenis kue yang sekiranya cocok dengan lidah.

Tak lama….Seorang anak, sepertinya masih bersekolah dasar, datang dari ruang belakang. Dia berdiri tersenyum melihat dan menungguku memilih kue yang hendak kubeli.

Setelah membalas senyum dan menatap wajah lucunya, aku mulai meluruskan jari telunjuk, “this…this…this…this…this”, aku menunjuk lima buah kue berbeda berukuran tak terlalu besar.

Alamak…..Ya, Allah…..Ya, Rabbi…..

Anak itu dengan ringannnya, mengambil kantong plastik, lalu dengan tangan telanjang menyomoti kue itu satu persatu dan memasukkannya ke dalamnya.

Aku tersenyum kecut memperhatikan aksinya, “Mudah-mudahan dari ruang belakang tadi, nih bocah tidak dari toilet”, harapan terakhir kulontarkan sembari melihat wajahnya yang ramah tanpa dosa itu.

Twenty four Rupee, Sir”, dia mengangkat lurus tangannya menyerahkan kantong kue itu dengan tersenyum lebar dan memperlihatkan gigi kelincinya.

Oh, Okay….This…”, aku menyerahkan uang sembari melihat wajahnya dan melemparkan senyum selebar-lebarnya, “Aku memaafkanmu, nak”, batinku menambahkan.

Keluar dari kios, mataku menyapu sekitar, mencari tempat duduk yang bisa kugunakan untuk menyantap kue basah itu. Tetapi aku tak mampu menemukannya. Kuputuskan saja menuju ke area rindang di bawah pohon.

Membuka ikatan plastik berisi lima potong kue, kemudian aku menyantap tiga diantaranya sembari berdiri….Sungguh tak sholeh, jangan ditiru ya gaya makan seperti itu !.

Berhasil meredam lapar, aku memutuskan meyimpan kue tersisa ke dalam folding bag.

Kini aku sudah kehilangan banyak waktu. Secara keseluruhan untuk tiba kembali di Kochi Airport Bus Terminal hanya tersisa waktu sekitar satu setengah jam dihitung mundur.

Di depan sana, antrian panjang kendaran yang akan mengantri menaiki ferry menuju Fort Kochi sungguh membuat bising suasana. Kegemaran warga India membunyikan klakson lah yang menyebabkannya demikian.

Aku memutuskan melangkahkan kaki menuju jalanan utama Vypeen Island yang membelah memanjang dari utara hingga ke selatan pulau itu tepat di tengahnya….Vypeen-Munapam Road, namanya.

Hello, brother….Welcome to Vypeen”, seorang pemuda tanggung dengan kacamata raybannya menyapaku dengan mengeluarkan kepala dari mobil sedannya yang terjebak dalam antrian menuju ferry.

Hello, brooo….Nice place”, aku menjawabnya balik dan kebetulan juga mengenakan kecamata rayban. Aku tak mau kalah ganteng darinya tentunya….Yuhuuu.

Terkadang memang kita harus menampilkan kepercayaan diri untuk menunjukkan bahwa kita tak takut menjelajahi tempat asing. Tentunya tetap saja bahwa penjelajahan itu harus dilakukan dengan perhitungan yang tepat dan aman.

Saatnya meninggalkan dermaga dan menuju ke pusat Vypeen Island.
Yukz….Cari kue dulu !
Antrian panjang menuju Vypeen Ferry Port.
Salah satu gereja di Vypeen Island.
Kamu berani ga jalan sendirian di tempat sepi kek gitu?
Rumah salah satu warga yang tampaknya sangat religius.

Aku kini sudah semakin jauh dari dermaga dan semakin menuju ke tengah pulau, suasana jalanan semakin sepi. Sejujurnya aku sendiri mulai sedikit khawatir dengan kondisi itu. Tetapi waktu untuk mengenal Vypeen Island hanya kali ini saja, aku menguatkan diri untuk tak akan melewatkanya hanya karena rasa takut.

Aku melanjutkan langkah, menikmati suasana pulau dengan sesekali berhenti  untuk mengambil gambar ketika menemukan bangunan-bangunan unik. Gereja dan kuil Hindu mudah sekali kutemukan di sepanjang jalan.

“Hello Sir, do you know, where is the Kottenkerril Devaki Krishna Temple?” , aku bertanya kepada seorang lelaki setengah baya berperut buncit dan kumis melingkar yang gagah khas India.

“No temple here, Sir….Maybe church?” , dia menjelaskan sembari membuka tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Oh, thank you, Sir” , aku cepat mengakhiri percakapan. Tentu akan susah berbicara dengan orang yang memang benar-benar tak tahu lokasi. Lebih baik aku melanjutkan perjalanan kembali. Aku memutuskan untuk tak harus menuju ke kuil itu.

Kali ini aku hanya bergerak menuruti langkah kaki. Semampu mengayun langkah dan menikmati suasana sepanjang perjalanan. Tak ada tempat khusus yang akan kutuju. Aku hanya akan menghabiskan waktu tersisa menelusuri jalanan utama Vypeen Island.

Aku menulusuri jalanan sejauh tiga kilometer, langkah demi langkah kuayunkan demi melihat atmosfer sekitar. Sembari terus berusaha melawan kekhawatiran di tengah lengangnya jalanan.

Tetapi perjalanan tetaplah perjalanan, selalu ada cerita lucu, menakutkan ataupun menyenangkan. Kini aku menemukan satu insiden yang sedikit tak mengenakkan ketika seorang bule beradu mulut dengan sopir bajaj di sebuah sisi jalan.

Dugaanku adalah si turis merasa dikerjai oleh si tukang bajaj dan si turis meminta haknya untuk diantarkan ke tujuan yang dimaksud.

Maka di akir perkelahian mulut itu, si pengemudi bajaj tampak mengalah dan menuruti keinginan si penumpangnya.

Aku hanya menyunggingkan senyum atas peristiwa itu.

TIba di pertengahan area Vypeen Island, akhirnya aku segera memutuskan untuk kembali lagi menuju dermaga demi mengakhiri petualangan mengeksplorasi Vypeen Island. Aku harus segera menangkap keberangkatan airport bus terdekat sebelum aku kehilangan kesempatan untuk kembali ke penginapan yang jaraknya empat puluh kilometer di utara.

Kisah Selanjutnya—->

Ferry Menuju Vypeen

<—-Kisah Sebelumnya

Lepas pukul tiga sore, aku mulai meninggalkan bibir pantai. Melangkah cepat menuyusuri River Road

Tetapi gundah menggelayuti diri. Aku terganggu dengan opsi. Balik ke penginapan yang jauhnya empat puluh kilometer di utara atau melanjutkan eksplorasi hingga limit waktu?. Dua pilihan yang membimbangkan.

Aku menunduk….Melangkah pelan….Memikirkan benar-benar opsi sulit itu hingga tak terasa semakin dekat dengan Kochi Airport Bus Terminal.

Sayang untuk pulang terlalu dini….Aku ingin melihat Vypeen”, keputusan telah di ambil, kegalauan terpaksa lindap.

Menengok sekejap airport bus yang sebentar lagi angkat kaki meninggalkan Fort Kochi, aku mengabaikannya, lalu kembali mantap menatap lurus ke depan.

Berwisata di kota pesisir tak kan lengkap tanpa mencoba armada perairannya”, aku meyakinkan diri setelah mengambil keputusan berani untuk berjudi dengan waktu.

Kuncinya, aku harus kembali ke titik awal dalam tiga setengah jam. Jika tak sanggup kulakukan, maka kehilangan kesempatan menangkap bus terakhir menjadi ganjaran setimpalnya. Untuk itu, setidaknya aku akan aman mengambil waktu dua jam saja untuk mengintip sejenak atmosfer Vypeen.

Kembali menyusur Bellar Road, aku bergegas menuju dermaga. Beruntung, letaknya tak terlalu jauh, hanya berjarak tak lebih dari seratus meter dari Kochi Airport Bus Terminal.

Tak lama kemudian, tibalah aku di dermaga. Suasana sangat ramai. Mungkin inilah tempat teramai yang kutemukan di Fort Kochi. Kesibukan penumpang nampak jelas, fragmen-fragmen adegan berlangsung begitu cepat. Setiap penumpang tampak fokus pada ihwal masing-masing. Mungkin hanya aku yang tak memiliki kesibukan berarti sore itu.

Aku mulai berburu tiket untuk menaiki ferry menuju Vypeen Island. Menemukan konter penjualan tiket. Maka tak seperti yang kuduga. Konter itu berpenampilan sangat sederhana, hanya berbentuk posko kecil yang didalamnya hanya muat untuk berdiri bagi dua petugas yang melayani penjualan tiket. Oleh karenanya, antrian pun mengular hingga ke ujung jalan, membuatku harus bersabar untuk bisa menaiki ferry yang mulai memasukkan muatannya.

Aku akan tertinggal….”, aku dengan cepat memvonis diri mengingat jarak antrian berdiri yang masih jauh dari konter.

Benar saja, ferry itu telah berlayar dan hanya meninggalkan jejak gelombang saja ketika aku baru saja mendapatkan tiket. Tak ada yang bisa kuperbuat. Aku mengambil tempat berdiri di salah satu sisi dermaga demi menunggu kedatangan ferry berikutnya.

Beruntung tak lama, dalam lima belas menit menunggu, ferry datang. Begitu ferry merapat dan membuka lambung maka dengan cepat kendaraan roda empat, roda dua, bajaj dan tentu para penumpang mulai merangsek ke dalamnya.

Ferry itu tak besar, sehingga dalam hitungan menit, seluruh geladak telah penuh oleh muatan. Tak ada kabin, semua muatan tertumpah di geladak tunggal. Sementara segenap penumpang duduk di sepanjang bangku di sisi kiri-kanan geladak, yang tak kebagian bangku terpaksa harus berdiri. Sedangkan geladak bagian tengah dipenuhi oleh kendaraan yang para penumpangnya tampak enggan untuk turun. Sebuah bajaj yang terparkir di geladak pun tampak dijejali oleh para pelancong.

Mendengar peluit yang tetiba berbunyi kencang, maka ferry menanggapinya dengan mengeluarkan bunyi klakson yang memekakkan telinga. Pintu geladak mulai ditutup dan gerung mesin mulai terdengar lebih kencang.

Aku memilih berdiri di ujug geladak.
Tuh kan…..Pada malas untuk turun.
Pelayaran pendek seharga 3 Rupee.
Sudah tiba….Ferry sedang unloading.
Penampakan utuh ferry dari sisi dermaga.

Ferry mulai berlayar di perairan Fort Kochi. Membelah perairan yang di beberapa titik tampak diserpihi oleh guguran sampah organik. Jarak antara Fort Kochi ke Vypeen Island tidaklah jauh, hanya berkisar setengah kilometer saja. Sehingga tak membutuhkan waktu lama untuk tiba.

Begitu ferry merapat di Vypeen Ferry Port, aku segera beranjak, mengikuti arus penumpang dan kendaraan yang mengantri keluar dari geladak.

Kini aku telah tiba di Vypeen Island…..

Tapi….

Perutku lapar lagi…..

Sepotong jagung dan es krim yang kulahap beberapa jam lalu ternyata tak mampu menggantikan porsi makan siangku…..

Kisah Selanjutnya—->

Atmosfer Milenial Vasco da Gama Square

<—-Kisah Sebelumnya

Menjelang pukul dua siang, aku meninggalkan Santa Cruz Cathedral Basilica. Masifnya pamflet yang mengabarkan perihal pentas kesenian tari tradisional, membuatku penasaran untuk mencari keberadaan Kerala Kathakali Centre yang merupakan pusat pertunjukan seni tari tersebut.

Pencarian itu harus dilakukan karena aku tak akan memiliki kesempatan yang cukup untuk menyaksikan pertunjukannya secara langsung. Akan sedikit terbayarkan rasa penasaran itu apabila aku bisa menyambangi secara langsung tempat pertunjukan tersebut, jika beruntung aku bisa melihat persiapan yang dilakukan oleh para pelaku pertunjukan ataupun kesibukan para crew yang akan terlibat di dalamnya.

Rasa penasaran itu menghantarkanku untuk kembali turun ke jalanan dan mulai mencari keberadaan tempat pertunjukan seni tari itu. Memilih menulusuri Fosse Road, aku melangkahkan kaki menuju barat, tetap saja ini adalah jalan yang berbeda dari rute yang kutempuh sebelumnya. Sehingga sudah sekian banyak jalan di Fort Kochi yang kutapaki hingga siang menjelang sore itu.

Fosse Road yang kali ini kulewati ternyata hanya memiliki dua blok dan di akhir ruasnya, tepatnya di Kunnumpuram Junction, aku memutuskan melangkah ke utara memasuk TM Muhammad Road.

Pencarian itu menjadi semakin sulit rupanya….

Lelah mencari dan tak kunjung menemukannya, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang pemilik toko di ruas jalan itu. Tetapi jawabannya sungguh membuat heran karena dia bahkan hanya menggeleng-gelengkan kepala dan tidak mengetahui tempat itu. Sudah kupastikan juga bahwa dia mengerti Bahasa Inggris dan kami berdua bercakap saling memahami….”Walah, alamat ini mah”, aku membatin kecut.

Memang begitu biasanya, “semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”. Kondisi ini pernah menjadi cerminan diri sendiri dahulu kala. Sebelum menggeluti dunia traveling, ketika diminta menunjukkan arah ke Taman Ismail Marzuki oleh seorang bule, aku menggeleng tak tahu, padahal aku sedang berjarak tak lebih dari setengah kilometer dari destinasi itu….Parah kamu, Donny!

Alhasil, kecapean karena terus melangkah ditambah dengan akan segera hadirnya senja, aku memutuskan untuk membatalkan pencarian itu. “Lebih baik fokus ke destinasi berikutnya saja”, aku membatin dalam peluh yang semakin mengucur deras.

Menghabiskan ruas jalan tersisa, tibalah aku di jalan melintang terdekat dengan pantai. Adalah Bellar Road yang sekarang kutapaki.

Kini aku menuruti langkah kaki menuju timur. Maksud hati yang mendominasi adalah keinginan untuk menikmati pantai utama yang menjadi tempat favorit bagi warga Fort Kochi dalam menutup senja.

Aku sungguh menikmati kerindangan  Bellar Road sebelum tiba di pertigaan yang menjadi pertemuan Bellar Road itu sendiri dengan KB Jacob Road.

Kini aku kembali ke titik awal….

Aku benar-benar sudah membuat jalur melingkar melintasi Fort Kochi sedari tiba.

Gerung mesin airport bus terdengar langsam di pojok jalan sembari menanti penumpangnya. Tapi aku belum mau pulang….Aku belum mau usai mengeksplorasi.

Terus saja melangkah ke timur, aku kembali mengulangi ruas River Road yang semakin ramai saja dibandingkan kondisi siangnya tadi. Kedai-kedai souvenir sisi selatan Nehru Park for Children tampak diserbu wisatawan lokal ataupun mancanegara.

Lalu langkahku terhenti pada area lapang berdasar pavling block dan dikelilingi pepohonan besar. Area ini sepertinya menjadi tempat idola kaum muda Fort Kochi, tempat ini sepertinya menjadi lokasi meeting point, nongkrong ataupun tempat untuk sekedar melakukan killing time. Tampak para milenial duduk bercengkerama dengan sesama di tempat duduk beton yang dibuat melingkari sebuah pohon besar.

Pelataran itu terletak tepat di sudut meruncing di timur Nehru Park for Children yang secara kontur berbentuk persis segitiga sama sisi. Area ini dibatasi oleh River Road di sisi selatan dan Beach Walkway di sisi utara. Suasanan pelataran juga berasa lebih hidup karena tersematnya berbagai mural yang tergambar di batang pepohonan.

River Road menuju Vasco da Gama Square.
Semakin sore semakin ramai di sisi selatan Vasco da Gama Square.
Ini dia pelataran utama Vasco da Gama Square di tepian pantai.
Mural di pepohonannya lucu ih….
Sisi utara Vasco da Gama yang berbatasan langsung dengan pantai.
Lapak ikan di sisi utara Vasco da Gama.

Ketika area di sekitar trotoar River Road dipenuhi banyak kedai street food dan souvenir maka area di sekitar Beach Walkway dimanfaatkan oleh deretan lapak penjual ikan laut yang tampak masih segar karena baru diturunkan dari perahu-perahu nelayan atau hasil tangkapan dari chinese fishing nets yang banyak terinstalasi di bibir pantai.

Inilah Vasco da Gama Squre yang menjadi oasis berharga bagi milenial Fort Kochi untuk menikmati keindahan pesisir pantai.

Belum….Aku belum sampai di pantai utamanya……

Kisah Selanjutnya—->

Keindahan Arsitektur Gotik di Santa Cruz Cathedral Basilica

<—-Kisah Sebelumnya

Menghindari jalanan yang sama saat menuju Saint Francis Church, aku merubah haluan. Kupilih menapaki Ridsdale Road yang di sepanjang kanannya tertampil Parade Ground yang memainkan peran sebagai bumi perkemahan bagi warga Fort Kochi, sangat lapang dengan rumput nan menghijau.

Hanya dalam dua blok, aku mengikuti arus di tikungan untuk bergabung dengan pejalan kaki lain di Quiros Street yang di ujung selatannya dibatasi oleh taman bermain dengan dua pohon besar nan rindang saling berdampingan. Kedua pohon tua itu seakan membentuk sebuah gerbang besar sebagai pintu masuk taman. Taman tersebut berjuluk Santa Cruz Ground….Mirip dengan nama destinasi yang akan menjadi tujuan langkahku berikutnya.

Aku menikmati rindangnya taman dengan berjalan menyejajarinya di sebelah utara melalui Santa Cruz Road. Sepertinya taman itu sering digunakan untuk bermain kriket, tampak jelas dari markah-markah yang tertera di dalam taman.

Panjang taman bermain itu tak lebih dari dua ratus meter. Berjalan beberapa waktu, akhirnya aku tiba di ujungnya yang terpotong oleh KB Jacob Road. Dan jika ditarik garis lurus ke utara, maka KB Jacob Road ini akan menemukanku dengan Kochi Airport Bus Terminal, tempatku turun beberapa jam lalu saat tiba pertama kalinya di Kochi.

Artinya apa?….

Artinya, sejak jam sebelas siang tadi aku sudah melakukan perjalanan kaki dengan jalur melingkar mengelilingi Fort Kochi.

Apakah aku merasa capek?….Tidak, justru aku semakin bersemangat.

Di depan sana, berkisar pada jarak seratus meter, destinasi berikutnya yang kutuju telah menunggu. Menyisir KB Jacob Road aku melangkah cepat menujunya.

Sewaktu kemudian, aku telah berada di gereja kedua yang kukunjungi selama di Fort Kochi. Gereja ini bernama Santa Cruz Cathedral Basilica. Setibanya, aku diam terpaku mengamati dari sebuah titik di halaman gereja ketika semua turis sibuk keluar masuk bangunan gereja tersebut.

Tak tampak yang spesial memang apabila gereja ini hanya dipandang dari luar. Oleh karenanya aku mencoba mencari tahu apakah ada yang terlihat istimewa di dalam bangunan sana. Sebelum memasuki pintu gereja aku mencoba membaca dengan seksama peraturan yang harus ditaati. Peraturan itu tertulis pada sebuah batu prasasti berukuran kecil,

Gereja ini adalah tempat peribadatan dan bukanlah sebuah museum. Waktu kunjungan adalah pukul 09:00 – 13:00 & 14:30 – 17:30 (Senin sampai Sabtu). Khusus hari Minggu karena ada aktivitas ibadah maka gereja bisa dikunjungi pada pukul 10:30 – 13:00. Pada Jum’at minggu pertama setiap bulannya akan diselenggarakan adorasi sehingga pengunjung tidak diizinkan masuk. Selama di dalam gereja dilarang menggunakan telepon genggam

Begitulah aturan yang tertera dan aku cukup maklum memahaminya. Hanya saja, aku tiba di gereja ini pada hari Kamis sekitar pukul setengah dua siang, Seharusnya gereja ini sudah ditutup untuk wisatawan, tetapi aku sungguh bersyukur karena wisatawan masih diizinkan masuk….Oh, beruntungnya kamu, Donny.

Memasuki pintu, apa yang menjadi ekspektasiku atas gereja Katedral ini sungguh menjadi kenyataan.

Gereja Katedral dengan dua menara.
Waow….Indah bukan?
Lihat patung-patung sakral itu !
Luar biasa….
St. Mary’s Canossian Convent…Sebuah biara di sisi kiri gereja.
Sebuah paviliun yang merupakan bangunan memorial di sisi kanan gerja.

Interior luhur yang mengadopsi seni Gotik khas Romawi menjadikan gereja ini tersemat nilai seni yang tinggi. Sementara di setiap tiang bangunan, terpajang patung-patung yang menggambarkan tokoh-tokoh yang ada di dalam Alkitab. Konon yang membuat interior gereja ini adalah seniman asal Italia yang bernama Fra Antonio Moscheni. Tetapi beliau meninggal tepat empat hari sebelum gereja ditasbihkan, yaitu pada tahun 1905. Inilah tahun dimana gereja katedral telah selesai dibangun ulang setelah terakhir kali runtuh oleh pasukan Inggris. Sedangkan gereja ini mendapatkan status Basilika pada tahun 1984 melalui dekrit khusus Paus Yohanes Paulus II.

Santa Cruz Cathedral Basilika adalah satu dari dua gereja yang selamat dari penghancuran seluruh gereja Katolik pada zaman kolonialisme Belanda di era 1660-an. Oleh Belanda, bangunan gereja ini dijadikan gudang senjata dan kemudian hancur oleh tentara Inggris yang merebut Kochi dari tangan Belanda.

Nah, begitulah kisah kunjunganku di Santa Cruz Cathedral Basilica.

Cukup menarik, bukan?

Kisah Selanjutnya—->

Berjumpa Petualang Ulung di Saint Francis Church

<—-Kisah Sebelumnya

Di jalur keluar Princess Street aku telah memutuskan untuk mengambil arah kanan demi melanjutkan eksplorasi.

Walau panas sudah tak semenyengat beberapa jam sebelumnya, tetapi tetap saja paparan surya tanpa jeda membuat badan bekeringat dan kulit samar terbakar. Namun hal tersebut tak membuatku berjalan terburu. Rasa ingin tahu sekitar mengalahkan segalanya.

Di sebuah sudut, bangunan klasik berwarna putih yang difungsikan sebagai Tourist Information Centre tampak dijejali wisatawan asing yang mungkin sedang berburu informasi mengenai Fort Kochi, sebagian besar dari mereka adalah turis asal Eropa.

Aku sendiri enggan untuk singgah di bangunan itu, lalu lebih memilih menapaki Bastian Street sisi timur. Identik dengan Princess Street, jalanan yang kulalui ini masih didominasi oleh bangunan-bangunan seperti hotel, cafe dan restoran, toko buku dan souvenir serta toko seni dan kerajinan tangan. Hanya satu yang membedakan, arus wisatawan tak lagi sepadat di Princess Street.

Tiba diujung jalan, bangunan besar yang berfungsi sebagai kantor India Post menyambutku. Tentu bukan bangunan itu yang menjadi tujuan eksplorasi berikutnya, melainkan sebuah bangunan peribadatan yang terletak persis di seberang timurnya.

Enggan memutar jalan, aku memasuki sebuah lapangan rumput dan kemudian menyusuri pagar tembok bangunan peribadatan sisi selatan hingga benar-benar sampai di gerbang depannya.

Inilah Saint Francis CSI Church, salah satu gereja Eropa tertua di India. CSI sendiri merupakan inisial dari Church of South India yang merupakan perkumpulan gereja protestan di India.

Sebelum memasuki bangunan gereja, aku tertegun pada sebuah prasasti dua bahasa yang menjelaskan detail tentang Saint Francis Church.

Bahwa Saint Francis Church adalah landmark utama di Fort Kochi yang dibangun pada abad ke-16. Sejarah yang dimiliki gereja ini sangat merepresentasikan sepak terjang kolonial dalam menanamkan pengaruh kekuatan Eropa di India, yang dimulai dari abad ke-15 hingga abad ke-20

Tulisan lainnya adalah:

Unni Rama Koil I, sang penguasa Kochi memberikan izin kepada Kapten Cabral asal Portugis untuk membangun sebuah benteng dan gereja di muara sungai

Masih di depan gereja….

Aku mengamati sebuah tugu berprasasti dengan ketinggian dua setengah meter yang didirikan tepat di pusat halaman. Tak mau menginjak rumput halaman, maka aku urung membaca prasasti kecil itu.

Kini saatnya masuk ke dalam gereja….

Memasuki pintu, aku dihadapkan pada deretan kursi tunggu memanjang saling berhadapan di sisi kiri kanan. Seorang petugas tampak memberikan penjelasan pelan bahwa setiap pengunjung harus melepas sepatunya sebelum masuk, melarang pengunjung mengambil video dan meminta pengunjung untuk mematikan telepon genggam.

Sebagai pengunjung yang baik tentu aku menghormati aturan itu. Karena toh aku hanyalah seorang penikmat perjalanan, tak perlu banyak komplain. Nikmati saja aturannya…..

Tetapi mendadak sebelum melangkah masuk, aku teringat sesuatu ketika berada di teras gereja. Dinding teras tampak dipenuhi oleh lembaran-lembaran batu prasasti yang pernah aku lihat di Museum Wayang di Kota Tua Jakarta….Sangat mirip.

Pagar gereja….Tebel beud, kan?
Saint Francis Church tampak depan.
Teras gereja.
Nah, stone inscription kek gini mirip-mirip obyek yang sama di Museum Wayang, gaes.

Nah….

Kejutan paling penting dalam eksplorasi ini ternyata kutemukan di dalam gereja….

Tanpa kusadari, langkah kakiku dalam menikmati interior gereja terhenti pada sebuah makam di sisi kanan ruangan. Setelah kubaca beberapa batu prasasti di sekitar makam, aku baru sadar bahwa itulah makam Sang Petualang ulung asal Portugis, yaitu Vasco da Gama sang penemu jalur laut dari Eropa ke India.

Aku juga tak akan pernah memahami jika tak mengunjungi makam ini. Diceritakan bahwa Vasco da Gama meninggal di Kochi karena terkena malaria pada tahun 1524, tepatnya pada pelayaran ketiganya ke India. Untuk kemudian jenasahnya dikebumikan di Saint Francis Church ini.

Tetapi kan Vasco da Gama adalah tokoh ternama di Portugal….Tentunya kisah kepahlawanannya mendapat tempat tersendiri di mata rakyat Portugis. Oleh karenanya, empat belas tahun setelah meninggal, jenazahnya dipindahkan ke Lisbon, ibukota Portugis.

Bagian dalam gereja.
Bertemu sang petualang sejati….Makam Vasco da Gama.
Bagian samping gereja.

Sungguh perjalanan yang menghadirkan kejutan….

Itulah kenapa aku mencintai petualangan.

Kisah Selanjutnya—->

Menduga Hingar Bingar Princess Street

<—-Kisah Sebelumnya

Setelah beberapa waktu duduk bersantai di Nehru Park for Children, aku keluar dari area taman tepat di gerbang pojok selatan yang tepat menghadap Jawahar Park.

Cukup sudah….Tak perlu mengunjungi taman sebelah, waktuku tak lagi cukup”, aku membatin ketika berdiri tepat di sebuah perempatan.

Berdiri tegak, mataku lekat memandang ke ruas jalan di utara, selarik jalur dengan deret bangunan berketinggian rendah dan model klasik berdiri di kedua sisinya.

“Princess Street…”, begitulah aku membaca sebuah papan nama jalan berwarna hijau yang di beberapa permukaannya telah diakuisisi karat. Sementara itu, slogan promosi pariwisata Negara Bagian Kerala tersemat pada sebuah papan putih di bawahnya. “God’s Own Country”, begitulah aku membacanya.

Aku sudah bersiap untuk menyusuri jalan legendaris itu….

Langkahku menyusuri Princess Street bermula dari sebuah toko di sisi kiri jalan yang menjual berbagai karya seni dan kerajinan tangan. Toko itu bernama Little India dan berdampingan dengan toko Royal Heritage yang menjual produk yang sama. Sedangkan di seberangnya, sebuah penginapan dengan nama The Travellers Inn tampak klasik bersebelahan dengan Chariot Beach Restaurant.

Sejauh mataku memandang, jalan selebar lima meter itu, bahunya langsung berbatasan dengan bangunan-bangunan tempoe doeloe yang didirikan mengikuti kontur jalanan di kedua sisi. Terik yang sudah tak semenyengat beberapa waktu lalu masih saja terasa sebagai konsekuensi dari tiadanya pepohonan yang menaungi jalanan, kecuali sebuah pohon yang berdiri kokoh tepat di depan Fort Kochi Hotel.

Princess Street merupakan pusat dari area Fort Kochi Heritage di selatan India. Bangunan-bangunan klasik bergaya Eropa tersebut pada masa sekarang telah dialihfungsikan sebagai homestay, toko alat kesenian, bookstore, restoran atau agen perjalanan wisata.  

Princess Street juga menjadi jalan yang dibangun pertama kali di area ini. Siang itu, aku mencium bau harum dari tempat pembuatan kue di sepanjang jalan. Dan konon, pada malam hari, turis dan penduduk lokal akan merayakan kehadiran malam dengan dinner, dansa dan pesta dibawah meriahnya siraman lampu warna-warni.

Inilah jalur legenda sepanjang hampir tiga ratus meter yang berpangkal dari River Road di utara dan berakhir di Peter Celli Street di selatan yang ditandai dengan keberadaan cafe kenamaan, yaitu Loafers Corner Cafe

Kupelankan langkah ketika berada tepat di pertengahan ruas….

Harusnya aku tiba di sini saat malam, pasti tempat ini akan menjadi tempat menarik untuk melepas lelah setelah berkeliling Fort Kochi seharian….Hmmhhh”, aku terus bergumam menyayangkan keadaan.

Toko seni dan kerajinan tangan.
Fort Kochi Hotel (kanan berwarna kuning).

Hampir pukul satu siang….

Genangan tipis air tampak menggenangi beberapa titik jalanan, aku rasa itu hanyalah air yang digunakan untuk menyiram jalanan demi mengurangi debu dan hawa panas tengah hari tadi. Satu dua kendaraan roda empat tampak berpapasan melintasi jalan dan beberapa unit bajaj tampak terparkir di sembarang titik di tepian jalan.

Sementara spanduk-spanduk promosi pertunjukan tarian klasik India tampak menempel di beberapa tiang listrik yang tegak berdiri di sepanjang sisi jalan. Aku sudah faham bahwa pertunjukan tari di Fort Kochi biasanya diselenggarakan saat malam tiba, di sekitaran pukul delapan.

Biasanya Fort Kochi akan menyuguhkan beberapa pertunjukan kesenian tari lokal, seperti Mohiniyattom, Kuchuppudi dan Bharathanatyam. Satu lagi, selain hiruk pikuk Princess Street, aku juga akan melewatkan pertunjukan seni itu tentunya. Malam nanti, aku pastinya akan berada di penginapan yang jaraknya lebih dari lima puluh kilometer dari Fort Kochi. Aku harus lebih mengutamakan penerbangan menuju Dubai di keesokan paginya. Setahuku, pertunjukan tarian lokal itu akan di selenggarakan di Kerala Kathakali Centre yang lokasinya berada di belakang Basilica Church.

Tak terasa perjalanan menyusuri Princess Street telah mengantarkanku untuk tiba di ujung selatan jalan. Aku kini berdiri di depan Loafers Corner Cafe yang merupakan cafe kenamaan yang tak pernah sepi pengunjung.

Ga ngafe, Don? …..”, hati kecilku berbisik.

Ya kagak, lah….Wkwkwkwk”, hati kecilku pulalah yang menjawab pertanyaannya sendiri.

Beberapa cafe dan restoran di sepanjang Princess Street).
Silahkan kalau mau cari novel !….Biar ndak kesepian.

Kini aku sudah berada di sebuah perempatan jalan dan harus memutuskan kembali, kemanakah selanjutnya kaki akan melangkah?

Kisah Selanjutnya—->

Sentuhan Portugis di Sepanjang Nehru Park for Children

<—-Kisah Sebelumnya

Yang harus kuindahkan adalah rasa hati yang sesungguhnya belum puas dalam menyaksikan kesibukan para nelayan lokal yang larut dengan kesibukannya mengurusi hasil tangkapan.

Surya sudah mulai tergelincir dari titik tertingginya, perlahan kehilangan daya sengat, tunduk oleh senja yang mulai menguasai hari.

Sedangkan aku dengan berat hati, bangkit dari tempat duduk di bawah tenda yang didirikan beberapa depa dari bibir pantai. Sewaktu kemudian aku sudah menggabungkan diri dalam arus River Road yang semakin ramai. Arus pelancong sepertinya merujuk pada persiapan atraksi alam yang tak lain adalah tenggelamnya surya di ufuk barat, itu semua akan terjadi dalam beberapa jam ke depan. Langit yang cerah tampaknya akan menyokong penuh atraksi alam itu nanti sore.

Tak hanya para pelancong, lengsernya surya dari tahta tertinggi dipadukan dengan teduhnya pesisir Fort Kochi juga membuat sekumpulan gagak hinggap di tanah dan turut serta menikmati suasana. Satwa hitam itu tampak larut dalam kegembiraan dengan menyibukkan diri mengais santapan dari sisa-sisa makanan yang terjatuh dari genggaman para pelancong, satu dua diantaranya tampak sibuk mengumpulkan guguran akar gantung yang kuduga akan digunakan untuk membuat sarang dan sebagian sisanya hanya sibuk berkicau mensyukuri sejuknya sore.

Untuk kemudian aku tertegun pada sebuah prasasti di sebuah sisi jalan. Aku mengangguk-angguk membaca goresan demi goresan yang tertoreh di sebidang prasasti tersebut. Sementara pelancong lain turut merapat mengikuti tindak tandukku. Tentu mereka pun ingin memahami informasi penting yang tertera di prasasti. Anggap saja, pada akhirnya aku dan para pelancong memahaminya dengan cukup baik

Kamu sendiri faham ga dengan prasasti seperti ini?…..Hahaha.

Mari kita secara paksa menyimpulkan bahwa prasasti tersebut adalah tanda pengesahan sebidang taman yang ada di depanku. Di dalam sana, warga lokal tampak menikmati sejuknya taman dengan bersandar di bangku-bangku yang tersedia, sebagian yang lain tampak duduk di bangku-bangku beton yang tersebar di beberapa titik..

Taman kota……Kenapa aku suka menghadirkan diri di landskap jenis itu?.

Gaes…..Untuk mengetahui atmosfer kehidupan kelas menengah ke bawah, maka menilik taman kota di wilayah yang bersangkutan bisa menjadi langkah terefektif selain mengunjungi pasar tradisionalnya. Oleh karenanya, taman kota adalah jenis destinasi yang tak bisa lepas dari sasaran singgahku dimanapun aku melakukan eksplorasi.

Masuk ke dalamnya, di segenap titik, sculpture ikan tampak mendominasi arsitektur taman yang menurut pengamatanku memiliki luasan tak kurang dari dua hektar.

Ikan?…..

Tentu bisa ditarik kesimpulan…..Ikan menjadi perlambang mata pencaharian utama masyarakat Fort Kochi yang menghuni di sepanjang garis Pantai Malabar.

Tuanya pepohonan yang menaungi seluruh taman dari sengatan surya mungkin bisa menggambarkan seberapa tua usia taman. Dan entah bagaimana meriahnya taman di gelap malam karena keberadaan tiang-tiang lampu di segenap penjuru.

Sesuai konsepnya yang diperuntukkan bagi anak-anak, sudah barang tentu wahana permainan anak-anak diinstalasi masif di sepanjang luasan taman. Prosotan, kursi putar dan ayunan menjadi wahana standar yang disediakan .

Gerbang taman sisi utara.
Patung ikan begituan banyak banget….Itu si anak pipis sembarangan kok ga di denda ya?….Wkwkwk.
Lihat warga lokal itu !
Anak-anak belum pada hadir….Mungkin sebentar lagi.
Nah, main kursi putar.
Posko Green Cochin Mission.
Bangunan khas Portugis yang ada sejak tahun 1800-an.
Duh pengen bingitz gua naikin tuh sepeda….Capek tahu jalan kaki muluk.

Mengambil duduk di salah satu bangku, aku dengan santainya menikmati keotentikan deretan bangunan bersejarah khas Portugis di seberang selatan. Bangunan-bangunan klasik itu berdiri anggun di sepanjang Tower Road meskipun telah beralih fungsi menjadi penginapan-penginapan bintang empat. Gaya klasik bangunan-bangunan Portugis itu seakan membawaku memasuki masa di abad ke-19. Sebut saja Koder House  yang dominan merah dan Old Harbour Hotel dominan putih yang merepresentasikan  sentuhan Eropa di pesisir Fort Kochi.

Sementara di sisi barat bagian dalam tampak keberadaan sebuah posko berwujud tenda besar dengan tajuk Green Cochin Mission. Inilah program yang digalakkan pemerintah kota sebagai gerakan utama untuk membebaskan Kochi dari bencana sampah kota. Ternyata tak hanya di tanah air, di India sama saja, sampah menjadi sebuah permasalahan pelik yang tak pernah tuntas terselesaikan.

Sementara di sisi utara, River Road tampak lebih ramai dengan kedai-kedai souvenir dan jajanan lokal. Lalu di timur taman adalah permulaan dari ruas jalan yang melegenda….Princess Street.

Yuk, kita telusuri Princess Street….Ada apakah gerangan?

Kisah Selanjutnya—->