Sejenak Mengintip Vypeen Island

<—-Kisah Sebelumnya

Seturunnya dari ferry, aku mengibarkan bendera putih ketika bernegosiasi dengan perut….Aku memutuskan berburu porsi tambahan untuk meredam protesnya.

Menyibak antrian penumpang di sepanjang jalan menikung keluar dari Vypeen Ferry Port, aku dipertemukan dengan sebuah shopping complex. Aku bergegas menyambanginya demi mencari apapun yang bisa dimakan dalam waktu cepat.

Di kios paling ujung, terdekat dengan sisi pelabuhan, aku melihat keberadaan sebuah kios kecil yang mendisplay kue-kuean khas India. Tanpa ragu aku mendekatinya dan sesampai di depan etalase aku mulai memilih jenis kue yang sekiranya cocok dengan lidah.

Tak lama….Seorang anak, sepertinya masih bersekolah dasar, datang dari ruang belakang. Dia berdiri tersenyum melihat dan menungguku memilih kue yang hendak kubeli.

Setelah membalas senyum dan menatap wajah lucunya, aku mulai meluruskan jari telunjuk, “this…this…this…this…this”, aku menunjuk lima buah kue berbeda berukuran tak terlalu besar.

Alamak…..Ya, Allah…..Ya, Rabbi…..

Anak itu dengan ringannnya, mengambil kantong plastik, lalu dengan tangan telanjang menyomoti kue itu satu persatu dan memasukkannya ke dalamnya.

Aku tersenyum kecut memperhatikan aksinya, “Mudah-mudahan dari ruang belakang tadi, nih bocah tidak dari toilet”, harapan terakhir kulontarkan sembari melihat wajahnya yang ramah tanpa dosa itu.

Twenty four Rupee, Sir”, dia mengangkat lurus tangannya menyerahkan kantong kue itu dengan tersenyum lebar dan memperlihatkan gigi kelincinya.

Oh, Okay….This…”, aku menyerahkan uang sembari melihat wajahnya dan melemparkan senyum selebar-lebarnya, “Aku memaafkanmu, nak”, batinku menambahkan.

Keluar dari kios, mataku menyapu sekitar, mencari tempat duduk yang bisa kugunakan untuk menyantap kue basah itu. Tetapi aku tak mampu menemukannya. Kuputuskan saja menuju ke area rindang di bawah pohon.

Membuka ikatan plastik berisi lima potong kue, kemudian aku menyantap tiga diantaranya sembari berdiri….Sungguh tak sholeh, jangan ditiru ya gaya makan seperti itu !.

Berhasil meredam lapar, aku memutuskan meyimpan kue tersisa ke dalam folding bag.

Kini aku sudah kehilangan banyak waktu. Secara keseluruhan untuk tiba kembali di Kochi Airport Bus Terminal hanya tersisa waktu sekitar satu setengah jam dihitung mundur.

Di depan sana, antrian panjang kendaran yang akan mengantri menaiki ferry menuju Fort Kochi sungguh membuat bising suasana. Kegemaran warga India membunyikan klakson lah yang menyebabkannya demikian.

Aku memutuskan melangkahkan kaki menuju jalanan utama Vypeen Island yang membelah memanjang dari utara hingga ke selatan pulau itu tepat di tengahnya….Vypeen-Munapam Road, namanya.

Hello, brother….Welcome to Vypeen”, seorang pemuda tanggung dengan kacamata raybannya menyapaku dengan mengeluarkan kepala dari mobil sedannya yang terjebak dalam antrian menuju ferry.

Hello, brooo….Nice place”, aku menjawabnya balik dan kebetulan juga mengenakan kecamata rayban. Aku tak mau kalah ganteng darinya tentunya….Yuhuuu.

Terkadang memang kita harus menampilkan kepercayaan diri untuk menunjukkan bahwa kita tak takut menjelajahi tempat asing. Tentunya tetap saja bahwa penjelajahan itu harus dilakukan dengan perhitungan yang tepat dan aman.

Saatnya meninggalkan dermaga dan menuju ke pusat Vypeen Island.
Yukz….Cari kue dulu !
Antrian panjang menuju Vypeen Ferry Port.
Salah satu gereja di Vypeen Island.
Kamu berani ga jalan sendirian di tempat sepi kek gitu?
Rumah salah satu warga yang tampaknya sangat religius.

Aku kini sudah semakin jauh dari dermaga dan semakin menuju ke tengah pulau, suasana jalanan semakin sepi. Sejujurnya aku sendiri mulai sedikit khawatir dengan kondisi itu. Tetapi waktu untuk mengenal Vypeen Island hanya kali ini saja, aku menguatkan diri untuk tak akan melewatkanya hanya karena rasa takut.

Aku melanjutkan langkah, menikmati suasana pulau dengan sesekali berhenti  untuk mengambil gambar ketika menemukan bangunan-bangunan unik. Gereja dan kuil Hindu mudah sekali kutemukan di sepanjang jalan.

“Hello Sir, do you know, where is the Kottenkerril Devaki Krishna Temple?” , aku bertanya kepada seorang lelaki setengah baya berperut buncit dan kumis melingkar yang gagah khas India.

“No temple here, Sir….Maybe church?” , dia menjelaskan sembari membuka tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Oh, thank you, Sir” , aku cepat mengakhiri percakapan. Tentu akan susah berbicara dengan orang yang memang benar-benar tak tahu lokasi. Lebih baik aku melanjutkan perjalanan kembali. Aku memutuskan untuk tak harus menuju ke kuil itu.

Kali ini aku hanya bergerak menuruti langkah kaki. Semampu mengayun langkah dan menikmati suasana sepanjang perjalanan. Tak ada tempat khusus yang akan kutuju. Aku hanya akan menghabiskan waktu tersisa menelusuri jalanan utama Vypeen Island.

Aku menulusuri jalanan sejauh tiga kilometer, langkah demi langkah kuayunkan demi melihat atmosfer sekitar. Sembari terus berusaha melawan kekhawatiran di tengah lengangnya jalanan.

Tetapi perjalanan tetaplah perjalanan, selalu ada cerita lucu, menakutkan ataupun menyenangkan. Kini aku menemukan satu insiden yang sedikit tak mengenakkan ketika seorang bule beradu mulut dengan sopir bajaj di sebuah sisi jalan.

Dugaanku adalah si turis merasa dikerjai oleh si tukang bajaj dan si turis meminta haknya untuk diantarkan ke tujuan yang dimaksud.

Maka di akir perkelahian mulut itu, si pengemudi bajaj tampak mengalah dan menuruti keinginan si penumpangnya.

Aku hanya menyunggingkan senyum atas peristiwa itu.

TIba di pertengahan area Vypeen Island, akhirnya aku segera memutuskan untuk kembali lagi menuju dermaga demi mengakhiri petualangan mengeksplorasi Vypeen Island. Aku harus segera menangkap keberangkatan airport bus terdekat sebelum aku kehilangan kesempatan untuk kembali ke penginapan yang jaraknya empat puluh kilometer di utara.

Kisah Selanjutnya—->