Salah Antrian di Departure Hall Dubai International Airport Terminal 1

<—-Kisah Sebelumnya

Tentu aku tak gentar untuk melewati terowongan yang menembus bagian bawah jalan reguler yang mengalirkan kendaraan keluar-masuk Terminal 1 Dubai International Airport. Langkah cepat akhirnya mengantarkanku ke sebuah area parkir yang merupakan fasilitas bagi para pengunjung bandara.

Sayangnya area parkir tersebut terhadang oleh keberadaan Airport Road yang membelah area Terminal 1 menjadi dua sisi terpisah. Aku berusaha mencari cara untuk mencapai area di utara jalan besar itu.

Berhenti sejenak mengamati situasi, aku mencoba lebih tenang.

Ya….Itu….Pasti itu”, aku menatap sebuah skybridge yang mengangkangi Airport Road. Tak mau kehilangan banyak waktu maka aku bergegas menujunya.

Benar adanya, terdapat tangga untuk mulai menelusuri skybridge itu. Dalam beberapa detik kemudian aku pun sudah melangkah di dalam lorongnya.

Jembatan sepanjang 150 meter itu kulalui dengan cepat hingga aku benar-benar tiba di bangunan Terminal 1. Aku tiba tepat dua jam sebelum penerbangan. Kini mataku awas mencari keberadaan check-in zone yang bisa menerbitkan boarding pass untukku.

Maka mataku mulai awas mencari keberadaan FIDS (Flight Information Display Siystem). Aku menemukannya di sebuah koridor. Mataku mulai menyapu daftar penerbangan yang disajikan dalam dua kolom memanjang.

Yess….Itu dia….Swiss Air LX 242….Check-in desk di Area 5”, aku telah menemukan informasi valid yang kubutuhkan.

Aku mulai mencari tahu maksud dari Area 5. Setelah berusaha memahami beberapa signboard yang ada di ruangan terminal, akhirnya aku faham. Check-in desk itu terletak di setiap persimpangan di sepanjang koridor utama ruangan.   

Angka-angka yang merupakan nomor check-in zone tersebut tertampil jelas di pilar-pilar bangunan terminal dan aku menemukan area check-in zone nomor 5 di pertengahan koridor.

Hmmhh….Check-in desk belum dibuka”, aku menghela nafas pelan.

Maskapai penerbangan yang akan kutunggangi beserta nomor penerbangannya belum tertampil di layar-layar LCD di atas deretan check-in desk. Meja-meja itu masih sibuk mengurusi penerbangan Aeroflot SU 527 menuju Moscow.

Aku menepi ke sisi utara ruangan, menunggu di sebuah tempat duduk. Sesekali aku berdiri menghadap ke dinding kaca berukuran lebar, jauh di seberang sana adalah Concourse D, sebuah bangunan dimana setiap gate penerbangan ditempatkan. Hal ini memberikan arti bahwa bangunan Terminal 1 dimana aku berada hanyalah berfungi sebagai bangunan administratif bagi setiap penumpang sebelum dinyatakan siap untuk terbang.

Sesekali aku melangkah mendekati layar FIDS untuk memastikan apakah proses check-in untuk nomor penerbanganku telah dibuka. Aku terus melakukannya berulang-ulang. Setelah sekian kali mengecek, akhirnya check-in desk yang dimaksud benar-benar telah bestatus “Open”.

Aku melangkah menuju antrian dan mulai bergabung di dalamnya. Satu per satu calon penumpang selesai melapor ke check-in desk dan pergi dengan menggenggam lembar boarding pass.

Semakin tertelan di tengah antrian, aku baru menyadari satu hal. Aku tetiba melotot melihat sebuah e-ticket bertuliskan Oman Air. Layar LCD di atas check-in desk memang hanya menunjukkan nama kota….”Muscat”. Tetapi aku tak menyadari ada sebuah papan dengan informasi berukuran tak terlalu besar. “Oman Air WY 614”, aku jelas membacanya.

Astaga aku berada di antrian penerbangan yang salah.

Area parkir Terminal 1.
Skybridge menuju ke bangunan Terminal 1.
Airport Road terlihat dari skybridge.
Tiba di bangunan utama Terminal 1.
Koridor utama ruangan Terminal 1.
Check-in zone.
Menunggu nomor penerbangan muncul.
Bangunan nan jauh di sana adalah Concourse D.

Is this Swiss Air LX 242 to Oman, Mam?”, aku bertanya kepada seorang calon penumpang yang berdiri tepat di depanku.

Oh No, This is Oman Air…”, dia menjawab sembari menggelengkan kepalanya heran.

Thanks, Mam….I’m in wrong queue”, aku mulai beranjak pergi meninggalkan antrian.

Aku kembali berada di koridor antara dua deret check-in desk , berdiri dan fokus menyebarkan pandangan ke layar-layar LCD di kedua sisi.

Tak kunjung menemukannya, akhirnya aku bertanya kepada seorang staff bandara.

Sir, where is the check-in desk for Swiss Air LX 242 towards Muscat?”, aku menunjukkan e-ticketku.

Oh, yaaa…..the desk will be open in five minutes, Sir….Just wait for a moment”, dia menjelaskan kepadaku

You will be better to wait in the last desk of this check-in desk row….Over there, Sir”, dia menunjuk ke sebaris check-in desk yang terletak di ujung Area 5. Di sanalah penerbanganku akan diproses.

Tanpa pikir panjang aku segera menujunya.

Kisah Selanjutnya—->

Dubai Airport Bus No 77: Jalan Pintas Menuju Terminal 1 Dubai International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Aku akhirnya berhasil mencapai Zain East Hotel sepuluh menit sebelum pukul enam sore. Aku terengah-engah di lobby penginapan untuk selanjutnya mengucapkan selamat tinggal kepada sang resepsionis dan seorang room boy yang kukenal dari sehari sebelumnya.

Aku pun melangkah kembali menuju Baniyas Square dengan melintasi jalanan semula yang sebelumnya kutapaki ketika menuju penginapan dari alun-alun yang sekarang akan kembali kutuju.

Aku sendiri menyempatkan membeli beberapa potong kue basah di sebuah warung khas India yang kutemui di jalan ketika tergegas melangkah menuju alun-alun. Setidaknya akan ada yang bisa kusantap saat makan malam di bandara beberapa waktu ke depan.

Hampir dua puluh menit berjalan kaki….

Aku pun bisa melempar senyum….Bukan senyum kebahagiaan karena tiba tepat waktu di Baniyas Square. Akan tetapi aku tersenyum heran karena polisi yang hampir satu jam sebelumnya menginterogasi diriku, ternyata pada saat kedatanganku di alun-alun, dia masih saja konsiten dengan tugasnya menilang banyak orang di tempat yang sama.

Aku menunduk dan melewati polisi yang sedang menginterogasi seseorang itu dengan cepatnya. Menyeberang melalui zebra cross yang disediakan dan akhirnya benar-benar tiba di Baniyas Square.

Pucuk dicinta ulam tiba. Airport bus bernomor 77, berwarna dominan merah, berukuran sedang, sudah melangsamkan mesinnya sebagai pertanda bahwa bus itu telah siap dimasuki oleh calon penumpangnya dan dalam beberapa menit lagi akan segera meluncur menuju bandara.

Aku bergegas melompat di pintu depan, menempelkan Nol Card di automatic fare collection machine. Saldoku berkurang 3 Dirham demi menuju Dubai International Airport yang berjarak enam kilometer di sebelah timur.

Tak perlu menunggu penumpang memenuhi bus, maka Airport Bus No. 77 akhirnya mulai merayap meninggalkan Baniyas Square karena harus menaati jadwal keberangkatan.

Gedung Department of Economic Development.
Melintasi Menara Jam Deira.
Flora Park Apartment di Al Ittihad Road.
Commercial Bank of Dubai di daerah Port Saeed.

Separuh jarak perjalanan, bus itu membelah Al Maktoum Road. Setelah melintasi Sheikh Rashid Road melalui sebuah flyover maka bus itu mulai mendekati bandara melalui Airport Road.

Aku mulai merasa kebingungan ketika bus itu semakin mendekati area bandara. Akhirnya aku memberanikan diri dengan bangkit dari tempat duduk, lalu berjalan menuju bangku pengemudi.

“Hallo Sir, Can you drop me at Terminal 1?”, aku berharap tidak kehabisan waktu terlalu banyak demi menuju terminal yang dimaksud.

“Where will you go, Sir?”, sang pengemudi meminta informasi tambahan untuk memastikan dia tidak menurunkanku di tempat yang salah.

“Muscat, Sir….Swiss Air”, aku berharap itu bisa menjadi petunjuk terakhir baginya.

Perlahan bus melewati 51st Street, melewati beberapa hotel seperti Le Meridien Accommodation dan Aloft Dubai Airport untuk kemudian aku diturunkan di Airport Staff Parking Area.

“Just follow that small tunnel, Sir. You will reach Terminal 1 in about three hundred meters”, pengemudi baik hati itu menghentikan busnya dan telunjuknya lincah mengarahkanku ke jalur tercepat menuju Terminal 1-Dubai International Airport.

Inilah jalan pintas menuju Terminal 1.

Aku segera turun dan bergegas menuju Terminal 1.

Kisah Selanjutnya—->

Dubai Bus No 77: Menjemput Masalah di Baniyas Square

<—-Kisah Sebelumnya

Tetiba terbangun….

Aku tetiba terbangun dari tidur, jam biologisku mengatakan bahwa sudah saatnya untuk melaksanakan Shalat Subuh. Masih mengucek mata, aku memperhatikan sekitar, mencari tengara yang bisa mengarahkanku menuju musholla.

Aku mendapatkan tengara itu di dekat escalator, maka dengan sigap aku menujunya. Dengan mudah aku menemukan Prayer Room itu di lantai atas.

Entah kenapa, Shalat Subuh itu berlangsung sangat khusyu’. Entah karena imamnya memang seorang Arab dengan lafal Al Qur’an yang bagus atau karena rasa bersyukurku kepada Sang Kuasa yang telah mengantarkan pada titik petualangan hinga sejauh ini.

Usai shalat, tanpa membuang waktu, aku keluar dari Terminal 1 dan menuju halte bus yang berlokasi tepat di depan pintu masuk bangunan bandara. Halte itu sudah penuh dengan calon penumpang ketika aku tiba. Membuatku mengalah untuk berdiri sembari menunggu kedatangan bus. Kali ini aku menyasar bus bernomor 77.

Mencari bus menuju pusat kota.
Suasana pagi di depan bangunan bandara.

Tak lama menunggu, bus itu pun datang. Tapi ada sesuatu yang mengganjal ketika aku hendak menaiki bus itu. “Apa iya, kota semodern Dubai akan menerima pembayaran cash di atas bus?”, aku bertanya kepada diriku sendiri.

Untuk mengusir keraguan itu maka aku bertanya kepada seseorang di halte bus.

“You must buy Nol Card at Dubai Metro station. Go to the top floor, Sir!”, dia menunjukkan jarinya ke lantai atas bangunan terminal bandara.

Mengucapkan terimakasih atas petunjuknya, maka aku segera beranjak dari halte bus demi menuju Airport T1 Station di lantai atas.

Menemukannya dengan mudah maka aku segera mengantri di loket Dubai Metro. Tak berselang lama, akhirnya aku mendapatkan Nol Card seharga 25 Dirham. Kini aku bersiap menuju ke pusat kota menggunakan kartu transportasi itu.

Kembali ke halte, aku akhirnya mendapatkan kembali Dubai Bus Nomor 77. Aku memasuki melalui pintu tunggal di bagian tengah dan mentap Nol Card di fare machine. Aku melihat kartuku berkurang 3 Dirham dan tujuanku adalah Baniyas Square Station yang berlokasi di Distrik Deira.

Sangkala sudah tergelincir jauh dari pukul enam pagi ketika bus yang kunaiki mulai merangsek melalui Airport Road, lalu berlanjut ke Al Maktoum Road untuk menuju tujuan akhir.

Sepanjang perjalanan, suasana masih gelap, tak sedikit pertokoan yang masih menyalakan lampu, begitu pula dengan kendaraan-kendaraan yang melintasi jalanan kota masih menyorotkan lampu di sepanjang jalan.

Perjalananku memasuki pusat kota Dubai boleh dibilang tak terlalu jauh, hanya berjarak tak lebih dari enam kilometer dan hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar dua puluh menit.

Berburu Nol Card.
Interior Dubai Bus Nomor 77.
Penampakan Mall Al Ghurair Centre (merah) dan  Al Masraf Building (menjulang di kejauhan) dari Al Rigga Road.
Dubai Bus Nomor 77.
Gerbang Baniyas Square Station.
Salah satu sisi Baniyas Square.

Lewat pukul tujuh pagi, akhirnya bus tiba di Baniyas Square. Baniyas Square sendiri adalah alun-alun utama di Distrik Deira yang merupakan salah satu pusat sejarah kota megapolitan Dubai.

Aku harus segera menemukan penginapan yang sudah kupesan melalu e-commerce penginapan ternama secara daring.

Tak pernah kusangka, di sinilah masalah besar akan datang menderaku……

Kisah Selanjutnya—->

Kebobolan Kartu Kredit dari Departure Hall Cochin International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Masih saja gelap ketika aku meninggalkan kedai makanan dan menyeberangi Airport Road demi menggapai Terminal 3 Cochin International Airport.

Pagi itu pesawatku akan terbang meninggalkan Kochi menuju Colombo. Penerbangan yang kuambil adalah connecting flight Srilankan Airlines menuju destinasi akhir, yaitu Dubai.

Menelusuri beberapa jalur mobil di halaman bandara nan luas, aku merasa aman saja karena keberadaan para polisi bandara yang berkeliling mengamankan situasi.

Dalam dua puluh menit aku tiba tepat di halaman depan Terminal 3.

Menyeberangi drop-off zone, maka secara otomatis aku berada di departure hall bagian luar. Aku berusaha mencari keberadaan Flight Information Display System (FIDS) di selasar keberangkatan. Dengan mudah aku menemukannya dan kemudian mulai memperhatikan larik-larik informasi yang terpampang di layar tersebut.

Tetapi beberapa menit menunggui fragmen demi fragmen tampilan, nomor penerbanganku tak kunjung muncul. Sementara kursi-kursi di selasar keberangkatan perlahan mulai dipenuhi oleh para calon penumpang yang datang.

Apa oleh buat, aku yang penuh inisiatif, bergegas mendekati pintu masuk menuju departure hall bagian dalam.

Please, show your ticket and passport, Sir !”, seorang serdadu bersenjata laras panjang menahanku di pintu hall.

Oh okay……This is, Sir”, aku memberikan passport dan e-ticket cetak.

Dalam beberapa waktu kami berdua terdiam. Aku menunggu sang serdadu memeriksa dokumen yang kuberikan, sedangkan dia dengan khusyu’ membolak-balik halaman passportku serta mengamati lekat-lekat e-ticket cetak yang kuberikan.

This flight isn’t ready yet to check-in, Sir. Please wait for thirty minutes outside”, dia mengembalikan segenap dokumen yang tadi kuberikan sembari menunjuk deret bangku yang sebetulnya telah penuh oleh calon penumpang lain yang menunggu penerbangan mereka masing-masing.

Aku segera meninggalkan serdadu itu karena antrian memasuki departure gate mulai mengular. Bersyukur tersisa satu bangku kosong yang baru saja ditinggalkan oleh seorang calon penumpang dan membuatku nyaman menunggu hingga proses check-in penerbanganku dibuka.

Selama menunggu aku tertegun dalam mengamati aktivitas para penumpang India yang sibuk mempersiapkan bagasinya di luggage wrapping service. Timbul pertanyaan dalam hati: “apakah penanganan bagasi di India bermasalah?”.

Di percobaan yang kedua, serdadu itu mengizinkanku untuk memasuki departure hall karena check-in counter untuk penerbanganku telah berstatus OPEN. Melewati penjagaan para serdadu, selanjutnya aku pun diperiksa dengan sangat ketat di screening gate. Di India memang selalu begitu, bahkan setiap memasuki stasiun MRT di New Delhi, aku harus menjalani pemeriksaan ketat di screening gate stasiun. Mungkin aksi-aksi radikal masih menjadi perhatian penting di sana.

Aku tiba di check-in counter…..

Setelah menunggu beberapa proses check-in penumpang yang mengantri di depanku selesai, maka kemudian menjadi giliranku untuk menghadap ke check-in desk. Seperti biasa, aku bergegas menyerahkan passport, e-ticket dan hotel booking confirmation.

“Where is your destination?”, petugas wanita nan manis melontarkan pertanyaan standar.

“Dubai, Ms”.

“Do you have Unitd Arab Emirates Visa”, dia kembali menanyakan satu dokumen penting tersisa.

“Sure. Ms”, aku memberikan eVisa kepadanya.

Setelah beberapa waktu mengamati eVisa yang kuberikan, dia memanggil temannya. Kini petugas check-in desk laki-laki datang menghampiri meja. Mereka berdua tampak berdiskusi sambil menunjuk-nunjuk eVisa yang kuberikan. Hal ini tentu membuatku tegang, aku berfikir cepat: “Mungkin ada yang salah dengan dokumenku”.

Selepas berdiskusi, tampak petugas pria bersiap diri berbicara padaku dengan mimik serius.

“What do you go to Dubai for?”, dia melontarkan pertanyaan pertama

“Just tourism, Sir”

“Is this your first time go to Dubai?”, pertanyaan kedua terlontarkan.

“Yes, Sir”

“Why don’t you use direct flight from Jakarta to Dubai”, pertanyaan ketiga terucap.

“So expensive Sir if I take a direct flight from Jakarta. Outside of that, I went to Malaysia and India before arrive in Dubai because I’m a travel blogger and I need to take some content”, aku menjawab jelas dan jujur.

“Can I see you vlog?”

Not vlog, Sir…but it’s blog”, aku menegaskan

“Yeaa…whatever of that”

“This is, Sir. I had exkplored some region like South East Asia, East Asia, South Asia”

“Oh, nice…So it’s your time to explore Middle East area?”

“Exactly, Sir….for that I’m here now”

“Okay…I”ll give you two tickets for this connecting flight ?”

“Thank you very much, Sir”

“….Welcome….”

Beberapa waktu kemudian dia memberikan dua lembar tiket Srilankan Airlines. Satu tiket untuk penerbangan Kochi-Colombo dan satu lagi untuk penerbangan Colombo-Dubai.

“Oh yeeaa, don’t forget to take picture with nice spot behind this counter ! …There are many elephant sculpture there….And don’t forget to write it in your blog, Okay….hahahah ! ”, untuk pertama kalinya dia menampakan senyum dan berkelakar akrab di depanku.

“Oh Okay, with my pleasure, Sir….I love this airport”, aku mencoba menjawab seakrab mungkin dan dia hanya tersenyum menggeleng-gelengkan kepalanya saja.

Sebenarnya, aku sudah mengetahui keberadaan ikon bandara itu, hanya saja aku hampir terlupa untuk menyambanginya karena interogasi beberapa waktu lalu yang membuatkan sejenak berkurang ingatan. Beruntung check-in desk staff laki-laki itu memberitahuku sehingga aku tidak kehilangan momen mengabadikan ikon itu.

Menuju departure gate.
Drop-off zone.
Check-in zone.
Patung-patung gajah yang menjadi ikon Cochin International Airport.

Selepas keluar dari check-in area, aku segera mengurus departure stamp di konter imigrasi. Tahapan keluar dari sebuah negara selalu saja berproses cepat, aku berhasil melaluinya dengan mudah untuk kemudian mengikuti petunjuk di sepanjang koridor untuk tiba di waiting room di sepanjang gate pemberangkatan.

Ruang tunggu Cochin International Airport memang terlihat unik, antar ruangan gate di desain tidak bersekat sehingga menjadikan ruang tunggu dengan sembilan gate itu tampak lega. Kursi-kursi tunggal berukuran lebar dengan dudukan busa pun disediakan di sepanjang gate.

Kuputuskan untuk mengambil salah satu bangku untuk duduk menunggu boarding time yang masih dua jam lagi. Kemudian aku berusaha untuk mengakses WiFi bandara untuk mencari beberapa informasi penting mengenai pariwisata Dubai.

Baru saja berhasil mengakses WiFi, aku menerima sebuah notifikasi dari WordPress untuk segera memperpanjang penggunaan domain blog perjalanan yang saya miliki karena beberapa hari ke depan masa berlakunya akan habis.

Aku berfikir, daripada mengambil resiko kehilangan domain di saat sedang melakukan perjalanan, maka aku memutuskan memperpanjang domain tersebut saat itu juga.

Ternyata menghilangkan resiko kehilangan domain tersebut, membuatku mendapatkan resiko lain tanpa kusadari. Kesalahan utama yang kulakukan dengan melakukan pembayaran menggunakan kartu kredit menggunakan akses WiFi bandara ternyata memunculkan resiko baru, yaitu kemungkinan pembajakan data oleh para hacker atas kartu kreditku.

Dan benar apa adanya nanti bahwa beberapa bulan setelah aku pulang dari petualangan menjelajah kawasan Timur Tengah, kartu kreditku kebobolan. Beruntung eksekusi pembayaran yang dilakukan si hacker dinyatakan gagal sehingga proses tagihan ke salah satu bank swasta kenamaan di Jakarta otomatis dibatalkan….Hmmh, ada-ada saja.

Waktu menunggu yang terlalu lama, membuatku gatal untuk kembali melakukan eksplorasi. Kuputuskan untuk kembali berkeliling ke seluruh departure gate hingga naik ke lantai dua yang secara mayoritas digunakan sebagai duty free zone.

Gate.
Duty free zone.
Food court area.
Saatnya terbang menuju Colombo.

Di tengah waktu berkeliling hall, aku sejenak merapat ke salah satu pojok dimana Fligt Information Display System (FDIS) dan beberapa Advertisement LCD diinstalasi. Aku sejenak tertegun membaca informasi pada salah satu layar LCD. Aku membaca informasi itu dalam hati:

“Cochin International Airport…The recipients of United Nation’s Highest Environmental Honor, The Champion of the earth-2018”

Wahhhh….Keren ya bandara ini.

Hanya karena departure gates yang tak terlalu luas membuatku tak membutuhkan banyak waktu untuk mengeksplorasinya. AKhirnya kuputuskan untuk kembali menunggu saja hingga boarding timeku tiba.

Kisah Selanjutnya—->

KURTC: Cochin International Airport ke Fort Kochi

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menyantap jajanan ringan Appam, Elai Adai dan Samosa, aku menyempurnakan sarapan dengan menyeruput perlahan Chai panas yang membuat badan menjadi hangat setelah semalaman terpapar dinginnya penyejuk ruangan bandara.

Seruputan terakhir Chai menandakan bahwa aku harus bersiap diri menuju destinasi utama hari itu….Apalagi kalau bukan Fort Kochi, sebuah kawasan perpaduan empat budaya yaitu Belanda, Portugis, Inggris dan India.

Meninggalkan Cafe Sulaimani, aku kembali melangkah menuju bundaran di sekitar gerbang utama Cochin International Airport.  Setibanya di sana aku merasa beruntung karena ada seorang opsir polisi yang sedang bertugas.

“Sir, Where is bus shelter which can deliver me to Fort Kochi?”, aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Just wait there, bus will come on fifteen minutes”, dia melihat jam tangannya dan menunjuk ke sebuah pojok jalan.

“Thanks, Sir”

“Welcome”

Aku segera menyeberang jalan dan menunggu tepat di tikungan. Tak ada halte apapun di sisi jalan itu. Hanya saja petunjuk opsir polisi itu sudah membuatku yakin bahwa bus bisa dihentikan di pojok jalan itu.

Lima belas menit menunggu adalah masa-masa menenangkan, bagaimana tidak, opsir polisi itu sepertinya tak lengah memperhatikanku sembari mengatur lalu lintas di sekitar. Dia sepertinya akan memastikanku terangkut oleh bus pada pemberangkatan terdekat.

Benar adanya, tepat lima belas menit, sebuah bus berwarna oranye dengan logo KURTC (Kerala Urban Road Transport Corporation) keluar dari arah bandara. Dengan cepat aku menangkap kehadirannya, begitu pula dengan opsir polisi itu. Ketika bus perlahan semakin mendekat, sang opsir menatapku dari kejauhan dan telunjuknya diarahkan ke bus tersebut sembari tersenyum. Aku mengacungkan jempol dan membalas senyumnya.

“Terimakasih pak polisi yang baik hati”, aku membatin ceria.

Aku memasuki bus dari pintu depan dan mengambil tempat duduk di sisi tengah. Keluar dari bandara, deretan bangku bus masih terlihat kosong. Tak lama duduk, seorang kondektur perempuan dengan mesin geseknya datang mendekatiku.

“Where will you go?”, dia melontarkan pertanyaan.

“Fort Kochi, Mam”, aku menjawab sembari tersenyum.

“88 Rupee”, kondektur itu menggeleng khas India.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas ketika bus perlahan bergerak ke barat meninggalkan Aerotropolis Nedumbassery. Bus merangsek melalui Airport Road, jalanan utama berpembatas  trotoar di antara kedua ruasnya.

Perlahan tapi pasti, bus menaikkan penumpangnya satu per satu di sepanjang jalan. Ada yang dinaikkan di halte dan ada juga yang dinaikkan di luar halte.

Dalam lima belas menit, rasa penasaranku terbayarkan ketika bus melintas di sebuah stasiun MRT.

Itu pasti Stasiun Aluva”, aku membatin.

Dalam peselancaranku di dunia maya, aku menemukan bahwa Kochi adalah kota yang memiliki fasilitas MRT. Kini aku sudah menemukan jalurnya dan aku menjadi berniat untuk mencicip Kochi Metro walau hanya sekali saja. Mungkin sepulang dari Fort Kochi sore nanti.

Meninggalkan Aluva, keramaian warga lokal mulai terlihat masif ketika bus memasuki sebuah kawasan industry, daerah Kalamassery namanya. Truk-truk besar khas industri tampak memenuhi jalanan, sedangkan bus-bus kota jenis yang lain dijejali oleh warga lokal yang sibuk beraktivitas.

Kemudian keluar sedikit dari kawasan Kalamassery, gedung-gedung apartemen mulai kutemui kehadirannya. Dugaanku, para pekerja dari kawasan industri itu sebagian besar tinggal di apartemen-apartemen yang didirikan di sekitar wilayah Ernakulam.

Stasiun Aluva, salah satu stasiun dalam jaringan Kochi Metro.
Suasana HMT Road di sebuah kawasan industri Kalamassery.
TBPL GK Arcade (kanan depan) adalah gedung apartemen di distrik Ernakulam tepat di sisi Jalan Ernakulam-Thekkady.

Setelah 45 menit menit perjalanan, merapatlah bus ke sebuah terminal di daerah Vyttila. Sebagian besar penumpang naik dan turun di terminal ini. Inilah bus hub yang berukuran lumayan besar di kota Kochi. Bus-bus dari dan menuju daerah lain di Kerala tampak merapat di terminal ini.

Usai menaikkan penumpang di Vyttila Hub Bus Terminal, bus kembali merangsek ke jalanan. Semakin ke barat, sungai-sungai besar mulai mengakuisisi pemandangan. Aku faham bahwa bus yang kunaiki semakin merapat ke arah pantai barat Kerala. Sungai-sungai itu bercabang-cabang membelah daratan. Semakin banyaknya daratan yang terpisah oleh perairan menyebabkan aku mulai menemukan banyak sekali jembatan di bagian akhir perjalanan menuju Fort Kochi.

Salah satunya adalah jembatan terpanjang di Kerala yaitu Kundannoor Bridge yang menghubungkan  dua area, yaitu Maradu di timur jembatan dan Thevara di baratnya. Perairan-perairan luas itu membuat panorama sejauh mata memandang menjadi lebih sejuk dan biru.

Selepas melewati jembatan terpanjang di Kerala itu, bus memutar roda menyusuri Willingdon Island yang merupakan hamparan daratan yang dikelilingi sepenuhnya oleh perairan sehingga menjadikannya terpisah dari daratan utama Kerala. Sementara itu, area Fort Kochi sendiri  adalah bagian dari daratan utama Kerala yang terletak di bagian paling barat sehingga bus harus sekali lagi melewati sebuah jembatan untuk menuju ke sana.

Adalah Gateway of Cochin BOT Bridge yang memfasilitasi penghubungan antara pulau dan daratan utama tersebut.

Vyttila Hub Bus Terminal di tepian Sungai Kaniyampuzha.
Suasana dalam bus setelah meninggalkan daerah Vyttila.
Pemandangan dari atas Kundannoor Bridge.
Gateway of Cochin BOT Bridge yang menghubungkan Willingdon Island dengan daratan utama Kochi
Kesibukan di area Thoppumpady sekitar pukul sebelas siang.
Suasana lain wilayah Thoppumpady di sekitar AK Xavier Road.
Pemakaman di kawasan Fort Kochi.

Dan pada akhirnya, genap satu jam melakukan perjalanan, bus mulai masuk di area Fort Kochi. Kali ini keramaian sekitar lebih didominasi oleh kegiatan pariwisata. Baik wisatawan lokal maupun mancanegara berbaur di setiap penjuru Fort Kochi.

Perlu waktu setengah jam lamanya bagi bus untuk merangsek membelah padatnya jalanan Fort Kochi hingga tiba di shelter terakhir KURTC bus yang lokasinya tak begitu jauh dari pantai barat Kerala.

Okay….Saatnya mengeksplorasi Kochi selama beberapa jam ke depan.

Kisah Selanjutnya—->

Hotel Royal Wings: Mencicip Appam, Elai Adai dan Samosa

<—-Kisah Sebelumnya

Gelap masih menaungi langit Kochi ketika penanda waktu menunjuk angka enam. Membuat nyali ciut demi melangkah menuju penginapan yang sesungguhnya hanya berjarak satu setengah kilometer. Aku memutuskan untuk tetap duduk di ruang tunggu arrival hall Cochin International Airport Terminal 3.

Tapi ternyata….

Saking kantuknya, aku malah duduk terlelap memeluk backpack….

Sedikit melebihi pukul delapan, aku tersentak bangun. Cahaya terang telah menembus dinding kaca bandara. Aku melangkah pergi melewati seorang tentara bersenjata laras panjang yang dari dini hari tadi setia menjaga exit door bandara.

Aku berjalan memotong drop-off zone, melewati tepian car parking zone, melintasi kesibukan di Chili Restaurant lalu tiba di gerbang utama Cochin International Airport yang cantik berhiaskan surya yang membulat di ufuk timur.

Selepas melewati gerbang eksotik itu, aku berdiri di sebuah bundaran jalan yang sangat sibuk oleh kendaraan yang keluar masuk dari dan ke bandar udara utama di Negara Bagian Kerala tersebut. Berdiri di salah satu sisinya, aku sanggup menatap jelas keberadaan deret bangunan modern di sebuah sisi jalan.

Tak salah lagi, penginapanku pastinya ada di sana”, aku membatin.

Dekat sekali ternyata”, aku tersenyum senang.

Kini, aku sudah berada tepat di sisi selatan jalur lurus dan bersiap menyeberang menuju kompleks bangunan modern itu. Ramainya kendaraan pagi itu membuatku susah menyeberang. Berada di jalanan negara orang memang selalu menjadi hal yang selalu kuperhatikan, aku tak mau berbuat kekonyolan dan membahayakan diri, karena alur perjalananku setengahnya pun belum usai.

Susah payah aku menyeberangi Airport Road untuk tiba di sisi utara jalan dan kemudian mulai mencari keberadaan penginapan yang telah kupesan melalui e-commerce perjalanan terkemuka dengan harga 800 Rupee.

Yiiaaiiyy, aku menemukannya….

Aku sudah keluar dari gerbang utama Cochin International Airport.
Bundaran di sisi barat gerbang utama Cochin International Airport.
Deret bangunan modern di sisi utara Airport Road.
Ini dia Hotel Royal Wings, tempatku menginap malam nanti.

Kembali lagi di jauh hari sebelum keberangkatan, begitu sulit menimbang-nimbang lokasi penginapan yang akan kupilih. Hasratku begitu kuat untuk menginap di sekitar pantai yang tentu akan memberikan banyak peluang untuk menikmati eksotiknya pesisir barat Kerala lebih lama.

Hanya saja, penerbangan pagiku di esok hari menuju Dubai menjadi sebuah batasan untuk jangan terlalu jauh dari bandara ketika memilih penginapan. Akhirnya aku memutuskan menginap di Hotel Royal Wings dan memutuskan untuk seharian ini saja menikmati suasana di kawasan Fort Kochi.

Hello, Sir, Can I put my backpack here?”….Aku bertanya pada seorang petugas resepsionis laki-laki.

I have booked a room in this hotel. This is the e-confirmation”, aku menambahkan informasi.

Menerima selembar surat konfirmasi itu, dia mulai berselancar di desktopnya dan menggecek keberadaan order penginapan tersebut.

Ok, Sir. I have checked your order. You can put your backpack here and you can check-in on 1pm…Come!”, dia mulai mengarahkanku ke sebuah ruangan kecil di belakang meja resepsionis. Rupanya ruangan itu memang digunakan khusus untuk menyimpan barang-barang para penginap.

Separuh beban punggungku sudah tertitip di penginapan, kini aku akan melangkah pergi untuk memulai eksplorasi.

Tetapi sebelum melangkah lebih jauh, aku memutuskan untuk mencari sarapan di sekitar hotel.

Mencium bau harum dari sebuah cafe, aku tergelitik untuk mendekatinya, melihat menu sarapan ala India yang menggoda, aku memutuskan untuk masuk dan mengambil tempat duduk.

Cafe Sulaimani…”, aku membaca nama cafe itu di sebuah dinding.

Aku memutuskan membeli sarapan sederhana seperti yang dilakukan oleh para warga lokal di dalam cafe itu. Ini dia menu sarapanku pagi itu.

Appam, Elai Adai, dan Samosa dan segelas Chai seharga 55 Rupee….Hhmmhhh, lezat juga rupanya.

Selepas sarapan, aku bergegas menuju bundaran di dekat gerbang utama Cochin International Airport untuk berburu bus menuju Fort Kochi….Nanti akan kuceritakan bagaimana aku menuju kesana.

Masih mengenai Hotel Royal Wings….

Aku sendiri baru bisa memasuki hotel selepas mengeksplorasi Fort Kochi.

Aku tiba kembali di hotel dengan menumpang airport bus dari Stasiun Aluva. Menjelang pukul enam sore, aku langsung saja meminta kunci kepada si empunya hotel yang sedang berada di meja resepsionis.

Seusai mendapatkan kunci, aku diantar oleh seorang room boy, aku menenteng backpack menuju kamar di lantai atas untuk segera membersihkan badan. Alamak, aku terakhir kali mandi adalah 30 jam yang lalu.

Mau tahu kan bagaimana hotel yang kuinapi, ini dia:

Reception desk.
Lobby.
Double bed.
Bathroom.
Lihat TV jadoelnya….Hahaha.

Aksesibiltas

Mengingat lokasi Hotel Royal Wings yang dekat dengan airport, tentu hotel ini sangat dekat dengan berbagai fasilitas umum yang memudahkan para penginapnya.

Setidaknya aku bisa berangkat dengan mudah menuju Fort Kochi menggunakan KURTC bus yang berangkat dari bandara. Selain itu aku juga mudah mendapatkan restoran halal, tempat penukaran uang dan minimarket di sekitar hotel.

Jaraknya yang bisa ditempuh dalam lima belas menit dari dan ke bandara, memudahkanku untuk mengejar penerbangan esok pagi dengan tepat waktu daripada ketika aku harus memilih penginapan di sekitar Fort Kochi.

Restoran dengan harga terjangkau di sekitar hotel.
Kerala Urban Road Transport Corporation (KURTC) bus menuju Fort Kochi yang melewati Airport Road di depan hotel.

Pada akhirnya, berkunjung ke India selalu saja menyenangkan karena negara ini memiliki fasilitas hotel dan kekayaan kuliner dengan harga yang sangat terjangkau bagi seorang backpacker.

Oleh karenanya, jangan pernah ragu untuk melancong ke Negara Anak Benua itu.

Yuk, berkunjung ke India.

Kisah Selanjutnya—->