Malam Terakhir di Kochi

<—-Kisah Sebelumnya

Aku bergegas menuruni anak tangga di Stasiun Aluva demi mengejar airport bus yang akan melewati Service Road yang berada di bawah stasiun. Karena Stasiun Aluva adalah stasiun layang yang berada di atas jalan itu.

Menepi di salah satu sisi, aku melihat kedatangan bus berwarna oranye dari sisi kanan. Aksara India yang berada di kaca depan berhasil memunculkan ragu. Untuk memastikan bahwa bus itu menuju bandara, aku memberanikan diri bertanya kepada wanita muda yang kebetulan akan melintas di trotoar dimana aku menunggu. Dilihat dari penampilannya, aku menebak bahwa wanita muda penuh gaya itu pastinya seorang karyawati kantoran. Dilihat dari blazer hitamnya yang rapi dan sepatu kerjanya yang mengkilat.

Yes, Sir. That bus goes to airport”, dia menjawab pertanyaanku sembari melemparkan senyum.

Mengucapkan terimakasih kepadanya, aku segera menaiki bus itu yang beberapa saat sebelumnya berhenti di depan halte.

Bus itu tampak penuh, tetapi si kondektur laki-laki bertubuh kurus itu menunjukkan satu kursi paling belakang yang masih kosong. Aku mengangguk dan bergegas mengakuisisi bangku itu.

Satu kejadian yang membekas hingga saat ini adalah ketika si kondektur itu menagih ongkos 42 Rupee kepadaku. Karena tak ada uang bernominal kecil, menjadikanku tak bisa membayar tarif tersebut. Bersyukur seorang pria muda yang duduk di sebelah kiri berbaik hati menukar uangku dengan pecahan kecil sehingga aku bisa membayar ongkos bus tersebut.

Thank you, Sir for your kindness

Welcome…”, dia menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum menjawabnya.

Semakin mendekati bandara, tatapanku tertuju dengan pemandangan di sisi kanan jendela bus. Mencoba mengamati dengan seksama, aku baru tersadar bahwa yang kulihat adalah ladang panel surya yang teramat luas. Aku masih belum faham untuk apa panel surya diinstalasi di ladang seluas itu.

Pertanyaan itu akhirnya terjawab ketika aku iseng melakukan browsing di sebuah penginapan di Dubai. Maklum selama di India aku tidak berhasil mendapatkan jaringan internet untuk melakukan browsing.

Halte bus dekat Stasiun Aluva.
Airport bus yang kunaiki.
Ladang panel surya dekat bandara.

Jawabannya adalah Cochin International Airport ternyata menggunakan energi listrik tenaga surya untuk pengoperasiannya.

Mengikuti rute airport bus yang kunaiki, mau tak mau, aku harus turun di dalam area bandara. Tetapi setelahnya, untuk menuju penginapan tentu tak susah karena Hotel Royal Wings yang kuinapi hanya berjarak  satu setengah kilometer dari bandara.

Dalam dua puluh menit melangkah akhirnya aku tiba….

Di meja resepsionis, aku segera mengambil backpack yang sedari pagi kutitipkan, setelahnya seorang staff hotel tanpa seragam mengantarkanku menuju lantai dua.

Memasuki kamar, aku segera membongkar semua isi backpack dan menumpahkannya di atas kasur. Sudah menjadi kebiasaanku untuk mengecek ulang keberadaan perlengkapan-perlengkapan penting dalam perjalanan. Usai memastikan semuanya lengkap, aku segera memutuskan untuk mencari makan malam.

Tetapi baru saja melangkah keluar kamar, staff hotel yang tadi mengantarkanku datang kembali.

You are in the wrong room, I’m sorry, can I switch to other room, Sir?” dia menyampaikan informasi.

Oh, Okay….No problem”, aku menjawab.

Aku pun memasuki kamar kembali dan bermaksud mengepack kembali semua perlangkapan yang sudah berantakan di atas kasur.

Rupanya staff ini melongok sebentar dari pintu. Setelah mengetahui bahwa kamar yang kumasuki sudah berantakan maka dia mengurungkan niat untuk memindahkanku.

Sir, I’,m sorry, I think it will be busy if you switch your room. So better, you are still here”, dia sepertinya menyerah menungguku yang sedang melakukan packing.

Akhirnya aku pun tetap akan menginap di kamar yang sama.

Usai mendapatkan kepastian nomor kamar maka segera melakukan rutinitas lain.

Aku menuruni tangga dan duduk di lobby. Aku berfikir keras karena SIM Card yang tak kunjung berfungsi semenjak kubeli pagi sebelumnya telah memblokade diriku dari informasi apapun. Sebetulnya aku hanya ingin mengecek penerbangan esok pagi, apakah ada perubahan jadwal atau tidak. Oleh karenanya, demi memastikan, aku harus mengecek email. Karena setahuku, runway Cochin International Airport sedang direnovasi yang menyebabkan banyak penerbangan terkena delay tadi pagi.

Aku terpaksa meminta password untuk bisa mengakses WiFi penginapan kepada si pemilik yang sedang duduk di meja resepsionis.

“This is the password…Don’t use it to access video, Okay !”, dia berpesesan dengan muka serius.

“Oh Okay, Sir. I just want to check my flight information for tomorrow. Just it, no more”,

“Okay…Okay”, dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Hmmhhh…Baru kali ini menginap di hotel yang pemakaian WiFinya dibatasi….Aneh bin ajaib memang India.

Aku lega, karena tidak ada informasi lanjutan apapun mengenai penerbanganku esok pagi.

Maka langkah selanjutnya yang kulakukan adalah mencari money changer untuk menukarkan Rupee tersisa ke Dollar Amerika. Di beberapa money changer dekat penginapan, aku mendapatkan penolakan karena jumlah Rupee yang akan kutukarkan menurut mereka jumlahnya sangat kecil.

Aku tentu tak menyerah begitu saja. Sekecil apapun Rupee tersisa yang kupegang tentu sangat berharga dalam perjalanan berikutnya.

Bersyukur aku menemukan money changer rumahan di sekitar hotel, money changer kecil itu dengan sigap menerima sisa Rupee yang kupunya. Akhirnya aku mendapat tambahan 7 Dollar Amerika untuk perjalanan berikutnya.

Menggenapkan aktivitas di malam terakhirku di Kochi maka kuputuskan untuk segera berburu makan malam. Tak susah mencari makanan halal hingga pada akhirnya aku memilih duduk di salah satu kursi Al Madheenaa Restaurant.

Memesan seporsi butter rice dan segelas chai, aku menikmati makan malam terahirku di Kochi. Aku benar-benar menikmati menu terenakku selama di berpetualang di Kochi.

Di akhir sesi makan malam, aku membayar 120 Rupee dan bergegas meninggalkan restoran tersebut dan masih membawa sedikit Rupee tersisa yang cukup kugunakan untuk membeli sarapan esok pagi.

Restoran dekat penginapan. Dijamin halal.
Hmmhh….Alhamdulillah, menu begitu aja sudah paling nikmat.

Aku terburu langkah kembali ke penginapan….

Malam itu aku harus mencuci t-shirt dan celana panjang yang telah kukenakan seharian. Tanpa pikir panjang, setiba di kamar aku dengan cekatan mencucuinya lalu mengangin-anginkannya di bawah kipas kamar. Aku berharap esok pagi sudah bisa melipatnya dalam kondisi kering.

Saatnya untuk bersantai dan beristirahat. Hotel itu memang tampak super sederhana. Bagaimana tidak, televisi tabung model lama yang tersedia hanya menampilkan tak lebih dari lima channel sehingga rencana untuk meghibur diri menjadi gagal total.  

Oleh karenanya, aku lebih memilih untuk mengemas perlengkapan ke dalam backpack dan segera beristirahat supaya esok hari badan kembali segar.

—-****—-

Pukul lima pagi aku terbangun….

Mengguyur badan dengan air hangat, bermunajat kepada Allah dalam Shalat Subuh dan memastikan semua perlengkapan tak tertinggal maka aku memutuskan untuk segera melakukan check-out.

Aku check-out menjelang pukul enam pagi, lalu bergegas menuju kedai jajanan di dekat penginapan untuk menyantap sarapan secara sederhana saja. Tiga potong jajanan lokal kusantap dengan lahap lalu kulengkapi dengan menyeruput secangkir chai panas untuk menghangatkan badan di tengah dinginnya udara pagi kota Kochi.

Can this change be exchanged for any food?”, aku menyerahkan semua uang recehku kepada si pemilik kedai. Dengan sigap dia memasukkan beberapa potong jajanan ke dalam kantong plastik.

Dengan penuh senyum aku menerimanya lalu menyelipkannya ke dalam folding bag. Sekantong plastik jajanan itu bisa kugunakan untuk makan siang nanti ketika transit di Colombo.

Kulanjutkan langkah menuju bandara. Tetapi gundah kembali menggelayuti. Mungkin aku kekurangan literasi dalam persiapan berpetualang sehingga menjadikanku khawatir akan Dubai yang konon sangat ketat dalam aturan mambawa obat-obatan.

Menurut sumber yang aku baca, harus ada permohononan izin secara resmi yang bisa diajukan secara online kepada otoritas Uni Emirat Arab jika ingin membawa obat-obatan. Dan aku tak sempat menyiapkannya.

Oleh karena itulah, aku harus mengambil keputusan gegabah ini. Aku yang tak mau ambil pusing akhirnya membuang sekantong obat yang kubawa di sebuah tong sampah di dekat kedai. Hal bodoh yang mungkin pernah kulakukan. Semenjak detik itu pula, aku sudah melakukan perjudian besar, yaitu mengeksplorasi kawasan Timur Tengah tanpa obat-obatan sama sekali.

Oh, Donny….Si cowboy backpacker….

Kisah Selanjutnya—->

Pohon Kelapa dari Kochi Metro

<—-Kisah Sebelumnya

Menunggang ulang ferry menuju daratan utama Fort Kochi, tatap mata berkali-kali tertuju pada penunjuk waktu digital di gawai….maklum aku tak lagi mengenakan jam tangan dalam beberapa kurun waktu terakhir.

Lepas dari antrian yang mengular, aku mendapatkan tiket untuk berlayar jarak pendek menuju dermaga di seberang perairan yang berjarak tak lebih dari satu kilometer.

Selepas ferry berlabuh di dermaga, alih-alih segera menuju ke Kochi Airport Bus Terminal, aku malah berbelok berlawanan arah menuju timur, menapaki Calvathy Road untuk melongok sejenak dermaga lainnya yang dimiliki Fort Kochi. Aku masih saja oportunis untuk menuju ke pulau lain….Aku ingin ke Wellington Island.  

Aku menyisir jalanan di belakang rombongan pelancong lokal yang kesemuanya adalah gadis belia India, dengan pakaian sari yang khas India, kesemuanya berambut panjang terkepang dan terkuncir serta berkulit gelap tapi tetap saja manis. Sesekali mereka menengok ke arahku, merasa sadar sedang kukuntit dari belakang. Aku merasa cuek saja, sengaja aku berbuat demikian untuk menghindari scam yang mungkin saja muncul. Setidaknya berjalan di belakang rombongan gadis India itu mampu membuatku merasa tak berjalan seorang diri.

Dalam jarak delapan ratus meter, tiba juga diriku di dermaga yang dimaksud. Tak seperti dermaga yang menuju Vypeen Island, dermaga menuju Wellington Island tampak lebih tertata rapi. Ada bangunan dermaga yang menjadi pusat aktivitas para penumpang.

Aku kembali melihat waktu yang tetampil di gawai pintar, hanya ada waktu tersisa empat puluh lima menit jika ingin berangkat menuju Wellington Island.

Aku terduduk membisu di salah satu bangku pelabuhan, berfikir keras berkali-kali. Tetapi tetap saja, realita mengatakan bahwa waktuku tak akan pernah cukup. Artinya, tak ada yang bisa diperbuat lagi, aku harus bergegas pulang ke penginapan dan menutup eksplorasi.

Alhasil, melangkahlah aku menuju Kochi Airport Bus Terminal. Dalam lima belas menit, aku pun tiba. Dan tak terduga, aku bertemu kembali dengan sopir dan kondektur yang sama seperti saat aku berangkat menuju Fort Kochi dari bandara pagi tadi.

Sontak kondektur perempuan setengah baya itu tersenyum dan menunjukkan jari ke arahku ketika aku melompat naik dari pintu depan, rupanya dia masih mengenali raut mukaku. Aku membalas senyumnya dan sebelum duduk aku bertitip pesan penting kepadanya, “Drop me off at Vyttila Station, Mam !”.

Oooooh…Vyttila Station….Oke, don’t worry”, dia menjawab dengan aksen dan gaya khas….Menggeleng-gelengkan kepalanya.

Usai memastikan kondektur perempuan itu memahami pesanku, aku segera mengambil tempat duduk dan lagi-lagi waktuku harus terbuang karena menunggu bus dipenuhi oleh penumpang.

Usai semua bangku terisi oleh penumpang, maka bus mulai bertolak menuju Aerotropolis Nedumbassery.

—-****—-

Aku diturunkan di sebuah perempatan besar dengan kesibukan proyek flyover di atasnya. Perjalanan sejauh dua puluh kilometer kubayar dengan ongkos sebesar 40 Rupee.

Berdiri di perempatan, aku mengawasi sekitar, feeling telah mengarahkanku untuk melangkah ke barat demi menemukan Stasiun Vittyla. Maka dengan penuh kepercayaan diri kulangkahkan kaki menujunya.

Menyisir trotoar panjang di tepian Sahodaran Ayyappan Road nan ramai kendaraan, aku terus mengawasi sekitar. Tetapi….Semakin jauh melangkah, aku tak kunjung melihat keberadaa stasiun MRT yang kucari.

Dan pada akhirnya, kuputuskan bertanya saja kepada seorang penjahit yang sedang khusyu’ bekerja di kiosnya.

Dia mengernyitkan dahi begitu faham aku tersasar. Menghentikan pekerjaannya, dia keluar dari kios dan berjalan menuju trotoar sambil memintaku mengikutinya. Dia menunjuk arah timur dan dengan jelas memintaku untuk menyeberangi perempatan di bawah proyek flyover dan melangkah lurus setelah menyeberangi perempatan tersebut.

Mengucapkan terimakasih, aku melangkah ke arah semula.

Sesampai di perempatan, aku bertanya kepada seorang opsir polisi yang kebetulan sedang bertugas mengurai kemacetan. Dia menunjukkan arah dimana untuk sampai ke seberang jalan, aku harus melintasi area bawah jalan layang yang dipenuhi oleh para pekerja proyek.

Aku berhasil tiba di seberang jalan, maka selanjutnya aku kembali melangkah meneruskan jarak tersisa untuk menemukan Stasiun Vyttila.

Alhamdulillah…Aku akhirnya menemukannya….

Penuh kegirangan, aku segera memasuki bangunan stasiun dan langsung berburu tiket. Menggunakan lift, dari Ground Level aku menuju ke Concourse Level. Di lantai itulah dengan mudah aku menemukan konter penjualan tiket. Kali ini aku hanya akan membeli single journey ticket untuk menuju Stasiun Aluva.

Dengan membayar 60 Rupee aku mendapatkan tiket yang dimaksud dan segera menuju ke platform.

Menunggu MRT di Kerala menjadikanku teringat ketika menjelajah beberapa stasiun MRT di New Delhi di awal tahun 2018. Saat itu aku melihat bahwa standar keamanan di MRT New Delhi dilakukan dengan sangat ketat oleh Central Industrial Security Force (CISF) yang merupakan pasukan polisi bersenjata yang bekerja di bawah Parlemen India. Di bawah pengawasan mereka, jangan harap bisa mengambil foto dengan mudah di MRT New Delhi.

Mengingat pengalaman tersebut, aku tak memberanikan diri memotret situasi stasiun dengan terang-terangan.

MRT yang kutunggu pun tiba….Perlahan merapat di sepanjang sisi platform, tanpa ragu aku segera menaikinya dan di dalam gerbong aku memilih berdiri saja di dekat pintu. Tujuanku adalah menikmati keindahan Kerala, mengingat MRT ini melintas di jalur rel layang sehingga sepanjang perjalanan akan memamerkan pemandangan kota yang indah dari ketinggian.

Perempatan dimana aku diturunkan.
Stasiun Vyttila.
Konter penjualan tiket Kochi Metro.
Inilah Mass Rapid Transportation ke-11 dari 13 MRT di luar negeri yang pernah kunaiki.
Suasana ketika pertama kali memasuki gerbong.
Penampakan kereta-kereta reguler India.
Stasiun Aluva.

Sejauh mata memandang, banyak sekali kutemukan pohon kelapa yang bertebaran di sudut-sudut kota. Memang ….Mengapa negara bagian ini disebut dengan “Kerala”.

 Ya “Kerala” memiliki makna “Tanah Kelapa”, maka sudah tepat jika dinamakan demikian, karena aku dengan mudah menemukan pohon kelapa hingga ke tengah kota.

Di sepanjang perjalanan, tak sedikit penumpang tampak heran memperhatikanku yang terlalu sering mengambil gambar lewat jendela kereta. Mereka pastinya faham bahwa aku adalah pelancong asing yang sedang mengabadikan kota. Untuk menetralkan suasana, aku berusaha melemparkan senyum ramah kepada beberapa penumpang yang tampak sesekali memperhatikan keberadaanku.

Semakin menjauhi Stasiun Vyttila, suasana gerbong semakin penuh, tampak kebanyakan dari mereka adalah karyawan yang sedang dalam perjalanan pulang dari kantor mereka masing-masing. Sungguh waktu yang tepat bagiku untuk mencicip transportasi kebanggan warga Kerala sore itu karena aku menaikinya tepat pada jam-jam sibuk masyarakat lokal dalam menggunakan MRT.

Tak terasa, Kochi Metro semakin mendekat ke Stasiun Aluva yang merupakan stasiun paling ujung dari rute reguler Metro Kochi. Aku pun bersiap turun…. 

Aku masih berjarak lima belas kilometer dari penginapan, jadi aku masih harus melanjutkan perjalanan menuju Aerotropolis Nedumbassery menggunkan airport bus.

Begitu Kochi Metro menghentikan segenap rodanya, aku segera menuruni lantai atas stasiun untuk menuju jalan raya demi mencegat airport bus yang akan melewati Stasiun Aluva.

Terimakasih Kochi Metro yang sudah memberikan pengalaman berharga dalam perjalananku di Kerala…

Kisah Selanjutmya—->

KURTC: Cochin International Airport ke Fort Kochi

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menyantap jajanan ringan Appam, Elai Adai dan Samosa, aku menyempurnakan sarapan dengan menyeruput perlahan Chai panas yang membuat badan menjadi hangat setelah semalaman terpapar dinginnya penyejuk ruangan bandara.

Seruputan terakhir Chai menandakan bahwa aku harus bersiap diri menuju destinasi utama hari itu….Apalagi kalau bukan Fort Kochi, sebuah kawasan perpaduan empat budaya yaitu Belanda, Portugis, Inggris dan India.

Meninggalkan Cafe Sulaimani, aku kembali melangkah menuju bundaran di sekitar gerbang utama Cochin International Airport.  Setibanya di sana aku merasa beruntung karena ada seorang opsir polisi yang sedang bertugas.

“Sir, Where is bus shelter which can deliver me to Fort Kochi?”, aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Just wait there, bus will come on fifteen minutes”, dia melihat jam tangannya dan menunjuk ke sebuah pojok jalan.

“Thanks, Sir”

“Welcome”

Aku segera menyeberang jalan dan menunggu tepat di tikungan. Tak ada halte apapun di sisi jalan itu. Hanya saja petunjuk opsir polisi itu sudah membuatku yakin bahwa bus bisa dihentikan di pojok jalan itu.

Lima belas menit menunggu adalah masa-masa menenangkan, bagaimana tidak, opsir polisi itu sepertinya tak lengah memperhatikanku sembari mengatur lalu lintas di sekitar. Dia sepertinya akan memastikanku terangkut oleh bus pada pemberangkatan terdekat.

Benar adanya, tepat lima belas menit, sebuah bus berwarna oranye dengan logo KURTC (Kerala Urban Road Transport Corporation) keluar dari arah bandara. Dengan cepat aku menangkap kehadirannya, begitu pula dengan opsir polisi itu. Ketika bus perlahan semakin mendekat, sang opsir menatapku dari kejauhan dan telunjuknya diarahkan ke bus tersebut sembari tersenyum. Aku mengacungkan jempol dan membalas senyumnya.

“Terimakasih pak polisi yang baik hati”, aku membatin ceria.

Aku memasuki bus dari pintu depan dan mengambil tempat duduk di sisi tengah. Keluar dari bandara, deretan bangku bus masih terlihat kosong. Tak lama duduk, seorang kondektur perempuan dengan mesin geseknya datang mendekatiku.

“Where will you go?”, dia melontarkan pertanyaan.

“Fort Kochi, Mam”, aku menjawab sembari tersenyum.

“88 Rupee”, kondektur itu menggeleng khas India.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas ketika bus perlahan bergerak ke barat meninggalkan Aerotropolis Nedumbassery. Bus merangsek melalui Airport Road, jalanan utama berpembatas  trotoar di antara kedua ruasnya.

Perlahan tapi pasti, bus menaikkan penumpangnya satu per satu di sepanjang jalan. Ada yang dinaikkan di halte dan ada juga yang dinaikkan di luar halte.

Dalam lima belas menit, rasa penasaranku terbayarkan ketika bus melintas di sebuah stasiun MRT.

Itu pasti Stasiun Aluva”, aku membatin.

Dalam peselancaranku di dunia maya, aku menemukan bahwa Kochi adalah kota yang memiliki fasilitas MRT. Kini aku sudah menemukan jalurnya dan aku menjadi berniat untuk mencicip Kochi Metro walau hanya sekali saja. Mungkin sepulang dari Fort Kochi sore nanti.

Meninggalkan Aluva, keramaian warga lokal mulai terlihat masif ketika bus memasuki sebuah kawasan industry, daerah Kalamassery namanya. Truk-truk besar khas industri tampak memenuhi jalanan, sedangkan bus-bus kota jenis yang lain dijejali oleh warga lokal yang sibuk beraktivitas.

Kemudian keluar sedikit dari kawasan Kalamassery, gedung-gedung apartemen mulai kutemui kehadirannya. Dugaanku, para pekerja dari kawasan industri itu sebagian besar tinggal di apartemen-apartemen yang didirikan di sekitar wilayah Ernakulam.

Stasiun Aluva, salah satu stasiun dalam jaringan Kochi Metro.
Suasana HMT Road di sebuah kawasan industri Kalamassery.
TBPL GK Arcade (kanan depan) adalah gedung apartemen di distrik Ernakulam tepat di sisi Jalan Ernakulam-Thekkady.

Setelah 45 menit menit perjalanan, merapatlah bus ke sebuah terminal di daerah Vyttila. Sebagian besar penumpang naik dan turun di terminal ini. Inilah bus hub yang berukuran lumayan besar di kota Kochi. Bus-bus dari dan menuju daerah lain di Kerala tampak merapat di terminal ini.

Usai menaikkan penumpang di Vyttila Hub Bus Terminal, bus kembali merangsek ke jalanan. Semakin ke barat, sungai-sungai besar mulai mengakuisisi pemandangan. Aku faham bahwa bus yang kunaiki semakin merapat ke arah pantai barat Kerala. Sungai-sungai itu bercabang-cabang membelah daratan. Semakin banyaknya daratan yang terpisah oleh perairan menyebabkan aku mulai menemukan banyak sekali jembatan di bagian akhir perjalanan menuju Fort Kochi.

Salah satunya adalah jembatan terpanjang di Kerala yaitu Kundannoor Bridge yang menghubungkan  dua area, yaitu Maradu di timur jembatan dan Thevara di baratnya. Perairan-perairan luas itu membuat panorama sejauh mata memandang menjadi lebih sejuk dan biru.

Selepas melewati jembatan terpanjang di Kerala itu, bus memutar roda menyusuri Willingdon Island yang merupakan hamparan daratan yang dikelilingi sepenuhnya oleh perairan sehingga menjadikannya terpisah dari daratan utama Kerala. Sementara itu, area Fort Kochi sendiri  adalah bagian dari daratan utama Kerala yang terletak di bagian paling barat sehingga bus harus sekali lagi melewati sebuah jembatan untuk menuju ke sana.

Adalah Gateway of Cochin BOT Bridge yang memfasilitasi penghubungan antara pulau dan daratan utama tersebut.

Vyttila Hub Bus Terminal di tepian Sungai Kaniyampuzha.
Suasana dalam bus setelah meninggalkan daerah Vyttila.
Pemandangan dari atas Kundannoor Bridge.
Gateway of Cochin BOT Bridge yang menghubungkan Willingdon Island dengan daratan utama Kochi
Kesibukan di area Thoppumpady sekitar pukul sebelas siang.
Suasana lain wilayah Thoppumpady di sekitar AK Xavier Road.
Pemakaman di kawasan Fort Kochi.

Dan pada akhirnya, genap satu jam melakukan perjalanan, bus mulai masuk di area Fort Kochi. Kali ini keramaian sekitar lebih didominasi oleh kegiatan pariwisata. Baik wisatawan lokal maupun mancanegara berbaur di setiap penjuru Fort Kochi.

Perlu waktu setengah jam lamanya bagi bus untuk merangsek membelah padatnya jalanan Fort Kochi hingga tiba di shelter terakhir KURTC bus yang lokasinya tak begitu jauh dari pantai barat Kerala.

Okay….Saatnya mengeksplorasi Kochi selama beberapa jam ke depan.

Kisah Selanjutnya—->

Hotel Royal Wings: Mencicip Appam, Elai Adai dan Samosa

<—-Kisah Sebelumnya

Gelap masih menaungi langit Kochi ketika penanda waktu menunjuk angka enam. Membuat nyali ciut demi melangkah menuju penginapan yang sesungguhnya hanya berjarak satu setengah kilometer. Aku memutuskan untuk tetap duduk di ruang tunggu arrival hall Cochin International Airport Terminal 3.

Tapi ternyata….

Saking kantuknya, aku malah duduk terlelap memeluk backpack….

Sedikit melebihi pukul delapan, aku tersentak bangun. Cahaya terang telah menembus dinding kaca bandara. Aku melangkah pergi melewati seorang tentara bersenjata laras panjang yang dari dini hari tadi setia menjaga exit door bandara.

Aku berjalan memotong drop-off zone, melewati tepian car parking zone, melintasi kesibukan di Chili Restaurant lalu tiba di gerbang utama Cochin International Airport yang cantik berhiaskan surya yang membulat di ufuk timur.

Selepas melewati gerbang eksotik itu, aku berdiri di sebuah bundaran jalan yang sangat sibuk oleh kendaraan yang keluar masuk dari dan ke bandar udara utama di Negara Bagian Kerala tersebut. Berdiri di salah satu sisinya, aku sanggup menatap jelas keberadaan deret bangunan modern di sebuah sisi jalan.

Tak salah lagi, penginapanku pastinya ada di sana”, aku membatin.

Dekat sekali ternyata”, aku tersenyum senang.

Kini, aku sudah berada tepat di sisi selatan jalur lurus dan bersiap menyeberang menuju kompleks bangunan modern itu. Ramainya kendaraan pagi itu membuatku susah menyeberang. Berada di jalanan negara orang memang selalu menjadi hal yang selalu kuperhatikan, aku tak mau berbuat kekonyolan dan membahayakan diri, karena alur perjalananku setengahnya pun belum usai.

Susah payah aku menyeberangi Airport Road untuk tiba di sisi utara jalan dan kemudian mulai mencari keberadaan penginapan yang telah kupesan melalui e-commerce perjalanan terkemuka dengan harga 800 Rupee.

Yiiaaiiyy, aku menemukannya….

Aku sudah keluar dari gerbang utama Cochin International Airport.
Bundaran di sisi barat gerbang utama Cochin International Airport.
Deret bangunan modern di sisi utara Airport Road.
Ini dia Hotel Royal Wings, tempatku menginap malam nanti.

Kembali lagi di jauh hari sebelum keberangkatan, begitu sulit menimbang-nimbang lokasi penginapan yang akan kupilih. Hasratku begitu kuat untuk menginap di sekitar pantai yang tentu akan memberikan banyak peluang untuk menikmati eksotiknya pesisir barat Kerala lebih lama.

Hanya saja, penerbangan pagiku di esok hari menuju Dubai menjadi sebuah batasan untuk jangan terlalu jauh dari bandara ketika memilih penginapan. Akhirnya aku memutuskan menginap di Hotel Royal Wings dan memutuskan untuk seharian ini saja menikmati suasana di kawasan Fort Kochi.

Hello, Sir, Can I put my backpack here?”….Aku bertanya pada seorang petugas resepsionis laki-laki.

I have booked a room in this hotel. This is the e-confirmation”, aku menambahkan informasi.

Menerima selembar surat konfirmasi itu, dia mulai berselancar di desktopnya dan menggecek keberadaan order penginapan tersebut.

Ok, Sir. I have checked your order. You can put your backpack here and you can check-in on 1pm…Come!”, dia mulai mengarahkanku ke sebuah ruangan kecil di belakang meja resepsionis. Rupanya ruangan itu memang digunakan khusus untuk menyimpan barang-barang para penginap.

Separuh beban punggungku sudah tertitip di penginapan, kini aku akan melangkah pergi untuk memulai eksplorasi.

Tetapi sebelum melangkah lebih jauh, aku memutuskan untuk mencari sarapan di sekitar hotel.

Mencium bau harum dari sebuah cafe, aku tergelitik untuk mendekatinya, melihat menu sarapan ala India yang menggoda, aku memutuskan untuk masuk dan mengambil tempat duduk.

Cafe Sulaimani…”, aku membaca nama cafe itu di sebuah dinding.

Aku memutuskan membeli sarapan sederhana seperti yang dilakukan oleh para warga lokal di dalam cafe itu. Ini dia menu sarapanku pagi itu.

Appam, Elai Adai, dan Samosa dan segelas Chai seharga 55 Rupee….Hhmmhhh, lezat juga rupanya.

Selepas sarapan, aku bergegas menuju bundaran di dekat gerbang utama Cochin International Airport untuk berburu bus menuju Fort Kochi….Nanti akan kuceritakan bagaimana aku menuju kesana.

Masih mengenai Hotel Royal Wings….

Aku sendiri baru bisa memasuki hotel selepas mengeksplorasi Fort Kochi.

Aku tiba kembali di hotel dengan menumpang airport bus dari Stasiun Aluva. Menjelang pukul enam sore, aku langsung saja meminta kunci kepada si empunya hotel yang sedang berada di meja resepsionis.

Seusai mendapatkan kunci, aku diantar oleh seorang room boy, aku menenteng backpack menuju kamar di lantai atas untuk segera membersihkan badan. Alamak, aku terakhir kali mandi adalah 30 jam yang lalu.

Mau tahu kan bagaimana hotel yang kuinapi, ini dia:

Reception desk.
Lobby.
Double bed.
Bathroom.
Lihat TV jadoelnya….Hahaha.

Aksesibiltas

Mengingat lokasi Hotel Royal Wings yang dekat dengan airport, tentu hotel ini sangat dekat dengan berbagai fasilitas umum yang memudahkan para penginapnya.

Setidaknya aku bisa berangkat dengan mudah menuju Fort Kochi menggunakan KURTC bus yang berangkat dari bandara. Selain itu aku juga mudah mendapatkan restoran halal, tempat penukaran uang dan minimarket di sekitar hotel.

Jaraknya yang bisa ditempuh dalam lima belas menit dari dan ke bandara, memudahkanku untuk mengejar penerbangan esok pagi dengan tepat waktu daripada ketika aku harus memilih penginapan di sekitar Fort Kochi.

Restoran dengan harga terjangkau di sekitar hotel.
Kerala Urban Road Transport Corporation (KURTC) bus menuju Fort Kochi yang melewati Airport Road di depan hotel.

Pada akhirnya, berkunjung ke India selalu saja menyenangkan karena negara ini memiliki fasilitas hotel dan kekayaan kuliner dengan harga yang sangat terjangkau bagi seorang backpacker.

Oleh karenanya, jangan pernah ragu untuk melancong ke Negara Anak Benua itu.

Yuk, berkunjung ke India.

Kisah Selanjutnya—->