Kebobolan Kartu Kredit dari Departure Hall Cochin International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Masih saja gelap ketika aku meninggalkan kedai makanan dan menyeberangi Airport Road demi menggapai Terminal 3 Cochin International Airport.

Pagi itu pesawatku akan terbang meninggalkan Kochi menuju Colombo. Penerbangan yang kuambil adalah connecting flight Srilankan Airlines menuju destinasi akhir, yaitu Dubai.

Menelusuri beberapa jalur mobil di halaman bandara nan luas, aku merasa aman saja karena keberadaan para polisi bandara yang berkeliling mengamankan situasi.

Dalam dua puluh menit aku tiba tepat di halaman depan Terminal 3.

Menyeberangi drop-off zone, maka secara otomatis aku berada di departure hall bagian luar. Aku berusaha mencari keberadaan Flight Information Display System (FIDS) di selasar keberangkatan. Dengan mudah aku menemukannya dan kemudian mulai memperhatikan larik-larik informasi yang terpampang di layar tersebut.

Tetapi beberapa menit menunggui fragmen demi fragmen tampilan, nomor penerbanganku tak kunjung muncul. Sementara kursi-kursi di selasar keberangkatan perlahan mulai dipenuhi oleh para calon penumpang yang datang.

Apa oleh buat, aku yang penuh inisiatif, bergegas mendekati pintu masuk menuju departure hall bagian dalam.

Please, show your ticket and passport, Sir !”, seorang serdadu bersenjata laras panjang menahanku di pintu hall.

Oh okay……This is, Sir”, aku memberikan passport dan e-ticket cetak.

Dalam beberapa waktu kami berdua terdiam. Aku menunggu sang serdadu memeriksa dokumen yang kuberikan, sedangkan dia dengan khusyu’ membolak-balik halaman passportku serta mengamati lekat-lekat e-ticket cetak yang kuberikan.

This flight isn’t ready yet to check-in, Sir. Please wait for thirty minutes outside”, dia mengembalikan segenap dokumen yang tadi kuberikan sembari menunjuk deret bangku yang sebetulnya telah penuh oleh calon penumpang lain yang menunggu penerbangan mereka masing-masing.

Aku segera meninggalkan serdadu itu karena antrian memasuki departure gate mulai mengular. Bersyukur tersisa satu bangku kosong yang baru saja ditinggalkan oleh seorang calon penumpang dan membuatku nyaman menunggu hingga proses check-in penerbanganku dibuka.

Selama menunggu aku tertegun dalam mengamati aktivitas para penumpang India yang sibuk mempersiapkan bagasinya di luggage wrapping service. Timbul pertanyaan dalam hati: “apakah penanganan bagasi di India bermasalah?”.

Di percobaan yang kedua, serdadu itu mengizinkanku untuk memasuki departure hall karena check-in counter untuk penerbanganku telah berstatus OPEN. Melewati penjagaan para serdadu, selanjutnya aku pun diperiksa dengan sangat ketat di screening gate. Di India memang selalu begitu, bahkan setiap memasuki stasiun MRT di New Delhi, aku harus menjalani pemeriksaan ketat di screening gate stasiun. Mungkin aksi-aksi radikal masih menjadi perhatian penting di sana.

Aku tiba di check-in counter…..

Setelah menunggu beberapa proses check-in penumpang yang mengantri di depanku selesai, maka kemudian menjadi giliranku untuk menghadap ke check-in desk. Seperti biasa, aku bergegas menyerahkan passport, e-ticket dan hotel booking confirmation.

“Where is your destination?”, petugas wanita nan manis melontarkan pertanyaan standar.

“Dubai, Ms”.

“Do you have Unitd Arab Emirates Visa”, dia kembali menanyakan satu dokumen penting tersisa.

“Sure. Ms”, aku memberikan eVisa kepadanya.

Setelah beberapa waktu mengamati eVisa yang kuberikan, dia memanggil temannya. Kini petugas check-in desk laki-laki datang menghampiri meja. Mereka berdua tampak berdiskusi sambil menunjuk-nunjuk eVisa yang kuberikan. Hal ini tentu membuatku tegang, aku berfikir cepat: “Mungkin ada yang salah dengan dokumenku”.

Selepas berdiskusi, tampak petugas pria bersiap diri berbicara padaku dengan mimik serius.

“What do you go to Dubai for?”, dia melontarkan pertanyaan pertama

“Just tourism, Sir”

“Is this your first time go to Dubai?”, pertanyaan kedua terlontarkan.

“Yes, Sir”

“Why don’t you use direct flight from Jakarta to Dubai”, pertanyaan ketiga terucap.

“So expensive Sir if I take a direct flight from Jakarta. Outside of that, I went to Malaysia and India before arrive in Dubai because I’m a travel blogger and I need to take some content”, aku menjawab jelas dan jujur.

“Can I see you vlog?”

Not vlog, Sir…but it’s blog”, aku menegaskan

“Yeaa…whatever of that”

“This is, Sir. I had exkplored some region like South East Asia, East Asia, South Asia”

“Oh, nice…So it’s your time to explore Middle East area?”

“Exactly, Sir….for that I’m here now”

“Okay…I”ll give you two tickets for this connecting flight ?”

“Thank you very much, Sir”

“….Welcome….”

Beberapa waktu kemudian dia memberikan dua lembar tiket Srilankan Airlines. Satu tiket untuk penerbangan Kochi-Colombo dan satu lagi untuk penerbangan Colombo-Dubai.

“Oh yeeaa, don’t forget to take picture with nice spot behind this counter ! …There are many elephant sculpture there….And don’t forget to write it in your blog, Okay….hahahah ! ”, untuk pertama kalinya dia menampakan senyum dan berkelakar akrab di depanku.

“Oh Okay, with my pleasure, Sir….I love this airport”, aku mencoba menjawab seakrab mungkin dan dia hanya tersenyum menggeleng-gelengkan kepalanya saja.

Sebenarnya, aku sudah mengetahui keberadaan ikon bandara itu, hanya saja aku hampir terlupa untuk menyambanginya karena interogasi beberapa waktu lalu yang membuatkan sejenak berkurang ingatan. Beruntung check-in desk staff laki-laki itu memberitahuku sehingga aku tidak kehilangan momen mengabadikan ikon itu.

Menuju departure gate.
Drop-off zone.
Check-in zone.
Patung-patung gajah yang menjadi ikon Cochin International Airport.

Selepas keluar dari check-in area, aku segera mengurus departure stamp di konter imigrasi. Tahapan keluar dari sebuah negara selalu saja berproses cepat, aku berhasil melaluinya dengan mudah untuk kemudian mengikuti petunjuk di sepanjang koridor untuk tiba di waiting room di sepanjang gate pemberangkatan.

Ruang tunggu Cochin International Airport memang terlihat unik, antar ruangan gate di desain tidak bersekat sehingga menjadikan ruang tunggu dengan sembilan gate itu tampak lega. Kursi-kursi tunggal berukuran lebar dengan dudukan busa pun disediakan di sepanjang gate.

Kuputuskan untuk mengambil salah satu bangku untuk duduk menunggu boarding time yang masih dua jam lagi. Kemudian aku berusaha untuk mengakses WiFi bandara untuk mencari beberapa informasi penting mengenai pariwisata Dubai.

Baru saja berhasil mengakses WiFi, aku menerima sebuah notifikasi dari WordPress untuk segera memperpanjang penggunaan domain blog perjalanan yang saya miliki karena beberapa hari ke depan masa berlakunya akan habis.

Aku berfikir, daripada mengambil resiko kehilangan domain di saat sedang melakukan perjalanan, maka aku memutuskan memperpanjang domain tersebut saat itu juga.

Ternyata menghilangkan resiko kehilangan domain tersebut, membuatku mendapatkan resiko lain tanpa kusadari. Kesalahan utama yang kulakukan dengan melakukan pembayaran menggunakan kartu kredit menggunakan akses WiFi bandara ternyata memunculkan resiko baru, yaitu kemungkinan pembajakan data oleh para hacker atas kartu kreditku.

Dan benar apa adanya nanti bahwa beberapa bulan setelah aku pulang dari petualangan menjelajah kawasan Timur Tengah, kartu kreditku kebobolan. Beruntung eksekusi pembayaran yang dilakukan si hacker dinyatakan gagal sehingga proses tagihan ke salah satu bank swasta kenamaan di Jakarta otomatis dibatalkan….Hmmh, ada-ada saja.

Waktu menunggu yang terlalu lama, membuatku gatal untuk kembali melakukan eksplorasi. Kuputuskan untuk kembali berkeliling ke seluruh departure gate hingga naik ke lantai dua yang secara mayoritas digunakan sebagai duty free zone.

Gate.
Duty free zone.
Food court area.
Saatnya terbang menuju Colombo.

Di tengah waktu berkeliling hall, aku sejenak merapat ke salah satu pojok dimana Fligt Information Display System (FDIS) dan beberapa Advertisement LCD diinstalasi. Aku sejenak tertegun membaca informasi pada salah satu layar LCD. Aku membaca informasi itu dalam hati:

“Cochin International Airport…The recipients of United Nation’s Highest Environmental Honor, The Champion of the earth-2018”

Wahhhh….Keren ya bandara ini.

Hanya karena departure gates yang tak terlalu luas membuatku tak membutuhkan banyak waktu untuk mengeksplorasinya. AKhirnya kuputuskan untuk kembali menunggu saja hingga boarding timeku tiba.

Kisah Selanjutnya—->

Mengakali Lapar di Mahatma Gandhi Beach

<—-Kisah Sebelumnya

Sangkala bergeser hampir pukul tiga, bergulir tanpa ampun menghakimi diri yang terlena menikmati teduhnya Vasco da Gama Square.

Sementara arus pelancong di beach walkway menjadi lebih ramai dari  sebelumnya. Menyadarkan diri untuk segera bangkit dan meneruskan eksplorasi.

Aku melompat dari sebuah titik di tempat duduk panjang berbahan beton, meninggalkan sekelompok pemuda Kerala yang masih saja bercakap ria di bawah sebuah pohon tua, rindang nan melenakan. Untuk kemudian melangkah menuju bibir pantai dan mengikuti arus di beach walkway.

Beach walkway itu tak megah-megah amat, berupa hamparan beton berubin kasar selebar dua setengah meter, dibatasi dengan urugan batu raksasa di sebelah bibir pantai dan garis pepohonan di sisi yang lain.

Tak hanya keriuhan pelancong  yang memeriahkan suasana pantai, tetapi para pemburu rezeqi benar-benar sibuk meniagakan souvenir, es krim, minuman dingin dan makanan berat atau ringan lainnya.

Pantai ini mungkin tak lebar tetapi tetap saja menjadi tempat ideal bagi penghuni Fort Kochi untuk menyambut senja. Tak hayal, keserian tertampil alami di paras setiap pelancong sore itu.

Inilah Mahatma Gandhi Beach….Interior Fort Kochi yang akan memainkan peran dalam pariwisata kota di sebelah Barat Negara Bagian Kerala.

Pantai dengan panjang tak lebih dari tujuh ratus meter ini memamerkan garis pantai Malabar yang langsung mnghadap ke Samudera Hindia.

Tak hanya bangku permanen yang dihadirkan di sepanjang beach walkway, pantai itu juga menyediakan anjungan beton menjorok ke arah pantai yang ramai digunakan para pelancong sebagai tempat berburu gambar.

Bahkan di anjungan itulah, aku kerap membantu beberapa rombongan pemuda-pemudi lokal yang ingin mengabadikan foto bersama….Tentu sebagai imbalan, aku difotoin juga dong….Tapi yang lebih penting, hal tersebut menjadikanku tak kesepian dalam eksplorasi sore itu.

Bekas ketel uap tua yang dibiarkan kehadirannya….Membuat benda ikonik di Mahatma Gandhi Beach.
Lumayan kan beach walkway itu?.
Masih cukup panas untuk turun ke bibir pantai.
Lihat gadis India yang manis-manis ituh….Alamak.
Pemuda-pemuda lokal yang sedang berburu gambar.

Sangkala terus menjauhi angka tiga ketika perut mulai memainkan irama khas pengiring perjalanan….Aku lapar….Wkwkwk.

Mataku otomatis tertuju pada deretan cafe dan rumah makan tepi pantai. Tertarik akan keberadaannya, maka kuputuskan mendekat dan mencari informasi. Walau dipenuhi pelancong, tetapi deretan cafe tersebut tak menjual makanan berat.

Sementara rumah makan yang menjual menu makanan berat ternyata belum buka juga. Hal itulah yang kemudian membuatku mengusir diri untuk mencari alternatif dengan caraku sendiri saja.

Kini aku mulai berfikir….

Lebih baik aku mencari kalori dari kedai street food aja. Daripada telat makan dan meresikokan diri”, aku telah memutuskan.

Melangkah ke ujung selatan pantai, aku menemukan area lapang, beralas pavling block dengan pohon-pohon besar di tengahnya serta tempat duduk berbahan beton yang dirindangi oleh pepohonan itu.

Mataku sekejap tertuju pada sebuah gerobak jagung yang dijaga oleh seorang pemuda lokal.

How much is this?”, aku mulai menanya

“40 Rupee”, pemuda itu menjawab sembari tersenyum.

“Okay, I buy it….Just one”, aku tak kuasa lagi menahan lapar.

Tak istimewa, hanyalah jagung rebus yang kemudian dikupas kulitnya lalu diolesi dengan bumbu kari yang tajam menusuk penciuman. Usai membeli, aku tak langsung menyantapnya. Kubirkan saja indera penciuman terbiasa dengan aroma kari yang sedap menyengat itu.

Aku mengambil duduk di bawah sebuah pohon bersama rombongan penduduk lokal yang tampak bersiap menyantap makan siang dari bekalan rantangnya masing-masing. Selanjutnya, aku dan mereka sama-sama bersantap siang di salah satu sudut pantai.

Usai menyantap jagung rasa kari tersebut, aku berburu kalori lain sebagai tambahan energi dalam persiapan melangkah lebih jauh lagi di area Fort Kochi.

Aku memutuskan untuk mencicipi es krim yang hanya dijual seharga 20 Rupee. Aku mendapatkannya dari sebuah kedai es krim di pertengahan beach walkway. Sekiranya sebuah jagung dan sepotong es krim telah menjadi peredam lapar sementara.

Mau ngopi?….
Menu makan siangku….
Makan di bawah pohon itu nikmat tauk….
Saatnya menjilat….Menjilat es krim maksudnya.

Hanya berada di pantai selama genap satu jam lalu memutuskan pergi untuk menjelajah ke tempat lain yang masih bisa dijangkau dalam beberapa jam ke depan.

Kisah Selanjutnya—->

Atmosfer Milenial Vasco da Gama Square

<—-Kisah Sebelumnya

Menjelang pukul dua siang, aku meninggalkan Santa Cruz Cathedral Basilica. Masifnya pamflet yang mengabarkan perihal pentas kesenian tari tradisional, membuatku penasaran untuk mencari keberadaan Kerala Kathakali Centre yang merupakan pusat pertunjukan seni tari tersebut.

Pencarian itu harus dilakukan karena aku tak akan memiliki kesempatan yang cukup untuk menyaksikan pertunjukannya secara langsung. Akan sedikit terbayarkan rasa penasaran itu apabila aku bisa menyambangi secara langsung tempat pertunjukan tersebut, jika beruntung aku bisa melihat persiapan yang dilakukan oleh para pelaku pertunjukan ataupun kesibukan para crew yang akan terlibat di dalamnya.

Rasa penasaran itu menghantarkanku untuk kembali turun ke jalanan dan mulai mencari keberadaan tempat pertunjukan seni tari itu. Memilih menulusuri Fosse Road, aku melangkahkan kaki menuju barat, tetap saja ini adalah jalan yang berbeda dari rute yang kutempuh sebelumnya. Sehingga sudah sekian banyak jalan di Fort Kochi yang kutapaki hingga siang menjelang sore itu.

Fosse Road yang kali ini kulewati ternyata hanya memiliki dua blok dan di akhir ruasnya, tepatnya di Kunnumpuram Junction, aku memutuskan melangkah ke utara memasuk TM Muhammad Road.

Pencarian itu menjadi semakin sulit rupanya….

Lelah mencari dan tak kunjung menemukannya, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang pemilik toko di ruas jalan itu. Tetapi jawabannya sungguh membuat heran karena dia bahkan hanya menggeleng-gelengkan kepala dan tidak mengetahui tempat itu. Sudah kupastikan juga bahwa dia mengerti Bahasa Inggris dan kami berdua bercakap saling memahami….”Walah, alamat ini mah”, aku membatin kecut.

Memang begitu biasanya, “semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”. Kondisi ini pernah menjadi cerminan diri sendiri dahulu kala. Sebelum menggeluti dunia traveling, ketika diminta menunjukkan arah ke Taman Ismail Marzuki oleh seorang bule, aku menggeleng tak tahu, padahal aku sedang berjarak tak lebih dari setengah kilometer dari destinasi itu….Parah kamu, Donny!

Alhasil, kecapean karena terus melangkah ditambah dengan akan segera hadirnya senja, aku memutuskan untuk membatalkan pencarian itu. “Lebih baik fokus ke destinasi berikutnya saja”, aku membatin dalam peluh yang semakin mengucur deras.

Menghabiskan ruas jalan tersisa, tibalah aku di jalan melintang terdekat dengan pantai. Adalah Bellar Road yang sekarang kutapaki.

Kini aku menuruti langkah kaki menuju timur. Maksud hati yang mendominasi adalah keinginan untuk menikmati pantai utama yang menjadi tempat favorit bagi warga Fort Kochi dalam menutup senja.

Aku sungguh menikmati kerindangan  Bellar Road sebelum tiba di pertigaan yang menjadi pertemuan Bellar Road itu sendiri dengan KB Jacob Road.

Kini aku kembali ke titik awal….

Aku benar-benar sudah membuat jalur melingkar melintasi Fort Kochi sedari tiba.

Gerung mesin airport bus terdengar langsam di pojok jalan sembari menanti penumpangnya. Tapi aku belum mau pulang….Aku belum mau usai mengeksplorasi.

Terus saja melangkah ke timur, aku kembali mengulangi ruas River Road yang semakin ramai saja dibandingkan kondisi siangnya tadi. Kedai-kedai souvenir sisi selatan Nehru Park for Children tampak diserbu wisatawan lokal ataupun mancanegara.

Lalu langkahku terhenti pada area lapang berdasar pavling block dan dikelilingi pepohonan besar. Area ini sepertinya menjadi tempat idola kaum muda Fort Kochi, tempat ini sepertinya menjadi lokasi meeting point, nongkrong ataupun tempat untuk sekedar melakukan killing time. Tampak para milenial duduk bercengkerama dengan sesama di tempat duduk beton yang dibuat melingkari sebuah pohon besar.

Pelataran itu terletak tepat di sudut meruncing di timur Nehru Park for Children yang secara kontur berbentuk persis segitiga sama sisi. Area ini dibatasi oleh River Road di sisi selatan dan Beach Walkway di sisi utara. Suasanan pelataran juga berasa lebih hidup karena tersematnya berbagai mural yang tergambar di batang pepohonan.

River Road menuju Vasco da Gama Square.
Semakin sore semakin ramai di sisi selatan Vasco da Gama Square.
Ini dia pelataran utama Vasco da Gama Square di tepian pantai.
Mural di pepohonannya lucu ih….
Sisi utara Vasco da Gama yang berbatasan langsung dengan pantai.
Lapak ikan di sisi utara Vasco da Gama.

Ketika area di sekitar trotoar River Road dipenuhi banyak kedai street food dan souvenir maka area di sekitar Beach Walkway dimanfaatkan oleh deretan lapak penjual ikan laut yang tampak masih segar karena baru diturunkan dari perahu-perahu nelayan atau hasil tangkapan dari chinese fishing nets yang banyak terinstalasi di bibir pantai.

Inilah Vasco da Gama Squre yang menjadi oasis berharga bagi milenial Fort Kochi untuk menikmati keindahan pesisir pantai.

Belum….Aku belum sampai di pantai utamanya……

Kisah Selanjutnya—->

Keindahan Arsitektur Gotik di Santa Cruz Cathedral Basilica

<—-Kisah Sebelumnya

Menghindari jalanan yang sama saat menuju Saint Francis Church, aku merubah haluan. Kupilih menapaki Ridsdale Road yang di sepanjang kanannya tertampil Parade Ground yang memainkan peran sebagai bumi perkemahan bagi warga Fort Kochi, sangat lapang dengan rumput nan menghijau.

Hanya dalam dua blok, aku mengikuti arus di tikungan untuk bergabung dengan pejalan kaki lain di Quiros Street yang di ujung selatannya dibatasi oleh taman bermain dengan dua pohon besar nan rindang saling berdampingan. Kedua pohon tua itu seakan membentuk sebuah gerbang besar sebagai pintu masuk taman. Taman tersebut berjuluk Santa Cruz Ground….Mirip dengan nama destinasi yang akan menjadi tujuan langkahku berikutnya.

Aku menikmati rindangnya taman dengan berjalan menyejajarinya di sebelah utara melalui Santa Cruz Road. Sepertinya taman itu sering digunakan untuk bermain kriket, tampak jelas dari markah-markah yang tertera di dalam taman.

Panjang taman bermain itu tak lebih dari dua ratus meter. Berjalan beberapa waktu, akhirnya aku tiba di ujungnya yang terpotong oleh KB Jacob Road. Dan jika ditarik garis lurus ke utara, maka KB Jacob Road ini akan menemukanku dengan Kochi Airport Bus Terminal, tempatku turun beberapa jam lalu saat tiba pertama kalinya di Kochi.

Artinya apa?….

Artinya, sejak jam sebelas siang tadi aku sudah melakukan perjalanan kaki dengan jalur melingkar mengelilingi Fort Kochi.

Apakah aku merasa capek?….Tidak, justru aku semakin bersemangat.

Di depan sana, berkisar pada jarak seratus meter, destinasi berikutnya yang kutuju telah menunggu. Menyisir KB Jacob Road aku melangkah cepat menujunya.

Sewaktu kemudian, aku telah berada di gereja kedua yang kukunjungi selama di Fort Kochi. Gereja ini bernama Santa Cruz Cathedral Basilica. Setibanya, aku diam terpaku mengamati dari sebuah titik di halaman gereja ketika semua turis sibuk keluar masuk bangunan gereja tersebut.

Tak tampak yang spesial memang apabila gereja ini hanya dipandang dari luar. Oleh karenanya aku mencoba mencari tahu apakah ada yang terlihat istimewa di dalam bangunan sana. Sebelum memasuki pintu gereja aku mencoba membaca dengan seksama peraturan yang harus ditaati. Peraturan itu tertulis pada sebuah batu prasasti berukuran kecil,

Gereja ini adalah tempat peribadatan dan bukanlah sebuah museum. Waktu kunjungan adalah pukul 09:00 – 13:00 & 14:30 – 17:30 (Senin sampai Sabtu). Khusus hari Minggu karena ada aktivitas ibadah maka gereja bisa dikunjungi pada pukul 10:30 – 13:00. Pada Jum’at minggu pertama setiap bulannya akan diselenggarakan adorasi sehingga pengunjung tidak diizinkan masuk. Selama di dalam gereja dilarang menggunakan telepon genggam

Begitulah aturan yang tertera dan aku cukup maklum memahaminya. Hanya saja, aku tiba di gereja ini pada hari Kamis sekitar pukul setengah dua siang, Seharusnya gereja ini sudah ditutup untuk wisatawan, tetapi aku sungguh bersyukur karena wisatawan masih diizinkan masuk….Oh, beruntungnya kamu, Donny.

Memasuki pintu, apa yang menjadi ekspektasiku atas gereja Katedral ini sungguh menjadi kenyataan.

Gereja Katedral dengan dua menara.
Waow….Indah bukan?
Lihat patung-patung sakral itu !
Luar biasa….
St. Mary’s Canossian Convent…Sebuah biara di sisi kiri gereja.
Sebuah paviliun yang merupakan bangunan memorial di sisi kanan gerja.

Interior luhur yang mengadopsi seni Gotik khas Romawi menjadikan gereja ini tersemat nilai seni yang tinggi. Sementara di setiap tiang bangunan, terpajang patung-patung yang menggambarkan tokoh-tokoh yang ada di dalam Alkitab. Konon yang membuat interior gereja ini adalah seniman asal Italia yang bernama Fra Antonio Moscheni. Tetapi beliau meninggal tepat empat hari sebelum gereja ditasbihkan, yaitu pada tahun 1905. Inilah tahun dimana gereja katedral telah selesai dibangun ulang setelah terakhir kali runtuh oleh pasukan Inggris. Sedangkan gereja ini mendapatkan status Basilika pada tahun 1984 melalui dekrit khusus Paus Yohanes Paulus II.

Santa Cruz Cathedral Basilika adalah satu dari dua gereja yang selamat dari penghancuran seluruh gereja Katolik pada zaman kolonialisme Belanda di era 1660-an. Oleh Belanda, bangunan gereja ini dijadikan gudang senjata dan kemudian hancur oleh tentara Inggris yang merebut Kochi dari tangan Belanda.

Nah, begitulah kisah kunjunganku di Santa Cruz Cathedral Basilica.

Cukup menarik, bukan?

Kisah Selanjutnya—->

Berjumpa Petualang Ulung di Saint Francis Church

<—-Kisah Sebelumnya

Di jalur keluar Princess Street aku telah memutuskan untuk mengambil arah kanan demi melanjutkan eksplorasi.

Walau panas sudah tak semenyengat beberapa jam sebelumnya, tetapi tetap saja paparan surya tanpa jeda membuat badan bekeringat dan kulit samar terbakar. Namun hal tersebut tak membuatku berjalan terburu. Rasa ingin tahu sekitar mengalahkan segalanya.

Di sebuah sudut, bangunan klasik berwarna putih yang difungsikan sebagai Tourist Information Centre tampak dijejali wisatawan asing yang mungkin sedang berburu informasi mengenai Fort Kochi, sebagian besar dari mereka adalah turis asal Eropa.

Aku sendiri enggan untuk singgah di bangunan itu, lalu lebih memilih menapaki Bastian Street sisi timur. Identik dengan Princess Street, jalanan yang kulalui ini masih didominasi oleh bangunan-bangunan seperti hotel, cafe dan restoran, toko buku dan souvenir serta toko seni dan kerajinan tangan. Hanya satu yang membedakan, arus wisatawan tak lagi sepadat di Princess Street.

Tiba diujung jalan, bangunan besar yang berfungsi sebagai kantor India Post menyambutku. Tentu bukan bangunan itu yang menjadi tujuan eksplorasi berikutnya, melainkan sebuah bangunan peribadatan yang terletak persis di seberang timurnya.

Enggan memutar jalan, aku memasuki sebuah lapangan rumput dan kemudian menyusuri pagar tembok bangunan peribadatan sisi selatan hingga benar-benar sampai di gerbang depannya.

Inilah Saint Francis CSI Church, salah satu gereja Eropa tertua di India. CSI sendiri merupakan inisial dari Church of South India yang merupakan perkumpulan gereja protestan di India.

Sebelum memasuki bangunan gereja, aku tertegun pada sebuah prasasti dua bahasa yang menjelaskan detail tentang Saint Francis Church.

Bahwa Saint Francis Church adalah landmark utama di Fort Kochi yang dibangun pada abad ke-16. Sejarah yang dimiliki gereja ini sangat merepresentasikan sepak terjang kolonial dalam menanamkan pengaruh kekuatan Eropa di India, yang dimulai dari abad ke-15 hingga abad ke-20

Tulisan lainnya adalah:

Unni Rama Koil I, sang penguasa Kochi memberikan izin kepada Kapten Cabral asal Portugis untuk membangun sebuah benteng dan gereja di muara sungai

Masih di depan gereja….

Aku mengamati sebuah tugu berprasasti dengan ketinggian dua setengah meter yang didirikan tepat di pusat halaman. Tak mau menginjak rumput halaman, maka aku urung membaca prasasti kecil itu.

Kini saatnya masuk ke dalam gereja….

Memasuki pintu, aku dihadapkan pada deretan kursi tunggu memanjang saling berhadapan di sisi kiri kanan. Seorang petugas tampak memberikan penjelasan pelan bahwa setiap pengunjung harus melepas sepatunya sebelum masuk, melarang pengunjung mengambil video dan meminta pengunjung untuk mematikan telepon genggam.

Sebagai pengunjung yang baik tentu aku menghormati aturan itu. Karena toh aku hanyalah seorang penikmat perjalanan, tak perlu banyak komplain. Nikmati saja aturannya…..

Tetapi mendadak sebelum melangkah masuk, aku teringat sesuatu ketika berada di teras gereja. Dinding teras tampak dipenuhi oleh lembaran-lembaran batu prasasti yang pernah aku lihat di Museum Wayang di Kota Tua Jakarta….Sangat mirip.

Pagar gereja….Tebel beud, kan?
Saint Francis Church tampak depan.
Teras gereja.
Nah, stone inscription kek gini mirip-mirip obyek yang sama di Museum Wayang, gaes.

Nah….

Kejutan paling penting dalam eksplorasi ini ternyata kutemukan di dalam gereja….

Tanpa kusadari, langkah kakiku dalam menikmati interior gereja terhenti pada sebuah makam di sisi kanan ruangan. Setelah kubaca beberapa batu prasasti di sekitar makam, aku baru sadar bahwa itulah makam Sang Petualang ulung asal Portugis, yaitu Vasco da Gama sang penemu jalur laut dari Eropa ke India.

Aku juga tak akan pernah memahami jika tak mengunjungi makam ini. Diceritakan bahwa Vasco da Gama meninggal di Kochi karena terkena malaria pada tahun 1524, tepatnya pada pelayaran ketiganya ke India. Untuk kemudian jenasahnya dikebumikan di Saint Francis Church ini.

Tetapi kan Vasco da Gama adalah tokoh ternama di Portugal….Tentunya kisah kepahlawanannya mendapat tempat tersendiri di mata rakyat Portugis. Oleh karenanya, empat belas tahun setelah meninggal, jenazahnya dipindahkan ke Lisbon, ibukota Portugis.

Bagian dalam gereja.
Bertemu sang petualang sejati….Makam Vasco da Gama.
Bagian samping gereja.

Sungguh perjalanan yang menghadirkan kejutan….

Itulah kenapa aku mencintai petualangan.

Kisah Selanjutnya—->

Menduga Hingar Bingar Princess Street

<—-Kisah Sebelumnya

Setelah beberapa waktu duduk bersantai di Nehru Park for Children, aku keluar dari area taman tepat di gerbang pojok selatan yang tepat menghadap Jawahar Park.

Cukup sudah….Tak perlu mengunjungi taman sebelah, waktuku tak lagi cukup”, aku membatin ketika berdiri tepat di sebuah perempatan.

Berdiri tegak, mataku lekat memandang ke ruas jalan di utara, selarik jalur dengan deret bangunan berketinggian rendah dan model klasik berdiri di kedua sisinya.

“Princess Street…”, begitulah aku membaca sebuah papan nama jalan berwarna hijau yang di beberapa permukaannya telah diakuisisi karat. Sementara itu, slogan promosi pariwisata Negara Bagian Kerala tersemat pada sebuah papan putih di bawahnya. “God’s Own Country”, begitulah aku membacanya.

Aku sudah bersiap untuk menyusuri jalan legendaris itu….

Langkahku menyusuri Princess Street bermula dari sebuah toko di sisi kiri jalan yang menjual berbagai karya seni dan kerajinan tangan. Toko itu bernama Little India dan berdampingan dengan toko Royal Heritage yang menjual produk yang sama. Sedangkan di seberangnya, sebuah penginapan dengan nama The Travellers Inn tampak klasik bersebelahan dengan Chariot Beach Restaurant.

Sejauh mataku memandang, jalan selebar lima meter itu, bahunya langsung berbatasan dengan bangunan-bangunan tempoe doeloe yang didirikan mengikuti kontur jalanan di kedua sisi. Terik yang sudah tak semenyengat beberapa waktu lalu masih saja terasa sebagai konsekuensi dari tiadanya pepohonan yang menaungi jalanan, kecuali sebuah pohon yang berdiri kokoh tepat di depan Fort Kochi Hotel.

Princess Street merupakan pusat dari area Fort Kochi Heritage di selatan India. Bangunan-bangunan klasik bergaya Eropa tersebut pada masa sekarang telah dialihfungsikan sebagai homestay, toko alat kesenian, bookstore, restoran atau agen perjalanan wisata.  

Princess Street juga menjadi jalan yang dibangun pertama kali di area ini. Siang itu, aku mencium bau harum dari tempat pembuatan kue di sepanjang jalan. Dan konon, pada malam hari, turis dan penduduk lokal akan merayakan kehadiran malam dengan dinner, dansa dan pesta dibawah meriahnya siraman lampu warna-warni.

Inilah jalur legenda sepanjang hampir tiga ratus meter yang berpangkal dari River Road di utara dan berakhir di Peter Celli Street di selatan yang ditandai dengan keberadaan cafe kenamaan, yaitu Loafers Corner Cafe

Kupelankan langkah ketika berada tepat di pertengahan ruas….

Harusnya aku tiba di sini saat malam, pasti tempat ini akan menjadi tempat menarik untuk melepas lelah setelah berkeliling Fort Kochi seharian….Hmmhhh”, aku terus bergumam menyayangkan keadaan.

Toko seni dan kerajinan tangan.
Fort Kochi Hotel (kanan berwarna kuning).

Hampir pukul satu siang….

Genangan tipis air tampak menggenangi beberapa titik jalanan, aku rasa itu hanyalah air yang digunakan untuk menyiram jalanan demi mengurangi debu dan hawa panas tengah hari tadi. Satu dua kendaraan roda empat tampak berpapasan melintasi jalan dan beberapa unit bajaj tampak terparkir di sembarang titik di tepian jalan.

Sementara spanduk-spanduk promosi pertunjukan tarian klasik India tampak menempel di beberapa tiang listrik yang tegak berdiri di sepanjang sisi jalan. Aku sudah faham bahwa pertunjukan tari di Fort Kochi biasanya diselenggarakan saat malam tiba, di sekitaran pukul delapan.

Biasanya Fort Kochi akan menyuguhkan beberapa pertunjukan kesenian tari lokal, seperti Mohiniyattom, Kuchuppudi dan Bharathanatyam. Satu lagi, selain hiruk pikuk Princess Street, aku juga akan melewatkan pertunjukan seni itu tentunya. Malam nanti, aku pastinya akan berada di penginapan yang jaraknya lebih dari lima puluh kilometer dari Fort Kochi. Aku harus lebih mengutamakan penerbangan menuju Dubai di keesokan paginya. Setahuku, pertunjukan tarian lokal itu akan di selenggarakan di Kerala Kathakali Centre yang lokasinya berada di belakang Basilica Church.

Tak terasa perjalanan menyusuri Princess Street telah mengantarkanku untuk tiba di ujung selatan jalan. Aku kini berdiri di depan Loafers Corner Cafe yang merupakan cafe kenamaan yang tak pernah sepi pengunjung.

Ga ngafe, Don? …..”, hati kecilku berbisik.

Ya kagak, lah….Wkwkwkwk”, hati kecilku pulalah yang menjawab pertanyaannya sendiri.

Beberapa cafe dan restoran di sepanjang Princess Street).
Silahkan kalau mau cari novel !….Biar ndak kesepian.

Kini aku sudah berada di sebuah perempatan jalan dan harus memutuskan kembali, kemanakah selanjutnya kaki akan melangkah?

Kisah Selanjutnya—->

Sentuhan Portugis di Sepanjang Nehru Park for Children

<—-Kisah Sebelumnya

Yang harus kuindahkan adalah rasa hati yang sesungguhnya belum puas dalam menyaksikan kesibukan para nelayan lokal yang larut dengan kesibukannya mengurusi hasil tangkapan.

Surya sudah mulai tergelincir dari titik tertingginya, perlahan kehilangan daya sengat, tunduk oleh senja yang mulai menguasai hari.

Sedangkan aku dengan berat hati, bangkit dari tempat duduk di bawah tenda yang didirikan beberapa depa dari bibir pantai. Sewaktu kemudian aku sudah menggabungkan diri dalam arus River Road yang semakin ramai. Arus pelancong sepertinya merujuk pada persiapan atraksi alam yang tak lain adalah tenggelamnya surya di ufuk barat, itu semua akan terjadi dalam beberapa jam ke depan. Langit yang cerah tampaknya akan menyokong penuh atraksi alam itu nanti sore.

Tak hanya para pelancong, lengsernya surya dari tahta tertinggi dipadukan dengan teduhnya pesisir Fort Kochi juga membuat sekumpulan gagak hinggap di tanah dan turut serta menikmati suasana. Satwa hitam itu tampak larut dalam kegembiraan dengan menyibukkan diri mengais santapan dari sisa-sisa makanan yang terjatuh dari genggaman para pelancong, satu dua diantaranya tampak sibuk mengumpulkan guguran akar gantung yang kuduga akan digunakan untuk membuat sarang dan sebagian sisanya hanya sibuk berkicau mensyukuri sejuknya sore.

Untuk kemudian aku tertegun pada sebuah prasasti di sebuah sisi jalan. Aku mengangguk-angguk membaca goresan demi goresan yang tertoreh di sebidang prasasti tersebut. Sementara pelancong lain turut merapat mengikuti tindak tandukku. Tentu mereka pun ingin memahami informasi penting yang tertera di prasasti. Anggap saja, pada akhirnya aku dan para pelancong memahaminya dengan cukup baik

Kamu sendiri faham ga dengan prasasti seperti ini?…..Hahaha.

Mari kita secara paksa menyimpulkan bahwa prasasti tersebut adalah tanda pengesahan sebidang taman yang ada di depanku. Di dalam sana, warga lokal tampak menikmati sejuknya taman dengan bersandar di bangku-bangku yang tersedia, sebagian yang lain tampak duduk di bangku-bangku beton yang tersebar di beberapa titik..

Taman kota……Kenapa aku suka menghadirkan diri di landskap jenis itu?.

Gaes…..Untuk mengetahui atmosfer kehidupan kelas menengah ke bawah, maka menilik taman kota di wilayah yang bersangkutan bisa menjadi langkah terefektif selain mengunjungi pasar tradisionalnya. Oleh karenanya, taman kota adalah jenis destinasi yang tak bisa lepas dari sasaran singgahku dimanapun aku melakukan eksplorasi.

Masuk ke dalamnya, di segenap titik, sculpture ikan tampak mendominasi arsitektur taman yang menurut pengamatanku memiliki luasan tak kurang dari dua hektar.

Ikan?…..

Tentu bisa ditarik kesimpulan…..Ikan menjadi perlambang mata pencaharian utama masyarakat Fort Kochi yang menghuni di sepanjang garis Pantai Malabar.

Tuanya pepohonan yang menaungi seluruh taman dari sengatan surya mungkin bisa menggambarkan seberapa tua usia taman. Dan entah bagaimana meriahnya taman di gelap malam karena keberadaan tiang-tiang lampu di segenap penjuru.

Sesuai konsepnya yang diperuntukkan bagi anak-anak, sudah barang tentu wahana permainan anak-anak diinstalasi masif di sepanjang luasan taman. Prosotan, kursi putar dan ayunan menjadi wahana standar yang disediakan .

Gerbang taman sisi utara.
Patung ikan begituan banyak banget….Itu si anak pipis sembarangan kok ga di denda ya?….Wkwkwk.
Lihat warga lokal itu !
Anak-anak belum pada hadir….Mungkin sebentar lagi.
Nah, main kursi putar.
Posko Green Cochin Mission.
Bangunan khas Portugis yang ada sejak tahun 1800-an.
Duh pengen bingitz gua naikin tuh sepeda….Capek tahu jalan kaki muluk.

Mengambil duduk di salah satu bangku, aku dengan santainya menikmati keotentikan deretan bangunan bersejarah khas Portugis di seberang selatan. Bangunan-bangunan klasik itu berdiri anggun di sepanjang Tower Road meskipun telah beralih fungsi menjadi penginapan-penginapan bintang empat. Gaya klasik bangunan-bangunan Portugis itu seakan membawaku memasuki masa di abad ke-19. Sebut saja Koder House  yang dominan merah dan Old Harbour Hotel dominan putih yang merepresentasikan  sentuhan Eropa di pesisir Fort Kochi.

Sementara di sisi barat bagian dalam tampak keberadaan sebuah posko berwujud tenda besar dengan tajuk Green Cochin Mission. Inilah program yang digalakkan pemerintah kota sebagai gerakan utama untuk membebaskan Kochi dari bencana sampah kota. Ternyata tak hanya di tanah air, di India sama saja, sampah menjadi sebuah permasalahan pelik yang tak pernah tuntas terselesaikan.

Sementara di sisi utara, River Road tampak lebih ramai dengan kedai-kedai souvenir dan jajanan lokal. Lalu di timur taman adalah permulaan dari ruas jalan yang melegenda….Princess Street.

Yuk, kita telusuri Princess Street….Ada apakah gerangan?

Kisah Selanjutnya—->

Chinese Fishing Nets: Anco ala Fort Kochi

<—-Kisah Sebelumnya

Penantian panjang untuk hadir di pesisir Fort Kochi lunas sudah. Dalam satu lompatan menuruni KURTC Bus warna oranye membuatku benar-benar berdiri di kota yang dibangun di atas hutan bakau itu. Sejenak aku berdiri mematung menilik sekitar, beradaptasi cepat dengan riuhnya pelancong di destinasi tersohor di Negara Bagian Kerala itu.

Mulai beranjak dari sebuah sudut KB Jacob Road, kini aku menyejajari Kochi Corporation Zonal Office, sebuah kantor pemerintah yang bertugas mengelola Kota Fort Kochi yang berkepadatan tujuh ratus ribu jiwa.

Hari itu masih Kamis….Entah kenapa?….Saat tengah hari, kantor pemerintah dua lantai berdinding warna krem itu gerbang depannya tertutup rapat. Berhasil membuatku berpaling muka dan kembali menatap lurus bentangan KB Jacob Road yang tegak lurus dengan garis pantai.

Siang itu aku tak akan merunut sebuah agenda terstruktur. Tanpa itinerary, akan kubiarkan kakiku melangkah sesukanya menikmati pesona Fort Kochi.

Baru saja melangkah….Bak tak serasa di kawasan pantai, itu karena jalanan Fort Kochi menyajikan suasana rindang dengan hiasan pokok-pokok tua yang menaungi sepanjangnya. Bahkan pavling block dipilih sebagai alas jalanan yang tersusun dengan sangat rapi.

Ditambah dengan keramaian para pelancong lokal dan mancanegara membuatku merasa tak begitu kesepian walau berada jauh dari rumah. Toh banyak bule yang tampak berjalan sendirian layaknya solo traveler sepertiku.

Baru menginjakkan kaki beberapa langkah di jalanan Fort Kochi, hatiku terkagum karena aku seperti dibawa ke masa lampau disaat menyaksikan model bus-bus lokal yang mengetem berburu penumpang di sepanjang sisi jalan. Bus-bus itu seakan didatangkan dari masa lalu….Jadoel, tapi justru membuat suasanan kota menjadi lebih klasik.

Kochi Corporation Zonal Office di pertemuan River Road dan KB Jacob Road.
Suasana River Road.

Menuju destinasi pertama, aku memutuskan menepi ke bibir pantai. Dari foto-foto wisata Fort Kochi yang sering kutemukan di laman mesin pencari, chinese fishing nets selalu menjadi yang tersering muncul di laman itu. Kini, aku ingin mencari keberadaannya, jika beruntung aku akan melihat dari dekat aktifitas para nelayan India di sekitarnya.

Bibir pantai tak lagi jauh, hanya tiga puluh meter saja menyejajari River Road yang sedang kulintasi. Aku segera keluar dari arus jalanan dan memutuskan segera merapat ke sana. Dalam sekian langkah aku tiba di tepian pantai dan sejauh mata memandang hamparan biru Pantai Malabar cukup memanjakan mata.

Pemandangan cantik itu dibubuhi dengan rutinitas para nelayan di sepanjang pantai. Sekelompok nelayan tampak bersantai menikmati kopi di sebuah kedai, sekelompok yang lain tampak sekedar berteduh dan berlindung dari panasnya surya serta beberapa yang lain tampak sibuk mendaratkan perahu dan membongkar muatan hasil melautnya untuk kemudian muatan itu dipindahkan ke tong pendingin.

Pemandangan lain di tepian pantai adalah kesibukan beberapa kelompok kecil nelayan yang menangkap ikan menggunakan chinese fishing nets…Nelayan kita menyebut alat ini sebagai anco atau tangkul. Karena diinstalasi di bibir pantai, maka hasil tangkapan dari pengoperasian alat tangkap itu kebanyakan berupa ikan berukuran kecil.

Berbincang-bincang bersama nelayan India itu yukks!
Nah, ikannya datang….Mari kita lihat sebesar apa ikannya?.
Mereka sedang bongkaran juga.
Wujud Tangkul atau Anco ala India.

Ikan-ikan segar dan besar hasil melaut tampak langsung diangkut menggunakan kendaraan-kendaraan pick up untuk dibawa keluar dari area pantai. Sedangkan beberapa ikan berukuran sedang dan kecil tampak langsung di jual di lapak-lapak ikan di sepanjang pantai.

Berbaur dengan masyarakat lokal memang menjadi sebuah aktivitas favorit. Bahkan terkadang sedikit senyuman yang terlempar dari wajah mereka membuatku seakan tetap dekat dengan rumah. Hal itulah yang menjadikanku betah duduk berlama-lama bersama mereka dan enggan beranjak dari bibir pantai.

Fort Kochi memang menggambarkan geliat ekonomi yang tinggi, di sembarang tempat tampak berjubal pelancong.

Di perairan, kapal-kapal wisata hilir mudik di sepanjang pantai membawa beragam turis multi-bangsa.  Kapal-kapal wisata itu tentunya menawarkan jasa sea cruise di sepanjang pantai untuk menikmati keeksotikan Fort Kochi.

Sedangkan di daratan, tak sedikit pula bus pariwisata yang terparkir di sepanjang jalanan Fort Kochi. Seakan Fort Kochi telah terdaulat sebagai kota wisata di Negara Bagian Kerala.

Tourist Boat….Tur dengan perahu berkeliling pantai barat Kerala, mungkin sampai Vembanad Lake jugakah?.
Bus pariwisata charteran di selatan India.

Genap sudah, satu jam aku menaruh diri di bibir pantai dan puas menikmati aktivitas para nelayan lokal.

Aku harus segera beranjak….

Yuk ikutin langkah kakiku lagi….Tempat selanjutnya ga jauh kok dari pantai.

Kisah Selanjutnya—->

KURTC: Cochin International Airport ke Fort Kochi

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menyantap jajanan ringan Appam, Elai Adai dan Samosa, aku menyempurnakan sarapan dengan menyeruput perlahan Chai panas yang membuat badan menjadi hangat setelah semalaman terpapar dinginnya penyejuk ruangan bandara.

Seruputan terakhir Chai menandakan bahwa aku harus bersiap diri menuju destinasi utama hari itu….Apalagi kalau bukan Fort Kochi, sebuah kawasan perpaduan empat budaya yaitu Belanda, Portugis, Inggris dan India.

Meninggalkan Cafe Sulaimani, aku kembali melangkah menuju bundaran di sekitar gerbang utama Cochin International Airport.  Setibanya di sana aku merasa beruntung karena ada seorang opsir polisi yang sedang bertugas.

“Sir, Where is bus shelter which can deliver me to Fort Kochi?”, aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Just wait there, bus will come on fifteen minutes”, dia melihat jam tangannya dan menunjuk ke sebuah pojok jalan.

“Thanks, Sir”

“Welcome”

Aku segera menyeberang jalan dan menunggu tepat di tikungan. Tak ada halte apapun di sisi jalan itu. Hanya saja petunjuk opsir polisi itu sudah membuatku yakin bahwa bus bisa dihentikan di pojok jalan itu.

Lima belas menit menunggu adalah masa-masa menenangkan, bagaimana tidak, opsir polisi itu sepertinya tak lengah memperhatikanku sembari mengatur lalu lintas di sekitar. Dia sepertinya akan memastikanku terangkut oleh bus pada pemberangkatan terdekat.

Benar adanya, tepat lima belas menit, sebuah bus berwarna oranye dengan logo KURTC (Kerala Urban Road Transport Corporation) keluar dari arah bandara. Dengan cepat aku menangkap kehadirannya, begitu pula dengan opsir polisi itu. Ketika bus perlahan semakin mendekat, sang opsir menatapku dari kejauhan dan telunjuknya diarahkan ke bus tersebut sembari tersenyum. Aku mengacungkan jempol dan membalas senyumnya.

“Terimakasih pak polisi yang baik hati”, aku membatin ceria.

Aku memasuki bus dari pintu depan dan mengambil tempat duduk di sisi tengah. Keluar dari bandara, deretan bangku bus masih terlihat kosong. Tak lama duduk, seorang kondektur perempuan dengan mesin geseknya datang mendekatiku.

“Where will you go?”, dia melontarkan pertanyaan.

“Fort Kochi, Mam”, aku menjawab sembari tersenyum.

“88 Rupee”, kondektur itu menggeleng khas India.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas ketika bus perlahan bergerak ke barat meninggalkan Aerotropolis Nedumbassery. Bus merangsek melalui Airport Road, jalanan utama berpembatas  trotoar di antara kedua ruasnya.

Perlahan tapi pasti, bus menaikkan penumpangnya satu per satu di sepanjang jalan. Ada yang dinaikkan di halte dan ada juga yang dinaikkan di luar halte.

Dalam lima belas menit, rasa penasaranku terbayarkan ketika bus melintas di sebuah stasiun MRT.

Itu pasti Stasiun Aluva”, aku membatin.

Dalam peselancaranku di dunia maya, aku menemukan bahwa Kochi adalah kota yang memiliki fasilitas MRT. Kini aku sudah menemukan jalurnya dan aku menjadi berniat untuk mencicip Kochi Metro walau hanya sekali saja. Mungkin sepulang dari Fort Kochi sore nanti.

Meninggalkan Aluva, keramaian warga lokal mulai terlihat masif ketika bus memasuki sebuah kawasan industry, daerah Kalamassery namanya. Truk-truk besar khas industri tampak memenuhi jalanan, sedangkan bus-bus kota jenis yang lain dijejali oleh warga lokal yang sibuk beraktivitas.

Kemudian keluar sedikit dari kawasan Kalamassery, gedung-gedung apartemen mulai kutemui kehadirannya. Dugaanku, para pekerja dari kawasan industri itu sebagian besar tinggal di apartemen-apartemen yang didirikan di sekitar wilayah Ernakulam.

Stasiun Aluva, salah satu stasiun dalam jaringan Kochi Metro.
Suasana HMT Road di sebuah kawasan industri Kalamassery.
TBPL GK Arcade (kanan depan) adalah gedung apartemen di distrik Ernakulam tepat di sisi Jalan Ernakulam-Thekkady.

Setelah 45 menit menit perjalanan, merapatlah bus ke sebuah terminal di daerah Vyttila. Sebagian besar penumpang naik dan turun di terminal ini. Inilah bus hub yang berukuran lumayan besar di kota Kochi. Bus-bus dari dan menuju daerah lain di Kerala tampak merapat di terminal ini.

Usai menaikkan penumpang di Vyttila Hub Bus Terminal, bus kembali merangsek ke jalanan. Semakin ke barat, sungai-sungai besar mulai mengakuisisi pemandangan. Aku faham bahwa bus yang kunaiki semakin merapat ke arah pantai barat Kerala. Sungai-sungai itu bercabang-cabang membelah daratan. Semakin banyaknya daratan yang terpisah oleh perairan menyebabkan aku mulai menemukan banyak sekali jembatan di bagian akhir perjalanan menuju Fort Kochi.

Salah satunya adalah jembatan terpanjang di Kerala yaitu Kundannoor Bridge yang menghubungkan  dua area, yaitu Maradu di timur jembatan dan Thevara di baratnya. Perairan-perairan luas itu membuat panorama sejauh mata memandang menjadi lebih sejuk dan biru.

Selepas melewati jembatan terpanjang di Kerala itu, bus memutar roda menyusuri Willingdon Island yang merupakan hamparan daratan yang dikelilingi sepenuhnya oleh perairan sehingga menjadikannya terpisah dari daratan utama Kerala. Sementara itu, area Fort Kochi sendiri  adalah bagian dari daratan utama Kerala yang terletak di bagian paling barat sehingga bus harus sekali lagi melewati sebuah jembatan untuk menuju ke sana.

Adalah Gateway of Cochin BOT Bridge yang memfasilitasi penghubungan antara pulau dan daratan utama tersebut.

Vyttila Hub Bus Terminal di tepian Sungai Kaniyampuzha.
Suasana dalam bus setelah meninggalkan daerah Vyttila.
Pemandangan dari atas Kundannoor Bridge.
Gateway of Cochin BOT Bridge yang menghubungkan Willingdon Island dengan daratan utama Kochi
Kesibukan di area Thoppumpady sekitar pukul sebelas siang.
Suasana lain wilayah Thoppumpady di sekitar AK Xavier Road.
Pemakaman di kawasan Fort Kochi.

Dan pada akhirnya, genap satu jam melakukan perjalanan, bus mulai masuk di area Fort Kochi. Kali ini keramaian sekitar lebih didominasi oleh kegiatan pariwisata. Baik wisatawan lokal maupun mancanegara berbaur di setiap penjuru Fort Kochi.

Perlu waktu setengah jam lamanya bagi bus untuk merangsek membelah padatnya jalanan Fort Kochi hingga tiba di shelter terakhir KURTC bus yang lokasinya tak begitu jauh dari pantai barat Kerala.

Okay….Saatnya mengeksplorasi Kochi selama beberapa jam ke depan.

Kisah Selanjutnya—->

Hotel Royal Wings: Mencicip Appam, Elai Adai dan Samosa

<—-Kisah Sebelumnya

Gelap masih menaungi langit Kochi ketika penanda waktu menunjuk angka enam. Membuat nyali ciut demi melangkah menuju penginapan yang sesungguhnya hanya berjarak satu setengah kilometer. Aku memutuskan untuk tetap duduk di ruang tunggu arrival hall Cochin International Airport Terminal 3.

Tapi ternyata….

Saking kantuknya, aku malah duduk terlelap memeluk backpack….

Sedikit melebihi pukul delapan, aku tersentak bangun. Cahaya terang telah menembus dinding kaca bandara. Aku melangkah pergi melewati seorang tentara bersenjata laras panjang yang dari dini hari tadi setia menjaga exit door bandara.

Aku berjalan memotong drop-off zone, melewati tepian car parking zone, melintasi kesibukan di Chili Restaurant lalu tiba di gerbang utama Cochin International Airport yang cantik berhiaskan surya yang membulat di ufuk timur.

Selepas melewati gerbang eksotik itu, aku berdiri di sebuah bundaran jalan yang sangat sibuk oleh kendaraan yang keluar masuk dari dan ke bandar udara utama di Negara Bagian Kerala tersebut. Berdiri di salah satu sisinya, aku sanggup menatap jelas keberadaan deret bangunan modern di sebuah sisi jalan.

Tak salah lagi, penginapanku pastinya ada di sana”, aku membatin.

Dekat sekali ternyata”, aku tersenyum senang.

Kini, aku sudah berada tepat di sisi selatan jalur lurus dan bersiap menyeberang menuju kompleks bangunan modern itu. Ramainya kendaraan pagi itu membuatku susah menyeberang. Berada di jalanan negara orang memang selalu menjadi hal yang selalu kuperhatikan, aku tak mau berbuat kekonyolan dan membahayakan diri, karena alur perjalananku setengahnya pun belum usai.

Susah payah aku menyeberangi Airport Road untuk tiba di sisi utara jalan dan kemudian mulai mencari keberadaan penginapan yang telah kupesan melalui e-commerce perjalanan terkemuka dengan harga 800 Rupee.

Yiiaaiiyy, aku menemukannya….

Aku sudah keluar dari gerbang utama Cochin International Airport.
Bundaran di sisi barat gerbang utama Cochin International Airport.
Deret bangunan modern di sisi utara Airport Road.
Ini dia Hotel Royal Wings, tempatku menginap malam nanti.

Kembali lagi di jauh hari sebelum keberangkatan, begitu sulit menimbang-nimbang lokasi penginapan yang akan kupilih. Hasratku begitu kuat untuk menginap di sekitar pantai yang tentu akan memberikan banyak peluang untuk menikmati eksotiknya pesisir barat Kerala lebih lama.

Hanya saja, penerbangan pagiku di esok hari menuju Dubai menjadi sebuah batasan untuk jangan terlalu jauh dari bandara ketika memilih penginapan. Akhirnya aku memutuskan menginap di Hotel Royal Wings dan memutuskan untuk seharian ini saja menikmati suasana di kawasan Fort Kochi.

Hello, Sir, Can I put my backpack here?”….Aku bertanya pada seorang petugas resepsionis laki-laki.

I have booked a room in this hotel. This is the e-confirmation”, aku menambahkan informasi.

Menerima selembar surat konfirmasi itu, dia mulai berselancar di desktopnya dan menggecek keberadaan order penginapan tersebut.

Ok, Sir. I have checked your order. You can put your backpack here and you can check-in on 1pm…Come!”, dia mulai mengarahkanku ke sebuah ruangan kecil di belakang meja resepsionis. Rupanya ruangan itu memang digunakan khusus untuk menyimpan barang-barang para penginap.

Separuh beban punggungku sudah tertitip di penginapan, kini aku akan melangkah pergi untuk memulai eksplorasi.

Tetapi sebelum melangkah lebih jauh, aku memutuskan untuk mencari sarapan di sekitar hotel.

Mencium bau harum dari sebuah cafe, aku tergelitik untuk mendekatinya, melihat menu sarapan ala India yang menggoda, aku memutuskan untuk masuk dan mengambil tempat duduk.

Cafe Sulaimani…”, aku membaca nama cafe itu di sebuah dinding.

Aku memutuskan membeli sarapan sederhana seperti yang dilakukan oleh para warga lokal di dalam cafe itu. Ini dia menu sarapanku pagi itu.

Appam, Elai Adai, dan Samosa dan segelas Chai seharga 55 Rupee….Hhmmhhh, lezat juga rupanya.

Selepas sarapan, aku bergegas menuju bundaran di dekat gerbang utama Cochin International Airport untuk berburu bus menuju Fort Kochi….Nanti akan kuceritakan bagaimana aku menuju kesana.

Masih mengenai Hotel Royal Wings….

Aku sendiri baru bisa memasuki hotel selepas mengeksplorasi Fort Kochi.

Aku tiba kembali di hotel dengan menumpang airport bus dari Stasiun Aluva. Menjelang pukul enam sore, aku langsung saja meminta kunci kepada si empunya hotel yang sedang berada di meja resepsionis.

Seusai mendapatkan kunci, aku diantar oleh seorang room boy, aku menenteng backpack menuju kamar di lantai atas untuk segera membersihkan badan. Alamak, aku terakhir kali mandi adalah 30 jam yang lalu.

Mau tahu kan bagaimana hotel yang kuinapi, ini dia:

Reception desk.
Lobby.
Double bed.
Bathroom.
Lihat TV jadoelnya….Hahaha.

Aksesibiltas

Mengingat lokasi Hotel Royal Wings yang dekat dengan airport, tentu hotel ini sangat dekat dengan berbagai fasilitas umum yang memudahkan para penginapnya.

Setidaknya aku bisa berangkat dengan mudah menuju Fort Kochi menggunakan KURTC bus yang berangkat dari bandara. Selain itu aku juga mudah mendapatkan restoran halal, tempat penukaran uang dan minimarket di sekitar hotel.

Jaraknya yang bisa ditempuh dalam lima belas menit dari dan ke bandara, memudahkanku untuk mengejar penerbangan esok pagi dengan tepat waktu daripada ketika aku harus memilih penginapan di sekitar Fort Kochi.

Restoran dengan harga terjangkau di sekitar hotel.
Kerala Urban Road Transport Corporation (KURTC) bus menuju Fort Kochi yang melewati Airport Road di depan hotel.

Pada akhirnya, berkunjung ke India selalu saja menyenangkan karena negara ini memiliki fasilitas hotel dan kekayaan kuliner dengan harga yang sangat terjangkau bagi seorang backpacker.

Oleh karenanya, jangan pernah ragu untuk melancong ke Negara Anak Benua itu.

Yuk, berkunjung ke India.

Kisah Selanjutnya—->