SriLankan Airlines UL 225 dari Colombo (CMB) ke Dubai (DBX)

<—-Kisah Sebelumnya

Rute SriLankan Airlines UL 225 (sumber: flightaware).

Hatiku sumringah usai memergoki nomor penerbanganku pada salah satu tampilan Flight Information Display Siystem (FIDS) di sudur transfer hall Bandaranaike International Airport.

Yiaayyy, sebentar lagi berangkat ke Dubai”, hatiku bersorak girang.

Dengan sigap aku menyudahi aktivitas mengisi daya baterai smartphone dan Canon EOS M10 yang sudah kulakukan sedari beberapa waktu lalu.

Tau gak sih?, kalau aku harus lama berdiri menunggui “alat bantu perjalanan” itu selama dicharge. Hal ini dikarenakan charging station itu berada di sebuah tiang nan ramai dengan lalu-lalang pengunjung bandara. Sedangkan apron view tempatku duduk sebelumnya berada sepuluh meter dari tiang tersebut.

Hmmhhh…..

Sembari menahan betis yang pegal karena terlalu lama berdiri, aku segera melangkah menuju gate 14 seperti yang diperintahkan dalam FIDS. Kali kedua mengunjungi bandara ini, membuatku dengan mudah menemukan gate itu.

Terduduklah aku di kursi tunggu di luar waiting room, gate belum sepenuhnya siap mengantarkan penumpang menuju penerbangan.

Aku tersenyam-senyum sendiri, memperhatikan seorang perempuan muda asal Eropa yang tampak bermain dengan kedua anak perempuannya yang sepertinya masih bersekolah dasar. Mereka memanfaatkan pojok koridor untuk melakukan permainan melompat, berlari dan menari. Sungguh lucu dan menggemaskan. Sementara sang suami tampak sibuk menelpon ke sana kemari.

Selang beberapa waktu, tetiba bangku sebelah kananku yang kosong telah diduduki oleh seorang wanita. Selepas duduk, dia tampak gelisah, tatapnya terus berpindah-pindah titik pandang. Hal itu membuatku penasaran, kuliriknya apa yang dia pegang. Tak salah lagi, itu paspor hijau Republik Indonesia.

“Ada apa gerangan wanita ini sendirian sampai di Sri Lanka?”, aku membatin.

Mencoba menenangkan suasana aku pun berinisiatif untuk membantu,

Ibu mau terbang kemana?“, aku memulai pertanyaan.

“Loh, masnya orang Indonesia toh?, Alhamdulillah ada teman. Saya mau terbang ke Dubai, bingung cari gate, mas”

“Gate berapa, bu?”

“14, mas. Tapi ini kok nomor penerbanganku kok ga sama seperti yang tertera di gate ya, mas?”

“Sebentar, bu”, aku bangkit dari tempat duduk dan berinisiatif bertanya kepada seorang petugas aviation security yang sedang berdiri di depan gate. Dia menjelaskan singkat bahwa gate 14 akan digunakan untuk dua penerbangan.

Aku menjelaskan perihal ini ke si ibu bahwa penerbangannya akan mendahului penerbanganku dan dia menganguk faham setelah kujelaskan. Masalah selesai, kini si ibu bisa menunggu pernerbangannya dengan tenang.

Sebelum si ibu terbang, beliau bercerita bahwa dirinya sedang menuju Dubai untuk berkerja sebagai seorang asisten rumah tangga pada sebuah keluarga Arab di sana. Dia menemukan majikan yang baik hati dan baru kali ini dia pertama kalinya terbang sendirian tanpa teman-temannya sehabis mudik ke kampung halaman.

Beberapa menit kemudian, si ibu berpamitan dan mendahuluiku terbang ke Dubai.

Beburu gate….
Menunggu terbang…
Kenapa kalau masuk kabin, pramugari selalu menjadi pusat perhatian….Selain cantik, apalagi ya alasan lainnya?

Usai waiting room kosong kembali dari penumpang, maka giliranku untuk memasukinya dan bersiap diri untuk terbang. Setelah menunggu beberapa saat di waiting room, akhirnya gate pun dibuka untuk mengalirkan penumpang ke kabin pesawat.

Memasuki aerobridge, aku mengantri di sepanjangnya demi memasuki kabin pesawat.

“Dari Indonesia, Mas?”, seseorang di belakangku menyapa.

“Eh, iya mas. Lho mas dari mana? Saya dari Jakarta”.

“Saya dari Sidoarjo, Mas”

“Aku tadi juga barusan ketemu sama seorang ibu dari Wonogiri lho, Mas. Wah di Sri Lanka malah banyak saudara sendiri ya, mas….Hahaha. Kerja di Dubai, Mas? “

“Iya, Mas, aku kerja di kapal pesiar”.

“Wah mantab, gajine gede pasti”.

“Alhamdulillah, biasa aja, Mas. Masnya juga kerja di sana ta?”

“Ndak mas, aku cuma ingin liat-liat Dubai bentar. Aku kerja di Jakarta”.

Tak terasa percakapan itu terbawa hingga ke dalam kabin pesawat dan terhenti ketika aku menemukan tempat duduk.

“Ati-ati ya mas di jalan, takut nanti di bandara Dubai ndak ketemu lagi”, dia mendahului ucapan perpisahan

“Iya mas, hati-hati juga kerja di sana”

Aku pun duduk dan dia mulai mencari bangkunya di kabin belakang.

—-****—-

Terduduk di bangku bernomor 56G di kolom tengah, aku mulai mengeksplorasi beberapa majalah dan brosur di kursi, membaca Serendib Treasure yang menjadi shopping cataloque milik SriLankan Airlines dan selembar “Taste Our World” yang menyajikan menu penerbangan dari Colombo menuju kawasan Timur Tengah.

Tak lama kemudian, pesawat bersiap lepas landas

Aku memperhatikan sejenak demo keselamatan penerbangan yang dilakukan oleh para awak kabin, untuk kemudian usai pesawar telah airborne maka aku mulai berselancar di LCD TV untuk menonton sebuah film. Kuputuskan untuk mengulang kembali menonton film “Green Lantern” yang diperankan oleh Ryan Reynolds.

Memotong sejenak waktuku setelah beberapa saat menonton….

Awak kabin mulai mendorong food trolley dari arah kabin belakang, aku kembali melihat menu dan kemudian memutuskan untuk memilih Chicken Red Curry sebagai hidangan utama dan untuk dessert kujatuhkan pilihanku pada Rice Phirni (hidangan manis khas Asia Selatan yang dibuat dari nasi putih bubuk, susu, dan gula) serta orange juice sebagai minumannya.

Apapun itu….Flag carrier pasti selalu nyaman walau di kelas ekonomi.
Duh kemampuan english listeningku pas-pasan….
Alhamdulillah, setelah 26 jam ga ketemu nasi.

SriLankan Airlines UL 225 sendiri merupakan penerbangan selama empat setengah jam melintasi Laut Arab. Menempuh jarak udara sejauh kurang lebih 3.300 kilometer.

Penerbangan kali ini menjadi penerbangan ketigaku bersama flag carrier milik Negeri “Permata Samudera Hindia”.

Ketika aku sudah di pertengahan perjalanan, film pun usai menonton film, maka kusempatkan diri untuk tidur sejenak sebelum tiba di Dubai.

ZZZzzzzzz……….

—-****—-

Aku terbangun dari lelap ketika lampu kabin dinyalakan. Para awak kabin tampak sigap dan serius mengecek satu persatu sabuk keselamatan dan sandaran kursi setiap penumpang. Aku yang tak pernah melepaskan sabuk keselamatan pun dilaluinya begitu saja.

Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Dubai International Airport.

Jantungku mulai berdebar, menunggu kejutan-kejutan lain di tempat yang baru pertama kali aku datangi.

Dubai International Airport Terminal 1.

Welcome Dubai.

Kisah Selanjutnya—->

Malam Terakhir di Kochi

<—-Kisah Sebelumnya

Aku bergegas menuruni anak tangga di Stasiun Aluva demi mengejar airport bus yang akan melewati Service Road yang berada di bawah stasiun. Karena Stasiun Aluva adalah stasiun layang yang berada di atas jalan itu.

Menepi di salah satu sisi, aku melihat kedatangan bus berwarna oranye dari sisi kanan. Aksara India yang berada di kaca depan berhasil memunculkan ragu. Untuk memastikan bahwa bus itu menuju bandara, aku memberanikan diri bertanya kepada wanita muda yang kebetulan akan melintas di trotoar dimana aku menunggu. Dilihat dari penampilannya, aku menebak bahwa wanita muda penuh gaya itu pastinya seorang karyawati kantoran. Dilihat dari blazer hitamnya yang rapi dan sepatu kerjanya yang mengkilat.

Yes, Sir. That bus goes to airport”, dia menjawab pertanyaanku sembari melemparkan senyum.

Mengucapkan terimakasih kepadanya, aku segera menaiki bus itu yang beberapa saat sebelumnya berhenti di depan halte.

Bus itu tampak penuh, tetapi si kondektur laki-laki bertubuh kurus itu menunjukkan satu kursi paling belakang yang masih kosong. Aku mengangguk dan bergegas mengakuisisi bangku itu.

Satu kejadian yang membekas hingga saat ini adalah ketika si kondektur itu menagih ongkos 42 Rupee kepadaku. Karena tak ada uang bernominal kecil, menjadikanku tak bisa membayar tarif tersebut. Bersyukur seorang pria muda yang duduk di sebelah kiri berbaik hati menukar uangku dengan pecahan kecil sehingga aku bisa membayar ongkos bus tersebut.

Thank you, Sir for your kindness

Welcome…”, dia menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum menjawabnya.

Semakin mendekati bandara, tatapanku tertuju dengan pemandangan di sisi kanan jendela bus. Mencoba mengamati dengan seksama, aku baru tersadar bahwa yang kulihat adalah ladang panel surya yang teramat luas. Aku masih belum faham untuk apa panel surya diinstalasi di ladang seluas itu.

Pertanyaan itu akhirnya terjawab ketika aku iseng melakukan browsing di sebuah penginapan di Dubai. Maklum selama di India aku tidak berhasil mendapatkan jaringan internet untuk melakukan browsing.

Halte bus dekat Stasiun Aluva.
Airport bus yang kunaiki.
Ladang panel surya dekat bandara.

Jawabannya adalah Cochin International Airport ternyata menggunakan energi listrik tenaga surya untuk pengoperasiannya.

Mengikuti rute airport bus yang kunaiki, mau tak mau, aku harus turun di dalam area bandara. Tetapi setelahnya, untuk menuju penginapan tentu tak susah karena Hotel Royal Wings yang kuinapi hanya berjarak  satu setengah kilometer dari bandara.

Dalam dua puluh menit melangkah akhirnya aku tiba….

Di meja resepsionis, aku segera mengambil backpack yang sedari pagi kutitipkan, setelahnya seorang staff hotel tanpa seragam mengantarkanku menuju lantai dua.

Memasuki kamar, aku segera membongkar semua isi backpack dan menumpahkannya di atas kasur. Sudah menjadi kebiasaanku untuk mengecek ulang keberadaan perlengkapan-perlengkapan penting dalam perjalanan. Usai memastikan semuanya lengkap, aku segera memutuskan untuk mencari makan malam.

Tetapi baru saja melangkah keluar kamar, staff hotel yang tadi mengantarkanku datang kembali.

You are in the wrong room, I’m sorry, can I switch to other room, Sir?” dia menyampaikan informasi.

Oh, Okay….No problem”, aku menjawab.

Aku pun memasuki kamar kembali dan bermaksud mengepack kembali semua perlangkapan yang sudah berantakan di atas kasur.

Rupanya staff ini melongok sebentar dari pintu. Setelah mengetahui bahwa kamar yang kumasuki sudah berantakan maka dia mengurungkan niat untuk memindahkanku.

Sir, I’,m sorry, I think it will be busy if you switch your room. So better, you are still here”, dia sepertinya menyerah menungguku yang sedang melakukan packing.

Akhirnya aku pun tetap akan menginap di kamar yang sama.

Usai mendapatkan kepastian nomor kamar maka segera melakukan rutinitas lain.

Aku menuruni tangga dan duduk di lobby. Aku berfikir keras karena SIM Card yang tak kunjung berfungsi semenjak kubeli pagi sebelumnya telah memblokade diriku dari informasi apapun. Sebetulnya aku hanya ingin mengecek penerbangan esok pagi, apakah ada perubahan jadwal atau tidak. Oleh karenanya, demi memastikan, aku harus mengecek email. Karena setahuku, runway Cochin International Airport sedang direnovasi yang menyebabkan banyak penerbangan terkena delay tadi pagi.

Aku terpaksa meminta password untuk bisa mengakses WiFi penginapan kepada si pemilik yang sedang duduk di meja resepsionis.

“This is the password…Don’t use it to access video, Okay !”, dia berpesesan dengan muka serius.

“Oh Okay, Sir. I just want to check my flight information for tomorrow. Just it, no more”,

“Okay…Okay”, dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Hmmhhh…Baru kali ini menginap di hotel yang pemakaian WiFinya dibatasi….Aneh bin ajaib memang India.

Aku lega, karena tidak ada informasi lanjutan apapun mengenai penerbanganku esok pagi.

Maka langkah selanjutnya yang kulakukan adalah mencari money changer untuk menukarkan Rupee tersisa ke Dollar Amerika. Di beberapa money changer dekat penginapan, aku mendapatkan penolakan karena jumlah Rupee yang akan kutukarkan menurut mereka jumlahnya sangat kecil.

Aku tentu tak menyerah begitu saja. Sekecil apapun Rupee tersisa yang kupegang tentu sangat berharga dalam perjalanan berikutnya.

Bersyukur aku menemukan money changer rumahan di sekitar hotel, money changer kecil itu dengan sigap menerima sisa Rupee yang kupunya. Akhirnya aku mendapat tambahan 7 Dollar Amerika untuk perjalanan berikutnya.

Menggenapkan aktivitas di malam terakhirku di Kochi maka kuputuskan untuk segera berburu makan malam. Tak susah mencari makanan halal hingga pada akhirnya aku memilih duduk di salah satu kursi Al Madheenaa Restaurant.

Memesan seporsi butter rice dan segelas chai, aku menikmati makan malam terahirku di Kochi. Aku benar-benar menikmati menu terenakku selama di berpetualang di Kochi.

Di akhir sesi makan malam, aku membayar 120 Rupee dan bergegas meninggalkan restoran tersebut dan masih membawa sedikit Rupee tersisa yang cukup kugunakan untuk membeli sarapan esok pagi.

Restoran dekat penginapan. Dijamin halal.
Hmmhh….Alhamdulillah, menu begitu aja sudah paling nikmat.

Aku terburu langkah kembali ke penginapan….

Malam itu aku harus mencuci t-shirt dan celana panjang yang telah kukenakan seharian. Tanpa pikir panjang, setiba di kamar aku dengan cekatan mencucuinya lalu mengangin-anginkannya di bawah kipas kamar. Aku berharap esok pagi sudah bisa melipatnya dalam kondisi kering.

Saatnya untuk bersantai dan beristirahat. Hotel itu memang tampak super sederhana. Bagaimana tidak, televisi tabung model lama yang tersedia hanya menampilkan tak lebih dari lima channel sehingga rencana untuk meghibur diri menjadi gagal total.  

Oleh karenanya, aku lebih memilih untuk mengemas perlengkapan ke dalam backpack dan segera beristirahat supaya esok hari badan kembali segar.

—-****—-

Pukul lima pagi aku terbangun….

Mengguyur badan dengan air hangat, bermunajat kepada Allah dalam Shalat Subuh dan memastikan semua perlengkapan tak tertinggal maka aku memutuskan untuk segera melakukan check-out.

Aku check-out menjelang pukul enam pagi, lalu bergegas menuju kedai jajanan di dekat penginapan untuk menyantap sarapan secara sederhana saja. Tiga potong jajanan lokal kusantap dengan lahap lalu kulengkapi dengan menyeruput secangkir chai panas untuk menghangatkan badan di tengah dinginnya udara pagi kota Kochi.

Can this change be exchanged for any food?”, aku menyerahkan semua uang recehku kepada si pemilik kedai. Dengan sigap dia memasukkan beberapa potong jajanan ke dalam kantong plastik.

Dengan penuh senyum aku menerimanya lalu menyelipkannya ke dalam folding bag. Sekantong plastik jajanan itu bisa kugunakan untuk makan siang nanti ketika transit di Colombo.

Kulanjutkan langkah menuju bandara. Tetapi gundah kembali menggelayuti. Mungkin aku kekurangan literasi dalam persiapan berpetualang sehingga menjadikanku khawatir akan Dubai yang konon sangat ketat dalam aturan mambawa obat-obatan.

Menurut sumber yang aku baca, harus ada permohononan izin secara resmi yang bisa diajukan secara online kepada otoritas Uni Emirat Arab jika ingin membawa obat-obatan. Dan aku tak sempat menyiapkannya.

Oleh karena itulah, aku harus mengambil keputusan gegabah ini. Aku yang tak mau ambil pusing akhirnya membuang sekantong obat yang kubawa di sebuah tong sampah di dekat kedai. Hal bodoh yang mungkin pernah kulakukan. Semenjak detik itu pula, aku sudah melakukan perjudian besar, yaitu mengeksplorasi kawasan Timur Tengah tanpa obat-obatan sama sekali.

Oh, Donny….Si cowboy backpacker….

Kisah Selanjutnya—->

Pohon Kelapa dari Kochi Metro

<—-Kisah Sebelumnya

Menunggang ulang ferry menuju daratan utama Fort Kochi, tatap mata berkali-kali tertuju pada penunjuk waktu digital di gawai….maklum aku tak lagi mengenakan jam tangan dalam beberapa kurun waktu terakhir.

Lepas dari antrian yang mengular, aku mendapatkan tiket untuk berlayar jarak pendek menuju dermaga di seberang perairan yang berjarak tak lebih dari satu kilometer.

Selepas ferry berlabuh di dermaga, alih-alih segera menuju ke Kochi Airport Bus Terminal, aku malah berbelok berlawanan arah menuju timur, menapaki Calvathy Road untuk melongok sejenak dermaga lainnya yang dimiliki Fort Kochi. Aku masih saja oportunis untuk menuju ke pulau lain….Aku ingin ke Wellington Island.  

Aku menyisir jalanan di belakang rombongan pelancong lokal yang kesemuanya adalah gadis belia India, dengan pakaian sari yang khas India, kesemuanya berambut panjang terkepang dan terkuncir serta berkulit gelap tapi tetap saja manis. Sesekali mereka menengok ke arahku, merasa sadar sedang kukuntit dari belakang. Aku merasa cuek saja, sengaja aku berbuat demikian untuk menghindari scam yang mungkin saja muncul. Setidaknya berjalan di belakang rombongan gadis India itu mampu membuatku merasa tak berjalan seorang diri.

Dalam jarak delapan ratus meter, tiba juga diriku di dermaga yang dimaksud. Tak seperti dermaga yang menuju Vypeen Island, dermaga menuju Wellington Island tampak lebih tertata rapi. Ada bangunan dermaga yang menjadi pusat aktivitas para penumpang.

Aku kembali melihat waktu yang tetampil di gawai pintar, hanya ada waktu tersisa empat puluh lima menit jika ingin berangkat menuju Wellington Island.

Aku terduduk membisu di salah satu bangku pelabuhan, berfikir keras berkali-kali. Tetapi tetap saja, realita mengatakan bahwa waktuku tak akan pernah cukup. Artinya, tak ada yang bisa diperbuat lagi, aku harus bergegas pulang ke penginapan dan menutup eksplorasi.

Alhasil, melangkahlah aku menuju Kochi Airport Bus Terminal. Dalam lima belas menit, aku pun tiba. Dan tak terduga, aku bertemu kembali dengan sopir dan kondektur yang sama seperti saat aku berangkat menuju Fort Kochi dari bandara pagi tadi.

Sontak kondektur perempuan setengah baya itu tersenyum dan menunjukkan jari ke arahku ketika aku melompat naik dari pintu depan, rupanya dia masih mengenali raut mukaku. Aku membalas senyumnya dan sebelum duduk aku bertitip pesan penting kepadanya, “Drop me off at Vyttila Station, Mam !”.

Oooooh…Vyttila Station….Oke, don’t worry”, dia menjawab dengan aksen dan gaya khas….Menggeleng-gelengkan kepalanya.

Usai memastikan kondektur perempuan itu memahami pesanku, aku segera mengambil tempat duduk dan lagi-lagi waktuku harus terbuang karena menunggu bus dipenuhi oleh penumpang.

Usai semua bangku terisi oleh penumpang, maka bus mulai bertolak menuju Aerotropolis Nedumbassery.

—-****—-

Aku diturunkan di sebuah perempatan besar dengan kesibukan proyek flyover di atasnya. Perjalanan sejauh dua puluh kilometer kubayar dengan ongkos sebesar 40 Rupee.

Berdiri di perempatan, aku mengawasi sekitar, feeling telah mengarahkanku untuk melangkah ke barat demi menemukan Stasiun Vittyla. Maka dengan penuh kepercayaan diri kulangkahkan kaki menujunya.

Menyisir trotoar panjang di tepian Sahodaran Ayyappan Road nan ramai kendaraan, aku terus mengawasi sekitar. Tetapi….Semakin jauh melangkah, aku tak kunjung melihat keberadaa stasiun MRT yang kucari.

Dan pada akhirnya, kuputuskan bertanya saja kepada seorang penjahit yang sedang khusyu’ bekerja di kiosnya.

Dia mengernyitkan dahi begitu faham aku tersasar. Menghentikan pekerjaannya, dia keluar dari kios dan berjalan menuju trotoar sambil memintaku mengikutinya. Dia menunjuk arah timur dan dengan jelas memintaku untuk menyeberangi perempatan di bawah proyek flyover dan melangkah lurus setelah menyeberangi perempatan tersebut.

Mengucapkan terimakasih, aku melangkah ke arah semula.

Sesampai di perempatan, aku bertanya kepada seorang opsir polisi yang kebetulan sedang bertugas mengurai kemacetan. Dia menunjukkan arah dimana untuk sampai ke seberang jalan, aku harus melintasi area bawah jalan layang yang dipenuhi oleh para pekerja proyek.

Aku berhasil tiba di seberang jalan, maka selanjutnya aku kembali melangkah meneruskan jarak tersisa untuk menemukan Stasiun Vyttila.

Alhamdulillah…Aku akhirnya menemukannya….

Penuh kegirangan, aku segera memasuki bangunan stasiun dan langsung berburu tiket. Menggunakan lift, dari Ground Level aku menuju ke Concourse Level. Di lantai itulah dengan mudah aku menemukan konter penjualan tiket. Kali ini aku hanya akan membeli single journey ticket untuk menuju Stasiun Aluva.

Dengan membayar 60 Rupee aku mendapatkan tiket yang dimaksud dan segera menuju ke platform.

Menunggu MRT di Kerala menjadikanku teringat ketika menjelajah beberapa stasiun MRT di New Delhi di awal tahun 2018. Saat itu aku melihat bahwa standar keamanan di MRT New Delhi dilakukan dengan sangat ketat oleh Central Industrial Security Force (CISF) yang merupakan pasukan polisi bersenjata yang bekerja di bawah Parlemen India. Di bawah pengawasan mereka, jangan harap bisa mengambil foto dengan mudah di MRT New Delhi.

Mengingat pengalaman tersebut, aku tak memberanikan diri memotret situasi stasiun dengan terang-terangan.

MRT yang kutunggu pun tiba….Perlahan merapat di sepanjang sisi platform, tanpa ragu aku segera menaikinya dan di dalam gerbong aku memilih berdiri saja di dekat pintu. Tujuanku adalah menikmati keindahan Kerala, mengingat MRT ini melintas di jalur rel layang sehingga sepanjang perjalanan akan memamerkan pemandangan kota yang indah dari ketinggian.

Perempatan dimana aku diturunkan.
Stasiun Vyttila.
Konter penjualan tiket Kochi Metro.
Inilah Mass Rapid Transportation ke-11 dari 13 MRT di luar negeri yang pernah kunaiki.
Suasana ketika pertama kali memasuki gerbong.
Penampakan kereta-kereta reguler India.
Stasiun Aluva.

Sejauh mata memandang, banyak sekali kutemukan pohon kelapa yang bertebaran di sudut-sudut kota. Memang ….Mengapa negara bagian ini disebut dengan “Kerala”.

 Ya “Kerala” memiliki makna “Tanah Kelapa”, maka sudah tepat jika dinamakan demikian, karena aku dengan mudah menemukan pohon kelapa hingga ke tengah kota.

Di sepanjang perjalanan, tak sedikit penumpang tampak heran memperhatikanku yang terlalu sering mengambil gambar lewat jendela kereta. Mereka pastinya faham bahwa aku adalah pelancong asing yang sedang mengabadikan kota. Untuk menetralkan suasana, aku berusaha melemparkan senyum ramah kepada beberapa penumpang yang tampak sesekali memperhatikan keberadaanku.

Semakin menjauhi Stasiun Vyttila, suasana gerbong semakin penuh, tampak kebanyakan dari mereka adalah karyawan yang sedang dalam perjalanan pulang dari kantor mereka masing-masing. Sungguh waktu yang tepat bagiku untuk mencicip transportasi kebanggan warga Kerala sore itu karena aku menaikinya tepat pada jam-jam sibuk masyarakat lokal dalam menggunakan MRT.

Tak terasa, Kochi Metro semakin mendekat ke Stasiun Aluva yang merupakan stasiun paling ujung dari rute reguler Metro Kochi. Aku pun bersiap turun…. 

Aku masih berjarak lima belas kilometer dari penginapan, jadi aku masih harus melanjutkan perjalanan menuju Aerotropolis Nedumbassery menggunkan airport bus.

Begitu Kochi Metro menghentikan segenap rodanya, aku segera menuruni lantai atas stasiun untuk menuju jalan raya demi mencegat airport bus yang akan melewati Stasiun Aluva.

Terimakasih Kochi Metro yang sudah memberikan pengalaman berharga dalam perjalananku di Kerala…

Kisah Selanjutmya—->

Sejenak Mengintip Vypeen Island

<—-Kisah Sebelumnya

Seturunnya dari ferry, aku mengibarkan bendera putih ketika bernegosiasi dengan perut….Aku memutuskan berburu porsi tambahan untuk meredam protesnya.

Menyibak antrian penumpang di sepanjang jalan menikung keluar dari Vypeen Ferry Port, aku dipertemukan dengan sebuah shopping complex. Aku bergegas menyambanginya demi mencari apapun yang bisa dimakan dalam waktu cepat.

Di kios paling ujung, terdekat dengan sisi pelabuhan, aku melihat keberadaan sebuah kios kecil yang mendisplay kue-kuean khas India. Tanpa ragu aku mendekatinya dan sesampai di depan etalase aku mulai memilih jenis kue yang sekiranya cocok dengan lidah.

Tak lama….Seorang anak, sepertinya masih bersekolah dasar, datang dari ruang belakang. Dia berdiri tersenyum melihat dan menungguku memilih kue yang hendak kubeli.

Setelah membalas senyum dan menatap wajah lucunya, aku mulai meluruskan jari telunjuk, “this…this…this…this…this”, aku menunjuk lima buah kue berbeda berukuran tak terlalu besar.

Alamak…..Ya, Allah…..Ya, Rabbi…..

Anak itu dengan ringannnya, mengambil kantong plastik, lalu dengan tangan telanjang menyomoti kue itu satu persatu dan memasukkannya ke dalamnya.

Aku tersenyum kecut memperhatikan aksinya, “Mudah-mudahan dari ruang belakang tadi, nih bocah tidak dari toilet”, harapan terakhir kulontarkan sembari melihat wajahnya yang ramah tanpa dosa itu.

Twenty four Rupee, Sir”, dia mengangkat lurus tangannya menyerahkan kantong kue itu dengan tersenyum lebar dan memperlihatkan gigi kelincinya.

Oh, Okay….This…”, aku menyerahkan uang sembari melihat wajahnya dan melemparkan senyum selebar-lebarnya, “Aku memaafkanmu, nak”, batinku menambahkan.

Keluar dari kios, mataku menyapu sekitar, mencari tempat duduk yang bisa kugunakan untuk menyantap kue basah itu. Tetapi aku tak mampu menemukannya. Kuputuskan saja menuju ke area rindang di bawah pohon.

Membuka ikatan plastik berisi lima potong kue, kemudian aku menyantap tiga diantaranya sembari berdiri….Sungguh tak sholeh, jangan ditiru ya gaya makan seperti itu !.

Berhasil meredam lapar, aku memutuskan meyimpan kue tersisa ke dalam folding bag.

Kini aku sudah kehilangan banyak waktu. Secara keseluruhan untuk tiba kembali di Kochi Airport Bus Terminal hanya tersisa waktu sekitar satu setengah jam dihitung mundur.

Di depan sana, antrian panjang kendaran yang akan mengantri menaiki ferry menuju Fort Kochi sungguh membuat bising suasana. Kegemaran warga India membunyikan klakson lah yang menyebabkannya demikian.

Aku memutuskan melangkahkan kaki menuju jalanan utama Vypeen Island yang membelah memanjang dari utara hingga ke selatan pulau itu tepat di tengahnya….Vypeen-Munapam Road, namanya.

Hello, brother….Welcome to Vypeen”, seorang pemuda tanggung dengan kacamata raybannya menyapaku dengan mengeluarkan kepala dari mobil sedannya yang terjebak dalam antrian menuju ferry.

Hello, brooo….Nice place”, aku menjawabnya balik dan kebetulan juga mengenakan kecamata rayban. Aku tak mau kalah ganteng darinya tentunya….Yuhuuu.

Terkadang memang kita harus menampilkan kepercayaan diri untuk menunjukkan bahwa kita tak takut menjelajahi tempat asing. Tentunya tetap saja bahwa penjelajahan itu harus dilakukan dengan perhitungan yang tepat dan aman.

Saatnya meninggalkan dermaga dan menuju ke pusat Vypeen Island.
Yukz….Cari kue dulu !
Antrian panjang menuju Vypeen Ferry Port.
Salah satu gereja di Vypeen Island.
Kamu berani ga jalan sendirian di tempat sepi kek gitu?
Rumah salah satu warga yang tampaknya sangat religius.

Aku kini sudah semakin jauh dari dermaga dan semakin menuju ke tengah pulau, suasana jalanan semakin sepi. Sejujurnya aku sendiri mulai sedikit khawatir dengan kondisi itu. Tetapi waktu untuk mengenal Vypeen Island hanya kali ini saja, aku menguatkan diri untuk tak akan melewatkanya hanya karena rasa takut.

Aku melanjutkan langkah, menikmati suasana pulau dengan sesekali berhenti  untuk mengambil gambar ketika menemukan bangunan-bangunan unik. Gereja dan kuil Hindu mudah sekali kutemukan di sepanjang jalan.

“Hello Sir, do you know, where is the Kottenkerril Devaki Krishna Temple?” , aku bertanya kepada seorang lelaki setengah baya berperut buncit dan kumis melingkar yang gagah khas India.

“No temple here, Sir….Maybe church?” , dia menjelaskan sembari membuka tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Oh, thank you, Sir” , aku cepat mengakhiri percakapan. Tentu akan susah berbicara dengan orang yang memang benar-benar tak tahu lokasi. Lebih baik aku melanjutkan perjalanan kembali. Aku memutuskan untuk tak harus menuju ke kuil itu.

Kali ini aku hanya bergerak menuruti langkah kaki. Semampu mengayun langkah dan menikmati suasana sepanjang perjalanan. Tak ada tempat khusus yang akan kutuju. Aku hanya akan menghabiskan waktu tersisa menelusuri jalanan utama Vypeen Island.

Aku menulusuri jalanan sejauh tiga kilometer, langkah demi langkah kuayunkan demi melihat atmosfer sekitar. Sembari terus berusaha melawan kekhawatiran di tengah lengangnya jalanan.

Tetapi perjalanan tetaplah perjalanan, selalu ada cerita lucu, menakutkan ataupun menyenangkan. Kini aku menemukan satu insiden yang sedikit tak mengenakkan ketika seorang bule beradu mulut dengan sopir bajaj di sebuah sisi jalan.

Dugaanku adalah si turis merasa dikerjai oleh si tukang bajaj dan si turis meminta haknya untuk diantarkan ke tujuan yang dimaksud.

Maka di akir perkelahian mulut itu, si pengemudi bajaj tampak mengalah dan menuruti keinginan si penumpangnya.

Aku hanya menyunggingkan senyum atas peristiwa itu.

TIba di pertengahan area Vypeen Island, akhirnya aku segera memutuskan untuk kembali lagi menuju dermaga demi mengakhiri petualangan mengeksplorasi Vypeen Island. Aku harus segera menangkap keberangkatan airport bus terdekat sebelum aku kehilangan kesempatan untuk kembali ke penginapan yang jaraknya empat puluh kilometer di utara.

Kisah Selanjutnya—->

Ferry Menuju Vypeen

<—-Kisah Sebelumnya

Lepas pukul tiga sore, aku mulai meninggalkan bibir pantai. Melangkah cepat menuyusuri River Road

Tetapi gundah menggelayuti diri. Aku terganggu dengan opsi. Balik ke penginapan yang jauhnya empat puluh kilometer di utara atau melanjutkan eksplorasi hingga limit waktu?. Dua pilihan yang membimbangkan.

Aku menunduk….Melangkah pelan….Memikirkan benar-benar opsi sulit itu hingga tak terasa semakin dekat dengan Kochi Airport Bus Terminal.

Sayang untuk pulang terlalu dini….Aku ingin melihat Vypeen”, keputusan telah di ambil, kegalauan terpaksa lindap.

Menengok sekejap airport bus yang sebentar lagi angkat kaki meninggalkan Fort Kochi, aku mengabaikannya, lalu kembali mantap menatap lurus ke depan.

Berwisata di kota pesisir tak kan lengkap tanpa mencoba armada perairannya”, aku meyakinkan diri setelah mengambil keputusan berani untuk berjudi dengan waktu.

Kuncinya, aku harus kembali ke titik awal dalam tiga setengah jam. Jika tak sanggup kulakukan, maka kehilangan kesempatan menangkap bus terakhir menjadi ganjaran setimpalnya. Untuk itu, setidaknya aku akan aman mengambil waktu dua jam saja untuk mengintip sejenak atmosfer Vypeen.

Kembali menyusur Bellar Road, aku bergegas menuju dermaga. Beruntung, letaknya tak terlalu jauh, hanya berjarak tak lebih dari seratus meter dari Kochi Airport Bus Terminal.

Tak lama kemudian, tibalah aku di dermaga. Suasana sangat ramai. Mungkin inilah tempat teramai yang kutemukan di Fort Kochi. Kesibukan penumpang nampak jelas, fragmen-fragmen adegan berlangsung begitu cepat. Setiap penumpang tampak fokus pada ihwal masing-masing. Mungkin hanya aku yang tak memiliki kesibukan berarti sore itu.

Aku mulai berburu tiket untuk menaiki ferry menuju Vypeen Island. Menemukan konter penjualan tiket. Maka tak seperti yang kuduga. Konter itu berpenampilan sangat sederhana, hanya berbentuk posko kecil yang didalamnya hanya muat untuk berdiri bagi dua petugas yang melayani penjualan tiket. Oleh karenanya, antrian pun mengular hingga ke ujung jalan, membuatku harus bersabar untuk bisa menaiki ferry yang mulai memasukkan muatannya.

Aku akan tertinggal….”, aku dengan cepat memvonis diri mengingat jarak antrian berdiri yang masih jauh dari konter.

Benar saja, ferry itu telah berlayar dan hanya meninggalkan jejak gelombang saja ketika aku baru saja mendapatkan tiket. Tak ada yang bisa kuperbuat. Aku mengambil tempat berdiri di salah satu sisi dermaga demi menunggu kedatangan ferry berikutnya.

Beruntung tak lama, dalam lima belas menit menunggu, ferry datang. Begitu ferry merapat dan membuka lambung maka dengan cepat kendaraan roda empat, roda dua, bajaj dan tentu para penumpang mulai merangsek ke dalamnya.

Ferry itu tak besar, sehingga dalam hitungan menit, seluruh geladak telah penuh oleh muatan. Tak ada kabin, semua muatan tertumpah di geladak tunggal. Sementara segenap penumpang duduk di sepanjang bangku di sisi kiri-kanan geladak, yang tak kebagian bangku terpaksa harus berdiri. Sedangkan geladak bagian tengah dipenuhi oleh kendaraan yang para penumpangnya tampak enggan untuk turun. Sebuah bajaj yang terparkir di geladak pun tampak dijejali oleh para pelancong.

Mendengar peluit yang tetiba berbunyi kencang, maka ferry menanggapinya dengan mengeluarkan bunyi klakson yang memekakkan telinga. Pintu geladak mulai ditutup dan gerung mesin mulai terdengar lebih kencang.

Aku memilih berdiri di ujug geladak.
Tuh kan…..Pada malas untuk turun.
Pelayaran pendek seharga 3 Rupee.
Sudah tiba….Ferry sedang unloading.
Penampakan utuh ferry dari sisi dermaga.

Ferry mulai berlayar di perairan Fort Kochi. Membelah perairan yang di beberapa titik tampak diserpihi oleh guguran sampah organik. Jarak antara Fort Kochi ke Vypeen Island tidaklah jauh, hanya berkisar setengah kilometer saja. Sehingga tak membutuhkan waktu lama untuk tiba.

Begitu ferry merapat di Vypeen Ferry Port, aku segera beranjak, mengikuti arus penumpang dan kendaraan yang mengantri keluar dari geladak.

Kini aku telah tiba di Vypeen Island…..

Tapi….

Perutku lapar lagi…..

Sepotong jagung dan es krim yang kulahap beberapa jam lalu ternyata tak mampu menggantikan porsi makan siangku…..

Kisah Selanjutnya—->

Mengakali Lapar di Mahatma Gandhi Beach

<—-Kisah Sebelumnya

Sangkala bergeser hampir pukul tiga, bergulir tanpa ampun menghakimi diri yang terlena menikmati teduhnya Vasco da Gama Square.

Sementara arus pelancong di beach walkway menjadi lebih ramai dari  sebelumnya. Menyadarkan diri untuk segera bangkit dan meneruskan eksplorasi.

Aku melompat dari sebuah titik di tempat duduk panjang berbahan beton, meninggalkan sekelompok pemuda Kerala yang masih saja bercakap ria di bawah sebuah pohon tua, rindang nan melenakan. Untuk kemudian melangkah menuju bibir pantai dan mengikuti arus di beach walkway.

Beach walkway itu tak megah-megah amat, berupa hamparan beton berubin kasar selebar dua setengah meter, dibatasi dengan urugan batu raksasa di sebelah bibir pantai dan garis pepohonan di sisi yang lain.

Tak hanya keriuhan pelancong  yang memeriahkan suasana pantai, tetapi para pemburu rezeqi benar-benar sibuk meniagakan souvenir, es krim, minuman dingin dan makanan berat atau ringan lainnya.

Pantai ini mungkin tak lebar tetapi tetap saja menjadi tempat ideal bagi penghuni Fort Kochi untuk menyambut senja. Tak hayal, keserian tertampil alami di paras setiap pelancong sore itu.

Inilah Mahatma Gandhi Beach….Interior Fort Kochi yang akan memainkan peran dalam pariwisata kota di sebelah Barat Negara Bagian Kerala.

Pantai dengan panjang tak lebih dari tujuh ratus meter ini memamerkan garis pantai Malabar yang langsung mnghadap ke Samudera Hindia.

Tak hanya bangku permanen yang dihadirkan di sepanjang beach walkway, pantai itu juga menyediakan anjungan beton menjorok ke arah pantai yang ramai digunakan para pelancong sebagai tempat berburu gambar.

Bahkan di anjungan itulah, aku kerap membantu beberapa rombongan pemuda-pemudi lokal yang ingin mengabadikan foto bersama….Tentu sebagai imbalan, aku difotoin juga dong….Tapi yang lebih penting, hal tersebut menjadikanku tak kesepian dalam eksplorasi sore itu.

Bekas ketel uap tua yang dibiarkan kehadirannya….Membuat benda ikonik di Mahatma Gandhi Beach.
Lumayan kan beach walkway itu?.
Masih cukup panas untuk turun ke bibir pantai.
Lihat gadis India yang manis-manis ituh….Alamak.
Pemuda-pemuda lokal yang sedang berburu gambar.

Sangkala terus menjauhi angka tiga ketika perut mulai memainkan irama khas pengiring perjalanan….Aku lapar….Wkwkwk.

Mataku otomatis tertuju pada deretan cafe dan rumah makan tepi pantai. Tertarik akan keberadaannya, maka kuputuskan mendekat dan mencari informasi. Walau dipenuhi pelancong, tetapi deretan cafe tersebut tak menjual makanan berat.

Sementara rumah makan yang menjual menu makanan berat ternyata belum buka juga. Hal itulah yang kemudian membuatku mengusir diri untuk mencari alternatif dengan caraku sendiri saja.

Kini aku mulai berfikir….

Lebih baik aku mencari kalori dari kedai street food aja. Daripada telat makan dan meresikokan diri”, aku telah memutuskan.

Melangkah ke ujung selatan pantai, aku menemukan area lapang, beralas pavling block dengan pohon-pohon besar di tengahnya serta tempat duduk berbahan beton yang dirindangi oleh pepohonan itu.

Mataku sekejap tertuju pada sebuah gerobak jagung yang dijaga oleh seorang pemuda lokal.

How much is this?”, aku mulai menanya

“40 Rupee”, pemuda itu menjawab sembari tersenyum.

“Okay, I buy it….Just one”, aku tak kuasa lagi menahan lapar.

Tak istimewa, hanyalah jagung rebus yang kemudian dikupas kulitnya lalu diolesi dengan bumbu kari yang tajam menusuk penciuman. Usai membeli, aku tak langsung menyantapnya. Kubirkan saja indera penciuman terbiasa dengan aroma kari yang sedap menyengat itu.

Aku mengambil duduk di bawah sebuah pohon bersama rombongan penduduk lokal yang tampak bersiap menyantap makan siang dari bekalan rantangnya masing-masing. Selanjutnya, aku dan mereka sama-sama bersantap siang di salah satu sudut pantai.

Usai menyantap jagung rasa kari tersebut, aku berburu kalori lain sebagai tambahan energi dalam persiapan melangkah lebih jauh lagi di area Fort Kochi.

Aku memutuskan untuk mencicipi es krim yang hanya dijual seharga 20 Rupee. Aku mendapatkannya dari sebuah kedai es krim di pertengahan beach walkway. Sekiranya sebuah jagung dan sepotong es krim telah menjadi peredam lapar sementara.

Mau ngopi?….
Menu makan siangku….
Makan di bawah pohon itu nikmat tauk….
Saatnya menjilat….Menjilat es krim maksudnya.

Hanya berada di pantai selama genap satu jam lalu memutuskan pergi untuk menjelajah ke tempat lain yang masih bisa dijangkau dalam beberapa jam ke depan.

Kisah Selanjutnya—->

Atmosfer Milenial Vasco da Gama Square

<—-Kisah Sebelumnya

Menjelang pukul dua siang, aku meninggalkan Santa Cruz Cathedral Basilica. Masifnya pamflet yang mengabarkan perihal pentas kesenian tari tradisional, membuatku penasaran untuk mencari keberadaan Kerala Kathakali Centre yang merupakan pusat pertunjukan seni tari tersebut.

Pencarian itu harus dilakukan karena aku tak akan memiliki kesempatan yang cukup untuk menyaksikan pertunjukannya secara langsung. Akan sedikit terbayarkan rasa penasaran itu apabila aku bisa menyambangi secara langsung tempat pertunjukan tersebut, jika beruntung aku bisa melihat persiapan yang dilakukan oleh para pelaku pertunjukan ataupun kesibukan para crew yang akan terlibat di dalamnya.

Rasa penasaran itu menghantarkanku untuk kembali turun ke jalanan dan mulai mencari keberadaan tempat pertunjukan seni tari itu. Memilih menulusuri Fosse Road, aku melangkahkan kaki menuju barat, tetap saja ini adalah jalan yang berbeda dari rute yang kutempuh sebelumnya. Sehingga sudah sekian banyak jalan di Fort Kochi yang kutapaki hingga siang menjelang sore itu.

Fosse Road yang kali ini kulewati ternyata hanya memiliki dua blok dan di akhir ruasnya, tepatnya di Kunnumpuram Junction, aku memutuskan melangkah ke utara memasuk TM Muhammad Road.

Pencarian itu menjadi semakin sulit rupanya….

Lelah mencari dan tak kunjung menemukannya, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang pemilik toko di ruas jalan itu. Tetapi jawabannya sungguh membuat heran karena dia bahkan hanya menggeleng-gelengkan kepala dan tidak mengetahui tempat itu. Sudah kupastikan juga bahwa dia mengerti Bahasa Inggris dan kami berdua bercakap saling memahami….”Walah, alamat ini mah”, aku membatin kecut.

Memang begitu biasanya, “semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”. Kondisi ini pernah menjadi cerminan diri sendiri dahulu kala. Sebelum menggeluti dunia traveling, ketika diminta menunjukkan arah ke Taman Ismail Marzuki oleh seorang bule, aku menggeleng tak tahu, padahal aku sedang berjarak tak lebih dari setengah kilometer dari destinasi itu….Parah kamu, Donny!

Alhasil, kecapean karena terus melangkah ditambah dengan akan segera hadirnya senja, aku memutuskan untuk membatalkan pencarian itu. “Lebih baik fokus ke destinasi berikutnya saja”, aku membatin dalam peluh yang semakin mengucur deras.

Menghabiskan ruas jalan tersisa, tibalah aku di jalan melintang terdekat dengan pantai. Adalah Bellar Road yang sekarang kutapaki.

Kini aku menuruti langkah kaki menuju timur. Maksud hati yang mendominasi adalah keinginan untuk menikmati pantai utama yang menjadi tempat favorit bagi warga Fort Kochi dalam menutup senja.

Aku sungguh menikmati kerindangan  Bellar Road sebelum tiba di pertigaan yang menjadi pertemuan Bellar Road itu sendiri dengan KB Jacob Road.

Kini aku kembali ke titik awal….

Aku benar-benar sudah membuat jalur melingkar melintasi Fort Kochi sedari tiba.

Gerung mesin airport bus terdengar langsam di pojok jalan sembari menanti penumpangnya. Tapi aku belum mau pulang….Aku belum mau usai mengeksplorasi.

Terus saja melangkah ke timur, aku kembali mengulangi ruas River Road yang semakin ramai saja dibandingkan kondisi siangnya tadi. Kedai-kedai souvenir sisi selatan Nehru Park for Children tampak diserbu wisatawan lokal ataupun mancanegara.

Lalu langkahku terhenti pada area lapang berdasar pavling block dan dikelilingi pepohonan besar. Area ini sepertinya menjadi tempat idola kaum muda Fort Kochi, tempat ini sepertinya menjadi lokasi meeting point, nongkrong ataupun tempat untuk sekedar melakukan killing time. Tampak para milenial duduk bercengkerama dengan sesama di tempat duduk beton yang dibuat melingkari sebuah pohon besar.

Pelataran itu terletak tepat di sudut meruncing di timur Nehru Park for Children yang secara kontur berbentuk persis segitiga sama sisi. Area ini dibatasi oleh River Road di sisi selatan dan Beach Walkway di sisi utara. Suasanan pelataran juga berasa lebih hidup karena tersematnya berbagai mural yang tergambar di batang pepohonan.

River Road menuju Vasco da Gama Square.
Semakin sore semakin ramai di sisi selatan Vasco da Gama Square.
Ini dia pelataran utama Vasco da Gama Square di tepian pantai.
Mural di pepohonannya lucu ih….
Sisi utara Vasco da Gama yang berbatasan langsung dengan pantai.
Lapak ikan di sisi utara Vasco da Gama.

Ketika area di sekitar trotoar River Road dipenuhi banyak kedai street food dan souvenir maka area di sekitar Beach Walkway dimanfaatkan oleh deretan lapak penjual ikan laut yang tampak masih segar karena baru diturunkan dari perahu-perahu nelayan atau hasil tangkapan dari chinese fishing nets yang banyak terinstalasi di bibir pantai.

Inilah Vasco da Gama Squre yang menjadi oasis berharga bagi milenial Fort Kochi untuk menikmati keindahan pesisir pantai.

Belum….Aku belum sampai di pantai utamanya……

Kisah Selanjutnya—->

Keindahan Arsitektur Gotik di Santa Cruz Cathedral Basilica

<—-Kisah Sebelumnya

Menghindari jalanan yang sama saat menuju Saint Francis Church, aku merubah haluan. Kupilih menapaki Ridsdale Road yang di sepanjang kanannya tertampil Parade Ground yang memainkan peran sebagai bumi perkemahan bagi warga Fort Kochi, sangat lapang dengan rumput nan menghijau.

Hanya dalam dua blok, aku mengikuti arus di tikungan untuk bergabung dengan pejalan kaki lain di Quiros Street yang di ujung selatannya dibatasi oleh taman bermain dengan dua pohon besar nan rindang saling berdampingan. Kedua pohon tua itu seakan membentuk sebuah gerbang besar sebagai pintu masuk taman. Taman tersebut berjuluk Santa Cruz Ground….Mirip dengan nama destinasi yang akan menjadi tujuan langkahku berikutnya.

Aku menikmati rindangnya taman dengan berjalan menyejajarinya di sebelah utara melalui Santa Cruz Road. Sepertinya taman itu sering digunakan untuk bermain kriket, tampak jelas dari markah-markah yang tertera di dalam taman.

Panjang taman bermain itu tak lebih dari dua ratus meter. Berjalan beberapa waktu, akhirnya aku tiba di ujungnya yang terpotong oleh KB Jacob Road. Dan jika ditarik garis lurus ke utara, maka KB Jacob Road ini akan menemukanku dengan Kochi Airport Bus Terminal, tempatku turun beberapa jam lalu saat tiba pertama kalinya di Kochi.

Artinya apa?….

Artinya, sejak jam sebelas siang tadi aku sudah melakukan perjalanan kaki dengan jalur melingkar mengelilingi Fort Kochi.

Apakah aku merasa capek?….Tidak, justru aku semakin bersemangat.

Di depan sana, berkisar pada jarak seratus meter, destinasi berikutnya yang kutuju telah menunggu. Menyisir KB Jacob Road aku melangkah cepat menujunya.

Sewaktu kemudian, aku telah berada di gereja kedua yang kukunjungi selama di Fort Kochi. Gereja ini bernama Santa Cruz Cathedral Basilica. Setibanya, aku diam terpaku mengamati dari sebuah titik di halaman gereja ketika semua turis sibuk keluar masuk bangunan gereja tersebut.

Tak tampak yang spesial memang apabila gereja ini hanya dipandang dari luar. Oleh karenanya aku mencoba mencari tahu apakah ada yang terlihat istimewa di dalam bangunan sana. Sebelum memasuki pintu gereja aku mencoba membaca dengan seksama peraturan yang harus ditaati. Peraturan itu tertulis pada sebuah batu prasasti berukuran kecil,

Gereja ini adalah tempat peribadatan dan bukanlah sebuah museum. Waktu kunjungan adalah pukul 09:00 – 13:00 & 14:30 – 17:30 (Senin sampai Sabtu). Khusus hari Minggu karena ada aktivitas ibadah maka gereja bisa dikunjungi pada pukul 10:30 – 13:00. Pada Jum’at minggu pertama setiap bulannya akan diselenggarakan adorasi sehingga pengunjung tidak diizinkan masuk. Selama di dalam gereja dilarang menggunakan telepon genggam

Begitulah aturan yang tertera dan aku cukup maklum memahaminya. Hanya saja, aku tiba di gereja ini pada hari Kamis sekitar pukul setengah dua siang, Seharusnya gereja ini sudah ditutup untuk wisatawan, tetapi aku sungguh bersyukur karena wisatawan masih diizinkan masuk….Oh, beruntungnya kamu, Donny.

Memasuki pintu, apa yang menjadi ekspektasiku atas gereja Katedral ini sungguh menjadi kenyataan.

Gereja Katedral dengan dua menara.
Waow….Indah bukan?
Lihat patung-patung sakral itu !
Luar biasa….
St. Mary’s Canossian Convent…Sebuah biara di sisi kiri gereja.
Sebuah paviliun yang merupakan bangunan memorial di sisi kanan gerja.

Interior luhur yang mengadopsi seni Gotik khas Romawi menjadikan gereja ini tersemat nilai seni yang tinggi. Sementara di setiap tiang bangunan, terpajang patung-patung yang menggambarkan tokoh-tokoh yang ada di dalam Alkitab. Konon yang membuat interior gereja ini adalah seniman asal Italia yang bernama Fra Antonio Moscheni. Tetapi beliau meninggal tepat empat hari sebelum gereja ditasbihkan, yaitu pada tahun 1905. Inilah tahun dimana gereja katedral telah selesai dibangun ulang setelah terakhir kali runtuh oleh pasukan Inggris. Sedangkan gereja ini mendapatkan status Basilika pada tahun 1984 melalui dekrit khusus Paus Yohanes Paulus II.

Santa Cruz Cathedral Basilika adalah satu dari dua gereja yang selamat dari penghancuran seluruh gereja Katolik pada zaman kolonialisme Belanda di era 1660-an. Oleh Belanda, bangunan gereja ini dijadikan gudang senjata dan kemudian hancur oleh tentara Inggris yang merebut Kochi dari tangan Belanda.

Nah, begitulah kisah kunjunganku di Santa Cruz Cathedral Basilica.

Cukup menarik, bukan?

Kisah Selanjutnya—->

Berjumpa Petualang Ulung di Saint Francis Church

<—-Kisah Sebelumnya

Di jalur keluar Princess Street aku telah memutuskan untuk mengambil arah kanan demi melanjutkan eksplorasi.

Walau panas sudah tak semenyengat beberapa jam sebelumnya, tetapi tetap saja paparan surya tanpa jeda membuat badan bekeringat dan kulit samar terbakar. Namun hal tersebut tak membuatku berjalan terburu. Rasa ingin tahu sekitar mengalahkan segalanya.

Di sebuah sudut, bangunan klasik berwarna putih yang difungsikan sebagai Tourist Information Centre tampak dijejali wisatawan asing yang mungkin sedang berburu informasi mengenai Fort Kochi, sebagian besar dari mereka adalah turis asal Eropa.

Aku sendiri enggan untuk singgah di bangunan itu, lalu lebih memilih menapaki Bastian Street sisi timur. Identik dengan Princess Street, jalanan yang kulalui ini masih didominasi oleh bangunan-bangunan seperti hotel, cafe dan restoran, toko buku dan souvenir serta toko seni dan kerajinan tangan. Hanya satu yang membedakan, arus wisatawan tak lagi sepadat di Princess Street.

Tiba diujung jalan, bangunan besar yang berfungsi sebagai kantor India Post menyambutku. Tentu bukan bangunan itu yang menjadi tujuan eksplorasi berikutnya, melainkan sebuah bangunan peribadatan yang terletak persis di seberang timurnya.

Enggan memutar jalan, aku memasuki sebuah lapangan rumput dan kemudian menyusuri pagar tembok bangunan peribadatan sisi selatan hingga benar-benar sampai di gerbang depannya.

Inilah Saint Francis CSI Church, salah satu gereja Eropa tertua di India. CSI sendiri merupakan inisial dari Church of South India yang merupakan perkumpulan gereja protestan di India.

Sebelum memasuki bangunan gereja, aku tertegun pada sebuah prasasti dua bahasa yang menjelaskan detail tentang Saint Francis Church.

Bahwa Saint Francis Church adalah landmark utama di Fort Kochi yang dibangun pada abad ke-16. Sejarah yang dimiliki gereja ini sangat merepresentasikan sepak terjang kolonial dalam menanamkan pengaruh kekuatan Eropa di India, yang dimulai dari abad ke-15 hingga abad ke-20

Tulisan lainnya adalah:

Unni Rama Koil I, sang penguasa Kochi memberikan izin kepada Kapten Cabral asal Portugis untuk membangun sebuah benteng dan gereja di muara sungai

Masih di depan gereja….

Aku mengamati sebuah tugu berprasasti dengan ketinggian dua setengah meter yang didirikan tepat di pusat halaman. Tak mau menginjak rumput halaman, maka aku urung membaca prasasti kecil itu.

Kini saatnya masuk ke dalam gereja….

Memasuki pintu, aku dihadapkan pada deretan kursi tunggu memanjang saling berhadapan di sisi kiri kanan. Seorang petugas tampak memberikan penjelasan pelan bahwa setiap pengunjung harus melepas sepatunya sebelum masuk, melarang pengunjung mengambil video dan meminta pengunjung untuk mematikan telepon genggam.

Sebagai pengunjung yang baik tentu aku menghormati aturan itu. Karena toh aku hanyalah seorang penikmat perjalanan, tak perlu banyak komplain. Nikmati saja aturannya…..

Tetapi mendadak sebelum melangkah masuk, aku teringat sesuatu ketika berada di teras gereja. Dinding teras tampak dipenuhi oleh lembaran-lembaran batu prasasti yang pernah aku lihat di Museum Wayang di Kota Tua Jakarta….Sangat mirip.

Pagar gereja….Tebel beud, kan?
Saint Francis Church tampak depan.
Teras gereja.
Nah, stone inscription kek gini mirip-mirip obyek yang sama di Museum Wayang, gaes.

Nah….

Kejutan paling penting dalam eksplorasi ini ternyata kutemukan di dalam gereja….

Tanpa kusadari, langkah kakiku dalam menikmati interior gereja terhenti pada sebuah makam di sisi kanan ruangan. Setelah kubaca beberapa batu prasasti di sekitar makam, aku baru sadar bahwa itulah makam Sang Petualang ulung asal Portugis, yaitu Vasco da Gama sang penemu jalur laut dari Eropa ke India.

Aku juga tak akan pernah memahami jika tak mengunjungi makam ini. Diceritakan bahwa Vasco da Gama meninggal di Kochi karena terkena malaria pada tahun 1524, tepatnya pada pelayaran ketiganya ke India. Untuk kemudian jenasahnya dikebumikan di Saint Francis Church ini.

Tetapi kan Vasco da Gama adalah tokoh ternama di Portugal….Tentunya kisah kepahlawanannya mendapat tempat tersendiri di mata rakyat Portugis. Oleh karenanya, empat belas tahun setelah meninggal, jenazahnya dipindahkan ke Lisbon, ibukota Portugis.

Bagian dalam gereja.
Bertemu sang petualang sejati….Makam Vasco da Gama.
Bagian samping gereja.

Sungguh perjalanan yang menghadirkan kejutan….

Itulah kenapa aku mencintai petualangan.

Kisah Selanjutnya—->

Menduga Hingar Bingar Princess Street

<—-Kisah Sebelumnya

Setelah beberapa waktu duduk bersantai di Nehru Park for Children, aku keluar dari area taman tepat di gerbang pojok selatan yang tepat menghadap Jawahar Park.

Cukup sudah….Tak perlu mengunjungi taman sebelah, waktuku tak lagi cukup”, aku membatin ketika berdiri tepat di sebuah perempatan.

Berdiri tegak, mataku lekat memandang ke ruas jalan di utara, selarik jalur dengan deret bangunan berketinggian rendah dan model klasik berdiri di kedua sisinya.

“Princess Street…”, begitulah aku membaca sebuah papan nama jalan berwarna hijau yang di beberapa permukaannya telah diakuisisi karat. Sementara itu, slogan promosi pariwisata Negara Bagian Kerala tersemat pada sebuah papan putih di bawahnya. “God’s Own Country”, begitulah aku membacanya.

Aku sudah bersiap untuk menyusuri jalan legendaris itu….

Langkahku menyusuri Princess Street bermula dari sebuah toko di sisi kiri jalan yang menjual berbagai karya seni dan kerajinan tangan. Toko itu bernama Little India dan berdampingan dengan toko Royal Heritage yang menjual produk yang sama. Sedangkan di seberangnya, sebuah penginapan dengan nama The Travellers Inn tampak klasik bersebelahan dengan Chariot Beach Restaurant.

Sejauh mataku memandang, jalan selebar lima meter itu, bahunya langsung berbatasan dengan bangunan-bangunan tempoe doeloe yang didirikan mengikuti kontur jalanan di kedua sisi. Terik yang sudah tak semenyengat beberapa waktu lalu masih saja terasa sebagai konsekuensi dari tiadanya pepohonan yang menaungi jalanan, kecuali sebuah pohon yang berdiri kokoh tepat di depan Fort Kochi Hotel.

Princess Street merupakan pusat dari area Fort Kochi Heritage di selatan India. Bangunan-bangunan klasik bergaya Eropa tersebut pada masa sekarang telah dialihfungsikan sebagai homestay, toko alat kesenian, bookstore, restoran atau agen perjalanan wisata.  

Princess Street juga menjadi jalan yang dibangun pertama kali di area ini. Siang itu, aku mencium bau harum dari tempat pembuatan kue di sepanjang jalan. Dan konon, pada malam hari, turis dan penduduk lokal akan merayakan kehadiran malam dengan dinner, dansa dan pesta dibawah meriahnya siraman lampu warna-warni.

Inilah jalur legenda sepanjang hampir tiga ratus meter yang berpangkal dari River Road di utara dan berakhir di Peter Celli Street di selatan yang ditandai dengan keberadaan cafe kenamaan, yaitu Loafers Corner Cafe

Kupelankan langkah ketika berada tepat di pertengahan ruas….

Harusnya aku tiba di sini saat malam, pasti tempat ini akan menjadi tempat menarik untuk melepas lelah setelah berkeliling Fort Kochi seharian….Hmmhhh”, aku terus bergumam menyayangkan keadaan.

Toko seni dan kerajinan tangan.
Fort Kochi Hotel (kanan berwarna kuning).

Hampir pukul satu siang….

Genangan tipis air tampak menggenangi beberapa titik jalanan, aku rasa itu hanyalah air yang digunakan untuk menyiram jalanan demi mengurangi debu dan hawa panas tengah hari tadi. Satu dua kendaraan roda empat tampak berpapasan melintasi jalan dan beberapa unit bajaj tampak terparkir di sembarang titik di tepian jalan.

Sementara spanduk-spanduk promosi pertunjukan tarian klasik India tampak menempel di beberapa tiang listrik yang tegak berdiri di sepanjang sisi jalan. Aku sudah faham bahwa pertunjukan tari di Fort Kochi biasanya diselenggarakan saat malam tiba, di sekitaran pukul delapan.

Biasanya Fort Kochi akan menyuguhkan beberapa pertunjukan kesenian tari lokal, seperti Mohiniyattom, Kuchuppudi dan Bharathanatyam. Satu lagi, selain hiruk pikuk Princess Street, aku juga akan melewatkan pertunjukan seni itu tentunya. Malam nanti, aku pastinya akan berada di penginapan yang jaraknya lebih dari lima puluh kilometer dari Fort Kochi. Aku harus lebih mengutamakan penerbangan menuju Dubai di keesokan paginya. Setahuku, pertunjukan tarian lokal itu akan di selenggarakan di Kerala Kathakali Centre yang lokasinya berada di belakang Basilica Church.

Tak terasa perjalanan menyusuri Princess Street telah mengantarkanku untuk tiba di ujung selatan jalan. Aku kini berdiri di depan Loafers Corner Cafe yang merupakan cafe kenamaan yang tak pernah sepi pengunjung.

Ga ngafe, Don? …..”, hati kecilku berbisik.

Ya kagak, lah….Wkwkwkwk”, hati kecilku pulalah yang menjawab pertanyaannya sendiri.

Beberapa cafe dan restoran di sepanjang Princess Street).
Silahkan kalau mau cari novel !….Biar ndak kesepian.

Kini aku sudah berada di sebuah perempatan jalan dan harus memutuskan kembali, kemanakah selanjutnya kaki akan melangkah?

Kisah Selanjutnya—->