Sangkala bergeser hampir pukul tiga, bergulir tanpa ampun menghakimi diri yang terlena menikmati teduhnya Vasco da Gama Square.
Sementara arus pelancong di beach walkway menjadi lebih ramai dari sebelumnya. Menyadarkan diri untuk segera bangkit dan meneruskan eksplorasi.
Aku melompat dari sebuah titik di tempat duduk panjang berbahan beton, meninggalkan sekelompok pemuda Kerala yang masih saja bercakap ria di bawah sebuah pohon tua, rindang nan melenakan. Untuk kemudian melangkah menuju bibir pantai dan mengikuti arus di beach walkway.
Beach walkway itu tak megah-megah amat, berupa hamparan beton berubin kasar selebar dua setengah meter, dibatasi dengan urugan batu raksasa di sebelah bibir pantai dan garis pepohonan di sisi yang lain.
Tak hanya keriuhan pelancong yang memeriahkan suasana pantai, tetapi para pemburu rezeqi benar-benar sibuk meniagakan souvenir, es krim, minuman dingin dan makanan berat atau ringan lainnya.
Pantai ini mungkin tak lebar tetapi tetap saja menjadi tempat ideal bagi penghuni Fort Kochi untuk menyambut senja. Tak hayal, keserian tertampil alami di paras setiap pelancong sore itu.
Inilah Mahatma Gandhi Beach….Interior Fort Kochi yang akan memainkan peran dalam pariwisata kota di sebelah Barat Negara Bagian Kerala.
Pantai dengan panjang tak lebih dari tujuh ratus meter ini memamerkan garis pantai Malabar yang langsung mnghadap ke Samudera Hindia.
Tak hanya bangku permanen yang dihadirkan di sepanjang beach walkway, pantai itu juga menyediakan anjungan beton menjorok ke arah pantai yang ramai digunakan para pelancong sebagai tempat berburu gambar.
Bahkan di anjungan itulah, aku kerap membantu beberapa rombongan pemuda-pemudi lokal yang ingin mengabadikan foto bersama….Tentu sebagai imbalan, aku difotoin juga dong….Tapi yang lebih penting, hal tersebut menjadikanku tak kesepian dalam eksplorasi sore itu.





Sangkala terus menjauhi angka tiga ketika perut mulai memainkan irama khas pengiring perjalanan….Aku lapar….Wkwkwk.
Mataku otomatis tertuju pada deretan cafe dan rumah makan tepi pantai. Tertarik akan keberadaannya, maka kuputuskan mendekat dan mencari informasi. Walau dipenuhi pelancong, tetapi deretan cafe tersebut tak menjual makanan berat.
Sementara rumah makan yang menjual menu makanan berat ternyata belum buka juga. Hal itulah yang kemudian membuatku mengusir diri untuk mencari alternatif dengan caraku sendiri saja.
Kini aku mulai berfikir….
“Lebih baik aku mencari kalori dari kedai street food aja. Daripada telat makan dan meresikokan diri”, aku telah memutuskan.
Melangkah ke ujung selatan pantai, aku menemukan area lapang, beralas pavling block dengan pohon-pohon besar di tengahnya serta tempat duduk berbahan beton yang dirindangi oleh pepohonan itu.
Mataku sekejap tertuju pada sebuah gerobak jagung yang dijaga oleh seorang pemuda lokal.
“How much is this?”, aku mulai menanya
“40 Rupee”, pemuda itu menjawab sembari tersenyum.
“Okay, I buy it….Just one”, aku tak kuasa lagi menahan lapar.
Tak istimewa, hanyalah jagung rebus yang kemudian dikupas kulitnya lalu diolesi dengan bumbu kari yang tajam menusuk penciuman. Usai membeli, aku tak langsung menyantapnya. Kubirkan saja indera penciuman terbiasa dengan aroma kari yang sedap menyengat itu.
Aku mengambil duduk di bawah sebuah pohon bersama rombongan penduduk lokal yang tampak bersiap menyantap makan siang dari bekalan rantangnya masing-masing. Selanjutnya, aku dan mereka sama-sama bersantap siang di salah satu sudut pantai.
Usai menyantap jagung rasa kari tersebut, aku berburu kalori lain sebagai tambahan energi dalam persiapan melangkah lebih jauh lagi di area Fort Kochi.
Aku memutuskan untuk mencicipi es krim yang hanya dijual seharga 20 Rupee. Aku mendapatkannya dari sebuah kedai es krim di pertengahan beach walkway. Sekiranya sebuah jagung dan sepotong es krim telah menjadi peredam lapar sementara.




Hanya berada di pantai selama genap satu jam lalu memutuskan pergi untuk menjelajah ke tempat lain yang masih bisa dijangkau dalam beberapa jam ke depan.