Pohon Kelapa dari Kochi Metro

<—-Kisah Sebelumnya

Menunggang ulang ferry menuju daratan utama Fort Kochi, tatap mata berkali-kali tertuju pada penunjuk waktu digital di gawai….maklum aku tak lagi mengenakan jam tangan dalam beberapa kurun waktu terakhir.

Lepas dari antrian yang mengular, aku mendapatkan tiket untuk berlayar jarak pendek menuju dermaga di seberang perairan yang berjarak tak lebih dari satu kilometer.

Selepas ferry berlabuh di dermaga, alih-alih segera menuju ke Kochi Airport Bus Terminal, aku malah berbelok berlawanan arah menuju timur, menapaki Calvathy Road untuk melongok sejenak dermaga lainnya yang dimiliki Fort Kochi. Aku masih saja oportunis untuk menuju ke pulau lain….Aku ingin ke Wellington Island.  

Aku menyisir jalanan di belakang rombongan pelancong lokal yang kesemuanya adalah gadis belia India, dengan pakaian sari yang khas India, kesemuanya berambut panjang terkepang dan terkuncir serta berkulit gelap tapi tetap saja manis. Sesekali mereka menengok ke arahku, merasa sadar sedang kukuntit dari belakang. Aku merasa cuek saja, sengaja aku berbuat demikian untuk menghindari scam yang mungkin saja muncul. Setidaknya berjalan di belakang rombongan gadis India itu mampu membuatku merasa tak berjalan seorang diri.

Dalam jarak delapan ratus meter, tiba juga diriku di dermaga yang dimaksud. Tak seperti dermaga yang menuju Vypeen Island, dermaga menuju Wellington Island tampak lebih tertata rapi. Ada bangunan dermaga yang menjadi pusat aktivitas para penumpang.

Aku kembali melihat waktu yang tetampil di gawai pintar, hanya ada waktu tersisa empat puluh lima menit jika ingin berangkat menuju Wellington Island.

Aku terduduk membisu di salah satu bangku pelabuhan, berfikir keras berkali-kali. Tetapi tetap saja, realita mengatakan bahwa waktuku tak akan pernah cukup. Artinya, tak ada yang bisa diperbuat lagi, aku harus bergegas pulang ke penginapan dan menutup eksplorasi.

Alhasil, melangkahlah aku menuju Kochi Airport Bus Terminal. Dalam lima belas menit, aku pun tiba. Dan tak terduga, aku bertemu kembali dengan sopir dan kondektur yang sama seperti saat aku berangkat menuju Fort Kochi dari bandara pagi tadi.

Sontak kondektur perempuan setengah baya itu tersenyum dan menunjukkan jari ke arahku ketika aku melompat naik dari pintu depan, rupanya dia masih mengenali raut mukaku. Aku membalas senyumnya dan sebelum duduk aku bertitip pesan penting kepadanya, “Drop me off at Vyttila Station, Mam !”.

Oooooh…Vyttila Station….Oke, don’t worry”, dia menjawab dengan aksen dan gaya khas….Menggeleng-gelengkan kepalanya.

Usai memastikan kondektur perempuan itu memahami pesanku, aku segera mengambil tempat duduk dan lagi-lagi waktuku harus terbuang karena menunggu bus dipenuhi oleh penumpang.

Usai semua bangku terisi oleh penumpang, maka bus mulai bertolak menuju Aerotropolis Nedumbassery.

—-****—-

Aku diturunkan di sebuah perempatan besar dengan kesibukan proyek flyover di atasnya. Perjalanan sejauh dua puluh kilometer kubayar dengan ongkos sebesar 40 Rupee.

Berdiri di perempatan, aku mengawasi sekitar, feeling telah mengarahkanku untuk melangkah ke barat demi menemukan Stasiun Vittyla. Maka dengan penuh kepercayaan diri kulangkahkan kaki menujunya.

Menyisir trotoar panjang di tepian Sahodaran Ayyappan Road nan ramai kendaraan, aku terus mengawasi sekitar. Tetapi….Semakin jauh melangkah, aku tak kunjung melihat keberadaa stasiun MRT yang kucari.

Dan pada akhirnya, kuputuskan bertanya saja kepada seorang penjahit yang sedang khusyu’ bekerja di kiosnya.

Dia mengernyitkan dahi begitu faham aku tersasar. Menghentikan pekerjaannya, dia keluar dari kios dan berjalan menuju trotoar sambil memintaku mengikutinya. Dia menunjuk arah timur dan dengan jelas memintaku untuk menyeberangi perempatan di bawah proyek flyover dan melangkah lurus setelah menyeberangi perempatan tersebut.

Mengucapkan terimakasih, aku melangkah ke arah semula.

Sesampai di perempatan, aku bertanya kepada seorang opsir polisi yang kebetulan sedang bertugas mengurai kemacetan. Dia menunjukkan arah dimana untuk sampai ke seberang jalan, aku harus melintasi area bawah jalan layang yang dipenuhi oleh para pekerja proyek.

Aku berhasil tiba di seberang jalan, maka selanjutnya aku kembali melangkah meneruskan jarak tersisa untuk menemukan Stasiun Vyttila.

Alhamdulillah…Aku akhirnya menemukannya….

Penuh kegirangan, aku segera memasuki bangunan stasiun dan langsung berburu tiket. Menggunakan lift, dari Ground Level aku menuju ke Concourse Level. Di lantai itulah dengan mudah aku menemukan konter penjualan tiket. Kali ini aku hanya akan membeli single journey ticket untuk menuju Stasiun Aluva.

Dengan membayar 60 Rupee aku mendapatkan tiket yang dimaksud dan segera menuju ke platform.

Menunggu MRT di Kerala menjadikanku teringat ketika menjelajah beberapa stasiun MRT di New Delhi di awal tahun 2018. Saat itu aku melihat bahwa standar keamanan di MRT New Delhi dilakukan dengan sangat ketat oleh Central Industrial Security Force (CISF) yang merupakan pasukan polisi bersenjata yang bekerja di bawah Parlemen India. Di bawah pengawasan mereka, jangan harap bisa mengambil foto dengan mudah di MRT New Delhi.

Mengingat pengalaman tersebut, aku tak memberanikan diri memotret situasi stasiun dengan terang-terangan.

MRT yang kutunggu pun tiba….Perlahan merapat di sepanjang sisi platform, tanpa ragu aku segera menaikinya dan di dalam gerbong aku memilih berdiri saja di dekat pintu. Tujuanku adalah menikmati keindahan Kerala, mengingat MRT ini melintas di jalur rel layang sehingga sepanjang perjalanan akan memamerkan pemandangan kota yang indah dari ketinggian.

Perempatan dimana aku diturunkan.
Stasiun Vyttila.
Konter penjualan tiket Kochi Metro.
Inilah Mass Rapid Transportation ke-11 dari 13 MRT di luar negeri yang pernah kunaiki.
Suasana ketika pertama kali memasuki gerbong.
Penampakan kereta-kereta reguler India.
Stasiun Aluva.

Sejauh mata memandang, banyak sekali kutemukan pohon kelapa yang bertebaran di sudut-sudut kota. Memang ….Mengapa negara bagian ini disebut dengan “Kerala”.

 Ya “Kerala” memiliki makna “Tanah Kelapa”, maka sudah tepat jika dinamakan demikian, karena aku dengan mudah menemukan pohon kelapa hingga ke tengah kota.

Di sepanjang perjalanan, tak sedikit penumpang tampak heran memperhatikanku yang terlalu sering mengambil gambar lewat jendela kereta. Mereka pastinya faham bahwa aku adalah pelancong asing yang sedang mengabadikan kota. Untuk menetralkan suasana, aku berusaha melemparkan senyum ramah kepada beberapa penumpang yang tampak sesekali memperhatikan keberadaanku.

Semakin menjauhi Stasiun Vyttila, suasana gerbong semakin penuh, tampak kebanyakan dari mereka adalah karyawan yang sedang dalam perjalanan pulang dari kantor mereka masing-masing. Sungguh waktu yang tepat bagiku untuk mencicip transportasi kebanggan warga Kerala sore itu karena aku menaikinya tepat pada jam-jam sibuk masyarakat lokal dalam menggunakan MRT.

Tak terasa, Kochi Metro semakin mendekat ke Stasiun Aluva yang merupakan stasiun paling ujung dari rute reguler Metro Kochi. Aku pun bersiap turun…. 

Aku masih berjarak lima belas kilometer dari penginapan, jadi aku masih harus melanjutkan perjalanan menuju Aerotropolis Nedumbassery menggunkan airport bus.

Begitu Kochi Metro menghentikan segenap rodanya, aku segera menuruni lantai atas stasiun untuk menuju jalan raya demi mencegat airport bus yang akan melewati Stasiun Aluva.

Terimakasih Kochi Metro yang sudah memberikan pengalaman berharga dalam perjalananku di Kerala…

Kisah Selanjutmya—->

KURTC: Cochin International Airport ke Fort Kochi

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menyantap jajanan ringan Appam, Elai Adai dan Samosa, aku menyempurnakan sarapan dengan menyeruput perlahan Chai panas yang membuat badan menjadi hangat setelah semalaman terpapar dinginnya penyejuk ruangan bandara.

Seruputan terakhir Chai menandakan bahwa aku harus bersiap diri menuju destinasi utama hari itu….Apalagi kalau bukan Fort Kochi, sebuah kawasan perpaduan empat budaya yaitu Belanda, Portugis, Inggris dan India.

Meninggalkan Cafe Sulaimani, aku kembali melangkah menuju bundaran di sekitar gerbang utama Cochin International Airport.  Setibanya di sana aku merasa beruntung karena ada seorang opsir polisi yang sedang bertugas.

“Sir, Where is bus shelter which can deliver me to Fort Kochi?”, aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Just wait there, bus will come on fifteen minutes”, dia melihat jam tangannya dan menunjuk ke sebuah pojok jalan.

“Thanks, Sir”

“Welcome”

Aku segera menyeberang jalan dan menunggu tepat di tikungan. Tak ada halte apapun di sisi jalan itu. Hanya saja petunjuk opsir polisi itu sudah membuatku yakin bahwa bus bisa dihentikan di pojok jalan itu.

Lima belas menit menunggu adalah masa-masa menenangkan, bagaimana tidak, opsir polisi itu sepertinya tak lengah memperhatikanku sembari mengatur lalu lintas di sekitar. Dia sepertinya akan memastikanku terangkut oleh bus pada pemberangkatan terdekat.

Benar adanya, tepat lima belas menit, sebuah bus berwarna oranye dengan logo KURTC (Kerala Urban Road Transport Corporation) keluar dari arah bandara. Dengan cepat aku menangkap kehadirannya, begitu pula dengan opsir polisi itu. Ketika bus perlahan semakin mendekat, sang opsir menatapku dari kejauhan dan telunjuknya diarahkan ke bus tersebut sembari tersenyum. Aku mengacungkan jempol dan membalas senyumnya.

“Terimakasih pak polisi yang baik hati”, aku membatin ceria.

Aku memasuki bus dari pintu depan dan mengambil tempat duduk di sisi tengah. Keluar dari bandara, deretan bangku bus masih terlihat kosong. Tak lama duduk, seorang kondektur perempuan dengan mesin geseknya datang mendekatiku.

“Where will you go?”, dia melontarkan pertanyaan.

“Fort Kochi, Mam”, aku menjawab sembari tersenyum.

“88 Rupee”, kondektur itu menggeleng khas India.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas ketika bus perlahan bergerak ke barat meninggalkan Aerotropolis Nedumbassery. Bus merangsek melalui Airport Road, jalanan utama berpembatas  trotoar di antara kedua ruasnya.

Perlahan tapi pasti, bus menaikkan penumpangnya satu per satu di sepanjang jalan. Ada yang dinaikkan di halte dan ada juga yang dinaikkan di luar halte.

Dalam lima belas menit, rasa penasaranku terbayarkan ketika bus melintas di sebuah stasiun MRT.

Itu pasti Stasiun Aluva”, aku membatin.

Dalam peselancaranku di dunia maya, aku menemukan bahwa Kochi adalah kota yang memiliki fasilitas MRT. Kini aku sudah menemukan jalurnya dan aku menjadi berniat untuk mencicip Kochi Metro walau hanya sekali saja. Mungkin sepulang dari Fort Kochi sore nanti.

Meninggalkan Aluva, keramaian warga lokal mulai terlihat masif ketika bus memasuki sebuah kawasan industry, daerah Kalamassery namanya. Truk-truk besar khas industri tampak memenuhi jalanan, sedangkan bus-bus kota jenis yang lain dijejali oleh warga lokal yang sibuk beraktivitas.

Kemudian keluar sedikit dari kawasan Kalamassery, gedung-gedung apartemen mulai kutemui kehadirannya. Dugaanku, para pekerja dari kawasan industri itu sebagian besar tinggal di apartemen-apartemen yang didirikan di sekitar wilayah Ernakulam.

Stasiun Aluva, salah satu stasiun dalam jaringan Kochi Metro.
Suasana HMT Road di sebuah kawasan industri Kalamassery.
TBPL GK Arcade (kanan depan) adalah gedung apartemen di distrik Ernakulam tepat di sisi Jalan Ernakulam-Thekkady.

Setelah 45 menit menit perjalanan, merapatlah bus ke sebuah terminal di daerah Vyttila. Sebagian besar penumpang naik dan turun di terminal ini. Inilah bus hub yang berukuran lumayan besar di kota Kochi. Bus-bus dari dan menuju daerah lain di Kerala tampak merapat di terminal ini.

Usai menaikkan penumpang di Vyttila Hub Bus Terminal, bus kembali merangsek ke jalanan. Semakin ke barat, sungai-sungai besar mulai mengakuisisi pemandangan. Aku faham bahwa bus yang kunaiki semakin merapat ke arah pantai barat Kerala. Sungai-sungai itu bercabang-cabang membelah daratan. Semakin banyaknya daratan yang terpisah oleh perairan menyebabkan aku mulai menemukan banyak sekali jembatan di bagian akhir perjalanan menuju Fort Kochi.

Salah satunya adalah jembatan terpanjang di Kerala yaitu Kundannoor Bridge yang menghubungkan  dua area, yaitu Maradu di timur jembatan dan Thevara di baratnya. Perairan-perairan luas itu membuat panorama sejauh mata memandang menjadi lebih sejuk dan biru.

Selepas melewati jembatan terpanjang di Kerala itu, bus memutar roda menyusuri Willingdon Island yang merupakan hamparan daratan yang dikelilingi sepenuhnya oleh perairan sehingga menjadikannya terpisah dari daratan utama Kerala. Sementara itu, area Fort Kochi sendiri  adalah bagian dari daratan utama Kerala yang terletak di bagian paling barat sehingga bus harus sekali lagi melewati sebuah jembatan untuk menuju ke sana.

Adalah Gateway of Cochin BOT Bridge yang memfasilitasi penghubungan antara pulau dan daratan utama tersebut.

Vyttila Hub Bus Terminal di tepian Sungai Kaniyampuzha.
Suasana dalam bus setelah meninggalkan daerah Vyttila.
Pemandangan dari atas Kundannoor Bridge.
Gateway of Cochin BOT Bridge yang menghubungkan Willingdon Island dengan daratan utama Kochi
Kesibukan di area Thoppumpady sekitar pukul sebelas siang.
Suasana lain wilayah Thoppumpady di sekitar AK Xavier Road.
Pemakaman di kawasan Fort Kochi.

Dan pada akhirnya, genap satu jam melakukan perjalanan, bus mulai masuk di area Fort Kochi. Kali ini keramaian sekitar lebih didominasi oleh kegiatan pariwisata. Baik wisatawan lokal maupun mancanegara berbaur di setiap penjuru Fort Kochi.

Perlu waktu setengah jam lamanya bagi bus untuk merangsek membelah padatnya jalanan Fort Kochi hingga tiba di shelter terakhir KURTC bus yang lokasinya tak begitu jauh dari pantai barat Kerala.

Okay….Saatnya mengeksplorasi Kochi selama beberapa jam ke depan.

Kisah Selanjutnya—->