Beruntung check-in desk yang kucari sejak beberapa waktu sebelumnya belum dibuka ketika aku tiba di depannya. Sehingga waktu yang terbuang sia-sia di antian yang salah tak mempengaruhi waktuku dalam mengurusi boarding pass.
Usai menunggu beberapa saat, check-in desk yang akan melayani proses administrasi penerbangan Swiss Air LX 242 akhirnya dibuka. Sontak aku mengambil posisi di antrian, bukan yang terdepan karena sedari sebelumnya banyak calon penumpang yang sudah mempersiapkan diri di sekitar check-in desk tersebut.
Aku sudah tenang berada di antrian yang benar, LCD di atas check-in desk juga sudah dengan jelas mengafirmasi nomor penerbangan yang telah kupesan tujuh bulan sebelum penerbangan.
Ketika sedang nyaman-nyamannya mengantri….
Tetiba sebuah travel bag terjatuh dari trolley dan menimpa kaki kiriku. Aku pun terperanjat dan seketika menoleh ke belakang.
“Sorry….Sorry, Sir. My trolley is too full“, dia terus membungkukkan badan di depanku.
“Call me, Xu…..Do you want to go to Muscat?“, nama yang dia sebutkan memperjelas wajahnya yang khas Tiongkok.
“Me…Donny from Indonesia“, aku mengajaknya berjabat tangan.
“Do you work in Muscat, Donny?“, Xu melempar sebuah tanya.
“No, Xu….I’m a tourist“, singkat balasku, “Do you work there?“.
“Yeaa, Donny….I work in oil company“, dia menjelaskan singkat saja.
Tak berapa lama kemudian giliranku menghadap petugas di check-in desk.
“Any luggage, Sir“, staff perempuan berparas khas Asia Selatan menanyaiku.
“Nup, Ms Dilupa“, aku menjawab sembari menatap nametag yang tersemat di blazer hitam miliknya.
“Oh, you know my name“, dia tak tertawa melainkan hanya tersenyum tipis.
“That’s …“, Aku menunjuk nametag yg dia kenakan.
“Just bag in your back?“, dia tak kuasa menahan senyum hingga gingsul manisnya terlihat.
“Yeaaa …just backpacker, Ms Dilupa“, aku terus tersenyum kepadanya.
“Ya….ya….ya…. Backpacker….Always like you now“, kini dia bersiap mencetak boarding pass.
“Where are you come from?“, sidikku ketika dia menyerahkan bording pass berwarna putih polos.
“Colombo …..“, dia menjawab dengan tatapan ramah, “Next…..“, dia mulai berseru memanggil Xu yang menunggu di belakang.
“Sri Lanka….Nice country“, aku merapikan dokumen dan bersiap meninggalkan meja.
Dilupa hanya mengacungkan jempolnya kepadaku sembari tersenyum mengangguk.
Check-in desk Swis Air LX 242.
Dia adalah Xu, teman baru di Dubai International Airport.
Menuju platform kereta.
Kereta menuju Concourse D sebentar lagi tiba.
Usai mendapatkan boarding pass, aku segera menuju screening gate untuk memeriksa backpack demi keamanan penerbangan. Dengan mudah melewatinya, aku segera menuju konter imigrasi untuk mendapatkan izin keluar dari Dubai. Meninggalkan sebuah negara menjadi bagian termudah di setiap perjalanan yang kutempuh.
Di akhir proses administratif, aku sudah siap meninggalkan bangunan Terminal 1. Aku segera beranjak menuju platform kereta demi menuju Concourse D-Dubai International Airport. Di bangunan itulah Swiss LX 242 akan diterbangkan.
Tentu aku tak gentar untuk melewati terowongan yang menembus bagian bawah jalan reguler yang mengalirkan kendaraan keluar-masuk Terminal 1 Dubai International Airport. Langkah cepat akhirnya mengantarkanku ke sebuah area parkir yang merupakan fasilitas bagi para pengunjung bandara.
Sayangnya area parkir tersebut terhadang oleh keberadaan Airport Road yang membelah area Terminal 1 menjadi dua sisi terpisah. Aku berusaha mencari cara untuk mencapai area di utara jalan besar itu.
Berhenti sejenak mengamati situasi, aku mencoba lebih tenang.
“Ya….Itu….Pasti itu”, aku menatap sebuah skybridge yang mengangkangi Airport Road. Tak mau kehilangan banyak waktu maka aku bergegas menujunya.
Benar adanya, terdapat tangga untuk mulai menelusuri skybridge itu. Dalam beberapa detik kemudian aku pun sudah melangkah di dalam lorongnya.
Jembatan sepanjang 150 meter itu kulalui dengan cepat hingga aku benar-benar tiba di bangunan Terminal 1. Aku tiba tepat dua jam sebelum penerbangan. Kini mataku awas mencari keberadaan check-in zone yang bisa menerbitkan boarding pass untukku.
Maka mataku mulai awas mencari keberadaan FIDS (Flight Information Display Siystem). Aku menemukannya di sebuah koridor. Mataku mulai menyapu daftar penerbangan yang disajikan dalam dua kolom memanjang.
“Yess….Itu dia….Swiss Air LX 242….Check-in desk di Area 5”, aku telah menemukan informasi valid yang kubutuhkan.
Aku mulai mencari tahu maksud dari Area 5. Setelah berusaha memahami beberapa signboard yang ada di ruangan terminal, akhirnya aku faham. Check-in desk itu terletak di setiap persimpangan di sepanjang koridor utama ruangan.
Angka-angka yang merupakan nomor check-in zone tersebut tertampil jelas di pilar-pilar bangunan terminal dan aku menemukan area check-in zone nomor 5 di pertengahan koridor.
“Hmmhh….Check-in desk belum dibuka”, aku menghela nafas pelan.
Maskapai penerbangan yang akan kutunggangi beserta nomor penerbangannya belum tertampil di layar-layar LCD di atas deretan check-in desk. Meja-meja itu masih sibuk mengurusi penerbangan Aeroflot SU 527 menuju Moscow.
Aku menepi ke sisi utara ruangan, menunggu di sebuah tempat duduk. Sesekali aku berdiri menghadap ke dinding kaca berukuran lebar, jauh di seberang sana adalah Concourse D, sebuah bangunan dimana setiap gate penerbangan ditempatkan. Hal ini memberikan arti bahwa bangunan Terminal 1 dimana aku berada hanyalah berfungi sebagai bangunan administratif bagi setiap penumpang sebelum dinyatakan siap untuk terbang.
Sesekali aku melangkah mendekati layar FIDS untuk memastikan apakah proses check-in untuk nomor penerbanganku telah dibuka. Aku terus melakukannya berulang-ulang. Setelah sekian kali mengecek, akhirnya check-in desk yang dimaksud benar-benar telah bestatus “Open”.
Aku melangkah menuju antrian dan mulai bergabung di dalamnya. Satu per satu calon penumpang selesai melapor ke check-in desk dan pergi dengan menggenggam lembar boarding pass.
Semakin tertelan di tengah antrian, aku baru menyadari satu hal. Aku tetiba melotot melihat sebuah e-ticket bertuliskan Oman Air. Layar LCD di atas check-in desk memang hanya menunjukkan nama kota….”Muscat”. Tetapi aku tak menyadari ada sebuah papan dengan informasi berukuran tak terlalu besar. “Oman Air WY 614”, aku jelas membacanya.
Astaga aku berada di antrian penerbangan yang salah.
Area parkir Terminal 1.
Skybridge menuju ke bangunan Terminal 1.
Airport Road terlihat dari skybridge.
Tiba di bangunan utama Terminal 1.
Koridor utama ruangan Terminal 1.
Check-in zone.
Menunggu nomor penerbangan muncul.
Bangunan nan jauh di sana adalah Concourse D.
“Is this Swiss Air LX 242 to Oman, Mam?”, aku bertanya kepada seorang calon penumpang yang berdiri tepat di depanku.
“Oh No, This is Oman Air…”, dia menjawab sembari menggelengkan kepalanya heran.
“Thanks, Mam….I’m in wrong queue”, aku mulai beranjak pergi meninggalkan antrian.
Aku kembali berada di koridor antara dua deret check-in desk , berdiri dan fokus menyebarkan pandangan ke layar-layar LCD di kedua sisi.
Tak kunjung menemukannya, akhirnya aku bertanya kepada seorang staff bandara.
“Sir, where is the check-in desk for Swiss Air LX 242 towards Muscat?”, aku menunjukkan e-ticketku.
“Oh, yaaa…..the desk will be open in five minutes, Sir….Just wait for a moment”, dia menjelaskan kepadaku
“You will be better to wait in the last desk of this check-in desk row….Over there, Sir”, dia menunjuk ke sebaris check-in desk yang terletak di ujung Area 5. Di sanalah penerbanganku akan diproses.
Desing mesin SriLankan Airlines UL 225 perlahan berkurang usai roda-roda raksasanya menyentuh landas pacu Dubai International Airport. Melakukan taxiing selama beberapa waktu akhirnya selongsong terbang itu merapat dan berhenti di salah satu titik apron bandara. Aerobridge segera dijulurkan ke pintu depan pesawat untuk mengakomodasi proses unloading segenap penumpang.
Aku pun bergegas keluar dari pesawat dan sejenak berhenti di tengah aerobridge, menghela nafas panjang dan masih tak percaya untuk pertama kalinya menginjak satu kawasan baru dalam sejarah petualanganku….Timur Tengah. Dan kini aku berada di kota terpadat di seantero Uni Emirat Arab, yupz….Dubai.
Perlahan aku menapaki Concourse D yang merupakan bagian dari Terminal 1….
Karena setiap keberangkatan dan kedatangan di Terminal 1 selalu dikonsentrasikan di Concourse D dan karena Concourse D ini merupakan bangunan terpisah dari Terminal 1 maka keduanya dihubungkan oleh Automated People Mover(APM) , singkat saja dengan istilah Terminal 1 APM.
Aku melewati koridor kedatangan yang tampak modern dengan dinding kaca keseluruhan di sisi kanan. Beberapa travelator disediakan untuk mempercepat langkah penumpang menuju Terminal 1 APM. Sedangkan jalur buggy cars di koridor kedatangan ditandai dengan jalur ubin berwarna hitam.
Concourse D-Dubai International Airport.
Koridor kedatangan.
Terminal 1 APM platform.
Dalam 20 menit aku tiba di platform Terminal 1 APM. Tampak petugas dnata perempuan berkebangsaan Philippina mengarahkan setiap penumpang menuju gerbong Terminal 1 APM yang telah datang. dnata sendiri adalah penyedia layanan udara terbesar di dunia yang memberikan penanganan darat di Dubai International Airport.
Karena aku harus mengambil beberapa gambar di Concourse D maka untuk berpindah ke Terminal 1, aku menunggu kedatangan Terminal 1 APM di kesempatan kedua.
Kereta itu pun tiba….
Aku bergegas memasukinya dengan mengikuti arahan dari staff dnata yang bertugas. Mengambil gerbong terdepan maka aku pun meluncur ke Terminal 1 untuk menyelesaikan urusan keimigrasian. Dan dalam sepuluh menit aku tiba di bangunan Terminal 1.
Kini aku dihadapkan pada deretan konter imigrasi yang memanjang memenuhi salah satu sisi ruangan. Dengan konter sebanyak itu, bisa dibayangkan berapa banyak pendaratan pesawat di bandara ini. Peran Dubai International Airport sebagai mainhub di Kawasan Timur Tengah memang tidak bisa diragukan lagi.
Beberapa waktu menunggu di antrian, tiba giliranku untuk menghadap ke petugas imigrasi yang mengenakan gamis dan ghutra berwarna putih bersih.
“Donny Suryanto from Indonesia”, ucapnya ketika mencocokkan passport dan dokumen keimigrasian di komputernya.
“Yes, Sir. I’m Donny from Indonesia”, jawabku tegas.
“Welcome to Dubai, Donny….Come!…Come!”, dia menunjukkan jalurku keluar dari area imigrasi.
Bombardier Innovia APM 300 buatan Jerman.
Menuju konter imigrasi.
Conveyor beltarea.
Arrival hall.
Arrival hall.
Yuks, cari tempat tidur…..Wkwkwkwk.
Semudah itu aku melewati konter imigrasi. Kabar baiknya, petugas imigrasi itu memberikanku Tourist SIM Pack secara cuma-cuma. Mungkin ini sebagai bentuk promosi dari Du Mobile supaya para wisatawan membeli kuota dari penyedia jasa telekomunikasi tersebut.
Dengan mendapatkan SIM Card dengan kuota 20MB tersebut, aku tak perlu membeli kuota karena aku bisa melacak posisiku menggunakan GPS ketika berada di tengah kota nanti.
Langkahku pun berlanjut dengan meninggalkan area conveyor belt karena memang tak ada bagasi yang perlu kutunggu. Akhirnya aku pun menginjakkan kaki di Arrival Hall. Langkah pertama yang kulakukan adalah menukar beberapa Dollar Amerika dalam bentuk Dirham di konter Travelex. Seingatku aku hanya menukar uang sebesar 122 Dollar Amerika untuk mendapatkan 439 Dirham. Jumlah yang lebih dari cukup untuk berpetualang ala backpacker di Dubai.
Setelah mendapatkan Dirham yang cukup untuk keperluan eksplorasi, akhirnya aku mengambil tempat duduk di Arrival Hall untuk memejamkan mata sejenak karena masih ada waktu tiga jam menjelang fajar.
Rute SriLankan Airlines UL 225 (sumber: flightaware).
Hatiku sumringah usai memergoki nomor penerbanganku pada salah satu tampilan Flight Information Display Siystem (FIDS) di sudur transfer hall Bandaranaike International Airport.
“Yiaayyy, sebentar lagi berangkat ke Dubai”, hatiku bersorak girang.
Dengan sigap aku menyudahi aktivitas mengisi daya baterai smartphone dan Canon EOS M10 yang sudah kulakukan sedari beberapa waktu lalu.
Tau gak sih?, kalau aku harus lama berdiri menunggui “alat bantu perjalanan” itu selama dicharge. Hal ini dikarenakan charging station itu berada di sebuah tiang nan ramai dengan lalu-lalang pengunjung bandara. Sedangkan apron view tempatku duduk sebelumnya berada sepuluh meter dari tiang tersebut.
Hmmhhh…..
Sembari menahan betis yang pegal karena terlalu lama berdiri, aku segera melangkah menuju gate 14 seperti yang diperintahkan dalam FIDS. Kali kedua mengunjungi bandara ini, membuatku dengan mudah menemukan gate itu.
Terduduklah aku di kursi tunggu di luar waiting room, gate belum sepenuhnya siap mengantarkan penumpang menuju penerbangan.
Aku tersenyam-senyum sendiri, memperhatikan seorang perempuan muda asal Eropa yang tampak bermain dengan kedua anak perempuannya yang sepertinya masih bersekolah dasar. Mereka memanfaatkan pojok koridor untuk melakukan permainan melompat, berlari dan menari. Sungguh lucu dan menggemaskan. Sementara sang suami tampak sibuk menelpon ke sana kemari.
Selang beberapa waktu, tetiba bangku sebelah kananku yang kosong telah diduduki oleh seorang wanita. Selepas duduk, dia tampak gelisah, tatapnya terus berpindah-pindah titik pandang. Hal itu membuatku penasaran, kuliriknya apa yang dia pegang. Tak salah lagi, itu paspor hijau Republik Indonesia.
“Ada apa gerangan wanita ini sendirian sampai di Sri Lanka?”, aku membatin.
Mencoba menenangkan suasana aku pun berinisiatif untuk membantu,
“Ibu mau terbang kemana?“, aku memulai pertanyaan.
“Loh, masnya orang Indonesia toh?, Alhamdulillah ada teman. Saya mau terbang ke Dubai, bingung cari gate, mas”
“Gate berapa, bu?”
“14, mas. Tapi ini kok nomor penerbanganku kok ga sama seperti yang tertera di gate ya, mas?”
“Sebentar, bu”, aku bangkit dari tempat duduk dan berinisiatif bertanya kepada seorang petugas aviation security yang sedang berdiri di depan gate. Dia menjelaskan singkat bahwa gate 14 akan digunakan untuk dua penerbangan.
Aku menjelaskan perihal ini ke si ibu bahwa penerbangannya akan mendahului penerbanganku dan dia menganguk faham setelah kujelaskan. Masalah selesai, kini si ibu bisa menunggu pernerbangannya dengan tenang.
Sebelum si ibu terbang, beliau bercerita bahwa dirinya sedang menuju Dubai untuk berkerja sebagai seorang asisten rumah tangga pada sebuah keluarga Arab di sana. Dia menemukan majikan yang baik hati dan baru kali ini dia pertama kalinya terbang sendirian tanpa teman-temannya sehabis mudik ke kampung halaman.
Beberapa menit kemudian, si ibu berpamitan dan mendahuluiku terbang ke Dubai.
Beburu gate….
Menunggu terbang…
Kenapa kalau masuk kabin, pramugari selalu menjadi pusat perhatian….Selain cantik, apalagi ya alasan lainnya?
Usai waiting room kosong kembali dari penumpang, maka giliranku untuk memasukinya dan bersiap diri untuk terbang. Setelah menunggu beberapa saat di waiting room, akhirnya gate pun dibuka untuk mengalirkan penumpang ke kabin pesawat.
Memasuki aerobridge, aku mengantri di sepanjangnya demi memasuki kabin pesawat.
“Dari Indonesia, Mas?”, seseorang di belakangku menyapa.
“Eh, iya mas. Lho mas dari mana? Saya dari Jakarta”.
“Saya dari Sidoarjo, Mas”
“Aku tadi juga barusan ketemu sama seorang ibu dari Wonogiri lho, Mas. Wah di Sri Lanka malah banyak saudara sendiri ya, mas….Hahaha. Kerja di Dubai, Mas? “
“Iya, Mas, aku kerja di kapal pesiar”.
“Wah mantab, gajine gede pasti”.
“Alhamdulillah, biasa aja, Mas. Masnya juga kerja di sana ta?”
“Ndak mas, aku cuma ingin liat-liat Dubai bentar. Aku kerja di Jakarta”.
Tak terasa percakapan itu terbawa hingga ke dalam kabin pesawat dan terhenti ketika aku menemukan tempat duduk.
“Ati-ati ya mas di jalan, takut nanti di bandara Dubai ndak ketemu lagi”, dia mendahului ucapan perpisahan
“Iya mas, hati-hati juga kerja di sana”
Aku pun duduk dan dia mulai mencari bangkunya di kabin belakang.
—-****—-
Terduduk di bangku bernomor 56G di kolom tengah, aku mulai mengeksplorasi beberapa majalah dan brosur di kursi, membaca Serendib Treasure yang menjadi shopping cataloque milik SriLankan Airlines dan selembar “Taste Our World” yang menyajikan menu penerbangan dari Colombo menuju kawasan Timur Tengah.
Tak lama kemudian, pesawat bersiap lepas landas
Aku memperhatikan sejenak demo keselamatan penerbangan yang dilakukan oleh para awak kabin, untuk kemudian usai pesawar telah airborne maka aku mulai berselancar di LCD TV untuk menonton sebuah film. Kuputuskan untuk mengulang kembali menonton film “Green Lantern” yang diperankan oleh Ryan Reynolds.
Memotong sejenak waktuku setelah beberapa saat menonton….
Awak kabin mulai mendorong food trolley dari arah kabin belakang, aku kembali melihat menu dan kemudian memutuskan untuk memilih Chicken Red Curry sebagai hidangan utama dan untuk dessert kujatuhkan pilihanku pada Rice Phirni (hidangan manis khas Asia Selatan yang dibuat dari nasi putih bubuk, susu, dan gula) serta orange juice sebagai minumannya.
Apapun itu….Flag carrier pasti selalu nyaman walau di kelas ekonomi.
Duh kemampuan english listeningku pas-pasan….
Alhamdulillah, setelah 26 jam ga ketemu nasi.
SriLankan Airlines UL 225 sendiri merupakan penerbangan selama empat setengah jam melintasi Laut Arab. Menempuh jarak udara sejauh kurang lebih 3.300 kilometer.
Penerbangan kali ini menjadi penerbangan ketigaku bersama flag carrier milik Negeri “Permata Samudera Hindia”.
Ketika aku sudah di pertengahan perjalanan, film pun usai menonton film, maka kusempatkan diri untuk tidur sejenak sebelum tiba di Dubai.
ZZZzzzzzz……….
—-****—-
Aku terbangun dari lelap ketika lampu kabin dinyalakan. Para awak kabin tampak sigap dan serius mengecek satu persatu sabuk keselamatan dan sandaran kursi setiap penumpang. Aku yang tak pernah melepaskan sabuk keselamatan pun dilaluinya begitu saja.
Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Dubai International Airport.
Jantungku mulai berdebar, menunggu kejutan-kejutan lain di tempat yang baru pertama kali aku datangi.