Swiss Air LX 242 dari Dubai (DXB) ke Muscat (MCT)

<—-Kisah Sebelumnya

Aku tak sabar menunggu kedatangan kereta. Beruntung kereta datang dengan cepat. Menaiki salah satu gerbongnya, meluncurlah aku di jalur panjang kereta dan tiba dalam beberapa menit di bangunan lain milik Dubai International Airport….Yupz, Concourse D.

Concourse D sendiri adalah bangunan di tengah-tengah area bandara yang difungsikan sebagai gerbang pelepasan. Bangunan itu dikoneksikan dengan bangunan Terminal 1 melalui rel yang diletakkan di atas tiang-tiang pancang jalur kereta.

Xu kembali datang menghampiriku ketika aku menduduki bangku di sebelah gate D 15. Ternyata Xu tak sendiri, dia memiliki satu teman lain yang kini diperkenalkan kepadaku.

Donny, this is Lin, my friend“, dia menunjuk ke temannya.

Hi, Lin….I’m Donny“, aku balik memperkenalkan diri.

Selanjutnya kami bertiga menghabiskan waktu untuk berbincang ringan di ruangan Concourse.

Sesekali Lin terlihat iseng menyembunyikan paspor milik Xu yang karena kecerobohannya ditinggalkannya di bangku ketika dia beranjak ke toilet. Lin memberikan kode dengan menaruh telunjuknya di hidung ketika aku mengetahui keisengannya itu. Sontak Xu dihantui kepanikan sekembalinya dari toilet mencari keberadaan paspornya. Aku sungguh menahan tawa atas keisengan itu. Nantinya Xu benar-benar menjitak jidat Lin atas kejahilannya itu. Kami bertiga pun tergelak ketawa berkepanjangan.

Panggilan boarding terdengar di langit-langit bandara. Aku telah siap sejak beberapa waktu sebelumnya. Aku mengucapkan sampai jumpa di Muscat kepada mereka karena kami bertiga akan duduk terpisah di dalam kabin.

Aku duduk di kabin tengah, di window seat sisi kiri, duduk dengan satu penumpang berkenegaraan Oman di sisi terkanan. Sedangkan bangku tengah dibiarkan kosong selama penerbangan.

Saat yang benar-benar kutunggu adalah masa airborne pesawat yang akan berlangsung cepat. Aku hanya ingin melihat keindahan Burj Khalifa dari langit malam Dubai. Entah bagaimana perwujudan indahnya ketika dilihat dari atas.

Food court di Cocourse D – Dubai International Airport.
Airbus A 330-300 milik Swiss Air.
Business Class.
Economy Class.
Hayo….Yang mana Burj Khalifa?….
Nonton Jason Bourne yang diperankan Matt Damon.
Kota Muscat tampak dari ketinggian saat pesawat hendak mendarat.
Salam Air (LCC dari Oman) tampak terparkir di Muscat International Airport.

Penerbangan malam itu berlangsung dalam kondisi kurang baik. Berkali-kali maskapai kebanggaan Swiss itu bergetar hebat menembus gumpalan-gumpalan awan di langit Timur Tengah. Membuat beberapa kali awak kabin mengurungkan diri untuk memberikan gelas-gelas minuman kepada penumpang.

Aku langsung teringat dengan beberapa artikel yang pernah kubaca mengenai awak kabin Swiss Air yang kebanyakan berusia tak muda lagi. Benar adanya, aku membuktikan dengan pengalamanku sendiri. Pramugara-pramugari Swiss Air LX 242 yang kutunggangi memiliki awak kabin yang usianya sudah diatas 40 tahun seperkiraanku.

Malam itu, aku hanya meminta disuguhkan segelas apple juice dan melakukan penerbangan singkat selama 1 jam 15 menit saja. Jarak antara Dubai-Muscat yang hanya tak lebih dari 500 kilometerlah yang membuatnya demikian.

Aku tiba di Muscat International Airport tengah malam dan memutuskan untuk berada di bandara saja hingga pagi menjelang.

Oh, ya…..Aku belum bercerita bagaimana Burj Khalifa dilihat dari langit malam Dubai?

Luar biasa ….Itu indah sekali, kawan……

Alternatif lain untuk mencari tiket pesawat dari Dubai ke Muscat bisa didapatkan di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->

Menjajal Dubai Tram: Memahami Rute

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan Burj Khalifa setelah hampir satu jam berada di halaman depannya. Terik surya masih saja menyengat, tiupan angin yang menghembuskan udara kering terus menghantam badan yang semakin basah dengan peluh.

Aku mempercepat langkah atas kondisi itu….

Beberapa menit kemudian, aku sudah memasuki Dubai Mall/Burj Khalifa Station yang menawarkan suhu dingin di dalamnya. Aku memasuki lift demi menuju platform, untuk kemudian bertemu dengan seorang pria muda berperawakan India.

Semenjak lift naik ke atas maka terjadilah percakapan ringan di dalamnya. Sebut saja namanya Ahmed, seorang pegawai kantoran yang sedang menuju ke kantor. Dia telah bekerja sebagai seorang professional di Dubai sejak tiga tahun silam.

“It’s very interesting to visiting many countries like what you do, Donny”, begitulah dia tertarik dengan segenap pengalaman yang kuceritakan dalam waktu singkat kepadanya.

“Sometimes, I will do like what you do, Surely”, Ahmed menambahkan.

Percakapan kami akhirnya terputus dengan hadirnya Dubai Metro berwarna biru langit. Aku menaiki gerbong tengah sedangkan Ahmed tercecer di gerbong lain. Kondisi penumpang yang penuh sesak, memaksaku berdiri hingga di tujuan akhir.

Melintasi jalur merah (red line) Dubai Metro yang merupakan jalur layang dari arah utara menuju selatan sejauh hampir 20 km maka dalam tiga puluh menit aku tiba di DAMAC Properties Station. DAMAC Properties sendiri adalah perusahaan pengembangan properti yang cukup terkenal di Dubai.

Dubai Metro Red Line (Menuju DAMAC Properties Station).
Penampakan Burj Al Arab dari dalam Dubai Metro.
Nah, itu dia DAMAC Properties Station….Yukz, turun.

Perjalanan pendek bertarif 5 Dirham itu berhasil menurunkanku di DAMAC Properties Station, aku diarahkan menuju koridor skywalk yang gagah mengangkangi Sheikh Zayed Toll Road. Jalan tol itu sendiri memiliki enam jalur di setiap ruasnya.

Di tengah skywalk, aku mencoba mengamati sekitar dan mencoba memahami rute transportasi massal di tempatku berdiri. Tampak di depan arahku melangkah adalah ujung skywalk dengan gerbang DAMAC Properties Station yang berlokasi di utara jalan tol. Sedangkan jalur tram tampak terlihat tepat di sisi utara Sheikh Zayed Toll Road. Itu artinya jalur Dubai Tram berada di pertengahan DAMAC Properties Station Gate sisi utara dan selatan.

Sejenak aku menikmati lalu lalang tram dari koridor skywalk, tampak tram dengan tujuh gerbong pendek melintas anggun di lintasan.

Jalur Dubai Tram sendiri terletak di Distrik Al Sufouh. Memiliki lintasan sepanjang hampir 15 kilometer. Telah melayani rute lebih dari delapan tahun, menggolongkan tram ini sebagai moda transportasi baru di Dubai. Jalur tram ini membentang dari Al Sufouh Station di utara menuju Jumeirah Beach Residence 2 Station di selatan. Serta memiliki koneksi ke moda transportasi lainnya yaitu Palm Jumeirah Monorail di Palm Jumeirah Station.

Skywalk menuju jalur Dubai Tram.
Sheikh Zayed Road Toll Road tampak dari skywalk.
Itu tuh Dubai Tram lagi lewat.

Karena stasiun Dubai Tram yang terkoneksi dengan DAMAC Properties Station tempatku turun dari Dubai Metro adalah Dubai Marina Station, maka aku akan menuju tujuan berikutnya dari stasiun tram tersebut.

Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, tram itu tiba dan aku menaikinya di gerbong tengah. Mengambil posisi berdiri aku menaiki tram tersebut dengan penuh rasa kagum. “Kapan ya Jakarta punya tram bagus kek gini?”, aku membatin dan berharap.

Meluncur bersama penumpang lainnya, aku melintasi Marina Towers Station, Mina Seyahi Station dan Media City Station sebelum akhirnya tiba di stasiun tujuan, yaitu Palm Jumeirah Station. Biaya perjalanan menggunakan tram ini sangatlah terjangkau, hanya 3 Dirham saja.

Aku bergeas turun ketika tram itu berhenti dan bersiap untuk melangkah di koridor penghubung antara jalur Dubai Tram dan jalur Palm Jumeirah Monorail.

Dubai Marina Station, titik awalku menaiki Dubai Tram.
Begini wujud Dubai Tram dari jarak dekat.
Yukz, naik Dubai Tram…
Aku turun di Palm Jumeirah Station.

Aku bersiap mencicipi moda transportasi massal ke empat di Dubai, yaitu Palm Jumeirah Monorail.

Kisah Selanjutnya—->

Burj Khalifa: Bahagia Itu Sederhana

<—-Kisah Sebelumnya

Burj Khalifa/Dubai Mall Station.
The Address Sky View Tower.
Salah satu gedung futuristik di Downtown Dubai.

Suka cita menguasai ruang hati ketika aku melompat turun dari Dubai Metro dan berdiri di sisi platform Burj Khalifa/Dubai Mall Station. Setelah bersabar sekian lama, akhirnya aku benar-benar akan melawat di bawah cipta arsitektur tertinggi di seantero dunia, apalagi kalau bukan Burj Khalifa.

Mengunjungi karya-karya arsitektur tertinggi memang bukan kali ini saja bagiku. Di Malaysia, aku berkali-kali mengunjungi Petronas Twin Tower. Di Thailand, aku bahkan menetap di salah satu yang tertinggi di Bangkok, Baiyoke Sky Hotel. Di Hong Kong, aku mengunjungi The Bank of China. Di Macau aku pernah singgah di Macau Tower. Di Korea, aku mengunjungi Namsan Tower. Namun….Mengunjungi Burj Khalifa akan menjadi sejarah baru nan epik dalam petualanganku kali ini.

Seturun dari kereta, aku sedikit mengalami kebingungan ketika dihadapkan pada percabangan koridor. Maka bertanyalah aku kepada petugas keamanan Dubai Metro yang sedang bertugas.

“That is the exit gate towards Burj Khalifa, Sir”, dia menunjuk pada sebuah pintu di sisi kanan bawah, cabang tambahan dari koridor utama. Koridor utama sendiri terintegrasi dengan The Dubai Mall.

Demi menghemat waktu maka aku mengindahkan shopping mall terbesar di Dubai itu, aku memilih keluar dari exit gate yang ditunjuk oleh petugas keamanan Dubai Metro.

Sewaktu kemudian, aku telah berada di jalanan Dubai kembali di bawah terik surya. Aku mulai merubah haluan langkah ke kiri, menyusuri jalanan di sisi kanan bawah koridor utama menuju The Dubai Mall. Sengatan surya yang membuat perih kulit memaksaku untuk sesekali bersembunyi di bayangan pohon-pohon palem yang berada di sepanjang jalan. Sementara bangunan besar The Dubai Mall tampak perkasa terlihat ke kiri depan, sedangkan Burj Khalifa setinggi 828 meter sungguh menjulang di kanan depan.

Pada satu titik jalan di atas sebuah underpass, aku menyeberang ke sisi lain jalanan yang padat lalu lintas demi mendekat ke arah bangunan 160 lantai tersebut. Tajamnya siraman sinar surya hampir saja menjadikanku seorang pengecut siang itu.

Begitu gembiranya hati, ketika penampakan utuh gedung yang dikembangkan oleh Emaar Properties itu berada dalam pandangan. Ujung runcingnya memantulkan sinar surya dalam silau yang mencuri perhatian dari kejauhan, sementara dinding bangunan itu mencerminkan warna langit ke segenap arah.

Sementara beberapa gedung pencakar langit lain tampak mendampingi Burj Khalifa di sekelilingnya. Aku telah tiba di Downtown Dubai, pusat pariwisata termasyhur milik Uni Emirat Arab.

Aku yang tak sabaran, mempercepat langkah kaki. Kini aku tiba di jalanan utama beralaskan batuan andesit yang halus nan mengkilap….Sheikh Mohammed Bin Rashid Boulevard namanya. Nama jalan ini diambil dari nama Perdana Menteri Uni Emirat Arab.

Kendaraan-kendaraan mewah berlalu-lalang di sepanjang jalan tersebut, meninggalkan nada decit roda yang bergesekan dengan alas jalanan, memekakkan telinga dan membuat ngilu. Kemewahan kendaraan yang tertampil di sepanjang jalan tersebut dan tepat di hadapan bangunan mewah Burj Khalifa telah mengintimidasi tingkat kemakmuranku. Aku sontak menjadi bukan siapa-siapa di area prestisius itu….Damn, “Ini kawasan orang-orang tajir”, batinku tersenyum kecut.

Dengan menyeberangi Sheikh Mohammed Bin Rashid Boulevard, tibalah aku di dasar Burj Khalifa.

Naik ke atas Burj Khalifa?

Oh….tentu tidak, itu tidak memberiku opsi. Selain membuatku kehilangan destinasi lain, tentu aktivitas itu akan menghamburkan 216 Dirham dari kantongku. Bagiku, berada di halamannya saja sudah cukup membuatku bahagia. Buatku bahagia itu sederhana….Eittttt.

Aku lama terduduk dan tertegun dengan rupa arsitektur agung tersebut, gedung yang salah satu sisinya tampak seperti tangga beserta dinding lurus di sisi lain. Beberapa hari kemudian aku akan benar-benar melihat pucuk bangunan itu menusuk awan ketika aku memandangnya dalam fragmen singkat penerbangan Swiss Air LX 242 dari Dubai menuju Muscat.

Spot foto menarik di sekitar Burj Khalifa.
Spot foto menarik di sekitar Burj Khalifa.
Gedung-gedung pencakar langit di Sheikh Mohammed Bin Rashid Boulevard.
Halaman Burj Khalifa.
Halaman Burj Khalifa.
Nah itu dia Burj Khalifa.

Duduk di dasar Burj Khalifa membuatku tak mampu merasakan waktu bergulir begitu cepat. Aku yang tadinya hanya seorang diri, kini para pengunjung mulai berdatangan, membuat suasana di sekitar halaman Burj Khalifa menjadi hidup. Keramaian itu didukung oleh spot-spot menarik nan instagramable di kaki-kaki raksasa Burj Khalifa.

Aku rasa aku menjadi salah satu manusia yang sangat beruntung hari itu karena bisa berada sangat dekat dengan Burj Khalifa.

Kisah Selanjutnya—->

Zain East Hotel: Alarm Penghenti Dengkuran

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir dua jam, aku mengobok-obok beberapa blok Distrik Deira demi menemukan penginapan yang telah kupesan. Tapi selama itu pula aku tak mendapatkan apapun. Kelelahan yang disebabkan oleh terus menerusnya aku memanggul backpack seberat enam kilogram besera folding bag seberat dua kilogram membuatku terduduk lesu di pinggiran trotoar 18th Street.

Jalanan mulai tampak ramai dengan aktivitas warga lokal, tetapi aku sudah terlalu lelah untuk memperhatikan aktivitas itu. Aku masih tak percaya telah kehilangan penginapan yang kupesan secara daring. Aku telah kehilangan 55 Dirham atas pemesanan itu.

“Tak ada cara lain selain mencari hotel secara langsung di lokasi terdekat”, aku membatin penuh keberatan karena akan menambah anggaran perjalanan lagi.

Aku berpikir cepat, aku harus mencari penginapan dengan harga di antara 55-225 Dirham. 55 Dirham merujuk pada harga kamar yang kupesan secara daring, sedangkan 225 Dirham merujuk pada harga kamar Al Farij Hotel yang kutanyakan beberapa waktu lalu ketika mencari lokasi penginapan.

Dalam benak, aku hanya mengingat ada sebuah hotel di seberang blok yang kulewati beberapa waktu sebelumnya. Aku lupa nama lengkapnya, tetapi begitu ingat dengan lokasinya. Agak sedikit masuk ke dalam gang.

Maka tanpa pikir panjang, aku segera bangkit dan melangkah menuju hotel tersebut. Sembari mengingat jalan, aku terus melangkah cepat. Aku tak mau kehilangan banyak waktu eksplorasi hanya karena telah kehilangan kamar yang kupesan.

Tak susah untuk menemukannya. Hotel itu tepat berada di sebuah gang di sisi selatan 20th Street.

“Ini hotel bintang satu, harusnya aku mendapatkan harga yang lebih murah dari Al Farij Hotel”, aku berargumentasi dalam hati.

Tanpa ragu aku memasuki lobbynya yang sederhana dengan dinding keramik dominan merah. Menuju meja resepsionis, aku disambut oleh seorang staff pria berperawakan Timur Tengah.

“200 Dirham for rate, Sir”, jawabnya singkat ketika aku menanyakan tarif hotel tersebut.

“Can I get a room for 125 Dirham”, baru kali ini dalam seumur hidup aku menawar harga hotel….Gila memang,

Staff itu hanya tersenyum menatapku.

“I am just a backpacker with minimun budget”, aku lanjut berseloroh.

“Okay….Okay….I give you 150 Dirham. Deal….?”, staff pria itu tampaknya hanya sekali saja memberikan penawaran menarik itu.

“Deal….”, aku bergegas membayarnya dalam mata uang Dollar Amerika karena aku hanya memiliki jumlah Diham yang tidak terlalu banyak.

“You can check-in now”, dia memberikan bonus kepadaku untuk bisa masuk kamar tiga jam lebih cepat.

Usai menyelesaikan masalah administrasi, aku diantar oleh staff laki-laki lain melalui lift untuk menuju kamar.

“I’m from Bangladesh, Sir”, begitu staff pria itu menjelaskan ketika aku bertanya di dalam lift mengenai asal usulnya.

Lewat dari jam sepuluh pagi aku pun sudah memiliki kamar untuk eksplorasiku di Dubai. Rasa letih yang luar biasa, memaksaku untuk merebahkan badan sejenak. Aku memasang alarm untuk satu jam ke depan, khawatir aku akan terlelap hingga gelap.

Benar adanya, alarm itu menjaga waktuku dengan baik. Berbunyi dengan keras di dekat telinga kananku, menghentikan dengkuranku, anggap saja diriku mendengkur dalam tidur karena kelelahan yang teramat sangat. Aku mencuci muka dan bersiap melakukan eksplorasi.

Aku kembali melihat itinerary yang kubuat. “Aku harus merombak aturan main ini, aku tak mau kehilangan destinasi penting hanya karena kebodohanku kehilangan waktu demi mencari penginapan sedari pagi”, aku berseloroh tegas kepada diriku sendiri.

“Burj Khalifia….Ya Burj Khalifa”, aku menjetikkan jari dengan kepercayaan diri tinggi.

Kisah Selanjutnya—->

e-Visa UAE: Gagal di VFS Global, Sukses di DUBAIVISA

<—-Kisah Sebelumnya

Saking lelahnya, aku pun tertidur di depan layar LCD TV di depan bangku bernomor 56G yang kududuki. Itulah penggalan cerita ketika aku terbang bersama SriLankan Airline bernomor terbang UL 225. Aku begitu menikmati penerbangan selama hampir lima jam dengan jarak lebih dari 3.000 km.

Aku bersiap memasuki Dubai dengan kepuasan tersendiri ketika mendarat. Bagaimana tidak? perjalanan menuju Dubai ini terjadi dibalik usaha yang keras untuk mendapatkan e-Visa Uni Emirat Arab.

Penerbanganku ke Dubai memang berjalan lancar tetapi sebetulnya banyak hal yang sebetulnya tak mulus berlangsung jauh sebelum penerbangan itu dilakukan. Akibat menggunakan SriLankan Airlines, aku akhirnya tak bisa mengurus visa di VFS Global Kuningan. Karena agensi ini hanya melayani pembuatan e-Visa Uni Emirate Arab untuk pemilik tiket Emirates Airline dan Etihad Airways.

Singkat cerita….

Aku mendatangi agensi itu di Kuningan City tepat satu bulan sebelum petualangan ke Kawasan Timur Tengah dimulai. Karena aturan agensi, setibanya di sana, aku diharuskan menitipkan laptop di sebuah konter di depan kantor VFS Global dengan biaya penitipan sebesar Rp. 50.000.

Berhasil memasuki kantornya maka bertanyalah aku kepada resepsionis yang sedang bertugas.

“Maaf, Mas….Kami tidak melayani pembuatan e-Visa untuk penerbangan menggunakan SriLankan Airlines, kami hanya melayani untuk penerbangan Etihad dan Emirates, Mas. Mohon maaf ya, Mas”

Aku melangkah gontai meninggalkan gedung itu. Dalam setiap langkah, aku telah merasa bahwa perjalananku menuju Dubai akan gagal. Aku pun telah berpikir untuk melewatkan Dubai begitu saja dan berniat untuk langsung menjadwal ulang penerbangan dan bermaksud langsung terbang ke Muscat saja seusai mendarat di Dubai. Itu artinya, aku harus mempercepat penerbangan Swiss Air dari Dubai menuju Muscat yang telah kupesan sembilan bulan sebelum keberangkatan.

Sirna sudah asa untuk mengunjungi gedung tertinggi di dunia Burj Khalifa dan Palm Jumeirah.

Seminggu berikutnya…..

Ketika hendak menjadwal ulang penerbangan, pada suat malam, aku mencoba berselancar di internet untuk mencari agensi yang bisa membuatkan e-Visa UEA. Memang tidak ada agensi lokal yang memiliki otoritas untuk itu. Tetapi aku akhirnya menemukan agensi di UEA yang bisa membuatkan e-Visa.

Dari sekian banyak agensi yang menawarkan jasa itu, akhirnya aku berjodoh dengan DUBAIVISA. Melalui laman agensi itu, aku bertukar pesan dengan Mr. Salman Hyder. Setelah beberapa arahan darinya dan membaca testimoni pelanggan untuk agensi ini maka aku berani mempercayakan pembuatan e-Visa kepadanya.

Membayar jasa pebuatan sebesar 115 Dollar Amerika akhirnya aku mendapatkan e-Visa UEA dalam 29 jam. e-Visa itu aku unduh dari email yang dikirimkan oleh Mr. Salman Hyder. Dan setelah aku cek validitas e-Visa tersebut di laman resmi imigrasi pemerintah UEA, ternyata e-Visa itu memang dokumen keimigrasian yang valid. Walau sedikit mahal, tapi aku cukup bahagia karena asaku menuju Dubai akhirnya terjaga.

Mengajukan Aplikasi pada 7 Desember 2019
Biaya pembuatan e-Visa UEA.
e-Visa disetujui.
Yaaaiyy….Akhirnya berangkatlah diriku ke Dubai.

Apakah rugi membayar 115 Dollar Amerika?

Aku rasa tidak, toh jika kembali berhitung, harga tiket SriLankan Airlines menuju Dubai ditambahkan biaya pembuatan e-Visa tersebut ternyata masih tetap jauh lebih murah apabila dibandingkan dengan menggunakan penerbangan Emirates Airline ataupun Etihad Airways dengan pembuatan e-Visa gratis di VFS Global.

Tapi tetap saja, memilih penerbangan apapun adalah pilihan, tergantung budget masing-masing ya.

Yuk, ikuti petualanganku di Dubai….

Kisah Selanjutnya—->