Bas Kite Kuala Terengganu

<—-Previous Story

After enjoying the elegance of Terengganu Drawbridge, I sat down at a Kite Bus Stop. The existence of a city bus stop on Dataran Shahbandar shows that this stretch of Pesisir Payang is the economic pulse and tourism destination of Terengganu.

Even after six hours, I have explored the right places for newcomers to know.

Many times I drank bottled mineral water to fight dehydration when more and more locals came to Pesisir Payang. Oh, I would just leave the coast when the situation got busier. Maybe the sun was starting to fall and the atmosphere would soon be cool which made this place become crowded.

Again, I measured Sultan Zainal Abidin Street with my feet heading west, bypassing the Kuala Terengganu Post Office at the main bend of a road, through the back of “Bukit Puteri” foothills which managed to instill curiosity in my heart, quickly passing Kedai Payang Market which I enjoyed a few hours ago, quickly avoiding from the dust cloud of the Kerajaan Persekutuan Project in perfecting Kedai Payang Market in the west side and arriving at the intersection right on the side of Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota (fire department).

“Hmhhh….Better to find another way”, I muttered to myself for a moment. Maybe that was the best way to be able to explore the city’s treasures more. It was Kampung Cina Street which had a similar texture to the road in front of Kedai Payang Market, thick concrete with a pink paving block pattern that I finally chose.

I just realized that the smooth flow around Pesisir Payang and Kampung Cina was influenced by the presence of a five-story parking building right at the golden fork. According to the tradition of the Chinese community, Kampung Cina Street was lined with complexes of shop houses and commercial shops. As I went west, I noticed that old Chinese buildings seemed to dominate.

That time, I planned to spend the afternoon walking in the city streets to the inn, of course with a different route from my departure route this morning. Walking along Kampung Cina Street made my stomach even more hungry. The distinctive aroma of Chinese cuisine pierced my sense of smell I never gets tired of sucking it. The terrace of a row of two-story shophouses directly appeared adjacent to the street so that passing vehicles only slowly drove to maintain the safety of pedestrians.

My steps suddenly stopped because of the appearance of an alley full of artistic taste. I was standing right in front of it. Meanwhile, what could be seen inside was an arrangement of colorful umbrellas neatly arranged as the roof of the forty-meter-long alley.

“Payang Memory Lane”, I silently read the alley header. “Then there is history here”, I began to conclude.

Two of the seven Chinese figures are enshrined along the hall.

I began to slowly enter the mouth of the alley. My gaze automatically turned to the left. Lined with reliefs of seven prominent Chinese community leaders who were said to be devoted to the Terengganu Sultanate. In that order, the names of Dato’ Tan Eng Ann (once served as Chairman of MCA Terengganu), Dato’ Toh Seng Chong (formerly served as Exco of the State Kingdom), Jang Chow Thye, SMT (formerly served as Expert of the Royal Malaysian Council), Dato’ Tok Teng Sai (formerly Terengganu MCA State Chairman), Senator Dato’ Ir. Wong Foon Meng (formerly the Lead Yang Di-Pertuan State Council), YB Toh Chin Yaw (formerly the State Executive Councilor), and Tan Sri Dato’ Lau Yin Pin (formerly the State Council Expert).

Meanwhile, mural paintings occupied the remaining stretch of walls along the hallway. The paintings depicted the richness of Kuala Terengganu’s stories, which were nicknamed Bandaraya Warisan Pesisir Air. Therefore, ocean-themed murals were very thick in this hallway.

Actually taking shelter in that three-and-a-half-meter wide alley was really very comfortable in the midst of the surrounding atmosphere which still left heat even though the sun had slipped in the west. It was just that I certainly didn’t have much time, I had to quickly step through other corners of the city before the sun really set.

So I came out of the hallway which was also known as Payang Memory Lane. Oh yes, actually there were other alleys that of course, I couldn’t visit one by one. It was Turtle Alley that tells the story of turtle conservation efforts in Terengganu, several other alleys are called Eco Lane, Seven Wonders Alley, and Lorong Haji Awang Besar.

Come on, just followed my steps…. What else would I meet in Kuala Terengganu?

Next Story—->

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menikmati keanggunan Terengganu Drawbridge, aku terduduk di sebuah Perhentian Bas Kite. Keberadaan halte bus kota di Dataran Shahbandar menunjukkan bahwa hamparan Pesisir Payang ini adalah nadi ekonomi serta tujuan pariwisata Terengganu.

Genap enam jam sudah, aku telah mengeksplorasi tempat-tempat yang tepat untuk dikenal oleh para pendatang.

Berkali-kali aku meneguk air mineral kemasan untuk melawan dehidrasi ketika semakin banyak warga lokal yang mendatangi Pesisir Payang. Oh, justru aku akan meninggalkan pesisir saat suasana mulai ramai. Mungkin matahari mulai jatuh dan suasana akan segera sejuk yang membuat tempat ini menjadi ramai.

Aku kembali mengukur Jalan Sultan Zainal Abidin dengan tapak kaki menuju barat, memintas Pejabat Pos Besar Kuala Terengganu di tikungan utama jalan itu, melalui kembali kaki Bukit Puteri yang berhasil menanamkan rasa penasaran dalam hati, melintas cepat Pasar Kedai Payang yang beberapa jam lalu kunikmati, menghindar cepat dari kepulan debu Projek Kerajaan Persekutuan dalam menyempurnakan Pasar Kedai Payang sisi barat dan tiba di persimpangan tepat di sisi Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota.

“Hmhhh….Lebih baik mencari jalan lain”, aku bergumam sejenak dalam hati. Mungkin itulah cara terbaik untuk bisa mengeksplore khasanah kota lebih banyak. Adalah Jalan Kampung Cina yang bertekstur serupa dengan jalanan depan Pasar Kedai Payang, beton tebal bermotifkan pavling block merah muda yang akhirnya aku pilih.

Aku baru sadar bahwa lancarnya arus di sekitar Pesisir Payang dan Kampung Cina dipengaruhi oleh keberadaan gedung parkir lima lantai tepat di pertigaan emas itu. Sesuai tradisi masyarakat Tionghoa, maka sepanjang Jalan Kampung Cina dijejali dengan kompleks ruko serta kios niaga. Semakin ke barat, kuperhatikan bangunan-bangunan tua khas Tionghoa tampak mendominasi.

Kali ini, aku berencana menghabiskan sore dengan menyusuri jalan-jalan kota menuju penginapan, tentunya dengan jalur yang berbeda dari jalur keberangkatan pagi tadi. Berjalan di sepanjang Jalan Kampung Cina membuat perutku semakin lapar. Aroma khas masakan Tionghoa menyeruak menusuk indra penciuman yang tak pernah bosan menghisapnya. Teras deretan ruko dua lantai tampak berbatasan langsung dengan jalan raya sehingga kendaraan yang melintas hanya berjalan lambat untuk menjaga keselamatan para pejalan kaki.

Langkahku mendadak terhenti karena penampakan sebuah gang penuh cita rasa seni. Aku tepat berdiri terpaku di depannya. Sementara yang terlihat di dalam sana adalah susunan payung warna-warni yang tersusun rapi sebagai atap gang sepanjang empat puluh meter itu .

“Lorong Kenangan Payang”, aku membaca tajuk gang dalam hati. “Berarti ada sejarah di sini”, aku mulai menyimpulkan.

Dua dari tujuh tokoh Tionghoa yang diabadikan di sepanjang lorong.

Aku mulai memasuki mulut gang perlahan. Tatapanku secara otomatis menengok ke kiri. Berjajar relief tujuh tokoh pemimpin masyarakat Tionghoa yang konon berkhidmat pada Kesultanan Terengganu. Secara berurutan tersebutlah nama Dato’ Tan Eng Ann (pernah menjabat sebagai Pengerusi MCA Terengganu), Dato’ Toh Seng Chong (pernah menjabat sebagai Exco Kerajaan Negeri), Jang Chow Thye, SMT (pernah menjabat sebagai Ahli Dewan Kerajaan Malaysia), Dato’ Tok Teng Sai (pernah menjabat sebagai Terengganu MCA State Chairman), Senator Dato’ Ir. Wong Foon Meng (pernah menjabat sebagai Timbalan Yang Dipertuan Dewan Negara), YB Toh Chin Yaw (pernah menjabat sebagai State Executive Councillor) dan Tan Sri Dato’ Lau Yin Pin (pernah menjabat sebagai Ahli Dewan Negara).

Sedangkan lukisan-lukisan mural menempati sisa hamparan tembok di sepanjang lorong. Lukisan-lukisan itu menggambarkan kekayaan kisah Kuala Terengganu yang berjuluk Bandaraya Warisan Pesisir Air. Oleh karenanya mural-mural bertema lautan sangat kental dalam lorong ini.

Sebetulnya berteduh di dalam gang selebar tiga setengah meter ini sungguh sangat nyaman di tengah suasana sekitar yang masih saja menyisakan panas walaupun matahari sudah semakin tergelincir di barat. Hanya saja waktuku tentu tak banyak, aku harus segera melangkah menelusuri sudut-sudut lain kota sebelum matahari benar-benar tenggelam.

Maka keluarlah aku dari lorong yang juga dikenal dengan nama Payang Memory Lane itu. Oh ya, sebetulnya masih ada lorong-lorong lain yang tentu aku tak bisa mengunjunginya satu per satu. Adalah Turtle Alley yang menceritakan usaha konservasi penyu di Terengganu, beberapa lorong lainnya bernama Eco Lane, Seven Wonders Alley dan Lorong Haji Awang Besar.

Yuk ikuti saja langkahku….Bakal ketemu apa lagi ya di Kuala Terengganu?.

Kisah Selanjutnya—->

Tag: Bas Kite Kuala Terengganu

Moored for a Moment in Payang Memory Lane

Tertambat Sejenak di Lorong Kenangan Payang