Bus Arwana dari Kuala Terengganu ke Kuantan

<—-Kisah Sebelumnya

Aku terhuyung menyambar sembarang pegangan ketika terbangun mendadak dari tidur dan langsung menuju kamar mandi bersama ketika nyawa belum sepenuhnya terkumpul. Itu gegara aku menatap jarum jam dinding bertengger di angka setengah delapan.

Kacau”, aku mengutuk bangunku yang sudah terlalu siang. Ba’da Subuh tadi, aku memang sengaja menarik kembali selimut dan menutupi badan yang kedinginan. Beruntung, semalam aku sudah mengepack semua perbekalan.

Aku mandi dengan cepat, toh seluruh badan masih terasa bersih setelah terakhir mandi jam sepuluh malam tadi. Aku memakai kembali t-shirt yang semalam kupakai untuk tidur dan mengenakan celana jeans yang telah kusiapkan dari semalam.

Seusainya, aku menggemblok backpack di punggung dan menuju shared-kitchen untuk menyeduh serbuk oat dengan air panas dari dispenser. Sungguh menu sarapan yang menjemukan, tetapi masih saja kurepetisi semenjak tiga hari keluar dari rumah.

Sembari menyesap serbuk oat basah suap demi suap, aku mulai khawatir karena meja resepsionis itu masih gelap dan kosong.

Aduh, jam berapa staff akan siap?. bisa kesiangan nih mengejar bus”, aku membatin dan berharap, seusai sarapan nanti, staff akan datang sehingga aku bisa menyerahkan kunci dan mengambil uang deposit.

Ternyata hingga sarapan usai pun, ruangan masih saja lengang. Aku yang semakin was-was hanya bisa pasrah menunggu di lobby. Beruntung, lima belas menit kemudian, owner penginapan muncul dan langsung tersenyum ke arahku.

Nak check-out….maaf lamē menunggu”, dia memulai percakapan sembari menyalakan lampu ruangan dan menuju belakang meja. Sedikitnya tamu penginapan membuatnya tak perlu menanyakan identitas dan nomor kamarku karena dia pasti mudah menghafalnya. Tak butuh waktu lama untuk mengambil amplop bernomor kamarku dan berisikan uang deposit 30 Ringgit lalu memberikannya untukku.

Terimakasih, Pak Cik”, aku menerima uangnya dan menyerahkan kuncinya.

Sampe jumpē….Hati-hati”, dia melambaikan tangan ketika aku mulai menuruni tangga untuk meninggalkan penginapan.

Di luar penginapan….Untuk kelima kalinya, aku sempurna mengkhatamkan jalur menuju Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu. Kini aku berjalan sangat cepat dan hanya berfokus untuk segera sampai di terminal. Lebih baik aku menunggu jauh dari jam keberangkatan bus daripada ketinggalan.

Hampir setengah sembilan ketika aku tiba tepat di depan konter tempatku membeli tiket kemarin.

Tunggu sahajē di platform 1, nanti bus nak datang”, begitu jawaban abang penjaga konter ketika aku bertanya dimana harus menunggu.

Whatever,  satu jam ke depan aku akan menunggu di sini saja”, aku membatin ketika mengakuisisi tempat duduk beton di sebelah platform 1.

Tetapi menunggu sesuatu di negeri orang selalu saja menarik. Mengamati aktivitas warga lokal di setiap sisi terminal membuatku berada jauh dari rasa bosan.

Hingga akhirnya aku terperanjat ketika sebuah bus warna merah maroon berkombinasi kuning muncul dari gerbang belakang terminal.

Arwana Group”, dengan jelas aku bisa membacanya dari kejauhan.

Ini dia bus yang sedang aku tunggu. Bus itu tiba lima belas menit sebelum keberangkatan. Bus berhenti tepat di platform 1 dan aku bergegas mendekatinya hingga seorang berwajah Arab menghentikan langkahku.

Kuala Lumpur….this?, pertanyaan singkat darinya terlempar untukku.

Yes….This bus goes to Kuala Lumpur”, aku menjawabnya singkat.

Where are you come from?”, aku menambahkan.

Yemen….

Is Yemen Okay now?”, setahuku negeri itu sedang dilanda perang saudara.

Yeaa…better

Aku melompat masuk dari pintu depan dan mencari tempat duduk nomor 13. Aku memilih bangku tunggal pada bus yang memiliki formasi bangku 2-1 tersebut.

Tepat pukul setengah sepuluh bus pun memulai perjalanan panjang menuju Kuala Lumpur…..

Perjalanan seharga 43 Ringgit itu akan ditempuh dalam waktu 5 jam dan menempuh jarak tak kurang dari 450 km.

Bus mulai meninggalkan kota dengan menyisir Laluan Persekutuan 3, inilah rute darat utama di pantai timur Malaysia yang membentang sepanjang lebih dari 700 km, bermula dari Kelantan di utara dan berakhir di Johor Bahru di selatan. Aku sangat bersyukur karena diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menyisir lebuh*1) tepi pantai dengan pemandangan paling indah di seantero Malaysia. Pemandangan paling menakjubkan dalam perjalanan ini adalah dimana aku bisa melintasi lebuh yang hanya berjarak 50 meter saja dari bibir pantai. Nanti akan kuperlihatkan keindahan lebuh ini.

Di awal perjalanan, aku masih ingat dengan pemandangan Kuala Terengganu yang tersaji hingga Kampung Kuala Ibai, karena aku telah melintasnya saat mengunjungi Masjid Tengku Tengah Zaharah tempoe hari. Tetapi setelah melintasi Sungai Ibai, aku benar-benar melewati daerah dengan pemandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Alih-alih tertidur, justru pemandangan itu sukses membuatku terjaga sepanjang perjalanan.

Dalam setengah jam, bus mulai keluar dari Distrik Kuala Terengganu dan memasuki Distrik Marang yang bergerbangkan Pantai Pandak. Tiga kilometer jauhnya, bus melintas di garis Pantai Rusila yang menjadi salah satu pemandangan terindah di distrik itu. Hingga akhirnya bus beristirahat sebentar di Hentian Bas Marang. Bus harus menjemput beberapa penumpangnya di terminal kecil tersebut.

Pemandangan usai jeda sejenak di terminal bus Kota Marang, mungkin menjadi pertunjukan utama perjalanan ini. Pemandangan tepi pantai yang indah terhampar sepanjang 50 kilometer yang dimulai dari Pantai Peranginan Kelutut hingga Pantai Batu Pelanduk di permulaan Distrik Kuala Dungun.

Busku telah tiba.
Saatnya memulai perjalanan panjang.
Pantai Peranginan Kelulut.
Salah satu sungai di Distrik Marang.
Hutan Lipur Rantau Abang di Laluan Persekutuan 3, Distrik Marang.
Jembatan Pulau Serai di atas Sungai Dungun, Jalan Kuala Terengganu, Distrik Kuala Dungun.

Dua jam perjalanan, bus kini telah purna melintas landmark utama Distrik Kuala Dungun, apalagi kalau bukan Sungai Dungun yang memiliki lebar tak kurang dari 300 meter.

Dengan cepat bus mulai memasuki Kota Paka. Kota ini adalah rumah bagi pembangkit listrik terbesar di Malaysia yang dijalankan oleh perusahaan listrik nasional, yaitu Tenaga Nasional. Tak heran hamparan luas stasiun tenaga listrik berada di kota ini.

Lebih dari sepuluh kilometer menyejajari liukan Sungai Paka hingga akhirnya bus keluar dari Kota Paka dan memasuki kota baru, yaitu Kota Kerteh.

Kerteh adalah kota minyak karena memiliki potensi minyak bumi yang tersimpan di dasar Laut Cina Selatan. Kota Kerteh menjadi salah satu tempat terpenting di negara bagian Terengganu karena penduduknya yang padat disertai dengan fasilitas publik yang lengkap.

Menulusuri Kota Kerteh membuatku faham bahwa Petronas, si perusahaan minyak raksasa Negeri Jiran itu menempatkan banyak fasilitas pentingnya di kota ini. Kilang-kilang minyak, pipa-pipa gas, pabrik-pabrik kimia dan kompleks perumahan Petronas mendominasi penampakan di sepanjang Jalan Kemaman-Dungun.

Hampir setengah jam, aku disuguhkan kesibukan bisnis perminyakan Kota Kerteh, hingga akhirnya bus tiba di daerah paling selatan dari negara bagian Terengganu, yaitu Distrik Kemaman. Inilah daerah perbatasan antara Negara Bagian Terengganu dan Negara Bagian Pahang.

Memasuki Kemaman, bus secara langsung membelah kota Chukai yang menjadi ibu kota Distrik Kemaman. Taman-taman kota terhampar di pojok-pojok kota, kemacetan mulai terasa, sedangkan Sungai Kemaman tampak membentang luas sebagai penghias utama Kota Chukai.

Politeknik Sultan Mizan Zainal Abidin di Jalan Paka, Kota Paka.
Sungai Paka tampak dari Jalan Kemaman-Dungun.
Stesen Janaelektrik Sultan Ismail, Kota Paka.
Kilang minyak milik Petronas di Jalan Kemaman-Dungun, Kota Kerteh.
Jembatan Kertih, di atas Sungai Kertih, Jalan Kemaman-Dungun, Kota Kerteh.
Taman Persiaran Chukai di Jalan Sulaimani, tepat di tepian Sungai Kemaman, Kota Chukai.
Jambatan Geliga di atas Sungai Kemaman, Jalan Kuantan-Kemaman, Distrik Kemaman.
Hentian Bas Ekpres Kemaman di Distrik Kemaman.

Di selatan Kota Chukai, bus berhenti untuk kedua kali. Kali ini bus mengambil dua penumpangnya di Hentian Bas Ekpres Kemaman. Purna mengangkut penumpangnya, bus melanjutkan perjalanan untuk keluar dari batas Negara Bagian Terengganu sisi selatan dan memulai petualangannya di Negara Bagian Pahang.

Masih satu jam lagi untuk tiba di Terminal Sentral Kuantan, terminal bus utama di Negara Bagian Pahang. Sedangkan waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Aku yakin semua penumpang sedang merasakan hal yang sama ….Lapar.

Pucuk dicinta ulam tiba, seperempat jam usai memasuki Negara Bagian Pahang akhirnya bus menentukan persinggahan makan siangnya.  Adalah D’Cherating Cafe yang mengambil nama sesuai dengan daerah dimana rumah makan itu berdiri yaitu di Kampung Cherating.

Di sinilah, pengemudi membiarkan penumpangnya untuk menikmati makan siang selama setengah jam untuk kemudian melanjutkan perjalanan sisa menuju Terminal Sentral Kuantan. Di akhir perjalanan itu, pengemudi berfokus di belakang kemudi untuk menyelesaikan 40 kilometer terakhir menuju ke terminal bus terbesar di pantai timur Malaysia.

Perjalanan tahap pertamaku usai sudah….

Usai jeda di Terminal Sentral Kuantan, aku akan melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhir yaitu Terminal Bersepadu Selatan di Kuala Lumpur.

Rumah Makan D’Cherating, Negara Bagian Pahang.
Terminal Sentral Kuantan di Jalan Pintasan Kuantan, Negara Bagian Pahang.

Tiket bus Kuala Terenganu ke Kuantan (Kuala Terengganu ke Kuala Lumpur) bisa Kamu dapatkan juga di e-commerce perjalanan di 12go Asia dengan link sebagai berikut:  https://12go.asia/?z=3283832

Keterangan kata:

lebuh*1) = Jalan

Kisah Selanjutnya—->

Malam Penutup di Kuala Terengganu

<—-Kisah Sebelumnya

Sore hari….Jam enam kurang seperempat….

Aku duduk di kursi paling depan sisi kiri ketika Bas KITē perlahan meninggalkan kompleks Taman Tamadun Islam. Melalui jembatan penghubung satu-satunya, Bas KITē menyudahi putaran roda di atas Pulau Wan Man.

Only me….
Bapak pengemudi yang budiman.

Kini Bas KITē akan menuntaskan setengah perjalanan tersisa menuju Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu, sesampainya di sana nanti, bus akan beristirahat untuk beroperasi kembali esok hari pada pukul setengah sepuluh pagi.

Dalam perjalanan pulang itu, aku lebih santai dan leluasa untuk berbincang-bincang dengan si pengemudi. Dalam perjalanan sisa itulah dia bercerita tentang aktivitas hariannya bersama empat pengemudi Bas KITē lain dalam mengoperasikan bus kota istimewa tersebut.  Dia juga bercerita mengenai anaknya yang begitu susah mencari pekerjaan di Kuala Terengganu, banyak sektor pekerjaan memilih menggunakan tenaga kerja asing yang menyebabkan susahnya warga lokal mencari mata pencaharian. Aku hanya mendengarkannya sebagai bentuk empati, walau aku sebenarnya tak tahu fakta aslinya.

Dalam perjalanan pulang itu, pengemudi bus hanya menaikkan satu penumpang perempuan setengah baya yang tampaknya sudah sangat dikenal akrab olehnya. Mungkin perempuan itu adalah langganan Bas KITēnya, sehingga begitu dia naik, si pengemudi langsung bertanya akrab tentang aktivitas si perempuan sepanjang hari. Selebihnya setelah naiknya penumpang perempuan tersebut, hanya percakapan mereka berdua saja yang mendominasi hingga perjalanan usai. Percakapan berlogat kental Terengganu itu mencoba kufahami walau aku hanya bisa meyerapnya sedikit saja.

Jam enam lebih seperempat aku tiba di Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu….

Melompat turun dari bus dan mengucapkan sekali lagi rasa terimakasih kepada sang pengemudi Bas KITē yang telah memberikan lima menit berharganya untukku supaya bisa menikmati keindahan Masjid Kristal, aku berusaha secepat mungkin meninggalkan terminal. Aku tak mau terjebak gelap di dalam terminal.

Aku melangkah gesit melalui Jalan Masjid Abidin untuk tiba di perempatan dimana Menara PERMINT berdiri. “Itu suara apa ya?…”, langkahku terhenti ketika mendengar suara berisik dari sebuah ketinggian. Akibat suara itu, aku mengurungkan langkah menuju penginapan. Aku kini melangkah menyusuri Jalan Sultan Ismail menuju sumber suara. “Oalah….Itu sekumpulan burung gereja”, aku kini mengetahuinya. Di seluruh luasan muka gedung Wisma PERMINT, bertengger buanyakkk sekali burung gereja yang bersahutan suara satu sama lain, menjadikan suara itu bak sebuah harmoni yang enak terdengar di saat menjelang maghrib.

Begitu lama aku tertegun, mengabadikan dan memvideokan pemandangan itu hingga dua orang turis lain tiba-tiba datang di sebelahku dan melakukan hal yang sama. Setelah beberapa saat menikmati harmoni suara burung gereja, serentak pelita-pelita jalanan mulai hidup, lampu-lampu gedung mulai dinyalakan, menjadikan jalur di sepanjang Jalan Sultan Ismail memamerkan keindahan lampu warna-warninya.

Sepertinya aku harus menikmati malam penutup di Kuala Terengganu dengan berada di jalanan walau hanya sesaat”, aku memutuskan.

Langkah eksplorasi malamku dimulai dari KT Walk yang merupakan area lapang yang biasanya menyajikan pemandangan pasar malam untuk warga lokal. Hanya saja malam baru saja memulai masanya, deretan kedai makanan baru bersiap diri untuk menjamu calon tamu-tamunya yang akan tiba sebentar lagi. Karena belum ada aktivitas yang berarti, aku pun hanya menikmati sejenak suasana KT Walk dari sebuah pojok tanah lapang itu.

Menikmati paduan suara burung gereja di Wisma PERMINT.
Sisi depan KT Walk.
Sisi dalam KT Walk yang masih sepi.

Malam semakin merayap naik dan lampu-lampu mulai tampak lebih mempesona seiring dengan menggelapnya langit. Aku terus menyisir sepanjang Jalan Sultan Ismail untuk kemudian tertegun pada sebuah toko buku yang tampaknya menjadi toko buku favorit di kota itu, SMO Bookstores namanya. “Tak ada salahnya jika aku masuk…”, aku mulai iseng.

Aku bergegas memasuki toko buku itu. Begitu memasuki toko, aku hanya memperhatikan sekitar serta menyambangi beberapa rak buku yang banyak didatangi pengunjung. “Sekumpulan novel yang telah disadur dalam Bahasa Melayu”, aku sedikit mengernyitkan dahi sebagai penanda aku tak meminatinya.

SMO Bookstores itu tak sebesar brand toko buku kenamaan di Indonesia, koleksinya tak seberapa, tetapi banyak warga yang berkunjung di dalamnya. Mungkin tingkat literasi warga Malaysia yang baik membuatnya demikian.

Aku akhirnya keluar dari SMO Bookstores dan kembali melanjutkan perjalan menikmati suasana malam Kuala Terengganu. Walaupun tak terlalu ramai, malam itu mampu membuatku sedikit takjub karena selama dua hari di Kuala Terengganu, aku lebih dominan menikmati suasana siangnya saja. Walau saja gemerlap pelita malam itu tak seindah di Kuala Lumpur, tetap saja menyimpan pesona tersendiri. Sebuah kota yang tak begitu padat sedang menampilkan keelokan malamnya.

Aku menikung di pangkal utara Jalan Air Jernih yang masih saja bergeliat perniagaan. Berjalan di sepanjang jalan itu, langkahku kembali terhenti pada sebuah 7-Eleven, aku sengaja memasukinya untuk mencari makanan cepat saji sebagai menu makan malamku. Rasanya aku telah enggan kembali melangkah sedikit jauh untuk mengunjungi Kedai Kak Na yang siang tadi kusambangi. Lebih baik mencari makanan ala kadarnya saja di minimarket itu.

Aku keluar dari 7-Eleven dengan menenteng nasi goreng kemasan yang sudah dipanaskan dalam microwave untuk beberapa saat. Aku segera meninggalkan minimarket itu menuju penginapan sembari menikmati pemandangan tersisa. Menyambung langkah sedikit di Jalan Kota Lama aku berbelok ke kiri di Jalan Engku Pangeran Anom 2 untuk kemudian tiba di penginapan, The Space Inn. .

Engku Pangeran Anom, siapakah gerangan?

Engku Pangeran Anom adalah seorang bangsawan Terengganu dengan nama lengkap Pengiran Anum Engku Abdul Kadir bin Engku Besar. Beliau adalah seorang yang sangat memahami sejarah Terengganu dan sering menjadi rujukan kesultanan yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Ahmad.

Aku tiba di penginapan tepat pukul setengah delapan….

Saatnya aku berbasuh, makan malam, melipat jemuran dan merapikan backpack karena esok hari aku akan meninggalkan Kuala Terengganu tepat pukul setengah sepuluh pagi.

Wisma Maidam yang tinggi menjulang di Jalan Sultan Ismail yang digunakan untuk kantor Bank Islam Kuala Terengganu.
Perempatan yang sering kulalui tiap hari selama di Kuala Terengganu.
Umobile Centre (Kedai Peralatan Telekomunikasi) di Jalan Engku Sar. Engku Sar mengacu pada nama ayahanda dari Engku Pengiran Anom yang bernama lengkap Syed Abdullah Al-Idrus. “Sar”adalah sebutan lain dari “Sir”.
Gedung Aneka KAMDAR di Jalan Kota Lama yang digunakan sebagai ASC (Arena Sports Centre) yang merupaka bisnis Sport Venue di Kuala Terengganu.
Tidur wooeey….Sudah jam 11 malam….Besok jalan lageee.

Kisah Selanjutnya—->

Lima Menit yang Membahagiakan di Masjid Kristal

 

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir pukul lima sore….

Aku masih menebak-nebak, siapakah gerangan, satu dari tiga pengemudi yang akan menjalankan trip terakhir Bas KITē laluan C02. Mereka sedang asyik bersenda gurau dan berbincang akrab di kedai kopi pojok terminal.

Aku terus mengamati dari bangku tunggu di belakang antrian Bas KITē hingga akhirnya satu dari mereka beranjak dari tempat duduknya, menuju bus dan kemudian menyalakan mesin untuk memanaskannya sebelum memulai perjalanan.

Oh, dia orangnya”, aku menjentikkan jari.

Dengan cepat aku mencegatnya. “Pak Cik,  apakah Masjid Kristal akan terlihat dari jalan yang akan dilewati bus ini?”, aku bahkan juga mencegatnya dengan sebuah pertanyaan konyol.

Tak tampak masjid tuh dari jalan…kenapē?”, dia tampak heran dengan pertanyaan yang kulontarkan.

Jika tak kelihatan, saya tidak jadi ikut naik bus terakhir ini, Pak Cik”, aku mengernyitkan dahi.

Mau melawat ke Masjid Kristal?”

Iya, Pak Cik”.

Kamu bisa ikut bas nih, nanti sayē tunggu lima menit untuk melawat sekejap ke Masjid Kristal. Bagaimanē?”.

Terimakasih. Baik saya ikut Pak Cik”.

Negosiasi antara turis dan pengemudi bus kota usai sudah. Kini aku punya kesempatan walau tak lama untuk mengunjungi salah satu masjid terindah di Asia bahkan dunia itu.

Tepat pukul lima sore….

Aku melompat menaiki Bas KITē dari pintu depan. Menyerahkan ongkos sebesar 3 Ringgit ke pengemudi dan mulai mengambil tempat duduk. Sementara itu, Bas KITē perlahan-lahan mulai meninggalkan Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.

Walau tujuanku ada di barat, tetapi kali ini Bas KITē terlebih dahulu berjalan ke timur, mengambil beberapa penumpang di Shahbandar dan Hotel Grand Continental, baru kemudian berputar di Bulatan Batu Bersurat Kuala Terengganu, dan baru kemudian menujulah Bas KITē ke barat untuk menggapai tujuan yang kuinginkan, yaitu Masjid Kristal.

Bulatan Batu Bersurat Kuala Terengganu, di pusat pertemuan empat ruas jalan, yaitu Jalan Sultan Ismail, Jalan Sultan Mahmud, Jalan Sultan Zainal Abidin dan Jalan Sultan Sulaiman.
Suasana di Jalan Air Jernih sore itu.
Perpustakaan Awam Negeri Terengganu terlihat dari Jalan Tengku Mizan.
Pasar Raya Besar Mydin terlihat dari Jalan Tengku Mizan

Perlahan tapi konsisten, Bas KITē melaju di sepanjang sisi selatan Sungai Terengganu dan mendekat ke tujuan. Kini bus mulai melaju di atas jembatan penghubung Pulau Wan Man. Usai melintas jembatan itu, aku dihadapkan pada sebuah gerbang besar di muka Taman Tamadun Islam.

Taman Tamadun Islam adalah daya tarik penting di pulau buatan itu. Inilah theme park pertama di Malaysia yang memadukan konsep agama dan pariwisata, tentu Masjid Kristal menjadi  salah satu bagian pentingnya. Sepanjang perjalanan melintas Taman Tamadun Islam, pengemudi Bas KITē menjelaskan bahwa di taman ini tersimpan replika-replika struktur Islam terbaik dari seluruh dunia seperti Taj Mahal, Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin, dan Dome of the Rock, hanya saja aku tak punya waktu lagi untuk mengunjunginya.

Masjid Kristal sudah dekat….Sayē akan berhenti dan tunggu kamu lima minit sahaje…Jika sudah selesai, kitē berangkat lagi”, pengemudi itu berbicara kepadaku sambil fokus di belakang kemudi.

Baik, Pak Cik”, aku girang menjawab.

Bus perlahan melambat dan memasuki sebuah lahan parkir yang luas. Aku masih belum menyadari jika tempat ini adalah pemberhentian untuk destinasi wisata religi Masjid Kristal.

Masjid Kristal ada di sebelah sanē”, pengemudi itu menunjuk ke sebuah arah.

Baik, Pak Cik”, aku bergegas bangkit dan turun dari bus.

Hitungan mundur lima menit sudah dimulai”, aku membatin, jantungku berdetak lebih cepat. Tak terpikirkan cara lain, kecuali berlari sekencang mungkin ke arah masjid.

Semakin jauh berlari, muka Masjid Kristal sudah terlihat dalam pandangan. Dan usai berlari melewati seorang pemuda lokal yang sedang sibuk mendokumentasikan masjid dengan tripodnya, aku mendadak berhenti.

Bisa tolong ambil foto, bang?”, aku meyodorkan Canon EOSku sembari melempar senyum.

Tanpa bercakap apapun, pemuda itu balik melempar senyum dan mengambil kameraku. Untuk beberapa saat, agendanya sedikit terganggu dengan ulahku yang kampungan itu.

Cekrek….

Usai mengucapkan terimakasih kepadanya, aku kembali berlari menuju masjid. Dalam satu menit aku pun tiba. Menghiraukan keramaian apapun, aku lebih memilih berdiri terpaku memperhatikan masjid yang sebagian besar bahannya terdiri dari baja dan kaca itu.

Aku terus menikmati masjid berkapasitas  1.500 jama’ah itu dari tepian Sungai Terengganu. Perpaduan warna hitam dan putih, menjadikan masjid berusia 13 tahun itu sangat anggun nan mempesona mata. Inilah masjid ‘pintar‘ pertama di Terengganu, keberadaan infrastruktur IT yang terintegrasi memungkinkan jama’ah bisa mengakses internet untuk membaca Al-Quran elektronik.

Masjid Kristal tampak depan.
Masjid Kristal tampak samping.
Sungai Terengganu yang indah.

Lima menit yang sangat berharga, tak menyangka bahwa dengan keterbatasan waktu, aku masih diperkenankan untuk mengunjungi Masjid Kristal.

Empat menit sudah berlalu….

Satu menit terakhir akan kugunakan untuk berlari kembali menuju Bas KITē. Aku tak mau pengemudi itu meninggalkanku dan membuatku semakin susah mendapatkan kendaraan umum untuk pulang menuju penginapan.

Kelegaan itu membuncah ketika Bas KITē masih berhenti dengan suara mesin yang langsam dan pengemudinya jelas melihat ke arahku sambil melambaikan tangan sebagai penanda bagiku untuk mempercepat lari.

Hufffttt….Capek, Pak Cik”, aku melompat dari pintu depan.

Hahahaha….Bagaimanē, elok kah Masjid Kristal tu?”, dia tertawa sembari pelan menginjak gas dan membiarkan bus melaju pelan.

Bagus banget, Pak Cik”, aku terengah duduk di kursi paling depan sisi kiri.

Saatnya pulang….

Petualanganku hari itu telah usai….

Esok hari aku akan melakukan perjalanan darat nan panjang menuju Kuala Lumpur.

Kisah Selanjutnya—->

Masjid Tengku Tengah Zaharah….Hiasan Ruhani di Muara Sungai Ibai

<—-Kisah Sebelumnya

Gagal turun di Pantai Batu Burok akibat terlalu menyerahkan perjalanan kepada pengemudi Bas KITē, aku diturunkan di destinasi incaran kedua. Adalah Masjid Tengku Tengah Zaharah, masjid terapung pertama di Negeri Jiran.

Bas KITē berhenti di area parkir sisi utara yang juga terkenal sebagai area Bazar Ramadhan Masjid Terapung. Begitu turun, aku tak langsung memasuki masjid. Aku mengambil posisi berdiri di sisi utara muara Sungai Ibai demi menikmati tampilan utuh Masjid Tengku Tengah Zaharah bermenara tiga puluh meter itu dari kejauhan.

Zaharah….Adalah kata yang diambil dari nama ibunda Sultan Mahmud yaitu Tengku Intan Zaharah. Masjid berusia tiga puluh tahun itu sungguh mempesona dipandang dengan mata telanjang dari posisi berdiriku, pantas saja bangku-bangku dari lembaran panjang kayu disediakan di sisi utara muara, memberikan kesempatan kepada pengunjung manapun untuk duduk di fajar ataupun senja demi menikmati keindahan masjid berkapasitas seribu jama’ah itu.

Tak hanya bangunannya, aku juga tertegun pada air di bawahnya. Air muara itu dipenuhi ikan-ikan jinak yang bergerombol indah ketika diberi makan oleh para pengunjung dari jembatan penghubung di sisi utara. Pengunjung mendapatkan makanan ikan dari seorang penjual pelet ikan di area parkir dengan harga satu Ringgit saja per bungkusnya.

Aku mulai memasuki masjid dari jembatan utara yang sengaja diberikan kanopi di sepanjangnya, membuat para pengunjung nyaman berlama-lama untuk memberi makan ikan. Di sepanjang kanopi, papan-papan bertuliskan sabda Rasulullah berhasil menjadi peneduh hati sebelum benar-benar memasuki masjid.

Hal pertama yang kulakukan ketika tiba di depan pintu masjid adalah mengelilingi masjid dan melihat pemandangan dari seluruh sisi. Beberapa pemandangan luar biasa ke arah sekitar mudah sekali kutemukan ketika aku berdiri pada spot-spot terbaik di teras masjid. Mau lihat pemandangan indah itu?….Ini dia:

Pengunjung yang menikmati kegiatan mengumpan ikan.
Tanaman kaktus di beranda masjid.
Jembatan penghubung di sisi selatan yang tanpa kanopi.
Jernih kehijauan….Inilah wujud muara Sungai Ibai dimana masjid berdiri.
Paviliun elegan yang menyediakan tempat duduk bagi pengunjung untuk menikmati keindahan sekitar.

Usai tuntas merekam dalam kepala segenap keindahan di sekitar masjid, aku bergegas menuju ke ruang bersuci. Waktu Dzuhur belumlah tiba, tetapi aku sangat bersemangat untuk melakukan shalat tahiyatul masjid.

Memasuki ruang bersuci, aku benar-benar membasuh muka dengan khusyu’, mempersiapkan diri untuk beribadah di masjid yang kedudukannya sungguh tenar sebagai landmark penting Negara Bagian Terengganu.

Kini aku akan menikmati sisi dalam masjid yang merupakan bagian inti dari bangunan itu, tentu juga menjadi bagian inti dari kunjungan kali ini. Bentangan karpet lembut warna merah di shaf depan dipadu dengan karpet biru muda di shaf belakang membuat ruangan  menjadi hidup. Dua belas pilar besar menyanggga keseluruhan badan masjid dan tiang-tiang sisi mimbar berhiaskan lampu-lampu indah bertengadah ke atas. Sedangkan di tengah bangunan bertengger kubah dengan dasar struktur segi enam. Lalu jendela-jendela yang dominan hijau semakin memperkaya warna saja. Sayang, aku tak sempat melongok lantai bagian atas.

Aku selesai menjalankan shalat di saat beberapa pengurus masjid masih sibuk membersihkan teras. Aku kembali keluar dari tempat ibadah itu melalui jembatan sisi utara dan berjalan mengelilingi muara sungai menuju taman sisi selatan. Aku harus menggenapkan sisi pandang. Setelah menikmati sisi utara, kini aku terduduk di taman selatan dan menikmati keindahan masjid Tengku Tengah Zaharah dari sisi muara yang lain.

Kunjungan itu disempurnakan dengan menikmati pantai di timur Taman Awam Lagun Kuala Ibai. Itulah pantai pengganti destinasi Pantai Batu Burok yang tak bisa kugapai karena aku terlarut dalam laju Bas KITē.

Pukul satu siang aku mengusaikan diri bersantai di tepian pantai. Aku harus segera mengambil tempat duduk di area Bazar Ramadhan Masjid Terapung  yang membentang luas di sisi utara masjid untuk menunggu kedatangan Bas KITē yang akan tiba satu jam lagi. Aku tak mau tertinggal karena harus segera kembali ke Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu. Aku tetap ingin mencari peluang untuk pergi ke Masjid Kristal yang tadi pagi telah kuputuskan untuk tercoret dari bucket list.

Shalat yuk!
Desain pintu dan jendelanya keren.
Jendela masjid di setiap sisinya..
Taman sisi selatan.
Pemandangan dari sisi selatan muara.

Kali ini aku sengaja tak mengikuti Shalat Dzuhur berjama’ah yang sebentar lagi akan diselenggarakan, aku memutuskan untuk menjama’nya saja nanti. Aku harus menangkap busnya kali ini karena bisa saja Bas KITē akan datang lebih cepat.

Kuputuskan untuk duduk di salah satu hamparan rumput di bawah pokok Rhu untuk menghindari terpaan langsung matahari. Pokok Rhu itu tentu membuat badan lebih nyaman dalam menunggu kedatangan Bas KITe Laluan C01 A.

Kini aku bersiap meninggalkan Distrik Kuala Ibai.

Kisah Selanjutnya—->

Lengah Melintas Pantai Batu Burok

<—-Kisah Sebelumnya

Kutempelkan access card untuk membuka gerbang penginapan yang tak berpenjaga.  Suasana jalanan telah ramai dengan kendaraan, senin pagi di Kuala Terengganu telah menggeliat.

Aku melangkah cepat tanpa menikmati keadaan sekitar, Ini kali keempat aku melewati jalanan yang sama selama dua hari di Kuala Terengganu. Beberapa waktu setelahnya, tanpa terasa aku sudah tenggelam di bawah kaki-kaki raksasa Paya Bunga Square.

Paya Bunga Square tampak tengah berbenah, petugas-petugas taman kota tampak sibuk di sekitar kendaraan bak terbuka yang terparkir dan mengangkut dahan-dahan pohon dari sekitar. Tampak beberapa dari petugas sibuk memotong dahan-dahan pokok yang bisa membahayakan para pengguna jalanan.

Aku menyelinap pada sebuah gang untuk menembus ke Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu. Sesampainya di terminal, aku bergegas menemui salah satu pengemudi Bas KITē yang tampak bersantai pada sebuah kedai kopi pojok terminal dengan sisa separuh batang sigaret di tangan kanannya.

Bas ke Pantai Batu Burok berangkat jam berapa, Pak Cik?”, aku melontarkan pertanyaan  setelah berada di dekatnya.

Pukul 11, bas sebelah kanan, bang”, dia menunjuk salah satu Bas KITē yang sedang terparkir.

Terimakasih, Pak Cik”, aku pergi dan tak mau mengganggu waktu mengopinya.

Masih ada waktu seperempat jam lagi sebelum Bas KITē berangkat. Aku memilih duduk di sebuah bangku beton di sisi utara terminal. Aku kembali mengatur ulang rencana perjalanan karena aku telah tertinggal trip pertama Bas KITē akibat kemalasanku untuk keluar dari penginapan lebih pagi.

Harus ada satu destinasi yang dikorbankan”, aku menghela nafas panjang. “Masjid Kristal”, aku menyebut destinasi yang dimaksud.

Selamat pagi, bang….Mau cobē tèksi”, seorang pengemudi taksi tiba-tiba sudah duduk di kananku. “Mau melawat kemanē, bang?”, percakapan yang lebih serius pun dimulai.

Pantai Batu Burok, Pak Cik….Tapi saya naik Bas KITē saja….Hari ini saya akan mencoba naik Bas KITē berkeliling Terengganu”, aku menjawab gamblang tanpa basa-basi.

Mungkin besok sayē  bisa antar abang pusing-pusing Terengganu….Tak mahal lah”, dia tak menyerah begitu saja.

Besok saya sudah balik ke KL, Pak Cik”, aku kembali menutup peluang.

Oh, Ok….Tak apē lah, bang”, akhirnya dia memilih mengeluarkan sigaretnya, menyulut dan menghisapnya serta memulai percakapan lain.

Kami terasa akrab, berbicara sembarang hal mengenai aktivitasnya sebagai pengemudi taksi di Terengganu hingga dugaan salahnya yang mengira aku adalah seorang TKA asal Indonesia yang bekerja di Kuala Lumpur.

Percakapan sepuluh menit itu usai ketika pengemudi Bas KITē melambaikan tangan kepadaku sebagai penanda bus akan memulai perjalanan.

Aku melompat ke dalam Bas KITē dan dalam sekejap langsung terkagum dengan interior bus kota itu. Cerminan budaya dan corak Terengganu terejawantahkan dalam ukiran pada bangku bus yang membuatnya tampak elegan.

Melompat dari pintu depan, aku bertanya kepada pengemudi perihal ongkos.

Pantai Batu Burok….Berapa, Pak Cik?”, aku mulai membuka dompet yang kusimpan di folding bag.

“3 Ringgit sahajē lah

Usai menyerahkan tiga lembar Ringgit warna biru, aku mengambil tempat duduk di bangku paling depan, aku bermaksud memohon sebuah permintaan kepada pengemudi karena perbincanganku dengannnya saat coffee time belumlah tuntas.

Tolong turunkan saya di Pantai Batu Burok, Pak Cik!”, aku sedari awal menanggulangi kebablasan untuk berhenti. Itu karena aku tak tahu bagaimana aturan naik dan turun ketika menggunakan jasa Bas KITē, bisa saja bus kota ini memperbolehkan penumpangnya turun atau naik di sembarang tempat.

Dekat lah….”, dia menjawab singkat sembari sibuk menerima ongkos dari penumpang lokal yang naik.

Setelah semua siap, Bas KITē mulai melakukan perjalanan. Saatnya menikmati perjalanan keliling kota. Dan saatnya bagiku untuk menangkap pemandangan mengesankan melalui bangku belakang. Yups, aku berpindah posisi duduk.

Setelah kemarin aku menikmati keindahan kota dengan seharian berjalan kaki. Kini mataku akan disuguhkan scene cepat pemandangan Terengganu. Baiklah, mari kusuguhkan pemandangan itu:

TD 1303 perusahaan penyewaan virtual office di Jalan Sultan Zainal Abidin.
Pemeriksaan dokumen kendaraan oleh Jabatan Pengangkutan Jalan (JPJ)/ Departemen Transportasi Jalan Malaysia di Jalan Persinggahan.
Menyusuri tepian pantai di sepanjang Jalan Persinggahan.
Persimpangan tiga jalan, yaitu Jalan Kelab Kerajaan, Jalan Pantai Batu Burok dan Jalan Persinggahan
Kuala Terengganu Hockey Stadium di Jalan Kelab Kerajaan.

Seharusnya aku bersiap diri usai melintas Kuala Terengganu Hockey Stadium karena Pantai Batu Burok berada di sekitar area itu. Tetapi aku masih saja menikmati pemandangan di atas laju Bas KITē karena aku sudah berpesan pada pengemudi untuk menurunkanku di Pantai Batu Burok.

Beberapa menit kemudian aku merasa janggal karena Bas KITē tak lagi berada di sekitar pantai. “Sepertinya pengemudi melupakan pesanku”, aku menyimpulkan.

Benar adanya, tetiba Bas KITē telah merapat di sebuah masjid apung. Aku tahu masjid itu, tak lain lagi itulah Masjid Tengku Tengah Zaharah. “Aku terlewat, aku harus turun di sini”, aku akhirnya memutuskan.

Nasi telah menjadi bubur, aku melewatkan satu destinasi penting. Terbatasnya waktu eksplorasi, kini aku berfokus menikmati keindahan Masjid Tengku Tengah Zaharah saja.

Aku pun mulai melarutkan diri ke dalam keindahan arsitektur masjid unik itu, satu jam lamanya aku menikmati keagungannya hingga aku menyadari sesuatu. “Sepertinya itu suara debur ombak”, aku segera keluar masjid dan mendekati arah suara.

Melangkah menerobos hutan Rhu*1), aku tiba di tepian pantai. “Great….Tuhan memberiku kesempatan lain untuk menikmati pantai di Terengganu”. Ini memang bukan Pantai Batu Burok, tetapi pantai di timur Masjid Tengku Tengah Zaharah ini terlihat lebih alami tanpa unsur sentuhan manusia.

Berbeda dengan Pantai batu Burok yang sejatinya telah terselip aroma bisnis. Berbagai kegiatan pengunjung seperti bermain layang-layang, berkuda, berkendara ATV ataupun berdirinya berbagai kedai-kedai kuliner yang menjual es krim goreng, nasi dagang ataupun menu andalan Terengganu seperti keropok lekor menjadi sesuatu yang sedikit mengurangi kealamian bentangan pantai itu. Pantai Batu Burok memang menjadi destinasi pilihan warga Terengganu saat libur akhir pekan tiba, bahkan tak sedikit warga dari luar Terengganu hadir di tempat itu sekedar untuk bersantai.

Tak khayal pantai paling bersih di Terengganu itu dikelola dengan serius oleh pemerintah kota. Bagi kamu penggemar kuliner, datanglah setiap Jum’at sore untuk menikmati pembukaan kedai-kedai kuliner lokal di pantai itu.

Tapi aku telah melupakan hingar bingar Pantai Batu Burok, di depanku kini terbentang sebuah pantai, letak persisnya adalah di sebelah selatan Pantai Batu Burok. Sebuah pantai nan tenang tanpa pengunjung. Begitu indahnya hamparan air laut berwarna biru kehijauan berpadu dengan bentangan pasir putih dengan batas pokok-pokok Rhu yang tinggi menghijau.

Keren kan?
Duduk dan tenang sejenak.

Sejenak aku akan menikmati sepoi-sepoi angin Laut China Selatan dengan duduk diatas dahan Rhu yang roboh….Terimakasih Tuhan, Engkau telah memberikan gantinya…..

Keterangan kata:

Rhu*1) : Pohon cemara laut atau pepohonan casuarina

Kisah Selanjutnya—->

BAS KITē ….Bus Kota Andalan Kuala Terengganu

<—-Kisah Sebelumnya

Usai mencuci celana jeans, t-shirt dan kaos kaki, aku pun berbasuh. Membuat badan segar dan mengusir lusuh. “Masih terlalu dini untuk tidur, lebih baik aku nongkrong di shared-kitchen saja untuk mengisi botol-botol air minumku yang mulai surut”, ideku tetiba muncul.

Mulai turunlah aku ke lantai dua dimana meja resepsionis dan shared-kitchen berada. Sesampainya di sana, tampak keberadaan Mr. Okamoto yang perlahan menyeduh kopi.

Where was you going today, Mr. Okamoto?”, aku mendahului bertanya ketika dia melempar senyum saat aku mengucurkan air kran ke dalam botol-botol minumanku.

Hi Donny, I didn’t go everywhere today. I was tired. I decided to take a rest all day in my room”, dia terkekeh sembari menyereput kopi seduhannya sendiri.

Ohhhhh…..I think you have found a nice day today….Hahahaha. I see you are very fresh now”, aku menyegerakan duduk di hadapannya dan melanjutkan percakapan.

Entah bagaimana mulanya, Mr. Okamoto mengisahkan banyak hal malam itu….Dari kisah menawannya  budaya Okinawa, kenangan minum kopi bersama warga lokal Aceh, perilaku gadis-gadis Jepang di zaman modern, kelucuan seorang muridnya yang berasal dari Yogyakarta, serta kisah suka dukanya berprofesi menjadi guru Bahasa Inggris di ibu kota.

Sedangkan aku menimpali sedikit cerita mengenai petualanganku mengunjungi Jepang tiga tahun silam, menjelajah Terengganu di hari pertama tadi siang hingga  rencanaku menjelajah Timur Tengah beberapa hari dihadapan.

Keistimewan dari percakapan itu adalah teraciknya secangkir kopi oleh Mr. Okamoto untukku.

Beuh….Kopi Arabica itu masih terbayang nikmatinya hingga kini.

—-****—-

Senin pagi itu, aku sengaja bangun sedikit siang. Usai Shalat Subuh, aku kembali tidur dan baru bangun tepat pukul sembilan pagi. Usai berbasuh, aku bersarapan dengan menyesap bubuk oat yang kubawa dari rumah, kusajikan serbuk itu dalam tuangan air panas dan mencampurnya dengan sesendok gula pasir yang ada di dapur penginapan.

Dua puluh menit kemudian aku rampung bersarapan, aku mulai beranjak turun ke lantai satu dan bersiap melanjutkan eksplorasi. Melihat langit, sepertinya hari keduaku di Kuala Terengganu akan sepanas kemarin. Aku melangkah melewati Jalan Engku Pengiran Anom 2 untuk menggapai Jalan Air Jernih yang apabila ditarik lurus ke utara akan mengantarkanku kepada Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.

Terminal bus itu masih saja menjadi sekutuku dalam membedah keindahan Kuala Terengganu. Setidaknya aku sudah tahu harus kemana saja di sepanjang Senin itu.

Oh ya, kembali pada kisah sehari sebelumnya, setiba di terminal bus setelah diantar oleh myBAS dari Bandar Udara Sultan Mahmud, aku meluangkan waktu sekejap untuk merapat ke hentian BAS KITē. Aku sengaja mendokumentasikan rute bus kota andalan warga Kuala Terengganu itu. Keberadaan BAS KITē sendiri sudah kupantau dari Jakarta dua bulan sebelum keberangkatan.

Aku aja naik BAS KITē….Masak kamu engga?
Icip-icip BAS KITē lah….
Inilah rute pertama yang kunaiki.
Kagak naik di rute ini guwe mah….
Nah, Laluan C02 adalah rute terakhir yang kunaiki.

Nah, kalau kamu ke Kuala Terengganu dan ingin menghemat ongkos dalam mengeksplorasi kotanya, maka BAS KITē adalah solusi terbaik. Lha daripada naik taksi kemana-mana….Kan mahal….Ya toh.

Yuk kita intip apa itu BAS KITē?

Menurut hasil percakapanku dengan pengemudi BAS KITē ketika menuju Masjid Kristal, jumlah bus ini hanya ada lima unit di Kuala Terengganu, pengemudinya pun hanya lima orang. Tetapi pada papan rute yang berhasil aku foto, BAS KITē ternyata hanya memiliki empat rute….Hhmmmhh, mungkin satu unitnya berupa bus cadangan….Ah, aku mana tahu, lagian ngapain guwe pikirin yak.

Keunikan bus kota ini terletak pada desainnya. Jika dilihat dari luar maka badan bus kota ini menyerupai arsitektur rumah khas Terengganu. Kaca bus didesain bak jendela lengkung, sedangkan atap bus diberikan sentuhan lisplang berukiran khas. Sedangkan di bagian dalam bus, tempat duduk serta area pembatas antara pengemudi dan penumpang di dominasi oleh kombinasi bahan besi dan kayu penuh ukiran khas Terengganu….Ciamik deh pokoknya.

Bus kota berkapasitas 36 penumpang ini, usaha operasionalnya dimiliki oleh Cas Ligas SDN. BHD yang kantornya berada di Menara PERMINT, menara yang setiap hari berkali-kali aku lewati. Cas Ligas SDN. BHD sendiri adalah bisnis pengangkutan darat dan air di Kuala Terengganu. Kalau di Jakarta mungkin semacam PPD kali yak…..

Untuk bisa menaiki bus kota ini menuju berbagai destinasi wisata maka kamu harus mempersiapkan ongkos berkisar antara 1 hingga 5 Ringgit tergantung dengan jarak. Murah kan?…..

Bus kota yang berangkat paling pagi adalah BAS KITē jurusan Kuala Nerus (arah bandara tetapi tak mampir di bandara, jika kamu ingin menuju ke bandara gunakan saja jasa myBAS). BAS KITē jurusan ini berangkat tepat pukul setengah delapan pagi dan berangkat dengan interval waktu 1,5 sebelum tengah hari dan kemudian berangkat dalam interval 2 jam sekali ketika sudah lewat tengah hari. Bus terakhir berangkat jam setengah lima sore dari Hentian Bas Majlis Bandara Kuala Terengganu.

Sedangkan bus kota yang berangkatnya paling siang adalah BAS KITē jurusan Masjid Kristal. BAS KITē jurusan ini berangkat pertama kali pukul 9:30 pagi dan hanya menyediakan empat trip dalam sehari. Trip terakhir berangkat pukul lima sore dari Hentian Bas Majlis Bandara Kuala Terengganu.

Murah tapi terbatas……Tenang bisa di siasati kok.

Dengang jarak rerata dua jam untuk setiap keberangkatan maka setidaknya aku bisa mengunjungi minimal tiga destinasi dalam rute yang berbeda. “Nikmati saja, ga usah buru-buru…….”, begitulah fikirku menyikapi keterbatasan itu.

Supaya suasana hati tetap happy….Ya, kan?

Kisah Selanjutnya—->

Kampung Cina di Akhir Hari Perdana

<—-Kisah Sebelumnya

Aku sudah cukup puas meresapi keelokan Pulau Warisan Kuala Terengganu walau hanya menepi di salah satu sisinya. Mengamati kesibukan para pedagang yang perlahan mulai berdatangan demi mempersiapkan sesi kuliner malam nanti, lalu lintas kapal nelayan yang hendak melaut meninggalkan muara juga mulai kentara, lalu tak henti-hentinya kapal pelancong membawa kegembiraan para turis menuju pulau-pulau wisata yang aku sendiri tak tahu seberapa jauhnya serta kapal-kapal operasional minyak dan gas konsisten berhilir mudik di sepanjang muara.

Saatnya pergi dari sini”, aku mulai merapikan kamera dan membuang alas duduk ke tempat sampah usai menyobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil, aku tak mau meninggalkan jejak nama sekalipun dalam setiap lembaran yang kubuang di negeri seberang.

Aku melintas tepat di tengah pulau menuju daratan dimana Kampung Cina berdiri. Di tepian jalan sehala*1) itu, gazebo-gazebo sisi jalan penuh oleh warga lokal. Mereka mulai turun ke jalanan menunggu surya jatuh di peraduan. Di seberang jalan sana, taman bermain mulai bernyawa dengan kehadiran beberapa anak keturunan Tionghoa yang memaikan ayunan dan prosotan. Sementara itu, Turtle Alley yang menjadi lorong seni terkenal di sepanjang jalan itu mulai dijejali wisatawan.

Selamat tinggal Pulau Warisan Kuala Terengganu.

Ah, sudahlah”, aku tampak menyerah. “Cari makan saja, malam ini ga usah keluar penginapan”, aku memutuskan.

Aku melangkah menuju barat melawan arus sehala kendaraan. Satu dua peminta mendekat sembari mengepalkan tangannya beberapa kali ke arah mulut. Pertanda mereka membutuhkan makanan sepertiku. Aku melihat sekitar, mencari keberadaa CCTV atau apapun yang bisa merekam sekitar. Menyadari nihil keberadaannya, aku menyerahkan dua Ringgit pada dua peminta yang mendekat lalu aku bergegas cepat meninggalkannya.

Langkahku tiba pada tikungan menyempit dan hanya mampu mengalirkan kendaraan satu per satu untuk melintasnya. Kini aku tiba di ujung jalan, sebagai penanda aku akan dihadapkan pada muka Kampung Cina Kuala Terengganu.

Sesungguhnya aku berada di ujung selatan Jalan Kampung Cina. Jika sebelumnya aku menyisir jalan itu dari sisi utara ketika berkunjung ke Lorong Kenangan Payang, maka kini aku menggenapkannya dengan menyisir sisa ruasnya dari selatan.

Oh, ini toh Kampung Cina”, batinku reflek berkata usai melihat ikoniknya Pintu Gerbang Jalan Kampung Cina Terengganu. Tentunya adalah naga. Ya, dia selalu menjadi simbol tuah dalam masyarakat Tionghoa. Dua naga hijau sempurna berhadapan di puncak gerbang.

Pintu gerbang yang indah.
Salah satu ruas Jalan Kampung Cina sisi selatan.
Ho Ann Kiong Temple.
Jalan Kampung Tiong.
Alliance Islamic Bank di salah satu sisi Jalan Kampung Tiong.

Jamaknya perkampungan Tionghoa, maka lampion juga menjadi dekorasi khas pada keberadaannya di setiap negara manapun, pun di Kuala Terengganu. Lampion merah betebaran di setiap sisi jalanan.

Sementara di pertigaan sana tampak sebuah kuil dominan kuning, berjuluk Ho Ann Kiong Temple. Inilah kuil Cina yang telah ada sejak seabad lalu, kuil Tao tertua di negara bagian Terengganu yang didedikasikan untuk Mazu, sang Dewi Laut.

Usai mengamati keindahan kuil, aku mulai mengekplore jalanan baru. Adalah Jalan Kampung Tiong yang akan menjadi jalan pintasku menuju Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu. Aku tahu ada kantin terminal di sana. “Lebih baik bersantap malam di sana saja”, aku tak berfikir panjang memutuskan.

Sekilas melintas, pemerintah Terengganu tampak menawarkan keindahan Pulau Lang Tengah sebagai destinasi pelancongan andalan di sepanjang jalan itu. Sementara papan-papan larangan berjualan kaki lima tanpa izin menghias beberapa gang. “Dilarang menjaja tanpa lesen”, begitulah sekiranya bunyi arahan Datuk Bandar Majlis Bandaraya KualaTerngganu. Melewati satu dua bangunan menjulang di Jalan Kampung Tiong akhirnya mengantarkanku pada ujung jalan.

Hmmh, mana ya jalan pintas?”. aku mengamati sekitar dan merasa enggan berjalan memutar untuk sampai di terminal bus. Ujung atap terminal sudah tampak dari tempatku berdiri. “Mungkin itu”, aku melihat gang kecil lurus menuju terminal, aku menyusurnya hingga tiba pada sebuah lahan parkir nan luas yang keberadaannya berhasil disembunyikan oleh rimbunnya pepohonan. Ternyata inilah lahan parkir Paya Bunga Square. Memang kompleks perbelanjaan, hotel dan perkantoran itu tampak jelas di pojok selatan. “Yiaaiy, kantinnya masih buka”, aku bersorak dalam hati melihat keramaian kantin terminal. Tak ragu aku memasukinya hingga para pedagang di kantin itu tak henti-hentinya menawariku menu. Akhirnya, aku memutuskan menikmati seporsi nasi goreng seharga lima ringgit saja.

Aku menyantap nasi goreng sederhana itu dengan lahapnya karena lapar yang kutahan sedari tadi. Nasi goreng itu sedikit berasa kari, entah karena penciumanku yang mendeteksi keberadaan kedai kari di sebelah kiri tempatku duduk atau memang pedagang nasi goreng ini terlalu berani membumbui dagangannya. Tapi peduli apalah, aku toh sejatinya penggemar kari India.

Setengah jam bersantap bersama para pelancong lokal di terminal bus itu, menjadikanku serasa warga Terengganu saja.

Kini saatnya aku pulang menuju penginapan…..

Aku turun lagi di Jalan Masjid Abidin. Jika sebelumnya aku selalu melintas di sisi kirinya, kini aku berusaha menyeberang jalan dan menyisir dari sisi kanan menuju selatan. Beberapa meter di depan, langkahku terhenti dengan keberadaan lahan parkir dan pertokoan yang luas. Tampaknya ini adalah pertokoan loak yang menjadi idola warga. Menjelang gelap, tampak anak-anak muda menenteng skateboardnya dan duduk menikmati sore di bawah pokok-pokok rindang di sisi timur bentangan lahan. Inilah PB Station yang cukup terkenal di pusat kota karena selalu menghadirkan bazaar meriah di akhir pekan. Tapi sayangnya aku berada di sini pada malam senin. Tentu tak akan kutemukan keramaian walaupun menunggu hingga malam usai.

Kantin @ Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.
Tempat diselenggarakan bazaar akhir pekan.

Aku gontai melanjutkan langkah menuju The Space Inn. Melewati perempatan besar dimana gedung enam tingkat milik RHB Investment Bank berdiri kokoh, alhasil aku tiba di Jalan Air Jernih. Berlanjut melintas beberapa jengkal Jalan Kota Lama yang menghubungkan jalan utama itu dengan lokasi penginapanku.

Aku sampai…….

Saatnya mandi, mencuci dan terlelap lebih awal……..Hufftt, mataku sudah teramat berat.

Kisah Selanjutnya—->

Keterangan kata:

Jalan sehala*1) : jalan satu arah

Tertambat Sejenak di Lorong Kenangan Payang

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menikmati keanggunan Terengganu Drawbridge, aku terduduk di sebuah Perhentian Bas Kite. Keberadaan halte bus kota di Dataran Shahbandar menunjukkan bahwa hamparan Pesisir Payang ini adalah nadi ekonomi serta tujuan pariwisata Terengganu.

Genap enam jam sudah, aku telah mengeksplorasi tempat-tempat yang tepat untuk dikenal oleh para pendatang.

Berkali-kali aku meneguk air mineral kemasan untuk melawan dehidrasi ketika semakin banyak warga lokal yang mendatangi Pesisir Payang. Oh, justru aku akan meninggalkan pesisir saat suasana mulai ramai. Mungkin matahari mulai jatuh dan suasana akan segera sejuk yang membuat tempat ini menjadi ramai.

Aku kembali mengukur Jalan Sultan Zainal Abidin dengan tapak kaki menuju barat, memintas Pejabat Pos Besar Kuala Terengganu di tikungan utama jalan itu, melalui kembali kaki Bukit Puteri yang berhasil menanamkan rasa penasaran dalam hati, melintas cepat Pasar Kedai Payang yang beberapa jam lalu kunikmati, menghindar cepat dari kepulan debu Projek Kerajaan Persekutuan dalam menyempurnakan Pasar Kedai Payang sisi barat  dan tiba di persimpangan tepat di sisi Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota.

Hmhhh….Lebih baik mencari jalan lain”, aku bergumam sejenak dalam hati. Mungkin itulah cara terbaik untuk bisa mengeksplore khasanah kota lebih banyak. Adalah Jalan Kampung Cina yang bertekstur serupa dengan jalanan depan Pasar Kedai Payang, beton tebal bermotifkan pavling block merah muda yang akhirnya aku pilih.

Aku baru sadar bahwa lancarnya arus di sekitar Pesisir Payang dan Kampung Cina dipengaruhi oleh keberadaan gedung parkir lima lantai tepat di pertigaan emas itu. Sesuai tradisi masyarakat Tionghoa, maka sepanjang Jalan Kampung Cina dijejali dengan kompleks ruko serta kios niaga. Semakin ke barat, kuperhatikan bangunan-bangunan tua khas Tionghoa tampak mendominasi.

Kali ini, aku berencana menghabiskan sore dengan menyusuri jalan-jalan kota menuju penginapan, tentunya dengan jalur yang berbeda dari jalur keberangkatan pagi tadi. Berjalan di sepanjang Jalan Kampung Cina membuat perutku semakin lapar. Aroma khas masakan Tionghoa menyeruak menusuk indra penciuman yang tak pernah bosan menghisapnya. Teras deretan ruko dua lantai tampak berbatasan langsung dengan jalan raya sehingga kendaraan yang melintas hanya berjalan lambat untuk menjaga keselamatan para pejalan kaki.

Langkahku mendadak terhenti karena penampakan sebuah gang penuh cita rasa seni. Aku tepat berdiri terpaku di depannya. Sementara yang terlihat di dalam sana adalah susunan payung warna-warni yang tersusun rapi sebagai atap gang sepanjang empat puluh meter itu .

Lorong  Kenangan Payang”, aku membaca tajuk gang dalam hati. “Berarti ada sejarah di sini”, aku mulai menyimpulkan.

Aku di depan lorong nih….
Dua dari tujuh tokoh Tionghoa yang diabadikan di sepanjang lorong.
Tampilan dari ujung lorong.

Aku mulai memasuki mulut gang perlahan. Tatapanku secara otomatis menengok ke kiri. Berjajar relief tujuh tokoh pemimpin masyarakat Tionghoa yang konon berkhidmat pada Kesultanan Terengganu. Secara berurutan tersebutlah nama Dato’ Tan Eng Ann (pernah menjabat sebagai Pengerusi MCA Terengganu), Dato’ Toh Seng Chong (pernah menjabat sebagai Exco Kerajaan Negeri), Jang Chow Thye, SMT (pernah menjabat sebagai Ahli Dewan Kerajaan Malaysia), Dato’ Tok Teng Sai (pernah menjabat sebagai Terengganu MCA State Chairman), Senator Dato’ Ir. Wong Foon Meng (pernah menjabat sebagai Timbalan Yang Dipertuan Dewan Negara), YB Toh Chin Yaw (pernah menjabat sebagai State Executive Councillor) dan Tan Sri Dato’ Lau Yin Pin (pernah menjabat sebagai Ahli Dewan Negara).

Sedangkan lukisan-lukisan mural menempati sisa hamparan tembok di sepanjang lorong. Lukisan-lukisan itu menggambarkan kekayaan kisah Kuala Terengganu yang berjuluk Bandaraya Warisan Pesisir Air. Oleh karenanya mural-mural bertema lautan sangat kental dalam lorong ini.

Sebetulnya berteduh di dalam gang selebar tiga setengah meter ini sungguh sangat nyaman di tengah suasana sekitar yang masih saja menyisakan panas walaupun matahari sudah semakin tergelincir di barat. Hanya saja waktuku tentu tak banyak, aku harus segera melangkah menelusuri sudut-sudut lain kota sebelum matahari benar-benar tenggelam.

Maka keluarlah aku dari lorong yang juga dikenal dengan nama Payang Memory Lane itu. Oh ya, sebetulnya masih ada lorong-lorong lain yang tentu aku tak bisa mengunjunginya satu per satu. Adalah Turtle Alley yang menceritakan usaha konservasi penyu di Terengganu, beberapa lorong lainnya bernama Eco Lane, Seven Wonders Alley dan Lorong Haji Awang Besar.

Yuk ikuti saja langkahku….Bakal ketemu apa lagi ya di Kuala Terengganu?.

Kisah Selanjutnya—->