Kampung Cina di Akhir Hari Perdana

<—-Kisah Sebelumnya

Aku sudah cukup puas meresapi keelokan Pulau Warisan Kuala Terengganu walau hanya menepi di salah satu sisinya. Mengamati kesibukan para pedagang yang perlahan mulai berdatangan demi mempersiapkan sesi kuliner malam nanti, lalu lintas kapal nelayan yang hendak melaut meninggalkan muara juga mulai kentara, lalu tak henti-hentinya kapal pelancong membawa kegembiraan para turis menuju pulau-pulau wisata yang aku sendiri tak tahu seberapa jauhnya serta kapal-kapal operasional minyak dan gas konsisten berhilir mudik di sepanjang muara.

Saatnya pergi dari sini”, aku mulai merapikan kamera dan membuang alas duduk ke tempat sampah usai menyobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil, aku tak mau meninggalkan jejak nama sekalipun dalam setiap lembaran yang kubuang di negeri seberang.

Aku melintas tepat di tengah pulau menuju daratan dimana Kampung Cina berdiri. Di tepian jalan sehala*1) itu, gazebo-gazebo sisi jalan penuh oleh warga lokal. Mereka mulai turun ke jalanan menunggu surya jatuh di peraduan. Di seberang jalan sana, taman bermain mulai bernyawa dengan kehadiran beberapa anak keturunan Tionghoa yang memaikan ayunan dan prosotan. Sementara itu, Turtle Alley yang menjadi lorong seni terkenal di sepanjang jalan itu mulai dijejali wisatawan.

Selamat tinggal Pulau Warisan Kuala Terengganu.

Ah, sudahlah”, aku tampak menyerah. “Cari makan saja, malam ini ga usah keluar penginapan”, aku memutuskan.

Aku melangkah menuju barat melawan arus sehala kendaraan. Satu dua peminta mendekat sembari mengepalkan tangannya beberapa kali ke arah mulut. Pertanda mereka membutuhkan makanan sepertiku. Aku melihat sekitar, mencari keberadaa CCTV atau apapun yang bisa merekam sekitar. Menyadari nihil keberadaannya, aku menyerahkan dua Ringgit pada dua peminta yang mendekat lalu aku bergegas cepat meninggalkannya.

Langkahku tiba pada tikungan menyempit dan hanya mampu mengalirkan kendaraan satu per satu untuk melintasnya. Kini aku tiba di ujung jalan, sebagai penanda aku akan dihadapkan pada muka Kampung Cina Kuala Terengganu.

Sesungguhnya aku berada di ujung selatan Jalan Kampung Cina. Jika sebelumnya aku menyisir jalan itu dari sisi utara ketika berkunjung ke Lorong Kenangan Payang, maka kini aku menggenapkannya dengan menyisir sisa ruasnya dari selatan.

Oh, ini toh Kampung Cina”, batinku reflek berkata usai melihat ikoniknya Pintu Gerbang Jalan Kampung Cina Terengganu. Tentunya adalah naga. Ya, dia selalu menjadi simbol tuah dalam masyarakat Tionghoa. Dua naga hijau sempurna berhadapan di puncak gerbang.

Pintu gerbang yang indah.
Salah satu ruas Jalan Kampung Cina sisi selatan.
Ho Ann Kiong Temple.
Jalan Kampung Tiong.
Alliance Islamic Bank di salah satu sisi Jalan Kampung Tiong.

Jamaknya perkampungan Tionghoa, maka lampion juga menjadi dekorasi khas pada keberadaannya di setiap negara manapun, pun di Kuala Terengganu. Lampion merah betebaran di setiap sisi jalanan.

Sementara di pertigaan sana tampak sebuah kuil dominan kuning, berjuluk Ho Ann Kiong Temple. Inilah kuil Cina yang telah ada sejak seabad lalu, kuil Tao tertua di negara bagian Terengganu yang didedikasikan untuk Mazu, sang Dewi Laut.

Usai mengamati keindahan kuil, aku mulai mengekplore jalanan baru. Adalah Jalan Kampung Tiong yang akan menjadi jalan pintasku menuju Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu. Aku tahu ada kantin terminal di sana. “Lebih baik bersantap malam di sana saja”, aku tak berfikir panjang memutuskan.

Sekilas melintas, pemerintah Terengganu tampak menawarkan keindahan Pulau Lang Tengah sebagai destinasi pelancongan andalan di sepanjang jalan itu. Sementara papan-papan larangan berjualan kaki lima tanpa izin menghias beberapa gang. “Dilarang menjaja tanpa lesen”, begitulah sekiranya bunyi arahan Datuk Bandar Majlis Bandaraya KualaTerngganu. Melewati satu dua bangunan menjulang di Jalan Kampung Tiong akhirnya mengantarkanku pada ujung jalan.

Hmmh, mana ya jalan pintas?”. aku mengamati sekitar dan merasa enggan berjalan memutar untuk sampai di terminal bus. Ujung atap terminal sudah tampak dari tempatku berdiri. “Mungkin itu”, aku melihat gang kecil lurus menuju terminal, aku menyusurnya hingga tiba pada sebuah lahan parkir nan luas yang keberadaannya berhasil disembunyikan oleh rimbunnya pepohonan. Ternyata inilah lahan parkir Paya Bunga Square. Memang kompleks perbelanjaan, hotel dan perkantoran itu tampak jelas di pojok selatan. “Yiaaiy, kantinnya masih buka”, aku bersorak dalam hati melihat keramaian kantin terminal. Tak ragu aku memasukinya hingga para pedagang di kantin itu tak henti-hentinya menawariku menu. Akhirnya, aku memutuskan menikmati seporsi nasi goreng seharga lima ringgit saja.

Aku menyantap nasi goreng sederhana itu dengan lahapnya karena lapar yang kutahan sedari tadi. Nasi goreng itu sedikit berasa kari, entah karena penciumanku yang mendeteksi keberadaan kedai kari di sebelah kiri tempatku duduk atau memang pedagang nasi goreng ini terlalu berani membumbui dagangannya. Tapi peduli apalah, aku toh sejatinya penggemar kari India.

Setengah jam bersantap bersama para pelancong lokal di terminal bus itu, menjadikanku serasa warga Terengganu saja.

Kini saatnya aku pulang menuju penginapan…..

Aku turun lagi di Jalan Masjid Abidin. Jika sebelumnya aku selalu melintas di sisi kirinya, kini aku berusaha menyeberang jalan dan menyisir dari sisi kanan menuju selatan. Beberapa meter di depan, langkahku terhenti dengan keberadaan lahan parkir dan pertokoan yang luas. Tampaknya ini adalah pertokoan loak yang menjadi idola warga. Menjelang gelap, tampak anak-anak muda menenteng skateboardnya dan duduk menikmati sore di bawah pokok-pokok rindang di sisi timur bentangan lahan. Inilah PB Station yang cukup terkenal di pusat kota karena selalu menghadirkan bazaar meriah di akhir pekan. Tapi sayangnya aku berada di sini pada malam senin. Tentu tak akan kutemukan keramaian walaupun menunggu hingga malam usai.

Kantin @ Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.
Tempat diselenggarakan bazaar akhir pekan.

Aku gontai melanjutkan langkah menuju The Space Inn. Melewati perempatan besar dimana gedung enam tingkat milik RHB Investment Bank berdiri kokoh, alhasil aku tiba di Jalan Air Jernih. Berlanjut melintas beberapa jengkal Jalan Kota Lama yang menghubungkan jalan utama itu dengan lokasi penginapanku.

Aku sampai…….

Saatnya mandi, mencuci dan terlelap lebih awal……..Hufftt, mataku sudah teramat berat.

Kisah Selanjutnya—->

Keterangan kata:

Jalan sehala*1) : jalan satu arah

Tertambat Sejenak di Lorong Kenangan Payang

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menikmati keanggunan Terengganu Drawbridge, aku terduduk di sebuah Perhentian Bas Kite. Keberadaan halte bus kota di Dataran Shahbandar menunjukkan bahwa hamparan Pesisir Payang ini adalah nadi ekonomi serta tujuan pariwisata Terengganu.

Genap enam jam sudah, aku telah mengeksplorasi tempat-tempat yang tepat untuk dikenal oleh para pendatang.

Berkali-kali aku meneguk air mineral kemasan untuk melawan dehidrasi ketika semakin banyak warga lokal yang mendatangi Pesisir Payang. Oh, justru aku akan meninggalkan pesisir saat suasana mulai ramai. Mungkin matahari mulai jatuh dan suasana akan segera sejuk yang membuat tempat ini menjadi ramai.

Aku kembali mengukur Jalan Sultan Zainal Abidin dengan tapak kaki menuju barat, memintas Pejabat Pos Besar Kuala Terengganu di tikungan utama jalan itu, melalui kembali kaki Bukit Puteri yang berhasil menanamkan rasa penasaran dalam hati, melintas cepat Pasar Kedai Payang yang beberapa jam lalu kunikmati, menghindar cepat dari kepulan debu Projek Kerajaan Persekutuan dalam menyempurnakan Pasar Kedai Payang sisi barat  dan tiba di persimpangan tepat di sisi Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota.

Hmhhh….Lebih baik mencari jalan lain”, aku bergumam sejenak dalam hati. Mungkin itulah cara terbaik untuk bisa mengeksplore khasanah kota lebih banyak. Adalah Jalan Kampung Cina yang bertekstur serupa dengan jalanan depan Pasar Kedai Payang, beton tebal bermotifkan pavling block merah muda yang akhirnya aku pilih.

Aku baru sadar bahwa lancarnya arus di sekitar Pesisir Payang dan Kampung Cina dipengaruhi oleh keberadaan gedung parkir lima lantai tepat di pertigaan emas itu. Sesuai tradisi masyarakat Tionghoa, maka sepanjang Jalan Kampung Cina dijejali dengan kompleks ruko serta kios niaga. Semakin ke barat, kuperhatikan bangunan-bangunan tua khas Tionghoa tampak mendominasi.

Kali ini, aku berencana menghabiskan sore dengan menyusuri jalan-jalan kota menuju penginapan, tentunya dengan jalur yang berbeda dari jalur keberangkatan pagi tadi. Berjalan di sepanjang Jalan Kampung Cina membuat perutku semakin lapar. Aroma khas masakan Tionghoa menyeruak menusuk indra penciuman yang tak pernah bosan menghisapnya. Teras deretan ruko dua lantai tampak berbatasan langsung dengan jalan raya sehingga kendaraan yang melintas hanya berjalan lambat untuk menjaga keselamatan para pejalan kaki.

Langkahku mendadak terhenti karena penampakan sebuah gang penuh cita rasa seni. Aku tepat berdiri terpaku di depannya. Sementara yang terlihat di dalam sana adalah susunan payung warna-warni yang tersusun rapi sebagai atap gang sepanjang empat puluh meter itu .

Lorong  Kenangan Payang”, aku membaca tajuk gang dalam hati. “Berarti ada sejarah di sini”, aku mulai menyimpulkan.

Aku di depan lorong nih….
Dua dari tujuh tokoh Tionghoa yang diabadikan di sepanjang lorong.
Tampilan dari ujung lorong.

Aku mulai memasuki mulut gang perlahan. Tatapanku secara otomatis menengok ke kiri. Berjajar relief tujuh tokoh pemimpin masyarakat Tionghoa yang konon berkhidmat pada Kesultanan Terengganu. Secara berurutan tersebutlah nama Dato’ Tan Eng Ann (pernah menjabat sebagai Pengerusi MCA Terengganu), Dato’ Toh Seng Chong (pernah menjabat sebagai Exco Kerajaan Negeri), Jang Chow Thye, SMT (pernah menjabat sebagai Ahli Dewan Kerajaan Malaysia), Dato’ Tok Teng Sai (pernah menjabat sebagai Terengganu MCA State Chairman), Senator Dato’ Ir. Wong Foon Meng (pernah menjabat sebagai Timbalan Yang Dipertuan Dewan Negara), YB Toh Chin Yaw (pernah menjabat sebagai State Executive Councillor) dan Tan Sri Dato’ Lau Yin Pin (pernah menjabat sebagai Ahli Dewan Negara).

Sedangkan lukisan-lukisan mural menempati sisa hamparan tembok di sepanjang lorong. Lukisan-lukisan itu menggambarkan kekayaan kisah Kuala Terengganu yang berjuluk Bandaraya Warisan Pesisir Air. Oleh karenanya mural-mural bertema lautan sangat kental dalam lorong ini.

Sebetulnya berteduh di dalam gang selebar tiga setengah meter ini sungguh sangat nyaman di tengah suasana sekitar yang masih saja menyisakan panas walaupun matahari sudah semakin tergelincir di barat. Hanya saja waktuku tentu tak banyak, aku harus segera melangkah menelusuri sudut-sudut lain kota sebelum matahari benar-benar tenggelam.

Maka keluarlah aku dari lorong yang juga dikenal dengan nama Payang Memory Lane itu. Oh ya, sebetulnya masih ada lorong-lorong lain yang tentu aku tak bisa mengunjunginya satu per satu. Adalah Turtle Alley yang menceritakan usaha konservasi penyu di Terengganu, beberapa lorong lainnya bernama Eco Lane, Seven Wonders Alley dan Lorong Haji Awang Besar.

Yuk ikuti saja langkahku….Bakal ketemu apa lagi ya di Kuala Terengganu?.

Kisah Selanjutnya—->