Mataku semakin berat, imbas terlalu lama duduk di bawah sebuah pohon, tentu masih di dalam kompleks Padang Maziah. Sesekali nada bising klakson kendaraan memberikan nadi pada taman istana yang sepi itu. Tetapi, nalarku masih saja mengatakan “tidak”, ketika niatan hati membujuknya untuk segera beranjak menuju tepian pantai.
Apa boleh buat, mataku lebih memilih melanjutkan kantuknya, “Siapa juga yang mau menjadi gosong karena siraman panas matahari”, nalarku bersikukuh untuk bertahan beberapa saat lagi dalam kesejukan dan keindahan Padang Maziah. Karenanya, aku semakin mantab saja menyandarkan badan ke sebuah dinding beton yang berfungsi sebagai pot raksasa dalam taman istana itu. Baru kali ini aku bisa duduk bersantai ria di sebuah taman di negeri seberang.
Jeda kerjapan mata semakin rapat ketika matahari perlahan tergelencir ke barat. Hampir setengah tiga sore, akhirnya kuputuskan untuk bangkit dan melangkah lagi.
Aku kembali menyusuri jalanan empat lajur dua arah menuju barat. Di depan sana tampak gapura besar kota. Melalui sisi kiri, perlahan tapi pasti aku semakin mendekatinya. Gapura kota nan gagah, mengangkangi Jalan Sultan Zainal Abidin yang melajur di bawahnya.
“Daulat Tuanku – Allah Peliharakan – Sultan dan Sultanah Terengganu”, begitulah kalimat tiga baris yang terpampang di atasnya. “Islami banget Terengganu ini”, aku membatin pelan sembari berdiri mematung memandangi kalimat itu dari bawahnya.
Selepas gapura, hanya tampak deretan ruko empat lantai memanjang menyejajari jalanan di sisi kanan, sedangkan di sisi kiri diakuisisi oleh area hijau menghampar bertajuk Dataran Shahbandar. Adalah kompleks taman komunitas yang dipadu dengan gathering & events venue yang biasanya akan ramai di momen-momen penting seperti ramadhan, tahun baru dan hari-hari libur nasional.
Dataran Shahbandar sendiri mencakup area sepuluh hektar dengan tiga bagian utama, yaitu taman, plaza dan dermaga. Secara kasat mata aku bisa memperkirakan bahwa luasan taman mendominasi hingga 60% dari keseluruhan area. Sedangkan plaza yang digunakan untuk area tenda, car boot sale atau food truck mengambil porsi 30%, sedangkan sisanya difungsikan sebagai Shahbandar Jetty yaitu dermaga kayu yang digunakan untuk terminal transportasi menuju Pulau Redang yang berjarak 40 kilometer ke arah lepas pantai.
Aku berjalan santai melewati jalur pedestrian di tengah taman yang rimbun untuk menggapai area plaza. Plaza yang luas tetapi sepi itu berhiaskan signboad berbunyi “Bandaraya Warisan Pesisir Air”. Esok lusa tempat ini pasti akan dipenuhi lautan manusia demi merayakan pergantian tahun. Sedangkan pada saat yang bersamaan, aku akan berada di Kuala Lumpur.


Sedangkan focal point dari perayaan tahun baru esok lusa berada pada selarik jembatan ikonik yang berada di sisi kanan kompleks Dataran Shahbandar. Adalah Terengganu Drawbridge yang telah menjadi gerbang laut Kuala Terengganu. Jembatan angkat ini membentang sempurna menghubungkan Kampung Seberang Takir di utara jembatan dan Kampung Ladang Padang Cicar di selatannya.
Inilah jembatan angkat pertama di Malaysia, bahkan di Asia Tenggara yang baru berusia 2 tahun. Jadi aku masih sempat menikmati wajah gresnya sore itu. Dengan panjang lebih dari 600 meter, jembatan itu gagah memagari Kuala Terengganu dari luasnya Laut China Selatan.
Dan perlu kamu ketahui bahwa kesemua kompleks Terengganu Drawbridge, Dataran Shahbandar dan Pasar Kedai Payang ini diikat dalam satu kawasan pengelolaan berjuluk Pesisir Payang.
Kini aku sudah berada di tepian pantai dan berusaha mengambil potret terbaik dari Terengganu Drawbridge. Di lain sisi, kerap sekali warga lokal berdatangan untuk mengabadikan diri di berbagai spot Pesisir Payang. Bahkan aku sesekali memurahkan hati menjadi juru foto dadakan untuk beberapa keluarga yang ingin mengabadikan seluruh anggotanya dalam satu gambar. Tentu, aku merasa senang karena bisa berkenalan dengan banyak keluarga yang sangat ramah dan bahkan tak ragu mengajakku bercakap ria untuk beberapa saat setelah mereka mengetahui bahwa aku berasal dari Indonesia. Tentunya, logat bicaraku mudah sekali ditebak oleh mereka. Dalam percakapan itu, beberapa diantara mereka memberikan banyak referensi perihal tempat wisata yang harus dikunjungi di Kuala Terengganu.
Boleh dikata bahwa soreku kala itu habis kugunakan untuk bercengkerama dengan warga lokal. Di bagian akhir sesi, aku memutuskan untuk menyegerakan diri mendekati Terengganu Drawbridge dan alhasil aku berhasil menikmati keindahan arsitektur itu dari jarak seratus meter.

Di sekitar viewpoint Terengganu Drawbridge, tampak lima pemuda Malaysia keturunan India sangat sibuk. Aku pun memberanikan diri mendekati mereka.
“Hi, saya bisa bantu fotokan, supaya semua bisa masuk dalam satu foto”, aku menawarkan diri dengan senyuman kecil.
“ Boleh lah….Trimakasēh. Sebentar sayè atur dulu setelan lensa nih”, seorang dari mereka mendekatiku dan sibuk mengatur settingan kamera, sesekali dia mengintip jembatan ikonik itu dari lubang kameranya. “Sudēh siap”, dia menyerahkannya padaku.
Untuk beberapa saat aku mengatur posisi mereka, menukar posisi yang berpostur pendek dengan yang lebih tinggi, menyuruh ke kanan dan kekiri, serta meminta beberapa gaya. Beberapa foto kuperlihatkan pada si empunya kamera hingga dia menyatakan cukup.
Daaaan sebagai upahnya….Mereka ganti memotoku….Siap-siap, cekrekkkk…..taraaaaaaaa……..

One thought on “Tukang Foto Dadakan di Terengganu Drawbridge”