Moored at Kedai Payang Market

<—-Previous Story

“I’m not from India, I’m from Iran”, the bunk bed neighbor’s traveler answered my question.

“Do you know where is a middle eastern salon near here?. I think I need a salon for relaxation”, he suddenly asked the receptionist and hotel owner.

I inwardly laughed at that “funny” scene that morning, a light conversation before I set out to explore Kuala Terengganu for the first time since arriving.

I rushed down the stairs to get out of The Space Inn, along Engku Pengiran Anom 2 Street, heading north, repeating the original way when heading to the inn. Of course, I went back to Air Jernih Street, met again at the intersection where Politectic Kuala Terengganu became a landmark besides PMINT Tower and retraced Masjid Abidin Street until I arrived back in east side of Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.

The east side of Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.
Rows of Interstate Bus ticket counters.
So here it was…. The tree just got “dressed up”……

It was just that, two hundred meters before arriving at bus terminal, I was fascinated by the art of yarn bombing which pinned colorful knitted threads to a row of trees in a side of Masjid Abidin Street’ sidewalk, right on the west side of PB Square. Make the city atmosphere more lively.

Arriving at bus terminal, I immediately struggled to find an Interstate Bus ticket to go to Kuala Lumpur the day after tomorrow.

“There are even cheaper ones, Sir?”, I joked at an Arowana Bus ticket counter staff.

“Nothing…. It’s only 43 Ringgit, Sir…. this is the cheapest”.

“Okay, I’ll take one, Sir …. For the date of 31st”.

A few minutes ago, I had secured a ticket to Kuala Lumpur, now I was a little calmer to start exploring my first destination.

Yupsz, I was going to Kuala Terengganu’s market.

That market is only a kilometer from Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu, so I decided to just walk. I slowly enjoyed the crowds around Kampung Daik Street, under the shade of roofed corridor along sidewalk, what a comfortable way to walk. My steps also had to turn right in front of Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota’s Office, which were identical in color to the fire brigade offices in Jakarta (my hometown), bright red.

Now I felt reluctant to continue swinging steps due to the scorching heat of sun in the path in front of me that wasn’t longer covered. Finally, I decided to take a break at the end of covered corridor, sitting in a concrete bench, waiting for the cloud to cover the sun.

Kuala Terengganu fire department.

A few moments of waiting while enjoying the passing of local residents, the cloud was present, now the street didn’t sting anymore, I immediately took a quick step down Sultan Zainal Abidin Street. Finally, two hundred meters ahead, I arrived at Kedai Payang Market which was starting to get busy.

The Kedai Payang Market dis seem to show off its beauty, it was said that the two-year-old building functions to replace the old building that had retired.

Rows of tents with white cloth roofs stretched across market’s face, separating the parking area from commercial area. The large tents showed that  market’s interior area wasn’t enough to facilitate the bustling commerce in downtown Kuala Terengganu.

Now I’ve entered market inside which was very crowded, the stalls with red brick motifs still looked new, the alleys seemed full of visitors passing by. Several clowns and pet equipment sellers were seen cramming into several corners of stalls selling songket, batik, handicrafts and traditional snacks from Terengganu. While in the back area, it appeared that a special area was provided for a row of culinary stalls with a mainstay menu of Nasi Dagang, Laksa, Nasi Lemak and several other specialties.

Kedai Payang Market back view.
The market front.
Market atmosphere.
Rows of clothing stalls.
Culinary stalls behind the market.
Come on, first enjoy the beauty of Terengganu River!

I just kept going until I reached its backyard. Apparently that market is right on the outskirts of very clean Terengganu River. Bot Penambang (Passenger Boats) could be seen moving back and forth to mobilize Terengganu residents from a bank to another. The Bot Penambang (Passenger Boat), which is relied upon as the city’s water taxi, seems to have originalized the atmosphere of Terengganu that morning.

The beauty of the expanse of Terengganu River finally started to make me fall in love with that city and managed to tame me to just linger for a while enjoying the gentle breeze in a concrete gazebo which is part of public facilities belonging to Pasar Kedai Payang.

“Don’t be in a hurry, Donny….Sit down and enjoy”.

Next Story—->

Tertambat Sejenak di Lorong Kenangan Payang

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menikmati keanggunan Terengganu Drawbridge, aku terduduk di sebuah Perhentian Bas Kite. Keberadaan halte bus kota di Dataran Shahbandar menunjukkan bahwa hamparan Pesisir Payang ini adalah nadi ekonomi serta tujuan pariwisata Terengganu.

Genap enam jam sudah, aku telah mengeksplorasi tempat-tempat yang tepat untuk dikenal oleh para pendatang.

Berkali-kali aku meneguk air mineral kemasan untuk melawan dehidrasi ketika semakin banyak warga lokal yang mendatangi Pesisir Payang. Oh, justru aku akan meninggalkan pesisir saat suasana mulai ramai. Mungkin matahari mulai jatuh dan suasana akan segera sejuk yang membuat tempat ini menjadi ramai.

Aku kembali mengukur Jalan Sultan Zainal Abidin dengan tapak kaki menuju barat, memintas Pejabat Pos Besar Kuala Terengganu di tikungan utama jalan itu, melalui kembali kaki Bukit Puteri yang berhasil menanamkan rasa penasaran dalam hati, melintas cepat Pasar Kedai Payang yang beberapa jam lalu kunikmati, menghindar cepat dari kepulan debu Projek Kerajaan Persekutuan dalam menyempurnakan Pasar Kedai Payang sisi barat  dan tiba di persimpangan tepat di sisi Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota.

Hmhhh….Lebih baik mencari jalan lain”, aku bergumam sejenak dalam hati. Mungkin itulah cara terbaik untuk bisa mengeksplore khasanah kota lebih banyak. Adalah Jalan Kampung Cina yang bertekstur serupa dengan jalanan depan Pasar Kedai Payang, beton tebal bermotifkan pavling block merah muda yang akhirnya aku pilih.

Aku baru sadar bahwa lancarnya arus di sekitar Pesisir Payang dan Kampung Cina dipengaruhi oleh keberadaan gedung parkir lima lantai tepat di pertigaan emas itu. Sesuai tradisi masyarakat Tionghoa, maka sepanjang Jalan Kampung Cina dijejali dengan kompleks ruko serta kios niaga. Semakin ke barat, kuperhatikan bangunan-bangunan tua khas Tionghoa tampak mendominasi.

Kali ini, aku berencana menghabiskan sore dengan menyusuri jalan-jalan kota menuju penginapan, tentunya dengan jalur yang berbeda dari jalur keberangkatan pagi tadi. Berjalan di sepanjang Jalan Kampung Cina membuat perutku semakin lapar. Aroma khas masakan Tionghoa menyeruak menusuk indra penciuman yang tak pernah bosan menghisapnya. Teras deretan ruko dua lantai tampak berbatasan langsung dengan jalan raya sehingga kendaraan yang melintas hanya berjalan lambat untuk menjaga keselamatan para pejalan kaki.

Langkahku mendadak terhenti karena penampakan sebuah gang penuh cita rasa seni. Aku tepat berdiri terpaku di depannya. Sementara yang terlihat di dalam sana adalah susunan payung warna-warni yang tersusun rapi sebagai atap gang sepanjang empat puluh meter itu .

Lorong  Kenangan Payang”, aku membaca tajuk gang dalam hati. “Berarti ada sejarah di sini”, aku mulai menyimpulkan.

Aku di depan lorong nih….
Dua dari tujuh tokoh Tionghoa yang diabadikan di sepanjang lorong.
Tampilan dari ujung lorong.

Aku mulai memasuki mulut gang perlahan. Tatapanku secara otomatis menengok ke kiri. Berjajar relief tujuh tokoh pemimpin masyarakat Tionghoa yang konon berkhidmat pada Kesultanan Terengganu. Secara berurutan tersebutlah nama Dato’ Tan Eng Ann (pernah menjabat sebagai Pengerusi MCA Terengganu), Dato’ Toh Seng Chong (pernah menjabat sebagai Exco Kerajaan Negeri), Jang Chow Thye, SMT (pernah menjabat sebagai Ahli Dewan Kerajaan Malaysia), Dato’ Tok Teng Sai (pernah menjabat sebagai Terengganu MCA State Chairman), Senator Dato’ Ir. Wong Foon Meng (pernah menjabat sebagai Timbalan Yang Dipertuan Dewan Negara), YB Toh Chin Yaw (pernah menjabat sebagai State Executive Councillor) dan Tan Sri Dato’ Lau Yin Pin (pernah menjabat sebagai Ahli Dewan Negara).

Sedangkan lukisan-lukisan mural menempati sisa hamparan tembok di sepanjang lorong. Lukisan-lukisan itu menggambarkan kekayaan kisah Kuala Terengganu yang berjuluk Bandaraya Warisan Pesisir Air. Oleh karenanya mural-mural bertema lautan sangat kental dalam lorong ini.

Sebetulnya berteduh di dalam gang selebar tiga setengah meter ini sungguh sangat nyaman di tengah suasana sekitar yang masih saja menyisakan panas walaupun matahari sudah semakin tergelincir di barat. Hanya saja waktuku tentu tak banyak, aku harus segera melangkah menelusuri sudut-sudut lain kota sebelum matahari benar-benar tenggelam.

Maka keluarlah aku dari lorong yang juga dikenal dengan nama Payang Memory Lane itu. Oh ya, sebetulnya masih ada lorong-lorong lain yang tentu aku tak bisa mengunjunginya satu per satu. Adalah Turtle Alley yang menceritakan usaha konservasi penyu di Terengganu, beberapa lorong lainnya bernama Eco Lane, Seven Wonders Alley dan Lorong Haji Awang Besar.

Yuk ikuti saja langkahku….Bakal ketemu apa lagi ya di Kuala Terengganu?.

Kisah Selanjutnya—->

Tukang Foto Dadakan di Terengganu Drawbridge

<—-Kisah Sebelumnya

Mataku semakin berat, imbas terlalu lama duduk di bawah sebuah pohon, tentu masih di dalam kompleks Padang Maziah. Sesekali nada bising klakson kendaraan memberikan nadi pada taman istana yang sepi itu. Tetapi, nalarku masih saja mengatakan “tidak”, ketika niatan hati membujuknya untuk segera beranjak menuju tepian pantai.

Apa boleh buat, mataku lebih memilih melanjutkan kantuknya, “Siapa juga yang mau menjadi gosong karena siraman panas matahari”, nalarku bersikukuh untuk bertahan beberapa saat lagi dalam kesejukan dan keindahan Padang Maziah. Karenanya, aku semakin mantab saja menyandarkan badan ke sebuah dinding beton yang berfungsi sebagai pot raksasa dalam taman istana itu. Baru kali ini aku bisa duduk bersantai ria di sebuah taman di negeri seberang.

Jeda kerjapan mata semakin rapat ketika matahari perlahan tergelencir ke barat. Hampir setengah tiga sore, akhirnya kuputuskan untuk bangkit dan melangkah lagi.

Aku kembali menyusuri jalanan empat lajur dua arah menuju barat. Di depan sana tampak gapura besar kota. Melalui sisi kiri, perlahan tapi pasti aku semakin mendekatinya. Gapura kota nan gagah, mengangkangi Jalan Sultan Zainal Abidin yang melajur di bawahnya.

Daulat Tuanku – Allah Peliharakan – Sultan dan Sultanah Terengganu”, begitulah kalimat tiga baris yang terpampang di atasnya. “Islami banget Terengganu ini”, aku membatin pelan sembari berdiri mematung memandangi kalimat itu dari bawahnya.

Selepas gapura, hanya tampak deretan ruko empat lantai memanjang menyejajari jalanan di sisi kanan, sedangkan di sisi kiri diakuisisi oleh area hijau menghampar bertajuk Dataran Shahbandar. Adalah kompleks taman komunitas yang dipadu dengan gathering & events venue yang biasanya akan ramai di momen-momen penting seperti ramadhan, tahun baru dan hari-hari libur nasional.

Dataran Shahbandar sendiri mencakup area sepuluh hektar dengan tiga bagian utama, yaitu taman, plaza dan dermaga. Secara kasat mata aku bisa memperkirakan bahwa luasan taman mendominasi hingga 60% dari keseluruhan area. Sedangkan plaza yang digunakan untuk area tenda, car boot sale atau food truck mengambil porsi 30%, sedangkan sisanya difungsikan sebagai Shahbandar Jetty yaitu dermaga kayu yang digunakan untuk terminal transportasi menuju Pulau Redang yang berjarak 40 kilometer ke arah lepas pantai.

Aku berjalan santai melewati jalur pedestrian di tengah taman yang rimbun untuk menggapai area plaza. Plaza yang luas tetapi sepi itu berhiaskan signboad berbunyi “Bandaraya Warisan Pesisir Air”. Esok lusa tempat ini pasti akan dipenuhi lautan manusia demi merayakan pergantian tahun. Sedangkan pada saat yang bersamaan, aku akan berada di Kuala Lumpur.

Taman @ Dataran Shahbandar.
Plaza @ Dataran Shahbandar.

Sedangkan focal point dari perayaan tahun baru esok lusa berada pada selarik jembatan ikonik yang berada di sisi kanan kompleks Dataran Shahbandar. Adalah Terengganu Drawbridge yang telah menjadi gerbang laut Kuala Terengganu. Jembatan angkat ini membentang sempurna menghubungkan Kampung Seberang Takir di utara jembatan dan Kampung Ladang Padang Cicar di selatannya.

Inilah jembatan angkat pertama di Malaysia, bahkan di Asia Tenggara yang baru berusia 2 tahun. Jadi aku masih sempat menikmati wajah gresnya sore itu. Dengan panjang lebih dari 600 meter, jembatan itu gagah memagari Kuala Terengganu dari luasnya Laut China Selatan.

Dan perlu kamu ketahui bahwa kesemua kompleks Terengganu Drawbridge, Dataran Shahbandar dan Pasar Kedai Payang ini diikat dalam satu kawasan pengelolaan berjuluk Pesisir Payang.

Kini aku sudah berada di tepian pantai dan berusaha mengambil potret terbaik dari Terengganu Drawbridge. Di lain sisi, kerap sekali warga lokal berdatangan untuk mengabadikan diri di berbagai spot Pesisir Payang. Bahkan aku sesekali memurahkan hati menjadi juru foto dadakan untuk beberapa keluarga yang ingin mengabadikan seluruh anggotanya dalam satu gambar. Tentu, aku merasa senang karena bisa berkenalan dengan banyak keluarga yang sangat ramah dan bahkan tak ragu mengajakku bercakap ria untuk beberapa saat setelah mereka mengetahui bahwa aku berasal dari Indonesia. Tentunya, logat bicaraku mudah sekali ditebak oleh mereka. Dalam percakapan itu, beberapa diantara mereka memberikan banyak referensi perihal tempat wisata yang harus dikunjungi di Kuala Terengganu.

Boleh dikata bahwa soreku kala itu habis kugunakan untuk bercengkerama dengan warga lokal. Di bagian akhir sesi, aku memutuskan untuk menyegerakan diri mendekati Terengganu Drawbridge dan alhasil aku berhasil menikmati keindahan arsitektur itu dari jarak seratus meter.

Terengganu Drawbridge.

Di sekitar viewpoint Terengganu Drawbridge, tampak lima pemuda Malaysia keturunan India sangat sibuk. Aku pun memberanikan diri mendekati mereka.

Hi, saya bisa bantu fotokan, supaya semua bisa masuk dalam satu foto”, aku menawarkan diri dengan senyuman kecil.

Boleh lah….Trimakasēh. Sebentar sayè atur dulu setelan lensa nih”, seorang dari mereka mendekatiku dan sibuk mengatur settingan kamera, sesekali dia mengintip jembatan ikonik itu dari lubang kameranya. “Sudēh siap”, dia menyerahkannya padaku.

Untuk beberapa saat aku mengatur posisi mereka, menukar posisi yang berpostur pendek dengan yang lebih tinggi, menyuruh ke kanan dan kekiri, serta meminta beberapa gaya. Beberapa foto kuperlihatkan pada si empunya kamera hingga dia menyatakan cukup.

Daaaan sebagai upahnya….Mereka ganti memotoku….Siap-siap, cekrekkkk…..taraaaaaaaa……..

aku tuh….wkwkwk.

Kisah Selanjutnya—->

Pesan Sponsor di Istana Maziah

<—-Kisah Sebelumnya

Buatku, mengunjungi sebuah negara akan menjadi sempurna rasanya jika mampu mengunjungi istana presiden atau rajanya. Entah kenapa istana presiden atau raja atau sultan menjadi ikon tersendiri dari sebuah negara. Oleh karenanya, jika memungkinkan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menyambangi bangunan istimewa ini. Sudah banyak istana negara di luar sana yang kukunjungi. Istana Nurul Iman (Bandar Seri Begawan), Grand Palace (Bangkok), Istana Malacanang (Manila), Istana Negara (Kuala Lumpur), Istana Gyeongbok (Seoul), Ōsaka-jō (Osaka), Mulee-aage Palace (Maldives) dan Istana Al Alam Royal Palace (Muscat) adalah beberapa contohnya.

Begitupun dengan perjalananku ke Kuala Terengganu kali ini, aku berhasil menyempatkan diri untuk berkunjung ke istana Kesultanan Terengganu…..Ulala, akhirnya aku menambah koleksi istana lagi

Tak tanggung-tanggung, aku mengunjunginya di hari pertama, tentu karena aku takut terlewat kan……

—-****—-

Tepat setengah satu, udara masih saja menyengat, membakar kulit muka yang seinchi pun tak pernah kulindungi. Aku meninggalkan gazebo yang mulai dipenuhi warga lokal untuk menghindari panas surya. Membuat mood ku untuk menikmati pesona Sungai Terengganu tak khusyu’ lagi.

Aku beranjak pergi….

Kuputuskan menuntaskan bagian lengkungan ke arah barat dari Jalan Sultan Zainal Abidin yang beralaskan beton dengan motif pavling block. Zainal Abidin sendiri diambil dari nama Sultan Terengganu yang sedang berkuasa saat ini.

Aku tahu bahwa di sekitar Pasar Kedai Payang terdapat sebuah destinasi wisata yang terletak tepat di atas bukit.

Terkenal dengan sebutan Bukit Puteri yang menjadi titik pantau Kesultanan Terengganu terhadap serangan musuh dari arah lautan. Sedangkan nama Puteri sendiri diambil dari mitos yang konon mengisahkan tinggalnya seorang putri di atas bukit dan suka membantu masyarakat sekitar.

Tuh dia….Bukit Puteri yang sedang di renovasi.

Pintu menuju Bukit Puteri dimana ya, Cik? “, tanyaku pada seorang penjual baju di bawah bukit.

Tertutup, Abang, sedang menjalani pengubahsuaian”, jawabnya lembut sambil menyisipkan senyuman manis…..Duhhhh.

Hmmhhh, mau bagaimana lagi….tak tercoretlah Bukit Puteri dari bucket list Terengganuku.

Masih dibawah sengatan surya yang semakin menjadi, aku bergegas menjauhi kaki Bukit Puteri untuk melanjutkan eksplorasi.

Karena sesungguhnya Bukit Puteri adalah bagian dari pertahanan Kesultanan Terengganu di tahun 1800-an, maka keberadaan istana kesultanan pasti tak bakal jauh dari bukit itu. Benar saja, dua ratus meter kemudian aku menemukan gerbang istana….Istana Maziah namanya.

Tanpa ragu, aku memasuk gerbang empat pilar kembar dengan lambang kesultanan di tengahnya. Lambang itu berwarna keemasan, berpuncakkan mahkota perlambang kedaulatan, di tengahnya tersemat keris pedang bersilang penanda senjata khas kesultanan, diapit dua kitab utama yaitu hukum kesultanan dan Al Qur’an serta belitan selampai sebagai penanda kebesaran kesultanan.

Suasana sunyi di depan kesultanan membuatku leluasa menikmati istana Kesultanan Terengganu dari taman luarnya. Taman berjuluk Padang Maziah itu lebih dari cukup bagiku untuk mendapatkan suaka dari ancaman surya.

Sedikit memakan waktu lama untuk bisa menikmati istana ini karena aku harus disibukkan dengan beberapa pesan sponsor. Yupz, sponsor yang tentunya sedikit banyak turut meringankan biaya perjalanan kali ini. Bergelut dengan tripod mini, membuatku tampak sibuk di depan gerbang istana. Berharap tak ada penjaga yang mengusirku ketika melakukan “aktivitas bisnis” itu.

Setengah jam kemudian, aku baru benar-benar bisa menikmati keindahan bangunan istana dari Padang Maziah. Mengambil tempat duduk di bawah naungan pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitar taman, aku menghabiskan waktu tengah hariku di tempat istimewa itu.

Gerbang Istana Maziah.
Halo RICH….
Ntuh istananya….
Padang Maziah.
Adem, kan……

Beberapa pasangan muda-mudi tampak keluar masuk area taman hanya untuk mengabadikan diri di tempat-tempat ikonik di sekitar istana. Membuatku merasa tak sendirian. Aku memang sengaja berlama-lama di Padang Maziah demi menunggu matahari tergelincir dari titik tertingginya, berhubung tujuanku berikutnya adalah tempat terbuka yang letaknya persis di pantai utara Malaysia.

Ah rezeqi memang tak kemana, tak pernah menyangka aku bisa menjelajah hingga panturanya Malaysia….Tak pernah terfikirkan sebelumnya.

Hmmhh….Ngemeng-ngemeng, duduk di taman yang sejuk seperti itu membuat mataku menjadi berat demi menahan kantuk……#butuhsandarannih….Pohon mana pohon.

Kisah Selanjutnya—->

Tertambat di Pasar Kedai Payang

<—-Kisah Sebelumnya

I’m not from India, I’m from Iran”, begitulah ucapan gemulai pejalan pria tetangga bunk bed menjawab pertanyaanku.

Do you know where is a middle eastern salon near here?. I think I need a salon for relaxation”, dia tetiba memberikan pertanyaan kepada resepsionis sekaligus si empunya hotel.

Aku tertawa dalam hati menemukan adegan “lucu”pagi itu, percakapan ringan sebelum aku beranjak melakukan eksplorasi Kuala Terengganu untuk pertama kali semenjak tiba.

Aku bergegas menuruni tangga untuk keluar dari The Space Inn, menyusuri Jalan Engku Pengiran Anom 2, menuju utara, mengulang kembali jalur awal ketika menuju penginapan. Tentu aku kembali merunut Jalan Air Jernih, berjumpa lagi perempatan dimana Politektik Kuala Terengganu menjadi tengara selain Menara PMINT serta menapaki ulang Jalan Masjid Abidin hingga tiba kembali di sisi timur Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.

Sisi timur Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.
Deretan konter tiket penjualan Bus Antar Negara Bagian.
Nah ini dia….Pohon aja “dibajuin”……(gambar akhirnya menyusul tampil karena permintaan teh Uchi…..Hahahaha).

Hanya saja, dua ratus meter sebelum tiba di terminal bus itu, aku terpesona dengan seni yarn bomb-ing yang menyematkan rajutan warna-warni benang pada deretan pohon di salah satu sisi trotoar Jalan Masjid Abidin, tepat di sisi barat PB Square. Membuat suasana kota menjadi lebih hidup.

Setiba di terminal bus, aku langsung berjibaku mencari tiket Bus Antar Negara Bagian untuk pergi menuju Kuala Lumpur esok lusa.

Yang lebih murah lagi ada lagi, Pak Cik?”, selorohku pada seorang penjaga konter tiket Bus Arwana.

Manè adè ….Cukup 43 Ringgit sahajè lah….ini paling murah”.

Okelah, saya ambil satu, Pak Cik….Buat tanggal 31”.

Beberapa menit lalu, aku telah mengamankan satu tiket menuju Kuala Lumpur, kini aku sedikit lebih tenang untuk mulai menjelajah destinasi pertama.

Yupsz, aku mau ke pasar rakyatnya Kuala Terengganu.

Pasar rakyat ini jauhnya hanya satu kilometer dari Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu, jadi kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Aku perlahan menikmati keramaian di sekitar Jalan Kampung Daik, di bawah naungan koridor beratap di sepanjang trotoarnya, sungguh jalur yang nyaman untuk berjalan kaki. Langkahku pun harus berbelok tepat di depan kantor Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota yang warnanya identik dengan kantor-kantor pemadam kebakaran di Jakarta, merah menyala.

Kini aku merasa enggan untuk terus mengayunkah langkah gegara panas menyengatnya surya pada jalur di depanku yang sudah tak berpelindung. Akhirnya, aku memutuskan rehat sejenak di ujung koridor beratap, duduk di bangku beton, menunggu naungan awan melintas menutupi sengatan surya.

Kantor pemadam kebakaran Kuala Terengganu.

Beberapa saat menunggu sambil menikmati lalu lalang warga lokal, awan itu pun hadir, kini jalanan tak menyengat lagi, aku segera mengayunkan langkah cepat menyusuri ruas Jalan Sultan Zainal Abidin. Akhirnya, dua ratus meter di depan, aku tiba di Pasar Kedai Payang yang mulai ramai.

Pasar Kedai Payang memang tampak memamerkan keciamikan, konon bangunan berusia dua tahun itu berfungsi menggantikan bangunan lama yang sudah purna tugas.

Deretan tenda beratapkan kain putih tampak memanjang menyejajari muka pasar, memisahkan area parkir dengan area perniagaan. Tenda-tenda besar itu menunjukkan bahwa luasnya bagian dalam pasar tak cukup untuk memfasilitasi ramainya perniagaan di pusat kota Kuala Terengganu itu.

Kini aku sudah memasuki bagian dalam pasar yang sangat ramai, sekat-sekat kios bermotifkan bata merah masih tampak baru, gang-gang tampak penuh dengan lalu lalang para pengunjung. Beberapa badut dan penjual perlengkapan hewan peliharaan tampak menjejal di beberapa pojok kios penjualan songket, batik, kerajinan tangan dan jajanan khas Terengganu. Sementara di area belakang, nampak disediakan area khusus untuk deretan kios kuliner dengan menu andalan Nasi Dagang, Laksa, Nasi Minyak dan beberapa makanan khas lainnya.

Pasar Kedai Payang tampak belakang.
Bagian depan pasar.
Suasana dalam pasar.
Deretan kios pakaian.
Kios-kios kuliner di belakang pasar.
Yuk, nikmati dulu keindahan Sungai Terengganu!.

Aku terus saja meneruskan langkah hingga sampai di halaman belakang. Rupanya pasar ini tepat terletak di pinggiran Sungai Terengganu yang sangat bersih. Tampak Bot Penambang berhilir mudik memobilisasi warga Terengganu dari satu titik tepian ke tepian lain. Bot Penambang yang diandalkan sebagai taksi air kota tampak mengoriginalkan suasana Terengganu pagi itu.

Keindahan hamparan Sungai Terengganu akhirnya mulai membuatku jatuh cinta pada kota ini dan berhasil menjinakkanku untuk sekedar berlama-lama menikmati tiupan sepoi-sepoi angin semilir di sebuah gazebo beton yang merupakan bagian dari fasilitas umum milik Pasar Kedai Payang.

Ga usah buru-buru, Donny….Duduk dan nikmatilah”.

Kisah Selanjutnya—->