Lima Menit yang Membahagiakan di Masjid Kristal

 

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir pukul lima sore….

Aku masih menebak-nebak, siapakah gerangan, satu dari tiga pengemudi yang akan menjalankan trip terakhir Bas KITē laluan C02. Mereka sedang asyik bersenda gurau dan berbincang akrab di kedai kopi pojok terminal.

Aku terus mengamati dari bangku tunggu di belakang antrian Bas KITē hingga akhirnya satu dari mereka beranjak dari tempat duduknya, menuju bus dan kemudian menyalakan mesin untuk memanaskannya sebelum memulai perjalanan.

Oh, dia orangnya”, aku menjentikkan jari.

Dengan cepat aku mencegatnya. “Pak Cik,  apakah Masjid Kristal akan terlihat dari jalan yang akan dilewati bus ini?”, aku bahkan juga mencegatnya dengan sebuah pertanyaan konyol.

Tak tampak masjid tuh dari jalan…kenapē?”, dia tampak heran dengan pertanyaan yang kulontarkan.

Jika tak kelihatan, saya tidak jadi ikut naik bus terakhir ini, Pak Cik”, aku mengernyitkan dahi.

Mau melawat ke Masjid Kristal?”

Iya, Pak Cik”.

Kamu bisa ikut bas nih, nanti sayē tunggu lima menit untuk melawat sekejap ke Masjid Kristal. Bagaimanē?”.

Terimakasih. Baik saya ikut Pak Cik”.

Negosiasi antara turis dan pengemudi bus kota usai sudah. Kini aku punya kesempatan walau tak lama untuk mengunjungi salah satu masjid terindah di Asia bahkan dunia itu.

Tepat pukul lima sore….

Aku melompat menaiki Bas KITē dari pintu depan. Menyerahkan ongkos sebesar 3 Ringgit ke pengemudi dan mulai mengambil tempat duduk. Sementara itu, Bas KITē perlahan-lahan mulai meninggalkan Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.

Walau tujuanku ada di barat, tetapi kali ini Bas KITē terlebih dahulu berjalan ke timur, mengambil beberapa penumpang di Shahbandar dan Hotel Grand Continental, baru kemudian berputar di Bulatan Batu Bersurat Kuala Terengganu, dan baru kemudian menujulah Bas KITē ke barat untuk menggapai tujuan yang kuinginkan, yaitu Masjid Kristal.

Bulatan Batu Bersurat Kuala Terengganu, di pusat pertemuan empat ruas jalan, yaitu Jalan Sultan Ismail, Jalan Sultan Mahmud, Jalan Sultan Zainal Abidin dan Jalan Sultan Sulaiman.
Suasana di Jalan Air Jernih sore itu.
Perpustakaan Awam Negeri Terengganu terlihat dari Jalan Tengku Mizan.
Pasar Raya Besar Mydin terlihat dari Jalan Tengku Mizan

Perlahan tapi konsisten, Bas KITē melaju di sepanjang sisi selatan Sungai Terengganu dan mendekat ke tujuan. Kini bus mulai melaju di atas jembatan penghubung Pulau Wan Man. Usai melintas jembatan itu, aku dihadapkan pada sebuah gerbang besar di muka Taman Tamadun Islam.

Taman Tamadun Islam adalah daya tarik penting di pulau buatan itu. Inilah theme park pertama di Malaysia yang memadukan konsep agama dan pariwisata, tentu Masjid Kristal menjadi  salah satu bagian pentingnya. Sepanjang perjalanan melintas Taman Tamadun Islam, pengemudi Bas KITē menjelaskan bahwa di taman ini tersimpan replika-replika struktur Islam terbaik dari seluruh dunia seperti Taj Mahal, Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin, dan Dome of the Rock, hanya saja aku tak punya waktu lagi untuk mengunjunginya.

Masjid Kristal sudah dekat….Sayē akan berhenti dan tunggu kamu lima minit sahaje…Jika sudah selesai, kitē berangkat lagi”, pengemudi itu berbicara kepadaku sambil fokus di belakang kemudi.

Baik, Pak Cik”, aku girang menjawab.

Bus perlahan melambat dan memasuki sebuah lahan parkir yang luas. Aku masih belum menyadari jika tempat ini adalah pemberhentian untuk destinasi wisata religi Masjid Kristal.

Masjid Kristal ada di sebelah sanē”, pengemudi itu menunjuk ke sebuah arah.

Baik, Pak Cik”, aku bergegas bangkit dan turun dari bus.

Hitungan mundur lima menit sudah dimulai”, aku membatin, jantungku berdetak lebih cepat. Tak terpikirkan cara lain, kecuali berlari sekencang mungkin ke arah masjid.

Semakin jauh berlari, muka Masjid Kristal sudah terlihat dalam pandangan. Dan usai berlari melewati seorang pemuda lokal yang sedang sibuk mendokumentasikan masjid dengan tripodnya, aku mendadak berhenti.

Bisa tolong ambil foto, bang?”, aku meyodorkan Canon EOSku sembari melempar senyum.

Tanpa bercakap apapun, pemuda itu balik melempar senyum dan mengambil kameraku. Untuk beberapa saat, agendanya sedikit terganggu dengan ulahku yang kampungan itu.

Cekrek….

Usai mengucapkan terimakasih kepadanya, aku kembali berlari menuju masjid. Dalam satu menit aku pun tiba. Menghiraukan keramaian apapun, aku lebih memilih berdiri terpaku memperhatikan masjid yang sebagian besar bahannya terdiri dari baja dan kaca itu.

Aku terus menikmati masjid berkapasitas  1.500 jama’ah itu dari tepian Sungai Terengganu. Perpaduan warna hitam dan putih, menjadikan masjid berusia 13 tahun itu sangat anggun nan mempesona mata. Inilah masjid ‘pintar‘ pertama di Terengganu, keberadaan infrastruktur IT yang terintegrasi memungkinkan jama’ah bisa mengakses internet untuk membaca Al-Quran elektronik.

Masjid Kristal tampak depan.
Masjid Kristal tampak samping.
Sungai Terengganu yang indah.

Lima menit yang sangat berharga, tak menyangka bahwa dengan keterbatasan waktu, aku masih diperkenankan untuk mengunjungi Masjid Kristal.

Empat menit sudah berlalu….

Satu menit terakhir akan kugunakan untuk berlari kembali menuju Bas KITē. Aku tak mau pengemudi itu meninggalkanku dan membuatku semakin susah mendapatkan kendaraan umum untuk pulang menuju penginapan.

Kelegaan itu membuncah ketika Bas KITē masih berhenti dengan suara mesin yang langsam dan pengemudinya jelas melihat ke arahku sambil melambaikan tangan sebagai penanda bagiku untuk mempercepat lari.

Hufffttt….Capek, Pak Cik”, aku melompat dari pintu depan.

Hahahaha….Bagaimanē, elok kah Masjid Kristal tu?”, dia tertawa sembari pelan menginjak gas dan membiarkan bus melaju pelan.

Bagus banget, Pak Cik”, aku terengah duduk di kursi paling depan sisi kiri.

Saatnya pulang….

Petualanganku hari itu telah usai….

Esok hari aku akan melakukan perjalanan darat nan panjang menuju Kuala Lumpur.

Kisah Selanjutnya—->

Lengah Melintas Pantai Batu Burok

<—-Kisah Sebelumnya

Kutempelkan access card untuk membuka gerbang penginapan yang tak berpenjaga.  Suasana jalanan telah ramai dengan kendaraan, senin pagi di Kuala Terengganu telah menggeliat.

Aku melangkah cepat tanpa menikmati keadaan sekitar, Ini kali keempat aku melewati jalanan yang sama selama dua hari di Kuala Terengganu. Beberapa waktu setelahnya, tanpa terasa aku sudah tenggelam di bawah kaki-kaki raksasa Paya Bunga Square.

Paya Bunga Square tampak tengah berbenah, petugas-petugas taman kota tampak sibuk di sekitar kendaraan bak terbuka yang terparkir dan mengangkut dahan-dahan pohon dari sekitar. Tampak beberapa dari petugas sibuk memotong dahan-dahan pokok yang bisa membahayakan para pengguna jalanan.

Aku menyelinap pada sebuah gang untuk menembus ke Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu. Sesampainya di terminal, aku bergegas menemui salah satu pengemudi Bas KITē yang tampak bersantai pada sebuah kedai kopi pojok terminal dengan sisa separuh batang sigaret di tangan kanannya.

Bas ke Pantai Batu Burok berangkat jam berapa, Pak Cik?”, aku melontarkan pertanyaan  setelah berada di dekatnya.

Pukul 11, bas sebelah kanan, bang”, dia menunjuk salah satu Bas KITē yang sedang terparkir.

Terimakasih, Pak Cik”, aku pergi dan tak mau mengganggu waktu mengopinya.

Masih ada waktu seperempat jam lagi sebelum Bas KITē berangkat. Aku memilih duduk di sebuah bangku beton di sisi utara terminal. Aku kembali mengatur ulang rencana perjalanan karena aku telah tertinggal trip pertama Bas KITē akibat kemalasanku untuk keluar dari penginapan lebih pagi.

Harus ada satu destinasi yang dikorbankan”, aku menghela nafas panjang. “Masjid Kristal”, aku menyebut destinasi yang dimaksud.

Selamat pagi, bang….Mau cobē tèksi”, seorang pengemudi taksi tiba-tiba sudah duduk di kananku. “Mau melawat kemanē, bang?”, percakapan yang lebih serius pun dimulai.

Pantai Batu Burok, Pak Cik….Tapi saya naik Bas KITē saja….Hari ini saya akan mencoba naik Bas KITē berkeliling Terengganu”, aku menjawab gamblang tanpa basa-basi.

Mungkin besok sayē  bisa antar abang pusing-pusing Terengganu….Tak mahal lah”, dia tak menyerah begitu saja.

Besok saya sudah balik ke KL, Pak Cik”, aku kembali menutup peluang.

Oh, Ok….Tak apē lah, bang”, akhirnya dia memilih mengeluarkan sigaretnya, menyulut dan menghisapnya serta memulai percakapan lain.

Kami terasa akrab, berbicara sembarang hal mengenai aktivitasnya sebagai pengemudi taksi di Terengganu hingga dugaan salahnya yang mengira aku adalah seorang TKA asal Indonesia yang bekerja di Kuala Lumpur.

Percakapan sepuluh menit itu usai ketika pengemudi Bas KITē melambaikan tangan kepadaku sebagai penanda bus akan memulai perjalanan.

Aku melompat ke dalam Bas KITē dan dalam sekejap langsung terkagum dengan interior bus kota itu. Cerminan budaya dan corak Terengganu terejawantahkan dalam ukiran pada bangku bus yang membuatnya tampak elegan.

Melompat dari pintu depan, aku bertanya kepada pengemudi perihal ongkos.

Pantai Batu Burok….Berapa, Pak Cik?”, aku mulai membuka dompet yang kusimpan di folding bag.

“3 Ringgit sahajē lah

Usai menyerahkan tiga lembar Ringgit warna biru, aku mengambil tempat duduk di bangku paling depan, aku bermaksud memohon sebuah permintaan kepada pengemudi karena perbincanganku dengannnya saat coffee time belumlah tuntas.

Tolong turunkan saya di Pantai Batu Burok, Pak Cik!”, aku sedari awal menanggulangi kebablasan untuk berhenti. Itu karena aku tak tahu bagaimana aturan naik dan turun ketika menggunakan jasa Bas KITē, bisa saja bus kota ini memperbolehkan penumpangnya turun atau naik di sembarang tempat.

Dekat lah….”, dia menjawab singkat sembari sibuk menerima ongkos dari penumpang lokal yang naik.

Setelah semua siap, Bas KITē mulai melakukan perjalanan. Saatnya menikmati perjalanan keliling kota. Dan saatnya bagiku untuk menangkap pemandangan mengesankan melalui bangku belakang. Yups, aku berpindah posisi duduk.

Setelah kemarin aku menikmati keindahan kota dengan seharian berjalan kaki. Kini mataku akan disuguhkan scene cepat pemandangan Terengganu. Baiklah, mari kusuguhkan pemandangan itu:

TD 1303 perusahaan penyewaan virtual office di Jalan Sultan Zainal Abidin.
Pemeriksaan dokumen kendaraan oleh Jabatan Pengangkutan Jalan (JPJ)/ Departemen Transportasi Jalan Malaysia di Jalan Persinggahan.
Menyusuri tepian pantai di sepanjang Jalan Persinggahan.
Persimpangan tiga jalan, yaitu Jalan Kelab Kerajaan, Jalan Pantai Batu Burok dan Jalan Persinggahan
Kuala Terengganu Hockey Stadium di Jalan Kelab Kerajaan.

Seharusnya aku bersiap diri usai melintas Kuala Terengganu Hockey Stadium karena Pantai Batu Burok berada di sekitar area itu. Tetapi aku masih saja menikmati pemandangan di atas laju Bas KITē karena aku sudah berpesan pada pengemudi untuk menurunkanku di Pantai Batu Burok.

Beberapa menit kemudian aku merasa janggal karena Bas KITē tak lagi berada di sekitar pantai. “Sepertinya pengemudi melupakan pesanku”, aku menyimpulkan.

Benar adanya, tetiba Bas KITē telah merapat di sebuah masjid apung. Aku tahu masjid itu, tak lain lagi itulah Masjid Tengku Tengah Zaharah. “Aku terlewat, aku harus turun di sini”, aku akhirnya memutuskan.

Nasi telah menjadi bubur, aku melewatkan satu destinasi penting. Terbatasnya waktu eksplorasi, kini aku berfokus menikmati keindahan Masjid Tengku Tengah Zaharah saja.

Aku pun mulai melarutkan diri ke dalam keindahan arsitektur masjid unik itu, satu jam lamanya aku menikmati keagungannya hingga aku menyadari sesuatu. “Sepertinya itu suara debur ombak”, aku segera keluar masjid dan mendekati arah suara.

Melangkah menerobos hutan Rhu*1), aku tiba di tepian pantai. “Great….Tuhan memberiku kesempatan lain untuk menikmati pantai di Terengganu”. Ini memang bukan Pantai Batu Burok, tetapi pantai di timur Masjid Tengku Tengah Zaharah ini terlihat lebih alami tanpa unsur sentuhan manusia.

Berbeda dengan Pantai batu Burok yang sejatinya telah terselip aroma bisnis. Berbagai kegiatan pengunjung seperti bermain layang-layang, berkuda, berkendara ATV ataupun berdirinya berbagai kedai-kedai kuliner yang menjual es krim goreng, nasi dagang ataupun menu andalan Terengganu seperti keropok lekor menjadi sesuatu yang sedikit mengurangi kealamian bentangan pantai itu. Pantai Batu Burok memang menjadi destinasi pilihan warga Terengganu saat libur akhir pekan tiba, bahkan tak sedikit warga dari luar Terengganu hadir di tempat itu sekedar untuk bersantai.

Tak khayal pantai paling bersih di Terengganu itu dikelola dengan serius oleh pemerintah kota. Bagi kamu penggemar kuliner, datanglah setiap Jum’at sore untuk menikmati pembukaan kedai-kedai kuliner lokal di pantai itu.

Tapi aku telah melupakan hingar bingar Pantai Batu Burok, di depanku kini terbentang sebuah pantai, letak persisnya adalah di sebelah selatan Pantai Batu Burok. Sebuah pantai nan tenang tanpa pengunjung. Begitu indahnya hamparan air laut berwarna biru kehijauan berpadu dengan bentangan pasir putih dengan batas pokok-pokok Rhu yang tinggi menghijau.

Keren kan?
Duduk dan tenang sejenak.

Sejenak aku akan menikmati sepoi-sepoi angin Laut China Selatan dengan duduk diatas dahan Rhu yang roboh….Terimakasih Tuhan, Engkau telah memberikan gantinya…..

Keterangan kata:

Rhu*1) : Pohon cemara laut atau pepohonan casuarina

Kisah Selanjutnya—->

Tertambat Sejenak di Lorong Kenangan Payang

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menikmati keanggunan Terengganu Drawbridge, aku terduduk di sebuah Perhentian Bas Kite. Keberadaan halte bus kota di Dataran Shahbandar menunjukkan bahwa hamparan Pesisir Payang ini adalah nadi ekonomi serta tujuan pariwisata Terengganu.

Genap enam jam sudah, aku telah mengeksplorasi tempat-tempat yang tepat untuk dikenal oleh para pendatang.

Berkali-kali aku meneguk air mineral kemasan untuk melawan dehidrasi ketika semakin banyak warga lokal yang mendatangi Pesisir Payang. Oh, justru aku akan meninggalkan pesisir saat suasana mulai ramai. Mungkin matahari mulai jatuh dan suasana akan segera sejuk yang membuat tempat ini menjadi ramai.

Aku kembali mengukur Jalan Sultan Zainal Abidin dengan tapak kaki menuju barat, memintas Pejabat Pos Besar Kuala Terengganu di tikungan utama jalan itu, melalui kembali kaki Bukit Puteri yang berhasil menanamkan rasa penasaran dalam hati, melintas cepat Pasar Kedai Payang yang beberapa jam lalu kunikmati, menghindar cepat dari kepulan debu Projek Kerajaan Persekutuan dalam menyempurnakan Pasar Kedai Payang sisi barat  dan tiba di persimpangan tepat di sisi Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota.

Hmhhh….Lebih baik mencari jalan lain”, aku bergumam sejenak dalam hati. Mungkin itulah cara terbaik untuk bisa mengeksplore khasanah kota lebih banyak. Adalah Jalan Kampung Cina yang bertekstur serupa dengan jalanan depan Pasar Kedai Payang, beton tebal bermotifkan pavling block merah muda yang akhirnya aku pilih.

Aku baru sadar bahwa lancarnya arus di sekitar Pesisir Payang dan Kampung Cina dipengaruhi oleh keberadaan gedung parkir lima lantai tepat di pertigaan emas itu. Sesuai tradisi masyarakat Tionghoa, maka sepanjang Jalan Kampung Cina dijejali dengan kompleks ruko serta kios niaga. Semakin ke barat, kuperhatikan bangunan-bangunan tua khas Tionghoa tampak mendominasi.

Kali ini, aku berencana menghabiskan sore dengan menyusuri jalan-jalan kota menuju penginapan, tentunya dengan jalur yang berbeda dari jalur keberangkatan pagi tadi. Berjalan di sepanjang Jalan Kampung Cina membuat perutku semakin lapar. Aroma khas masakan Tionghoa menyeruak menusuk indra penciuman yang tak pernah bosan menghisapnya. Teras deretan ruko dua lantai tampak berbatasan langsung dengan jalan raya sehingga kendaraan yang melintas hanya berjalan lambat untuk menjaga keselamatan para pejalan kaki.

Langkahku mendadak terhenti karena penampakan sebuah gang penuh cita rasa seni. Aku tepat berdiri terpaku di depannya. Sementara yang terlihat di dalam sana adalah susunan payung warna-warni yang tersusun rapi sebagai atap gang sepanjang empat puluh meter itu .

Lorong  Kenangan Payang”, aku membaca tajuk gang dalam hati. “Berarti ada sejarah di sini”, aku mulai menyimpulkan.

Aku di depan lorong nih….
Dua dari tujuh tokoh Tionghoa yang diabadikan di sepanjang lorong.
Tampilan dari ujung lorong.

Aku mulai memasuki mulut gang perlahan. Tatapanku secara otomatis menengok ke kiri. Berjajar relief tujuh tokoh pemimpin masyarakat Tionghoa yang konon berkhidmat pada Kesultanan Terengganu. Secara berurutan tersebutlah nama Dato’ Tan Eng Ann (pernah menjabat sebagai Pengerusi MCA Terengganu), Dato’ Toh Seng Chong (pernah menjabat sebagai Exco Kerajaan Negeri), Jang Chow Thye, SMT (pernah menjabat sebagai Ahli Dewan Kerajaan Malaysia), Dato’ Tok Teng Sai (pernah menjabat sebagai Terengganu MCA State Chairman), Senator Dato’ Ir. Wong Foon Meng (pernah menjabat sebagai Timbalan Yang Dipertuan Dewan Negara), YB Toh Chin Yaw (pernah menjabat sebagai State Executive Councillor) dan Tan Sri Dato’ Lau Yin Pin (pernah menjabat sebagai Ahli Dewan Negara).

Sedangkan lukisan-lukisan mural menempati sisa hamparan tembok di sepanjang lorong. Lukisan-lukisan itu menggambarkan kekayaan kisah Kuala Terengganu yang berjuluk Bandaraya Warisan Pesisir Air. Oleh karenanya mural-mural bertema lautan sangat kental dalam lorong ini.

Sebetulnya berteduh di dalam gang selebar tiga setengah meter ini sungguh sangat nyaman di tengah suasana sekitar yang masih saja menyisakan panas walaupun matahari sudah semakin tergelincir di barat. Hanya saja waktuku tentu tak banyak, aku harus segera melangkah menelusuri sudut-sudut lain kota sebelum matahari benar-benar tenggelam.

Maka keluarlah aku dari lorong yang juga dikenal dengan nama Payang Memory Lane itu. Oh ya, sebetulnya masih ada lorong-lorong lain yang tentu aku tak bisa mengunjunginya satu per satu. Adalah Turtle Alley yang menceritakan usaha konservasi penyu di Terengganu, beberapa lorong lainnya bernama Eco Lane, Seven Wonders Alley dan Lorong Haji Awang Besar.

Yuk ikuti saja langkahku….Bakal ketemu apa lagi ya di Kuala Terengganu?.

Kisah Selanjutnya—->

Tukang Foto Dadakan di Terengganu Drawbridge

<—-Kisah Sebelumnya

Mataku semakin berat, imbas terlalu lama duduk di bawah sebuah pohon, tentu masih di dalam kompleks Padang Maziah. Sesekali nada bising klakson kendaraan memberikan nadi pada taman istana yang sepi itu. Tetapi, nalarku masih saja mengatakan “tidak”, ketika niatan hati membujuknya untuk segera beranjak menuju tepian pantai.

Apa boleh buat, mataku lebih memilih melanjutkan kantuknya, “Siapa juga yang mau menjadi gosong karena siraman panas matahari”, nalarku bersikukuh untuk bertahan beberapa saat lagi dalam kesejukan dan keindahan Padang Maziah. Karenanya, aku semakin mantab saja menyandarkan badan ke sebuah dinding beton yang berfungsi sebagai pot raksasa dalam taman istana itu. Baru kali ini aku bisa duduk bersantai ria di sebuah taman di negeri seberang.

Jeda kerjapan mata semakin rapat ketika matahari perlahan tergelencir ke barat. Hampir setengah tiga sore, akhirnya kuputuskan untuk bangkit dan melangkah lagi.

Aku kembali menyusuri jalanan empat lajur dua arah menuju barat. Di depan sana tampak gapura besar kota. Melalui sisi kiri, perlahan tapi pasti aku semakin mendekatinya. Gapura kota nan gagah, mengangkangi Jalan Sultan Zainal Abidin yang melajur di bawahnya.

Daulat Tuanku – Allah Peliharakan – Sultan dan Sultanah Terengganu”, begitulah kalimat tiga baris yang terpampang di atasnya. “Islami banget Terengganu ini”, aku membatin pelan sembari berdiri mematung memandangi kalimat itu dari bawahnya.

Selepas gapura, hanya tampak deretan ruko empat lantai memanjang menyejajari jalanan di sisi kanan, sedangkan di sisi kiri diakuisisi oleh area hijau menghampar bertajuk Dataran Shahbandar. Adalah kompleks taman komunitas yang dipadu dengan gathering & events venue yang biasanya akan ramai di momen-momen penting seperti ramadhan, tahun baru dan hari-hari libur nasional.

Dataran Shahbandar sendiri mencakup area sepuluh hektar dengan tiga bagian utama, yaitu taman, plaza dan dermaga. Secara kasat mata aku bisa memperkirakan bahwa luasan taman mendominasi hingga 60% dari keseluruhan area. Sedangkan plaza yang digunakan untuk area tenda, car boot sale atau food truck mengambil porsi 30%, sedangkan sisanya difungsikan sebagai Shahbandar Jetty yaitu dermaga kayu yang digunakan untuk terminal transportasi menuju Pulau Redang yang berjarak 40 kilometer ke arah lepas pantai.

Aku berjalan santai melewati jalur pedestrian di tengah taman yang rimbun untuk menggapai area plaza. Plaza yang luas tetapi sepi itu berhiaskan signboad berbunyi “Bandaraya Warisan Pesisir Air”. Esok lusa tempat ini pasti akan dipenuhi lautan manusia demi merayakan pergantian tahun. Sedangkan pada saat yang bersamaan, aku akan berada di Kuala Lumpur.

Taman @ Dataran Shahbandar.
Plaza @ Dataran Shahbandar.

Sedangkan focal point dari perayaan tahun baru esok lusa berada pada selarik jembatan ikonik yang berada di sisi kanan kompleks Dataran Shahbandar. Adalah Terengganu Drawbridge yang telah menjadi gerbang laut Kuala Terengganu. Jembatan angkat ini membentang sempurna menghubungkan Kampung Seberang Takir di utara jembatan dan Kampung Ladang Padang Cicar di selatannya.

Inilah jembatan angkat pertama di Malaysia, bahkan di Asia Tenggara yang baru berusia 2 tahun. Jadi aku masih sempat menikmati wajah gresnya sore itu. Dengan panjang lebih dari 600 meter, jembatan itu gagah memagari Kuala Terengganu dari luasnya Laut China Selatan.

Dan perlu kamu ketahui bahwa kesemua kompleks Terengganu Drawbridge, Dataran Shahbandar dan Pasar Kedai Payang ini diikat dalam satu kawasan pengelolaan berjuluk Pesisir Payang.

Kini aku sudah berada di tepian pantai dan berusaha mengambil potret terbaik dari Terengganu Drawbridge. Di lain sisi, kerap sekali warga lokal berdatangan untuk mengabadikan diri di berbagai spot Pesisir Payang. Bahkan aku sesekali memurahkan hati menjadi juru foto dadakan untuk beberapa keluarga yang ingin mengabadikan seluruh anggotanya dalam satu gambar. Tentu, aku merasa senang karena bisa berkenalan dengan banyak keluarga yang sangat ramah dan bahkan tak ragu mengajakku bercakap ria untuk beberapa saat setelah mereka mengetahui bahwa aku berasal dari Indonesia. Tentunya, logat bicaraku mudah sekali ditebak oleh mereka. Dalam percakapan itu, beberapa diantara mereka memberikan banyak referensi perihal tempat wisata yang harus dikunjungi di Kuala Terengganu.

Boleh dikata bahwa soreku kala itu habis kugunakan untuk bercengkerama dengan warga lokal. Di bagian akhir sesi, aku memutuskan untuk menyegerakan diri mendekati Terengganu Drawbridge dan alhasil aku berhasil menikmati keindahan arsitektur itu dari jarak seratus meter.

Terengganu Drawbridge.

Di sekitar viewpoint Terengganu Drawbridge, tampak lima pemuda Malaysia keturunan India sangat sibuk. Aku pun memberanikan diri mendekati mereka.

Hi, saya bisa bantu fotokan, supaya semua bisa masuk dalam satu foto”, aku menawarkan diri dengan senyuman kecil.

Boleh lah….Trimakasēh. Sebentar sayè atur dulu setelan lensa nih”, seorang dari mereka mendekatiku dan sibuk mengatur settingan kamera, sesekali dia mengintip jembatan ikonik itu dari lubang kameranya. “Sudēh siap”, dia menyerahkannya padaku.

Untuk beberapa saat aku mengatur posisi mereka, menukar posisi yang berpostur pendek dengan yang lebih tinggi, menyuruh ke kanan dan kekiri, serta meminta beberapa gaya. Beberapa foto kuperlihatkan pada si empunya kamera hingga dia menyatakan cukup.

Daaaan sebagai upahnya….Mereka ganti memotoku….Siap-siap, cekrekkkk…..taraaaaaaaa……..

aku tuh….wkwkwk.

Kisah Selanjutnya—->

Tertambat di Pasar Kedai Payang

<—-Kisah Sebelumnya

I’m not from India, I’m from Iran”, begitulah ucapan gemulai pejalan pria tetangga bunk bed menjawab pertanyaanku.

Do you know where is a middle eastern salon near here?. I think I need a salon for relaxation”, dia tetiba memberikan pertanyaan kepada resepsionis sekaligus si empunya hotel.

Aku tertawa dalam hati menemukan adegan “lucu”pagi itu, percakapan ringan sebelum aku beranjak melakukan eksplorasi Kuala Terengganu untuk pertama kali semenjak tiba.

Aku bergegas menuruni tangga untuk keluar dari The Space Inn, menyusuri Jalan Engku Pengiran Anom 2, menuju utara, mengulang kembali jalur awal ketika menuju penginapan. Tentu aku kembali merunut Jalan Air Jernih, berjumpa lagi perempatan dimana Politektik Kuala Terengganu menjadi tengara selain Menara PMINT serta menapaki ulang Jalan Masjid Abidin hingga tiba kembali di sisi timur Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.

Sisi timur Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.
Deretan konter tiket penjualan Bus Antar Negara Bagian.
Nah ini dia….Pohon aja “dibajuin”……(gambar akhirnya menyusul tampil karena permintaan teh Uchi…..Hahahaha).

Hanya saja, dua ratus meter sebelum tiba di terminal bus itu, aku terpesona dengan seni yarn bomb-ing yang menyematkan rajutan warna-warni benang pada deretan pohon di salah satu sisi trotoar Jalan Masjid Abidin, tepat di sisi barat PB Square. Membuat suasana kota menjadi lebih hidup.

Setiba di terminal bus, aku langsung berjibaku mencari tiket Bus Antar Negara Bagian untuk pergi menuju Kuala Lumpur esok lusa.

Yang lebih murah lagi ada lagi, Pak Cik?”, selorohku pada seorang penjaga konter tiket Bus Arwana.

Manè adè ….Cukup 43 Ringgit sahajè lah….ini paling murah”.

Okelah, saya ambil satu, Pak Cik….Buat tanggal 31”.

Beberapa menit lalu, aku telah mengamankan satu tiket menuju Kuala Lumpur, kini aku sedikit lebih tenang untuk mulai menjelajah destinasi pertama.

Yupsz, aku mau ke pasar rakyatnya Kuala Terengganu.

Pasar rakyat ini jauhnya hanya satu kilometer dari Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu, jadi kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Aku perlahan menikmati keramaian di sekitar Jalan Kampung Daik, di bawah naungan koridor beratap di sepanjang trotoarnya, sungguh jalur yang nyaman untuk berjalan kaki. Langkahku pun harus berbelok tepat di depan kantor Balai Bomba dan Penyelamat Jalan Kota yang warnanya identik dengan kantor-kantor pemadam kebakaran di Jakarta, merah menyala.

Kini aku merasa enggan untuk terus mengayunkah langkah gegara panas menyengatnya surya pada jalur di depanku yang sudah tak berpelindung. Akhirnya, aku memutuskan rehat sejenak di ujung koridor beratap, duduk di bangku beton, menunggu naungan awan melintas menutupi sengatan surya.

Kantor pemadam kebakaran Kuala Terengganu.

Beberapa saat menunggu sambil menikmati lalu lalang warga lokal, awan itu pun hadir, kini jalanan tak menyengat lagi, aku segera mengayunkan langkah cepat menyusuri ruas Jalan Sultan Zainal Abidin. Akhirnya, dua ratus meter di depan, aku tiba di Pasar Kedai Payang yang mulai ramai.

Pasar Kedai Payang memang tampak memamerkan keciamikan, konon bangunan berusia dua tahun itu berfungsi menggantikan bangunan lama yang sudah purna tugas.

Deretan tenda beratapkan kain putih tampak memanjang menyejajari muka pasar, memisahkan area parkir dengan area perniagaan. Tenda-tenda besar itu menunjukkan bahwa luasnya bagian dalam pasar tak cukup untuk memfasilitasi ramainya perniagaan di pusat kota Kuala Terengganu itu.

Kini aku sudah memasuki bagian dalam pasar yang sangat ramai, sekat-sekat kios bermotifkan bata merah masih tampak baru, gang-gang tampak penuh dengan lalu lalang para pengunjung. Beberapa badut dan penjual perlengkapan hewan peliharaan tampak menjejal di beberapa pojok kios penjualan songket, batik, kerajinan tangan dan jajanan khas Terengganu. Sementara di area belakang, nampak disediakan area khusus untuk deretan kios kuliner dengan menu andalan Nasi Dagang, Laksa, Nasi Minyak dan beberapa makanan khas lainnya.

Pasar Kedai Payang tampak belakang.
Bagian depan pasar.
Suasana dalam pasar.
Deretan kios pakaian.
Kios-kios kuliner di belakang pasar.
Yuk, nikmati dulu keindahan Sungai Terengganu!.

Aku terus saja meneruskan langkah hingga sampai di halaman belakang. Rupanya pasar ini tepat terletak di pinggiran Sungai Terengganu yang sangat bersih. Tampak Bot Penambang berhilir mudik memobilisasi warga Terengganu dari satu titik tepian ke tepian lain. Bot Penambang yang diandalkan sebagai taksi air kota tampak mengoriginalkan suasana Terengganu pagi itu.

Keindahan hamparan Sungai Terengganu akhirnya mulai membuatku jatuh cinta pada kota ini dan berhasil menjinakkanku untuk sekedar berlama-lama menikmati tiupan sepoi-sepoi angin semilir di sebuah gazebo beton yang merupakan bagian dari fasilitas umum milik Pasar Kedai Payang.

Ga usah buru-buru, Donny….Duduk dan nikmatilah”.

Kisah Selanjutnya—->