Hampir pukul lima sore….
Aku masih menebak-nebak, siapakah gerangan, satu dari tiga pengemudi yang akan menjalankan trip terakhir Bas KITē laluan C02. Mereka sedang asyik bersenda gurau dan berbincang akrab di kedai kopi pojok terminal.
Aku terus mengamati dari bangku tunggu di belakang antrian Bas KITē hingga akhirnya satu dari mereka beranjak dari tempat duduknya, menuju bus dan kemudian menyalakan mesin untuk memanaskannya sebelum memulai perjalanan.
“Oh, dia orangnya”, aku menjentikkan jari.
Dengan cepat aku mencegatnya. “Pak Cik, apakah Masjid Kristal akan terlihat dari jalan yang akan dilewati bus ini?”, aku bahkan juga mencegatnya dengan sebuah pertanyaan konyol.
“Tak tampak masjid tuh dari jalan…kenapē?”, dia tampak heran dengan pertanyaan yang kulontarkan.
“Jika tak kelihatan, saya tidak jadi ikut naik bus terakhir ini, Pak Cik”, aku mengernyitkan dahi.
“Mau melawat ke Masjid Kristal?”
“Iya, Pak Cik”.
“Kamu bisa ikut bas nih, nanti sayē tunggu lima menit untuk melawat sekejap ke Masjid Kristal. Bagaimanē?”.
“Terimakasih. Baik saya ikut Pak Cik”.
Negosiasi antara turis dan pengemudi bus kota usai sudah. Kini aku punya kesempatan walau tak lama untuk mengunjungi salah satu masjid terindah di Asia bahkan dunia itu.
Tepat pukul lima sore….
Aku melompat menaiki Bas KITē dari pintu depan. Menyerahkan ongkos sebesar 3 Ringgit ke pengemudi dan mulai mengambil tempat duduk. Sementara itu, Bas KITē perlahan-lahan mulai meninggalkan Hentian Bas Majlis Bandaraya Kuala Terengganu.
Walau tujuanku ada di barat, tetapi kali ini Bas KITē terlebih dahulu berjalan ke timur, mengambil beberapa penumpang di Shahbandar dan Hotel Grand Continental, baru kemudian berputar di Bulatan Batu Bersurat Kuala Terengganu, dan baru kemudian menujulah Bas KITē ke barat untuk menggapai tujuan yang kuinginkan, yaitu Masjid Kristal.




Perlahan tapi konsisten, Bas KITē melaju di sepanjang sisi selatan Sungai Terengganu dan mendekat ke tujuan. Kini bus mulai melaju di atas jembatan penghubung Pulau Wan Man. Usai melintas jembatan itu, aku dihadapkan pada sebuah gerbang besar di muka Taman Tamadun Islam.
Taman Tamadun Islam adalah daya tarik penting di pulau buatan itu. Inilah theme park pertama di Malaysia yang memadukan konsep agama dan pariwisata, tentu Masjid Kristal menjadi salah satu bagian pentingnya. Sepanjang perjalanan melintas Taman Tamadun Islam, pengemudi Bas KITē menjelaskan bahwa di taman ini tersimpan replika-replika struktur Islam terbaik dari seluruh dunia seperti Taj Mahal, Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin, dan Dome of the Rock, hanya saja aku tak punya waktu lagi untuk mengunjunginya.
“Masjid Kristal sudah dekat….Sayē akan berhenti dan tunggu kamu lima minit sahaje…Jika sudah selesai, kitē berangkat lagi”, pengemudi itu berbicara kepadaku sambil fokus di belakang kemudi.
“Baik, Pak Cik”, aku girang menjawab.
Bus perlahan melambat dan memasuki sebuah lahan parkir yang luas. Aku masih belum menyadari jika tempat ini adalah pemberhentian untuk destinasi wisata religi Masjid Kristal.
“Masjid Kristal ada di sebelah sanē”, pengemudi itu menunjuk ke sebuah arah.
“Baik, Pak Cik”, aku bergegas bangkit dan turun dari bus.
“Hitungan mundur lima menit sudah dimulai”, aku membatin, jantungku berdetak lebih cepat. Tak terpikirkan cara lain, kecuali berlari sekencang mungkin ke arah masjid.
Semakin jauh berlari, muka Masjid Kristal sudah terlihat dalam pandangan. Dan usai berlari melewati seorang pemuda lokal yang sedang sibuk mendokumentasikan masjid dengan tripodnya, aku mendadak berhenti.
“Bisa tolong ambil foto, bang?”, aku meyodorkan Canon EOSku sembari melempar senyum.
Tanpa bercakap apapun, pemuda itu balik melempar senyum dan mengambil kameraku. Untuk beberapa saat, agendanya sedikit terganggu dengan ulahku yang kampungan itu.

Usai mengucapkan terimakasih kepadanya, aku kembali berlari menuju masjid. Dalam satu menit aku pun tiba. Menghiraukan keramaian apapun, aku lebih memilih berdiri terpaku memperhatikan masjid yang sebagian besar bahannya terdiri dari baja dan kaca itu.
Aku terus menikmati masjid berkapasitas 1.500 jama’ah itu dari tepian Sungai Terengganu. Perpaduan warna hitam dan putih, menjadikan masjid berusia 13 tahun itu sangat anggun nan mempesona mata. Inilah masjid ‘pintar‘ pertama di Terengganu, keberadaan infrastruktur IT yang terintegrasi memungkinkan jama’ah bisa mengakses internet untuk membaca Al-Quran elektronik.



Lima menit yang sangat berharga, tak menyangka bahwa dengan keterbatasan waktu, aku masih diperkenankan untuk mengunjungi Masjid Kristal.
Empat menit sudah berlalu….
Satu menit terakhir akan kugunakan untuk berlari kembali menuju Bas KITē. Aku tak mau pengemudi itu meninggalkanku dan membuatku semakin susah mendapatkan kendaraan umum untuk pulang menuju penginapan.
Kelegaan itu membuncah ketika Bas KITē masih berhenti dengan suara mesin yang langsam dan pengemudinya jelas melihat ke arahku sambil melambaikan tangan sebagai penanda bagiku untuk mempercepat lari.
“Hufffttt….Capek, Pak Cik”, aku melompat dari pintu depan.
“Hahahaha….Bagaimanē, elok kah Masjid Kristal tu?”, dia tertawa sembari pelan menginjak gas dan membiarkan bus melaju pelan.
“Bagus banget, Pak Cik”, aku terengah duduk di kursi paling depan sisi kiri.
Saatnya pulang….
Petualanganku hari itu telah usai….
Esok hari aku akan melakukan perjalanan darat nan panjang menuju Kuala Lumpur.