Citilink QG 145 dari Semarang (SMG) ke Jakarta (HLP)

<—-Kisah Sebelumnya

Rute penerbangan Citilink QG 145. Sumber: https://flightaware.com/

Titan mentraktirku makan siang sebelum tiba di hotel. Seporsi nasi pecel di dekat SMAN 1 Semarang. Kemudian dia juga membekaliku Bandeng Presto khas Semarang untuk dibawa pulang ke Jakarta. Wah, baik sekali teman saya yang satu ini.

Sebelum benar-benar check-out, Titan yang penasaran tentang bagaimana caraku memilih penginapan murah, ikut bersamaku ke ruangan dormitory. Diperhatikannya lekat-lekat ruangan dormitory beserta kapsul-kapsul tidurnya. “Hebat kamu Don, bisa tidur di kapsul seperti ini”, ungkapnya sambil tersenyum. “Di luar negeri aku juga melakukan hal yang sama, Titan. Itu mengapa aku bisa traveling dengan biaya yang murah”, jawabku sambil berbisik.

Toyota Calya berwarna orange metallic, menjemputku di Sleep & Sleep Capsule. Serentak aku berpamitan dengan Titan untuk meninggalkan Semarang. Terimakasih Titan.

Pukul 15:25 aku sudah tiba di bandara. Tanpa basa-basi dan eksplorasi, aku bergegas menuju ke konter check-in. Aku hanya berjarak empat puluh lima menit dari boarding time. Konter yang tak terlalu ramai membuatku bisa menyelesaikan proses check-in hanya dalam lima belas menit dan akhirnya boarding pass sudah digenggaman….Aman.

Aku terus fokus menuju ke waiting room dengan cepat. Kini aku hanya berjarak tiga puluh menit menuju penerbangan pulang. Dan tepat lima belas menit sebelum boarding, aku sudah mencapai waiting room dan duduk terengah. Tak lama menikmati keelokan ruangan tunggu itu, panggilan dari ground staff untuk bersiap terbang pun menggema. Aku kini bersiap di Gate 3A untuk memasuki kabin pesawat.

Tiket menuju Jakarta.
Interior kabin Citilink QG 145. Terduduk di bangku bernomor 10A.

Kini aku sudah duduk di bangku yang sesuai dengan nomornya di boarding pass. Aku bersiap menuju Halim Perdanakusuma International Airport yang berjarak 394 Km dari Ahmad Yani International Airport. Aku akan mengudara bersama selongsong terbang Airbus A320 dengan ketinggian maksimal 26.000 kaki, dengan kecepatan 520 mph dan waktu tempuh 53 menit.

Selama proses boarding, aku terus menikmati keindahan terminal penumpang baru milik Ahmad Yani International Airport dari jendela pesawat. Tampak pesawat hilir mudik datang dan pergi di sisi kiri pesawat yang kunaiki. Langit tampak mendung, pertanda aku harus siap mengalami sedikit guncangan sesaat setelah take-off nanti.

Waktu yang dinanti tiba, pesawat sudah bersiap di landas pacu dan menunggu izin untuk menggeber mesin jetnya menuju udara. Aku hanya sibuk membaca inflight magazine Linkers milik maskapai Citilink. Perlahan pesawat mulai melaju dan menampilan keseluruhan bentuk bandara dari ujung ke ujung. Cantik nian Ahmad Yani International Airport.

Pesawat ATR milik Wings Air.
Air Asia tujuan manakah itu?.
Bangunan terminal beserta ATC Ahmad Yani International Airport saat take-off.

Sebelum menembus gumpalan awan tebal diatas, penerbangan ini sempat secara cepat menampilkan keindahan pantai utara Semarang. Perpaduan awan gelap dengan sinar matahari berwarna oranye yang menembus sela-sela awan dipadu dengan birunya laut dengan rayapan-rayapan kapal di sekitar pelabuhan…Hmmhh, Semarang yang sangat otentik.

Getaran mulai terasa ketika pesawat ingin menstabilkan ketinggian terbangnya. Tetapi setelahnya langit kembali bersih dan menampakkan keindahan dari ketinggian. Sore itu aku tak mau memejamkan mata dan melewatkan pertunjukan langit yang menakjubkan itu.

Pesisir utara Semarang….Wouww aduhai.
Matahari versi langit dan Matahari versi laut….Indah bukan?.
Pilot sangat mahir menghindari kumpulan awan….Penerbangan yang mulus.

Penerbangan yang benar-benar terasa sangat singkat. Citilink mulai merendahkan diri diatas langit ibukota. Mempertontokan daratan Bekasi yang sangat padat. Beberapa ikon kota tampak jelas terlihat dari atas. Stadion Patriot Candrabhaga yang pernah kusambangi saat pertandingan Piala Presiden antara Bali United dan Semen Padang FC hanya demi melihat sosok Irfan Bachdim lebih dekat.

Sedangkan pemandangan lain adalah jalur LRT yang sedang dibangun di sepanjang ruas tol Cikampek, terlihat sangat elok. Itulah jalur yang kulewati hampir setiap hari sepanjang profesiku menjadi tenaga penjual di Ibukota.

Stadion Patriot Chandrabhaga tampak dari ketinggian.
Konstruksi jalur LRT yang sedang dalam proses pengerjaan.

Citilink QG 145 mendarat di Halim Perdanakusuma International Airport dengan sangat mulus. Seperti biasa penumpang akan turun dan berjalan kali di area apron menuju ke bangunan utama terminal. Aku bergegas menuju conveyor belt untuk mengambil bagasi dan kemudian pulang menggunakan ojek onlie menuju rumah.

Menuruni pesawat di area apron.
Beberapa pemunpang menunggu kehadiran Apron Free Shuttle Bus. Aku lebih memilih berjalan kaki saja.

Pernerbangan indah kesekian kali bersama Citilink. Terimakasih Citilink.

Alternatif untuk tiket pesawat dari Semarang ke Jakarta bisa dicari di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

TAMAT

Kisah Wafatnya Buddha di Pagoda Watugong

<—-Kisah Sebelumnya

Motor bebek itu digeber sekuat tenaga oleh Titan menuju ke selatan kota. 15 kilometer jauhnya, 30 menit lamanya. Katanya aku akan diajak menuju pagoda tertinggi di Indonesia, di daerah Pudakpayung. Hampir jam 12:00, aku dan Titan tiba disana, tepat di tepian Jalan Perintis Kemerdekaan. Memasuki gerbang, baru kusadari bahwa tempat itu adalah sebuah vihara atau kompleks peribadatan umat Buddha, bernama Vihara Buddhagaya Watugong.

Aku melewati sebuah bangunan dengan bentuk atap yang mirip dengan pucuk-pucuk atap di Grand Palace, Bangkok. Jika Grand Palace beratapkan warna emas maka bangunan yang ini berwarnakan merah bata. Bangunan ini bernama Vihara Dhammasala. Aku mulai mengeksplorasinya dari lantai atas yang digunakan sebagai aula serbaguna baru kemudian memasuki ruangan di lantai bawah.

Vihara Dhammasala.
Lantai pertama Vihara Dhammasala untuk ruang peribadatan, berhiaskan patung Buddha berwarna emas.

Meninggalkan Vihara Dhammasala, aku perlahan mendekati bagian utama kedua di vihara ini. Inilah yang dimaksud oleh Titan sedari tadi. Pagoda tujuh tingkat berjuluk Pagoda Avalokitesvara. Avalokitesvara sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sansekerta “Avalokita” yang berarti mendengar ke bawah dan “Isvara” yang bermakna suara. Sedangkan Avalokitesvara dalam bahasa Tiongkok disebut dengan dengan dua kata yaitu “Kwan Im”. Sedangkan “Kwan Im” sendiri adalah perwujudan welas asih dari Buddha.

Oleh karenanya Vihara ini juga dikenal dengan nama Pagoda Dewi Kwan Im. Beberapa khalayak menyebutnya Pagoda Metakaruna atau Pagoda Cinta Kasih karena keberadaannya untuk menghormati figur Kwan Sie Im Po Sat, Sang Dewi Cinta Kasih.

Patung Sidharta Gautama dibawah Pohon Bodhi pohon bodhi berusia 65 tahun.
Pagoda Avalokitesvara menjulang setinggi 45 meter.
Aku dan Titan.
Patung Dewi Kwan Im setinggi 5 meter terletak di dalam pagoda Avalokitesvara.

Selesai mengeliling pagoda Avalokitesvara yang dijaga oleh patung Dewa-Dewi yang diatur mengelilingi setiap sisi di lantai dasar, aku mulai mengeksplorasi bagian pelataran dan taman. Tampak gazebo kembar dengan dua lapis atap yang digunakan oleh para pengunjung untuk duduk dan beristirahat karena kelelahan mengelelingi area vihara yang sangat luas.

Sementara di sisi pelataran lain terdapat Patung Sleeping Buddha (Buddha Parinibbana), mengingatkanku ketika mengunjungi Pha That Luang di Vientiane tepat lima bulan sebelum kunjunganku ke vihara ini. Di sebelah Patung Buddha Tidur, berbaris Tugu Ariya Atthangika Magga yang melambangkan jalan utama berunsur delapan sebagai latihan untuk meraih kebahagiaan tertinggi (Nibbana).

Gazebo di sekitar pagoda.
Buddha Parinibbana yang menggambarkan wafatnya Sang Buddha di antara dua Pohon Sala.

Aku perlahan mulai meninggalkan Vihara Buddhagaya. Tampak pula kegagahan Tugu Ashoka setiinggi 7 meter. Sebuah tugu yang terbuat dari batu utuh dan diujungnya berkepala singa. Makna yang terkandung dari bentuk singa ini adalah sebuas apapun singa, ketika kita tahu karakternya maka akan mudah ditaklukkan.

Dan di bagian akhir aku melewati Gerbang Sanchi dan Monumen Watugong. Gerbang ini merupakan replika dari gapura yang berada di depan Stupa Sanchi, India. Gerbang yang dibangun sebagai simbol penghormatan saat masuk bangunan vihara.

Sedangkan Monumen Watugong dibangun untuk menunjukkan asal mula nama area “Watugong”. Nama yang diambil dari sebuah batu alam asli berbentuk gong.

Hampir selesai berkunjung.
Tugu Ashoka untuk mengenang Raja Ashoka dari India yang taat menganut ajaran Buddha.
Monumen Watugong dan Gerbang Sanchi.

Kunjunganku di Semarang telah benar-benar usai. Titan akan mengantarkanku menuju Sleep & Sleep Capsule untuk mengambil backpack dan perlengkapan. Setelahnya aku akan menuju Ahmad Yani International Airport dan kembali ke Jakarta.

Terimakasih Semarang.

Kisah Selanjutnya—->

Kampung Batik Kampung Laut

<—-Kisah Sebelumnya

Tak lama setelah memasuki kamar bernomor 523 di The Azana Hotel Airport, aku bergegas memasuki kamar mandi, kemudian keluar dengan pakaian santai. Dari raut muka, aku tahu pak Muchlis sudah dilanda kelaparan. Karenanya sedari tadi, dia terus mengemil kacang tanah kemasan yang dibawanya dari tempat rehearsal.

Ayo pak, kita jalan, cari makan!”, sahutku sembari mempersiapkan Canon EOS M10.

Makan kemana kita, mas Donny?”, dia pun nampak belum punya pilihan.

Mau gak pak ke Kampung Laut? Makan seafood yuk!”, ajakku kepadanya. Diam-diam, aku sudah menemukan restoran ini melalui browsing semenjak meninggalkan bandara tadi sore.

Jauh ga, mas Donny?”, tanyanya. Mungkin dia enggan karena setahuku passion dia tak jauh-jauh dari naik gunung, melakukan eksplorasi kota membuatnya tersambar malas duluan.

Engga pak, cuma enam kilometer kok, paling seperempat jam, pak yuk kita cabut! Keburu kemalaman.“, sahutku.

Aku manut ae lah, Mas Donny. Aku sing pesen Grab, yo!”, ayuk lah berangkat.

Tak lama, Honda Jazz hitam menjemput di lobby, kami pun meluncur ke daerah Tawangsari. Yang kufahami, ini adalah jalur yang sama persis ketika aku meninggalkan Ahmad Yani International Airport menuju The Azana Hotel Airport. Kami melewati Jalan Yos Sudarso lalu berbelok ke kiri mengikuti Jalan Puri Anjasmoro ke arah bandara. Hanya saja kami akan berhenti sekitar dua kilometer sebelum benar-benar tiba di bandara.

Sampailah kami di Restoran Kampung Laut.

Bersama Pak Muchlis di Kampung Laut.

Begitu sampai di tujuan, aku menjadi lupa lapar. Pemandangan seisi restoran membuat hasrat eksplorasiku kambuh. Aku minta Pak Muchlis untuk mencari bangku, kulihat sejenak menu di sebuah meja, kemudian aku minta dipesankan nasi putih, cumi asam manis dan es kelapa muda.

Aku keliling bentar ya pak, nanti kabari aku duduk dimananya ya!”, pintaku sedikit bergegas.

Aku duduk di tengah situ aja ya mas, tak tunggu!”, dia menunjuk meja kecil di ruang terbuka di sisi barat saung utama.

Baik pak”, aku menutup percakapan cepat kami.

Aku meninggalkannya untuk menelusuri beberapa spot di restoran yang didesain mengapung diatas danau buatan itu. Aku mulai memasuki bagian pertamanya yang berwujud delapan saung utama, empat di sisi kiri dan sisanya di sisi kanan. Meja-meja memanjang dengan puluhan kursi nampak disusun di bawah saung-saung itu, sebagai tanda bahwa saung tersebut digunakan untuk melayani pengunjung dalam jumlah banyak. Tampaknya pak Muchlis sudah tepat memilih bangku kecil di pelataran luar.

Jajaran saung dengan kolam di hadapannya.
Meja makan panjang di dalam saung….Cocok untuk makan bersama sekantor.

Sementara di bagian ujung barat, tampak anjungan panjang menuju ke sebuah nameboard “Kampung Laut” yang sengaja didesain untuk tempat berfoto para pengunjung seusai makan. Konsep yang menarik anak-anak muda untuk berkunjung ke sini.

Spot foto terbaik di Kampung Laut.

Tak lama kemudian, aku segera bergabung dengan Pak Muchlis untuk bersantap malam setelah dia mengirimkan pesan singkat “Makanan sudah siap, mas Donny. Ayo kesini!”.

Yuk mari, makan duyuuu….

Meja makan outdoor.
Menu kami: Kangkung, cumi, ikan, es kelapa muda dan jus alpukat….Standard….Hahahaha.

Seusai makan, aku berbincang perihal rehearsal siang tadi yang dilakukan Pak Muchlis tanpa bantuanku. Apakah ada yang kurang, apa yang bisa dipersiapkan lagi sebelum pelatihan esok hari. “Wes beres kabeh mas Donny, ndak perlu khawatir. Yang penting besok kita datang setengah jam sebelum acara yo!”, ucapnya singakat dan meyakinkan.

Sebelum menutup makan malam di Restoran Kampung Laut, kami berdiri di depan stage mungil dan menikmati beberapa lagu yang dibawakan oleh seorang biduan cantik. Wah kalau ada waktu banyak, pasti aku ikut nyayi tuh bersamanya, sayang dia sedang menyanyikan beberapa lagu request dari pengunjung restoran.

Lagu apa ya enaknya kalau duet sama si mbak…..”Yellow” atau “Tiwas Tresno”.

Tepat pukul 21:30, kami undur diri dan segera menuju ke hotel untuk beristirahat. Dengan sigap Pak Muchlis mendatangkan taksi online berwujud Wuling Confero berwarna putih. Inilah pertama kalinya aku merasakan sensasi menunggang kuda besi buatan Tiongkok itu. Hmmhhh….Cukup lega. “Ini pakai mesin Chevrolet lho mas”, ungkap si pengemudi membanggakan mobilnya. Woow…..Kalau mendengar kata “Chevrolet”, bayangan pertama yang muncul di pikirankau adalah si kuning “Bumblebee”.

Eittt  lupa, sebelum benar-benar meninggalkan restoran, buat kamu yang ingin berbelanja batik, disediakan gerai “Kampung Batik” yang menjual batik khas Semarang.

Buat penggemar batik….Silahkan mampir.

Saatnya tidur dan mimpi indah, kawan…….

Mengenal Ahmad Yani International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Free business trip kali ini kumulai dengan sangat mendadak dan berbekal ala kadarnya. Yang terpenting barang kesayangan tak tertinggal….Tak lain adalah Canon EOS M10 warna hitam. Selain perbekalan, itinerary juga tak pernah tersusun sebelum berangkat. Empat hari ke depan aku akan menjadi “Si Bolang” yang bermain sesuka hati.

Ketika Citilink mulai take-off meninggalkan Halim Perdanakusuma International Airport, aku pun tak pernah memikirkan apapun perihal Ahmad Yani International Airport. Memoriku masih sama tentangnya. Sederhana, tak besar, ruang tunggu yang langsung bertatap muka dengan moncong pesawat ketika parkir. Begitulah lembaran ingatan yang tersusun rapi dalam cabinet otakku. Bagaimanapun, beberapa tahun lalu, Ahmad Yani International Airport berperan besar dalam melepas landaskan penerbangan pertama kalinya dalam sejarah hidupku.

Oh ternyata…..

Ini berbeda, sungguh menakjubkan”, gumamku ketika mengintipnya melalui jendela saat QG 144 sedang taxiing menuju apron.

Benar adanya, Ahmad Yani International Airport yang berkode IATA “SRG” ini sudah mentransformasi dirinya menjadi super elegan. Aku diturunkan bersebelahan parkir dengan “Maskapai Singa Merah”. Melangkah dibawah sayap raksasa, tampak bangunan utama terminal menampilkan hamparan jendela kaca yang memamerkan pilar-pilar besar di dalamnya. Cahaya surya tampak menembus sempurna seisi ruangan dalam bangunan berkaca itu.

Mari memasuki bangunan terminal.

Aspal pada jalur kendaraan bandara pun masih terlihat sangat hitam dan halus, pertanda lintasan ini belum lama digunakan. Rambu-rambu yang menempel di aspal masih putih sempurna. Tembok terminal masih berwarna krem menyala.

A. Arrival

Aku memasuki koridor arrival hall menuju ke area baggage claim. Lantai yang masih mengkilat memantulkan cahaya lampu dalam pola yang teratur, ruangan kaca disebelah kiri masih berstatus underconstruction sedangkan sisi kanan koridor sudah beroperasi beberapa toilet, lift, dan musholla. Beberapa rak berisi pot-pot bunga sepatu memperindah sudut-sudut ruangan.

Koridor menuju baggage claim area.
Baggage claim area.

Beberapa konter baggage service milik beberapa maskapai masih tampak tutup, mungkin maskapai yang bersangkutan belum beroperasi di terminal ini.

Setelah melalui baggage claim area, deretan konter penyedia informasi telah dipersiapkan seperti Tourist Information Center, BP3TKI, money changer dan perusahaan persewaan mobil TRAC. Sementara antara bangunan utama dan ruas jalan untuk keluar-masuk bandara dipisahkan oleh hamparan air. Ya, aku kini sedang berada di terminal terapung seluas 7 hektar yang didirikan diatas rawa.

Area pintu keluar diletakkan di bawah sebuah koridor berkanopi dan berangka balok baja  bercat putih. Koridor ini menghubungkan arrival hall dan commercial zone bandara. Keberadaan kolam, umbrella shade dengan kursi-kursi dibawahnya dan taman tertanam pohon bertinggi sedang dengan sebaran berpola menjadikan penampakan area pintu keluar menjadi sangat apik. Di sinilah para penjemput menunggu kedatangan tamu atau sanak saudara mereka yang baru saja mendarat.

Pintu keluar.
Area taman.

Begitu melewati pintu keluar terdapatlah photospot area dengan background presiden Joko Widodo yang sedang mengontel sepeda kebo. Dilanjutkan dengan keberadaan toilet, nursery room, money changer, musholla dan ATM area.

Musholla setelah pintu keluar.
Koridor dengan sederet ATM beberapa bank.

Layar airpot digital clock sudah menunjukkan pukul 17:09, ketika aku memasuki commercial zone. Tampak dua meja customer service dominan hijau diletakkan sejajar dengan exit gate. Sedangkan bangku bangku tunggu berselang-seling warna hitam merah melingkari setiap pilar-pilar utama bangunan terminal serta berjajar di beberapa sisi dinding yang kosong. Beberapa spot foto berada di pojok bangunan, sedangkan departure and arrival flight information LCD menguasai zona tengah sehingga mudah diakses oleh semua penumpang dan pengunjung bandara.

Konter customer service.

Area commercial zone sudah ditempati beberapa brand ternama seperti X-Side Eat, A&W, Kukomart, Bank BNI, Eaten Kopi Tiam dan brand lainnya.

Keluar dari commerzial zone building, aku disambut oleh koridor ganda yang dipisahkan oleh jalur kendaraan roda empat. Ini zona taksi dan drop and pickup zone. Koridor ini tampak rapi dengan tiang tiang bulat dan beratapkan spandek.Sementara di bawah naungan, disusunlah kursi tunggu di sepanjang koridor. Aku sendiri memilih moda transportasi taksi menuju pusat kota, mengingat ini adalah business trip yang semua biayanya ditanggung oleh kantor tempatku bekerja.

B. Departure

Tiga hari berselang, aku menyambangi kembali bandara ini untuk pulang ke ibukota. Taksi online menurunkanku di tempat yang sama ketika aku meninggalkan bandara saat tiba di hari pertama. Aku menginjakkan kaki di drop and pickup zone lalu bergegas mencari check-in area di dalam bangunan terminal.

Tiba di drop and pickup zone.

Memasuki commercial zone, aku terus melaluinya saja, banyak calon penumpang yang nampak bersantai di area ini, baik di area umum atau menyantap makanan di  beberapa coffee shop. Begitu keluar dari commercial zone aku memasuki area beratap transparan bertiang baja dengan dua layar check-in information LCD, sementara di sisi kanan tersaji geladak kayu dengan sejumlah pot palem diatasnya sedangkan bagian lainnya berupa kolam air yang merendam tiang-tiang pancang pondasi terminal sehingga memberikan kesan bahwa ini adalah terimal penumpang terapung….Keren sekali.

Taman dan kolam disisi kanan departure hall.

Di ujung taman dan kolam, aku memasuki sebuah gedung yang berfungsi sebagai check-in area. Seperti pada taman di luarnya, check-in area ini tampak tinggi dan luas. Jajaran konter check-in memanjang hingga bilangan tiga puluh di salah satu sisi hall. Sementara konter ‘Total Baggage Solution” berwarna oranye siap membantu setiap penumpang me-wrapping bagasinya untuk mengamankannya selama proses loading & unloading bagasi ke lambung pesawat.

Check-in area.

Aku bergegas menuju ke waiting room setelah mendapatkan boarding pass, melewati sebuah koridor sempit dengan sisi kiri jendela kaca menghadap taman dan sisi kanan tertutup oleh triplek proyek pengerjaan ruang fungsional. Di ujung koridor, tepat berhadapan dengan iPORT shop, aku dibelokkan ke kiri menuju commercial zone. Beberapa toko pakaian seperti POLO atau coffee shop macam Starbucks ada di area ini.

Commercal zone di departure hall.

Aku mulai memasuki waiting room, berkursi tunggu hijau, berkarpet pola abu-abu, dilengkapi dengan musholla, executive lounge, smoking area, toilet, charging area, LCD TV dan free internet counter. Di beberapa spot disediakan photospot.

Waiting room.
Salah satu spot foto di waiting room.

Dan akhirnya, sore itu aku meninggalkan Ahmad Yani International Airport melalui  gate 2A.  Itulah cerita singkat eksplorasiku mengenai bandara kebanggaan warga Semarang.

Silahkan berkunjung ke Kota Atlas dan nikmati keindahannya.

Kisah Selanjutnya—->

Taksi dari Ahmad Yani International Airport ke Pusat Kota

<—-Kisah Sebelumnya

Perdebatan pilihan itu selesai dengan cepat oleh otoritasku sendiri. “Tak usah taat dalam seni backpacker, Donny. Ini tugas kantor, manfaatkan saja fasilitasnya, naiklah taksi!”, batinku tegas mengalahkan beberapa opsi bodoh yang kadang sporadis muncul dalam sikap dan pilihan.

Dasar, si anak pengiritan”, candaan para kolega kepadaku, begitulah brand yang tersemat. Bagaimana tidak, setiap keluar bandara aku selalu berfikir otomatis bahwa biaya naik bus itu cuma seperempat biaya naik taksi. Jadi aku selalu rela berlama-lama menunggu kedatangan kotak raksasa beroda empat atau enam itu.

Konter Taxi Service di Ahmad Yani International Airport.

Sudah lewat Maghrib….

Telepon terus berdering dari kolegaku yang sedang melakukan sesi rehearsel training di kawasan Bukit Semarang Baru (BSB). Tanpa ragu aku mengangkat smartphone, ternyata dia hanya ingin mengabarkan bahwa aku lebih baik langsung menuju penginapan saja, karena rehearsel akan paripurna dalam lima belas menit lagi.

Lima menit mengantri untuk mendapatkan tiket taxi service seharga Rp. 50.000, aku segera di arahkan menuju sebuah taksi. Seorang pengemudi paruh baya nan sederhana berlari kecil menjemputku. “Assalamu’alaikum, mas. Mandap pundi?”, tanyanya penuh senyum sembari membantu mengangkat kardus di pundak kiri dan dua buah roll up banner ditentengnya di tangan kanan.

Jasa taksi bandara ini dikelola oleh Primkopad (Primer Koperasi Taksi Angkatan Darat) S-16.

Seperti biasa, backpack kesayanganku tetap tak pernah lepas dariku, bersamaku masuk dari pintu depan. Kubaca papan ID Card yang tertempel di dashboard.

Pak Ari, asli mriki pak?”, aku membuka pembicaraan sembari memasang safety belt untuk kemudian meluncur bersama ke hotel.

Wah mboten mas, aku asli pekalongan. Njenengan saking pundi niki wau?”, jawabnya sembari pelan menginjak pedal gas keluar dari area bandara.

Saking Ibu kota pak. Sampun dangu nyambut damel wonten Semarang pak, pripun rame nggih? “, dialog mengalir lancar menghangatkan suasana.

Nembe tigang tahun mas Donny. Sakderengipun, wonten Jakarta, gandeng anak sampun sami mentas, nggih pun, pindah nyambut damel mriki mawon. Caket ngomah”, ucapnya sambil terus ceria mengendalikan taksi putih meninggalkan daerah Tambakharjo.

Tugas kantor nopo pripun niki mas Donny? “, tanyanya menyidik.

Nggih pak, manawi mboten tugas kantor biasanipun pados bus pak. Bandara niki wonten bus ten pusat kuto pak? “, tanyaku mencari referensi.

Oh wonten mas Donny. Wonten BRT (Bus Rapid Transit) Trans Semarang. Mirah kok mas, namung Rp. 3.500, mas”, ungkapnya menjelaskan.

Aku dan Pak Ari.
Jalan Puri Anjasmoro pukul 17:24 WIB.

Lama sekali aku tak merasakan nikmatnya menggunakan jasa taksi bandara. Sehingga waktu 20 menit itu kumanfaatkan sungguh untuk menikmati business trip kali ini….Terimakasih ya kantorku tercinta atas kesempatan ini.

Perlahan taksi berbelok ke kanan, mulai merapat ke Jalan Arteri Yos Sudarso, menuju ke selatan. Aku berpindah dari jalan berpembatas beton yang Nampak masih baru , menuju ke jalan dua jalur di masing-masing ruas, berpembatas setinggi trotoar dan pepohonan rindang di setiap sisi kiri ruasnya.

Dalam dua puluh menit, dengan jarak tempuh enam kilometer aku tiba di The Azana Hotel Airport. Selembar alat tukar bergambar Soekarno dan Hatta kuserahkan kepada pak Ari. Sengaja kulebihkan ongkos perjalanan dan berbagi rezeqi kepadananya….Sadar diri, kalau sedang backpackeran, aku jarang melebihkan ongkos….Hahahaha.

Aku akan menginap dua malam di hotel ini.

Mari kita lihat dalam empat hari kedepan, Semarang punya apa saja….

Kisah Selanjutnya—->

Citilink QG 144 dari Jakarta (HLP) ke Semarang (SRG)

Rute penerbangan QG 144 (sumber: https://flightaware.com/).

Yeaaaa….Aku mendapatkan business trip akhir pekan. Seperti biasa, aku selalu mensiasati tugas kantor untuk tetap bisa menyalurkan hobby andalan….Yes, eksplorasi. Tugas pelatihan Jum’at dan Sabtu, akan kusambung dengan extend hingga Ahad dalam perjalanan gratisan ini.

SEMARANG….

Itulah kota tujuanku kali ini. Halim Perdanakusuma International Airport menjadi titik tolak dan Ahmad Yani International Airport menjadi titik mendaratku.

Bos : “Don, saya belum dapat orang untuk menghandle training di Semarang. Kamu bisa ga ya, kalau akhir pekan ini pergi ke Semarang?. Mendadak sih Don, sorry sebelumnya”.

Aku: “Hhmmhh (pura-pura mikir), boleh lah pak (sok jual mahal, padahal mau bingiiitttzzzz)

Bos: “Kamu berangkat Kamis sore, pulang Sabtu sore, nanti biar tiket diurus orang Marketing Support”.

Aku: “Siap, Pak”.

Setelah pembicaraan selesai, secepat kilat kutelpon staff Marketing Support yang dimaksud.  Aku minta kepulanganku di extend hingga Ahad sore. “Biar akomodasi hari Ahad aku yang tanggung, tapi tiket pulang tetap kantor yang bayar”, seruku padanya yang disusul dengan konfirmasi “OK, Pak Donny”.

Wah senangnya hatiku….Jalan-jalan lageeeeee.

Pagi itu, aku masih bekerja seperti biasa hingga tengah hari. Setelah menaruh beat pop hitam kesayangan di rumah, aku berangkat menuju Halim. Tak jauh, hanya 25 menit dari landmark tempat tinggalku, Terminal Bus Kampung Rambutan.

Aku tiba di bandara sangat mepet dengan boarding time, membuatku berfokus pada memotong panjangnya antrian di konter check-in. Entah mengapa, para calon penumpang yang mengantri di depanku selalu memanggil teman-temannya ketika sudah berada di depan konter, membuat jengkel karena banyak penumpang yang mengantri dibelakangku bisa otomatis menyodok antrian….Parah.

Aku mendapatkan tiket tepat sepuluh menit sebelum boarding time. Itulah….Aku tak lagi berfikir mendokumentasikan setiap sesi di Halim Perdanakusuma

Alhamdulillah, selamat dari keterlambatan.

Aku memasuki gate 6 dengan nafas cepat karena khawatir tertinggal penerbangan. Tak sempat mendinginkan keringat, panggilan penerbangan itu tiba. Tanpa sempat duduk, aku segera bersiap diri menuju Semarang sore itu.

Waiting room Halim Perdanakusuma International Airport.
Mengantri boarding di gate 6.

Citilink menjadi daftar maskapai ke-12 dari 28 maskapai yang pernah kunaiki. Bangga bisa menikmati penerbangan maskapai berwarna korporat hijau itu. Warna yang melambangkan tiga makna yaitu young-fun-dynamic. Inilah anak dari maskapai kenamaan Garuda Indonesia. Dan yang lebih membanggakan adalah terpilihnya Citilink dalam daftar The 20 Best Budget Airline for 2019 versi Skytrax.

Pemandangan keren, ya. Hanya perlu berjalan kaki dari gate 6 menuju ke pesawat.
Wooow….tepat di kaki pesawat.
Lihat ACnya, hingga berkabut begitu….Dingiiiiin.

Seharusnya aku duduk di bangku 23A, persis di window seat.

Seorang Ibu: “Mas, bangkunya tuker ya. Saya pusing kalau tidak dekat jendela”.

Aku: “ Oh silahkan Ibu, tidak apa-apa”, hmmmh perlahan kumasukkan Canon EOS M10 ku, tak ada gunanya kupegang, aku tak bakalan bisa meng-capture indahnya bumi dari bangku bernomor 23C.

Duduk di aisle seat.
Linkers….Inflight magazine milik Citilink.

Perjalanan menempuh jarak 400 km ini ditempuh dalam waktu 50 menit. Jadi ini adalah penerbangan singkat yang sangat tanggung untuk dibuat tidur. Lebih baik, aku menyusun itinerary dadakan dari beberapa referensi yang kudapat serta menyusun anggaran perjalanan.

Sore itu perjalanan sungguh berat karena sepanjang pantai utara Jawa penuh dengan awan yang membuat penerbangan penuh turbulensi. Kufikir semua penumpang terdiam karena memikirkan hal yang sama….Hahaha. Sementara seorang pramugara terus berpegangan pada bagasi kabin untuk menahannya terlempar karena turbulensi. Senang tapi menegangkan. Aku sendiri selalu berserah diri kepada Yang Maha Kuasa ketika melakukan penerbangan.

Begitu leganya, ketika suara lembut pramugari mengarahkan segenap penumpang untuk bersiap mendarat. Memasuki kota Semarang, cuaca berubah cerah dan pesawat mulai langsir dengan lembut dan akhirnya….Touchdown Semarang.

Oh itu, bentuk bangunan baru Ahmad Yani International Airport.
Terimakasih Citilink.

Pelatihan yang ditugaskan oleh kantor masih berlangsung esok hari dan rehearsel pelatihan sudah diwakilkan oleh rekanku yang datang dari kantor cabang Surabaya sejak pagi tadi. Dia memilih menggunakan kereta dari Surabaya menuju Semarang. Jadi, aku tak perlu terburu waktu menuju ke hotel setelah mendarat.

Seperti biasa, aku akan mengeksplore gerbang wisata Kota Semarang ini…..Yes, Ahmad Yani International Airport.

Kuy lah….

Kisah Selanjutnya—->

Citilink QG 145 from Semarang (SMG) to Jakarta (HLP)

Citilink QG 145 flight route. Source: https://flightaware.com/

Titan treated me to lunch before arriving at hotel. A portion of Pecel 1* rice near Public Senior High School 1 Semarang. Then he also supplied me with typical Semarang Presto 2* Milkfish to take back to Jakarta. Wow, he was my kind friend.

Before actually checking out, Titan, who was curious about how I chose cheap lodging, he came with me to dormitory room. He paid close attention to dormitory room and its sleeping capsules. “Great Donny, can you sleep in a capsule like this?“, he said with a smile. “When abroad, I did the same thing, Titan. That’s why I can travel at a low cost”, I replied in a whisper.

Toyota Calya in orange metallic color, picked me up at Sleep & Sleep Capsule. Simultaneously, I said goodbye to Titan to leave Semarang. Thank you Titan.

On 15:25 hours, I arrived at the airport. Without further ado and exploration, I hurried over to check-in counter. I was only forty-five minutes from boarding time. Less crowded counters allowed me to finish check-in process in fifteen minutes and finally my boarding pass was in my hand….Nice.

I continued to focus on heading to waiting room quickly. I was only thirty minutes away from flight. And exactly fifteen minutes before boarding, I reached waiting room and sat down with gasping. Not long, after enjoying the beauty of waiting room, A call from ground staff to got ready to fly echoed. Now, I was preparing at Gate 3A to enter aircraft cabin.

Ticket to Jakarta.
Citilink QG 145’s cabin interior. Sat on seat number 10A.

Now I was sitting on seat which matched with its number on boarding pass. I was getting ready to go to Halim Perdanakusuma International Airport, which was 394 Km from Ahmad Yani International Airport. I would fly with Airbus A320’s flying casings with a maximum altitude of 26,000 feet, with a speed of 520 mph and a travel time of 53 minutes.

During boarding process, I continued to enjoy the beauty of Ahmad Yani International Airport’s new passenger terminal from plane window. Seen some planes were back and forth coming and going on left side of plane which I was riding. The sky was cloudy, a sign that I should be prepared for a little turbulence right after take-off.

The time when had been waiting arrived, the plane was already getting ready on runway and waiting for permission to spur its jet engine into air. I was just busy in reading Citilink’s inflight magazine, i.e Linkers. Plane slowly began to advance and showing overall shape of airport from end to end. Beautiful of Ahmad Yani International Airport.

Wings Air’s ATR aircraft.
Which destination was that Air Asia to ?.
Terminal building along with ATC of Ahmad Yani International Airport during take-off.

Before breaking through thick clouds above, this flight quickly showed the beauty of Semarang’s north coast. Combination of dark clouds with orange sunlight which penetrated between clouds, combined with blue sea with the creeping of ships around port….Hmmhh, a very authentic Semarang.

The vibrations began to be felt when plane wanted to stabilize its flying altitude. But after that, sky returned clean and revealed its beauty from a height. That afternoon, I didn’t want to close my eyes and mised that amazing sky show.

Semarang north coast….Wouww, awesome.
The sun version of sky and the sun version of sea …. Beautiful isn’t it ?.
Pilots were very adept in dodging clouds….Smooth flight.

Flight incredibly felt short. Citilink began to get down above capital sky. Land of Bekasi was very dense. Several city icons were clearly visible from above. Patriot Candrabhaga Stadium, which I visited during President Cup match between Bali United and Semen Padang FC, just for seeing Irfan Bachdim’s figure closer.

While another view was LRT line which was being built along Cikampek toll road, it looked very beautiful. That was the path which almost I have taken every day throughout my profession as a salesman in capital city.

Patriot Chandrabhaga Stadium was visible from a height.
LRT line which was currently under construction.

Citilink QG 145 landed at Halim Perdanakusuma International Airport very smoothly. As usual, passengers would get off and walked at apron area to main terminal building. I rushed to conveyor belt to pick up luggage and then went home using an online motorcycle taxi.

Get off the plane in apron area.
Several visitors were waiting for Apron Free Shuttle Bus. I prefered to walk..

Many beautiful flights with Citilink. Thank you Citilink.

Alternatives for flight tickets from Semarang to Jakarta can be searched on 12Go or the following link: https://12go.asia/?z=3283832

The Story of Buddha’s Death at Watugong Pagoda

The moped was lauched with all its might by Titan heading south of the city. 15 kilometers away, 30 minutes in length. He said that I would be brought to the highest pagoda in Indonesia, in Pudakpayung area. Almost 12:00 hours, Titan and I arrived there, right on the edge of Perintis Kemerdekaan Street. Entering the gate, I just realized that it was a Buddhist monastery or worship complex, named Vihara Buddhagaya Watugong.

I passed a building with a roof shape which was similar to roof top at Grand Palace, Bangkok. If Grand Palace has a golden roof, this building will be brick red. This building is called Dhammasala Vihara. I started exploring it from top floor which was used as a multipurpose hall then entered its room in downstairs.

Dhammasala Vihara.
The first floor of Dhammasala Vihara is a praying room, decorated with a golden Buddha statue.

Leaving Dhammasala Vihara, I slowly approached second main section of monastery. This was what Titan meant earlier. The seven-story pagoda was with its nicknamed as Avalokitesvara Pagoda. Avalokitesvara itself comes from Sanskrit word “Avalokita” which means to hear down and “Isvara” which means sound. Meanwhile, Avalokitesvara in Chinese language is called by two words, namely “Kwan Im”. Meanwhile “Kwan Im” itself is a manifestation of compassion from Buddha.

Therefore, this temple is also known as Goddess Kwan Im Pagoda. Some people call it as Metakaruna Pagoda or Love Pagoda because of its existence to honor Kwan Sie Im Po Sat figure, Goddess of Love.

Sidharta Gautama statue under Bodhi Tree, a 65 year old Bodhi Tree.
Avalokitesvara Pagoda rises 45 meters in high.
Me dan Titan.
The 5 meter high statue of Goddess Kwan Im is located inside Avalokitesvara Pagoda.

Having finished walking around Avalokitesvara Pagoda which was guarded by God statues which arranged around each side on ground floor, I started exploring its courtyard and garden. There were twin gazebos with two layers of roofs which were used by visitors to sit and rest because they were tired after exploring vast monastery area.

Meanwhile, on other side of its courtyard was Sleeping Buddha Statue (Buddha Parinibbana), which reminded me when visiting Pha That Luang in Vientiane exactly five months before my visitation to this monastery. Next to Sleeping Buddha Statue, lined Ariya Atthangika Magga Monument, which represented eightfold main path as a practice for attaining highest happiness (Nibbana).

Gazebo around pagoda.
Buddha Parinibbana which describes passing of Buddha between two Sala Trees.

I slowly started to leave Buddhagaya Vihara. 7 meters tall Ashoka Monument was also visible. A monument made from solid stone and had lion head. A meaning which is contained in this lion head is that no matter how wild a lion is, when we know its character, it will be easy to conquer.

And at the end, I passed Sanchi Gate and Watugong Monument. This gate is a replica of a gate in front of Sanchi Stupa at India. The gate was built as a symbol of respect when entering temple building.

Meanwhile, Watugong Monument was built to show origin of area name, i.e “Watugong”. The name was taken from an original natural stone in the form of a gong (Javanese musical instrument).

Almost finished in visiting.
Ashoka Monument to commemorate King Ashoka from India who obey in practicing Buddhism.
Watugong Monument and Sanchi Gate.

My visitation in Semarang had really ended. Titan would take me to Sleep & Sleep Capsule to pick up my backpack and supplies. After that I would go to Ahmad Yani International Airport and returned to Jakarta.

Thank you Semarang.

Kampung Laut’s Kampung Batik

Shortly after entering room number 523 at The Azana Hotel Airport, I rushed into bathroom, then came out with wearing casual clothes. From his face, I knew that Mr. Muchlis was starving. Because of this, he has been snacking on packaged peanuts which he brought from the rehearsal place.

Come on sir, let’s go, looking for dinner!“, I said while preparing Canon EOS M10.

Where are we going to have dinner, Donny?“, He also seemed to didn’t have choice.

Do you want to go to Kampung Laut or not? Let’s eat seafood!”, I asked him. Secretly, I’ve found this restaurant through browsing since leaving the airport this afternoon.

Is it far, Donny?“, He asked. Maybe he was reluctant because as far as I know his passion is not far from climbing mountains, doing city exploration made him was grabbed by laziness.

No sir, it’s only six kilometers, at most a quarter of an hour, sir, let’s go! Before too late.“, I said.

I agree, Donny. I will order a online taxi”, Let’s go.

Soon, a black Honda Jazz picked up us at the lobby, we drove to Tawangsari area. I understand that this was same route when I left Ahmad Yani International Airport to The Azana Hotel Airport. We passed Yos Sudarso Street then turned left and following Puri Anjasmoro Street towards the airport. It was just that we will stop about two kilometers before actually arriving at the airport.

We arrived at Kampung Laut Restaurant.

Together with Mr. Muchlis in Kampung Laut.

Once arrived at our destination, I forgot to be hungry. Sight of whole restaurant made my exploration desire relapse. I asked Mr. Muchlis to find a seat, I briefly looked at the menu at a table, then I asked him to order white rice, sweet and sour squid and young coconut ice for my dishes.

I’ll walk around for a while, Sir, let me know where we will sit!“, I hurriedly asked.

I’ll sit in the middle, there Donny, I’ll wait!“, He pointed to a small table in open space on west side of main hut.

Yes Sir“, I closed our quick conversation.

I left him to explore some spots in restaurant which is designed to float on artificial lake. I started to enter the first part which was eight main huts, four on left and the rest on right. Elongated tables with dozens of chairs were arranged under huts, as a sign that that huts are used to serve large numbers of visitors. It seemed that Mr. Muchlis was right to chose a small table in outer court.

A row of huts with a pond in front of it.
Long dining table in the hut….Perfect for eating together with all office-mate.

Meanwhile, at western end, there is a long platform leading to a “Kampung Laut” nameboard which is designed to be a spot to take pictures for visitors after eating. The concept which attracts young people to visit here.

The best photo spot in Kampung Laut.

Not long after, I immediately joined with Mr. Muchlis for dinner after he sent a short message “Foods are ready, Donny. Come here!“.

Come on, dinner….

Outdoor dining table.
Our menu: water spinach, squids, fishes, coconut ice and avocado juice….It was simple menu… .Hahahaha.

After eating, I talked about rehearsal this afternoon which Mr. Muchlis did without my help. Were there anything missing?, what can be prepared again before tomorrow’s training?. “All were done, Donny, you don’t need to worry. The important thing is tomorrow we come half an hour before the event start, Okay! “, He concisely and convincingly said .

Before closing our dinner at Kampung Laut Restaurant, we stood in front of a small stage and enjoyed several songs which sung by a beautiful singer. Wow, if there were a lot of time, I would definitely sing with her. But seemed, She was singing a few requested songs from restaurant guests.

What was the best song if I had a duet with her?… .”Yellow” or “Tiwas Tresno”.

At exactly 21:30 hours, we withdrew and immediately headed to hotel to rest. Mr. Muchlis swiftly brought in an online taxi with Wuling Confero brand. This was first time for me to feel sensation of riding a China car.
Hmmhhh….It was quite relieved. “This uses a Chevrolet engine, for your information, Sir“, said the driver, proud to his car. Woow….When I hear a “Chevrolet” word, the first image which comes to my mind is the yellow “Bumblebee”.

Eittt I forgot, before actually leaving the restaurant, for you who wanted to shop for “Batik (Javanese clothes)“, there was a “Kampung Batik” outlet that sells Semarang typical batik.

For Batik fans…. Please stop by.

Time for sleeping and got a sweet dream, my friend …….

Exploring Ahmad Yani International Airport

I started this free business trip, very suddenly and equipped myself sufficiently. The most important thing was, my lovely tool wasn’t left behind….None other than black Canon EOS M10. Apart from supplies, an itinerary was never arranged before leaving. In the next four days, I will be an explorer who played as I pleases.

When Citilink started to take-off and leaving Halim Perdanakusuma International Airport, I never thought anything about Ahmad Yani International Airport. My memory is still the same about it. Simple, not big, a waiting room which is directly face to face with plane muzzle when it’s parking. Those are memory sheets which neatly arranged in my brain cabinet. However, several years ago, Ahmad Yani International Airport was playing a role in taking off for the first flight in my life.

Oh apparently…..

It’s different, it’s amazing“, I muttered when I peeked through plane window when Citilink QG 144 was taxiing towards the apron.

It’s true, Ahmad Yani International Airport which have IATA code “SRG“, has transformed itself into a super elegant airport. I was dropped off in parking lot, next to Lion Air plane. Stepping under giant wing, main terminal building looked like a stretch of glass windows which showing off large pillars inside. Solar light appeared to perfectly penetrate the entire room in glass building.

Let’s entering the terminal building.

Asphalt on airport vehicle lane still looked very black and smooth, a sign that this route was recently operated. Road markings which stuck to asphalt were still perfectly white. The terminal wall was still a light beige.

A. Arrival

I entered arrival hall corridor towards baggage claim area. The floor was still shiny and reflected the lights in a regular pattern, glass room on left was still under construction status, while corridor right side had several toilets, lifts and a prayer room in operation. Several shelves containing shoe flower pots were beautify room corners.

Corridor towards baggage claim area.
Baggage claim area.

Some baggage service counters of several airlines still appeared to be closed, maybe the airlines concerned weren’t operating yet at this terminal.

After going through baggage claim area, a row of information provider counters have been prepared, such as Tourist Information Center, BP3TKI, money changers and TRAC car rental companies. Meanwhile, between main building and road for in and out of the airport are separated by a stretch of water. Yes, I was currently in a floating terminal which covering 7 hectares area which was built on a swamp.

The exit area is under a canopy corridor and framed by whitewashed steel beams. This corridor connects arrival hall and commercial zone of airport. The existence of a pool, umbrella shade with chairs under it and a garden planted with medium tall trees with a patterned distribution make exit area appearance is very neat. Here is where the pick-up await their guests arrival or relatives who have just landed.

Exit gate.
Park area.

Once past exit gate, there was a photospot area with background of President Joko Widodo who is riding his onthel bicycle. Followed by existence of toilets, nursery rooms, money changers, prayer rooms and ATM areas.

Musalla after exit gate.
Corridor with a line of ATMs from several banks.

Airport digital clock screen showed 17:09 hours, when I entered commercial zone. Two predominantly green customer service desks appear parallel to exit gate. Meanwhile, black and red waiting benches circle every main pillars in terminal building and several of them line up in several empty walls. Several photo spots are located in building corners, while departure and arrival flight information LCD are in the middle zone so that it is easily accessible to all passengers and visitors.

Customer service counters.

Commercial zone area was already occupied by several well-known brands such as X-Side Eat, A&W, Kukomart, Bank BNI, Eaten Kopi Tiam and other brands.

Exiting commercial zone building, I was greeted by a double corridor separated by a four-wheeled vehicle lane. This is taxi zone and drop and pickup zone. This corridor looks neat with round poles and spandex roofs. Meanwhile, under the shade, waiting chairs are arranged along corridor. I myself chose taxi transportation mode to downtown, considering that this was a business trip which all costs were paid by office where I work.

B. Departure

Three days later, I returned to this airport to return to capital city. Online taxi dropped me off at same place where I left the airport when I arrived on the first day. I set foot in drop and pickup zone then rushed to find check-in area inside of terminal building.

Arrived in drop and pickup zone.

Entering commercial zone, I just continued through it, many prospective passengers seemed to be relaxing in this area, either in public area or eating food at several coffee shops. As soon as I left commercial zone, I entered a transparent roofed area with steel pillars with two LCD check-in information screens, while on right side there was a wooden deck with number of palm pots on it, while the other part was a pool which soaked terminal piles, it was giving a impression that this is a floating passenger terminal …. Very cool.

Garden and pool on right side of departure hall.

At the end of garden and pond, I entered a building which served as a check-in area. As in garden outside, this check-in area looks tall and wide. Thirty check-in counters stretches on a hall side. Meanwhile, “Total Baggage Solution” counter is ready to help each passenger for wrapping their luggage to secure it during loading & unloading process in plane hull.

Check-in area.

I rushed to waiting room after getting my boarding pass, passing through a narrow corridor which in its left side is glass window which facing a garden and the right side is covered by plywood of a functional space project. At the end of corridor, facing iPORT shop, I turned left into commercial zone. Several clothing stores such as POLO or coffee shops like Starbucks are in this area.

Commercal zone in departure hall.

I started to enter waiting room which have green waiting chairs, carpeted in gray patterns, equipped with a prayer room, executive lounge, smoking area, toilet, charging area, LCD TV and free internet counter. In some spots, a photospot was provided.

Waiting room.
One of photo spots in waiting room.

And finally, that afternoon I left Ahmad Yani International Airport through gate 2A. That was short story of my exploration in an airport which Semarang residents were proud of it.

Let’s visit Atlas City and enjoy its beauty!.