Chorsu Bazaar: Tertegun pada Lapak Kaki Ternak

<—-Kisah Sebelumnya

Dengan tegas, aku mengarahkan langkah menuju Chorsu Bazaar, sebuah pasar tradisional terbesar di Kota Tashkent atau boleh dikatakan sebagai pasar tradisional tertua di kawasan Asia Tengah.

Dari pelataran atas stasiun bawah tanah Chorsu, aku bersusah payah mencari jalur menuju jalan arteri. Aku sepenuhnya paham bahwa Chorsu Bazaar terletak di utara tempatku berdiri dan jalan arteri untuk menujunya berada di sisi barat, itu berarti bahwa aku harus berjalan memutar demi menuju pasar tradisional yang sudah berdiri sejak Abad Pertengahan tersebut.

Maka melangkahlah aku ke barat, melewati jalur kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Jalur itu membawaku melintasi Chorsu Gold Center yang merupakan pusat perdagangan emas terbesar di Tashkent. Sentra emas itu sengaja dibangun oleh pemerintah Uzbekistan untuk melawan dominasi brand perhiasan emas dari luar negeri.

Aku berhenti sejenak di depan sentra emas itu, memperhatikan antrian warga lokal di depan bangunan kecil bertajuk “Bankomat ATM”.

Pasti mereka menarik uang tunai untuk berbelanja emas di sentra emas itu”, aku mengambil kesimpulan cepat.

Chorsu Gold Center.
Toko souvenir.

Sementara itu, membalikkan badan ke arah seberang, aku mendapati sebuah toko besar yang menjual souvenir khas “Negeri Jalan Sutera”. Karpet berpola khas, guci klasik dari berbagai macam bahan dan pernak-pernik lain yang tersusun di etalase dengan mudah bisa dilihat dari luar toko. Tetapi aku toh tetap tak mengindahkan keberadaannya.

Justru aku lebih tertarik pada sebuah lapak tanpa tenda dimana seorang pria paruh baya menjual potongan kaki ternak yang ramai dengan antrian pengunjung. Aku yang beruntung melihat pemandangan itu, memutuskan untuk mengambil foto beberapa momen transaksi jual beli di lapak mungil itu. Untuk beberapa saat, langkahku tersangkut di lapak kaki ternak yang baru pertama kali kulihat dalam hidup.

Hingga akhirnya aku mencukupkan diri mbengambil foto transaksi jual beli ketika si bapak penjual menatap dan tersenyum lebar melihat kehadiranku.

Wonderful, Sir….Thank you for this special moment”, aku bercakap kepadanya yang entah dia paham atau tidak..

Penjual kaki ternak.

Aku berhasil menggapai tepian Saqichmon Ko’chasi*1), lalu tersenyum menatap utara. Jalanan sedang macet-macetnya menjelang pukul sebelas siang. Sepanjang mata memandang, jalan arteri itu dipenuhi oleh brand Chevrolet, compact car varian The New Chevrolet Spark  tampak mendominasi kepadatan jalan. Konon, Chevrolet memang mendominasi pangsa pasar mobil di Uzbekistan.

Di sisi lain, di sepanjang trotoar yang kulintasi, aktivitas perdagangan tepi jalan juga sangat bergairah. Gerobak-gerobak beroda berjajar rapi dan menawarkan berbagai makanan, buah-buahan dan hasil bumi lainnya.

Bahkan beberapa puluh meter kemudian, aku menemukan deretan kedai makan yang telah bergeliat dengan aktivitas memasak. Aku tertegun di satu titik, tempat dimana seorang pria muda sedang mengaduk-aduk nasi di sebuah wajan besar, dia sengaja memasak di atas perapian yang diletakkan di tepian trotoar. Bau rempahnya kuat menusuk indra pencium, otomatis membuatku lapar.

Nasi goreng macam apakah ini?”, aku bertanya dan terkekeh dalam hati.

Tapi belum saatnya untuk makan….Aku harus segera sampai di Chorsu Bazaar”, aku memutuskan untuk menghampiri lagi kedai makan itu setelah mengeksplorasi Chorsu Bazaar.

Saqichmon Ko’chasi yang macet.

Aku meneruskan langkah kaki, melewati area parkir yang sangat luas. Sepertinya itu adalah area parkir khusus untuk pengunjung Chorsu Bazaar, karena aku telah melihat bangunan besar dengan atap sepenuhnya berbentuk kubah warna biru.

Itu pasti Chorsu Bazaar yang sedang kutuju”, aku menatapnya lekat-lekat dari area parkir.

Aku yang sumringah, melangkah lebih cepat demi menggapai gerbang Chorsu Bazaar.

Akhirnya aku sampai……

Aku sendiri tak terburu-buru masuk, aku lebih memilih duduk di pelataran luasnya. Pengelola pasar setempat tampaknya sangat mengerti kebutuhan warga dan wisatawan dengan menyediakan tempat duduk yang nyaman di sekitar pasar.

Aku memilih salah satu bangku beratap dan ternyata betah duduk di bangku itu. Suhu 4oC tak mengalahkan rasa antusiasku untuk menikmati kesibukan di sekitar gerbang masuk. Chorsu Bazaar jika dilihat sepintas lalu, lebih tampak seperti sebuah shopping mall yang besih dan bergaya.

Untuk beberapa saat, aku menikmati duduk manisku di bangku mungil itu.

Hanya saja, karena tak mau didahului siang, aku pun bangkit dan menuju gerbang pasar yang dijaga seorang petugas keamanan yang membawa metal detector.

Tapi entah bagaimana, aku bisa lolos dari pemeriksaannya. Tapi toh aku tak khawatir jika sewaktu-waktu harus diperiksa ketika sudah berada di dalam pasar. Aku melenggang masuk melewati gerbang yang penuh dengan hiasan ucapan selamat tahun baru dengan warna dominan biru. Tampak beberapa pohon natal di tempatkan di anak tangga teratas di sebelah pintu pasar. Yang perlu kamu tahu bahwa 5% penduduk Uzbekistan beragama Kristen Orthodox.

Aku sendiri tak langsung menaiki tangga menuju ke ruangan utama pasar, melainkan memilih berdiri di dekat pintu gerbang demi mengamati aktivitas sekitar. Mengambil beberapa foto menarik di beberapa titik. Memenuhi memori Canon EOS M10 yang setia menemaniku sejak lima tahun terakhir.

Gerbang Chorsu Bazaar.
Nah….Setelah berjibaku, sampai juga di Chorsu Bazaar.

Aktivitas tak normalku membuat security yang berjaga di gerbang lebih intens mengamatiku. Aku hanya berharap dia tak menaruh kecurigaan apapun. Bersyukurnya, segenap waktuku di sekitar gerbang tak ditegur olehnya. Aku dibiarkannya begitu saja. Mungkin dia memahami bahwa aku hanyalah seorang turis yang sedang menikmati suasana saja.

Cukup dengan beberapa gambar yang kudapat, aku pun mulai menaiki anak tangga demi anak tangga untuk memasuki ruangan pasar.

Di anak tangga teratas aku dihadapkan pada akses masuk tak berdaun pintu, melainkan hanya tirai plastik yang digunakan untuk mencegah udara dingin memasuki ruangan dalam pasar.

Aku segera menyingkap tirai itu, masuk ke ruangan pasar, dan terkesima dengan segenap isinya….

Air Arabia G9 105 dari Sharjah (SHJ) ke Bahrain (BAH)

<—-Kisah Sebelumnya

Demi melawan rasa haus yang tak tertahankan, aku memejamkan mata pada bangku tengah di waiting room Gate 20. Dan tanpa kuduga aku bisa terlelap selama hampir dua jam dalam posisi terduduk sambil memeluk backpack.

Aku terbangun dengan sendirinya di saat waiting room benar-benar penuh oleh penumpang. Mataku perlahan terbuka dan bibirku benar-benar kering saking hausnya.

Beruntung jeda waktu antara bangun dan pengumuman boarding tidaklah lama. Langit-langit bandara pun dipenuhi pengumuman tersebut dalam sekejap. Aku pun berdiri dan bersiap untuk memasuki kabin pesawat.

Melalui  aerobridge aku melangkah gontai, berjejal dengan segenap penumpang dalam antrian panjang. Tak berapa lama, aku tiba di pintu depan kabin. Setelah memastikan ke pramugari yang berdiri di pintu bahwa aku telah memasuki pesawat yang tepat, maka aku pun mulai mencari tempat duduk.

Tetapi begitu tiba di pertengahan kabin, seorang India menunjuk ke arah kamera yang kukalungkan di leher.

Where is your lens cap?”, dia menunjuk ke kameraku

“What…….”, aku melihat ke arah Canon EOS M10 ku

You wright….It loss”, aku berbalik bada dan menyapukan pandangan ke arah belakang

“Oh thank you, Ms….”, aku menarik nafas lega ketika seorang pramugari menghampiriku sembari mengulurkan tangannya yang membawa penutup lensa kameraku yang jatuh.

“Be careful, brother”, Pria muda India itu tersenyum kepadaku.

Sure, thank you….”, aku membalas senyumnya

Dengan cepat aku menemukan bangku, aku segera menyimpan backpack di bagasi atas dan segera membawa folding bagku untuk duduk di bangku bernomor 8D yang merupakan aisle seat di bagian depan.

Tetapi sungguh beruntung bahwa kedua bangku di sebelah kananku kosong sehingga aku bisa berpindah duduk di window seat. Aku pun bersiap untuk melakukan penerbangan menuju Manama-Bahrain.

Penumpang telah siap di bangkunya masing-masing, taxiing menuju runway pun dilakukan, usai meminta izin kepada ATC, pesawat pun melaju di atas runway dan akhirnya airborne di ujung landasan.

Bersiap meninggalkan Sharjah International Airport di Uni Emirat Arab.
Air Arabia, LCC milik Uni Emirat Arab.
Bersiap taxiing.
Terbang di atas Teluk Persia.
Manama tampak dari ketinggian.
Runway Bahrain International Airport.
Suasana apron Bahrain International Airport.

Karena Muscat International Airport terletak di tepian Teluk Persia, maka pemandangan utama pertama yang kulihat adalah birunya perairan lautan Persia. Aku yang terduduk tepat di sisi mesin sebelah kanan Airbus A320 begitu menikmati penerbangan menembus langit yang biru nan cerah.

Penerbangan selama lima puluh menit itu berlangsung mulus tanpa turbulensi. Sebagian besar porsi waktu penerbangan, aku gunakan untuk membaca inflight magazine Nawras. Air Arabia G9 105 sendiri merupakan penerbangan berbiaya rendah sejauh 500 kilometer dengan kecepatan 600 km/jam.

Penerbangan yang nyaman membuat waktu penerbangan yang kutempuh serasa pendek. Setelah mengudara selama empat puluh lima menit, pesawat mulai merendah. Garis pantai mulai tampak dari ketinggian. Hamparan pesisir berwarna kecoklatan dipadu dengan gedung-gedung pencakar langit di sisi jauh jalur penerbangan menjadi penghias sempurna pada beberapa waktu sebelum mendarat. Salah satu pencakar langit yang paling kukenal adalah The World Trade Center yang memiliki bentuk bak piramida terbelah. Gedung itu tampak jelas dari ketinggian. Membuatku tak sabar untuk segera menujunya setelah mendarat.

Ketidaksabaranku untuk segera tiba di Bahrain akhirnya usai. Air Arabia G9 105 akhirnya mendarat dengan sempurna.

Selamat Datang Manama…..Selamar Datang Bahrain.

Alternatif untuk mencari tiket pesawat dari Sharjah ke Bahrain bisa dicari di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->

Menuju OYO 117 Majestic Hotel: Jalan Tenang nan Menentramkan

<—-Kisah Sebelumnya

Pukul setengah tujuh pagi aku sudah menginjakkan kaki di daerah Ruwi setelah dihantarkan oleh Mwasalat Bus bernomor 1B dari Muscat International Airport.

Menuruni bus, aku tetiba terperangah….

Bagaimana tidak, terminal bus berukuran kecil itu tampak indah karena dikelilingi oleh bukit berbatu yang membentang dengan warna coklat kemerahan di segenap pandangan. “Ini sungguh pesona yang luar biasa”, batinku berujar sesaat.

Usai mengabadikan beberapa sudut terminal dalam jepretan Canon EOS M10 kesayangan, maka tatapanku berpindah ke arah selatan.

Jalanan masih sepi, sementara OYO 117 Majestic Hotel yang kupesan tersembunyi di sebuah sisi jalan yang berjarak dua setengah kilometer jauhnya. Aku memesan salah satu kamarnya seharga 11 Rial per malam tepat sebulan sebelum keberangkatan.

Untuk beberapa saat aku menatap bentangan lurus panjang Al Fursan Street yang sangat lengang. Jalan itu lurus bersisian dengan Alkbir Wadi yang kering kerontang, menampakkan tanah permukaannya yang pecah merekah dimana-mana karena konsitensi terpaan panas surya dalam beberapa bulan musim kering.

Wadi sendiri adalah sebutan untuk hamparan sungai yang kering karena pada umumnya sungai tersebut hanya mengalirkan air saat musim penghujan tiba.

“Tak ada waktu lagi…..”, aku meyakinkan diri untuk mantab saja melangkah memasuki Al Fursan Street.

Aku melangkah cepat sembari terus memperhatikan posisiku terhadap hotel di aplikasi peta pada gawai pintar yang terus kugenggam selama melangkah. Semaikin jauh menelusuri Al Fursan Street, bukan perasaan gentar yang kudapatkan, justru rasa tenang nan damai yang menyelimuti setiap langkah demi langkah. Aku merasa berada di jalanan paling aman yang membuatku berani melambatkan langkah demi menikmati suasana pagi yang sejuk hingga kemudian langkahku terhenti di sebuah perempatan.

Aku berdiam di sisi barat persimpangan dua jalan itu. Aku mencoba mencari papan petunjuk untuk memahami nama jalan pemotong Al Fursan Street yang sedari sebelumnya aku lewati.

“Al Baladiya Street….Oh itu nama jalannya”, aku mendapatkan papan nama jalan dengan cepat.

Aku memutuskan untuk menyeberangi perempatan itu, karena letak hotel yang sedang kucari berada di sisi timur Alkbir Wadi. Aku pun menyeberangi jembatan yang gagah mengangkangi wadi yang memiliki lebar tak kurang dari lima puluh meter.

Aku memasuki daerah Al Walja.
Suasana AL Fursan Street yang tenang dan menentramkan.
Perempatan jalan yang dibentuk oleh Al Fursan Street dan Al Baladiya Street.
Alkbir Wadi yang kering kerontang.
Ruas jalan terakhir menuju ke OYO 117 Majestic Hotel.

Kini langkahku berpindah di jalan yang menyejajari Alkbir Wadi di sisi timurnya. Sepanjang jalan itu, tampak ruko-ruko lima lantai yang masih tertutup rapat di sisi kiriku melangkah. Sedangkan di sisi kanan lebih didominasi oleh keberadaan truk-truk besar yang bagian depannya ditundukkan sebagai pertanda bahwa mesin-mesin pengangkut itu sedang mendapatkan reparasi.

Tampak wajah-wajah khas Asia Selatan mendominasi kegiatan reparasi itu, nantinya aku akan mengetahui bahwa mayoritas mereka berasal dari Bangladesh.

Semakin mendekati hotel, suasana jalanan mulai ramai. Nadi kehidupan ekonomi Kota Muscat tampak sedang menggeliat dari bangun malamya.

Sebelum benar-benar tiba di hotel, aku mulai memfokuskan pandangan untuk mencari keberadaan kedai makan di sekitar aku melangkah. Naluriku mengatakan bahwa di daerah tersebut pasti ada kedai makan murah khas Bangladesh yang memfasilitasi kebutuhan perut para pekerja Bangladesh yang sibuk bekerja di sekitarnya.

Benar saja, di sebuah gang dan sedikit tersembunyi aku melihat sebuah kedai makan mungil.

Baiklah….Di situlah aku akan menikmati sarapan pertamaku di Oman”, bibirku tersenyum tipis ketika mengambil keputusan.

Demi segera bersarapan, maka aku mempercepat langkah menuju hotel yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi di depan.

Kisah Selanjutnya—->

Karwa Bus No. 727….To Nuaija District from Hamad International Airport

<—-Previous Story

That morning, my desire to went to downtown was so rushed. I couldn’t wait to get a closer look at Doha. But my rush was stopped for a moment, I continued to calculate in detail fo transportation budget which I needed for five days in Qatar. So that I didn’t leave too much of remaining balance in Karwa Smartcard later.

Short breakfast with bread at airport bus terminal.

My calculation decided to top up the balance for about 30 Riyal for entire trip, majority of trip would use city bus. This amount didn’t include Karwa Smartcard price for about 10 Riyal.

Ticketing Vending Machine.
Karwa Smartcard is the only access to enjoy Karwa Bus services.

Avsec: “Hi, No No No….Sir, Sorry, you can’t capture the building”, the South Asian looking officer approached and stopped me when pointing my camera at a side of Hamad International Airport from the airport bus platform.

Me: “Oh, I’m sorry sir….I don’t capture the photo yet, I’m sorry”, I immediately put my Canon EOS M10 into a folding bag.

Avsec: “Nice….Nice”, smiling while shaking his head. “Where will you go?

Me: “I’m waiting for bus no. 727 to Nuaija. Do you know, When it will come?

Avsec: “Oh, you better ask to Karwa Officer….Him (he pointed to a fat officer who was busy with his clipboard)”.

I went to him and asked the status of Karwa Bus No. 727, then he asked me to wait about ten minutes.

Just in time, the bus arrived.

Nervous, my first time in using Qatar city bus. If Dubai, Bahrain and Oman prefer red color for their city buses, Qatar had decided to use green color for it.

I was the first passenger on bus which had just been parked. A few minutes later, one by one, Hamad International Airport workers entered the same bus.

Preparing fo heading to Nuaija District.
A side of Hamad International Airport.

During trip, Karwa Bus slowly and leisurely ran while crossing city’s streets. Like other modes of public transportation in civilized cities, it ensured that every passenger felt safe.

Payment was made by tapping Karwa Smartcard on tap machine which located next to driver. You need to know that steering wheel in Qatar is placed in left side. While there, I entered and got off a bus always from front door. Of course, before getting off from bus, I had to check remaining Karwa Smartcard balance on the same tap machine.

Riding bus for thirty minutes, my eyes continued to stare at all the prints of city’s architecture which was passed, as well as various activities of local people who were observed.

Dropped off at Nuaija intersection.

As soon as I got off from bus, the wind hardly blew against me, carrying soft particles of sand with it. “Is this the taste of desert wind? “, my heart mumbled for a moment. My naked eyes had to be sacrificed to repeatedly hit by soft sand. I couldn’t longer look for my rayban glasses which I didn’t know where I put it in my backpack. The temperature of twelve degrees Celsius forced me to immediately reach Casper Hotel, where I would stay.

Al Emadi Hospital which I passed on the outskirts of D Ring Road.
Fresh flowers grown with hydroponic techniques.

After walking for a kilometer and a half and in twenty minutes, I finally arrived at a hotel Which appeared to be the result of turning a residential complex into a simple inn.

Casper Hotel.

Later I would tell to you how comfortable that simple dormitory is….?

Next Story—->

Kampung Batik Kampung Laut

<—-Kisah Sebelumnya

Tak lama setelah memasuki kamar bernomor 523 di The Azana Hotel Airport, aku bergegas memasuki kamar mandi, kemudian keluar dengan pakaian santai. Dari raut muka, aku tahu pak Muchlis sudah dilanda kelaparan. Karenanya sedari tadi, dia terus mengemil kacang tanah kemasan yang dibawanya dari tempat rehearsal.

Ayo pak, kita jalan, cari makan!”, sahutku sembari mempersiapkan Canon EOS M10.

Makan kemana kita, mas Donny?”, dia pun nampak belum punya pilihan.

Mau gak pak ke Kampung Laut? Makan seafood yuk!”, ajakku kepadanya. Diam-diam, aku sudah menemukan restoran ini melalui browsing semenjak meninggalkan bandara tadi sore.

Jauh ga, mas Donny?”, tanyanya. Mungkin dia enggan karena setahuku passion dia tak jauh-jauh dari naik gunung, melakukan eksplorasi kota membuatnya tersambar malas duluan.

Engga pak, cuma enam kilometer kok, paling seperempat jam, pak yuk kita cabut! Keburu kemalaman.“, sahutku.

Aku manut ae lah, Mas Donny. Aku sing pesen Grab, yo!”, ayuk lah berangkat.

Tak lama, Honda Jazz hitam menjemput di lobby, kami pun meluncur ke daerah Tawangsari. Yang kufahami, ini adalah jalur yang sama persis ketika aku meninggalkan Ahmad Yani International Airport menuju The Azana Hotel Airport. Kami melewati Jalan Yos Sudarso lalu berbelok ke kiri mengikuti Jalan Puri Anjasmoro ke arah bandara. Hanya saja kami akan berhenti sekitar dua kilometer sebelum benar-benar tiba di bandara.

Sampailah kami di Restoran Kampung Laut.

Bersama Pak Muchlis di Kampung Laut.

Begitu sampai di tujuan, aku menjadi lupa lapar. Pemandangan seisi restoran membuat hasrat eksplorasiku kambuh. Aku minta Pak Muchlis untuk mencari bangku, kulihat sejenak menu di sebuah meja, kemudian aku minta dipesankan nasi putih, cumi asam manis dan es kelapa muda.

Aku keliling bentar ya pak, nanti kabari aku duduk dimananya ya!”, pintaku sedikit bergegas.

Aku duduk di tengah situ aja ya mas, tak tunggu!”, dia menunjuk meja kecil di ruang terbuka di sisi barat saung utama.

Baik pak”, aku menutup percakapan cepat kami.

Aku meninggalkannya untuk menelusuri beberapa spot di restoran yang didesain mengapung diatas danau buatan itu. Aku mulai memasuki bagian pertamanya yang berwujud delapan saung utama, empat di sisi kiri dan sisanya di sisi kanan. Meja-meja memanjang dengan puluhan kursi nampak disusun di bawah saung-saung itu, sebagai tanda bahwa saung tersebut digunakan untuk melayani pengunjung dalam jumlah banyak. Tampaknya pak Muchlis sudah tepat memilih bangku kecil di pelataran luar.

Jajaran saung dengan kolam di hadapannya.
Meja makan panjang di dalam saung….Cocok untuk makan bersama sekantor.

Sementara di bagian ujung barat, tampak anjungan panjang menuju ke sebuah nameboard “Kampung Laut” yang sengaja didesain untuk tempat berfoto para pengunjung seusai makan. Konsep yang menarik anak-anak muda untuk berkunjung ke sini.

Spot foto terbaik di Kampung Laut.

Tak lama kemudian, aku segera bergabung dengan Pak Muchlis untuk bersantap malam setelah dia mengirimkan pesan singkat “Makanan sudah siap, mas Donny. Ayo kesini!”.

Yuk mari, makan duyuuu….

Meja makan outdoor.
Menu kami: Kangkung, cumi, ikan, es kelapa muda dan jus alpukat….Standard….Hahahaha.

Seusai makan, aku berbincang perihal rehearsal siang tadi yang dilakukan Pak Muchlis tanpa bantuanku. Apakah ada yang kurang, apa yang bisa dipersiapkan lagi sebelum pelatihan esok hari. “Wes beres kabeh mas Donny, ndak perlu khawatir. Yang penting besok kita datang setengah jam sebelum acara yo!”, ucapnya singakat dan meyakinkan.

Sebelum menutup makan malam di Restoran Kampung Laut, kami berdiri di depan stage mungil dan menikmati beberapa lagu yang dibawakan oleh seorang biduan cantik. Wah kalau ada waktu banyak, pasti aku ikut nyayi tuh bersamanya, sayang dia sedang menyanyikan beberapa lagu request dari pengunjung restoran.

Lagu apa ya enaknya kalau duet sama si mbak…..”Yellow” atau “Tiwas Tresno”.

Tepat pukul 21:30, kami undur diri dan segera menuju ke hotel untuk beristirahat. Dengan sigap Pak Muchlis mendatangkan taksi online berwujud Wuling Confero berwarna putih. Inilah pertama kalinya aku merasakan sensasi menunggang kuda besi buatan Tiongkok itu. Hmmhhh….Cukup lega. “Ini pakai mesin Chevrolet lho mas”, ungkap si pengemudi membanggakan mobilnya. Woow…..Kalau mendengar kata “Chevrolet”, bayangan pertama yang muncul di pikirankau adalah si kuning “Bumblebee”.

Eittt  lupa, sebelum benar-benar meninggalkan restoran, buat kamu yang ingin berbelanja batik, disediakan gerai “Kampung Batik” yang menjual batik khas Semarang.

Buat penggemar batik….Silahkan mampir.

Saatnya tidur dan mimpi indah, kawan…….

Mengenal Ahmad Yani International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Free business trip kali ini kumulai dengan sangat mendadak dan berbekal ala kadarnya. Yang terpenting barang kesayangan tak tertinggal….Tak lain adalah Canon EOS M10 warna hitam. Selain perbekalan, itinerary juga tak pernah tersusun sebelum berangkat. Empat hari ke depan aku akan menjadi “Si Bolang” yang bermain sesuka hati.

Ketika Citilink mulai take-off meninggalkan Halim Perdanakusuma International Airport, aku pun tak pernah memikirkan apapun perihal Ahmad Yani International Airport. Memoriku masih sama tentangnya. Sederhana, tak besar, ruang tunggu yang langsung bertatap muka dengan moncong pesawat ketika parkir. Begitulah lembaran ingatan yang tersusun rapi dalam cabinet otakku. Bagaimanapun, beberapa tahun lalu, Ahmad Yani International Airport berperan besar dalam melepas landaskan penerbangan pertama kalinya dalam sejarah hidupku.

Oh ternyata…..

Ini berbeda, sungguh menakjubkan”, gumamku ketika mengintipnya melalui jendela saat QG 144 sedang taxiing menuju apron.

Benar adanya, Ahmad Yani International Airport yang berkode IATA “SRG” ini sudah mentransformasi dirinya menjadi super elegan. Aku diturunkan bersebelahan parkir dengan “Maskapai Singa Merah”. Melangkah dibawah sayap raksasa, tampak bangunan utama terminal menampilkan hamparan jendela kaca yang memamerkan pilar-pilar besar di dalamnya. Cahaya surya tampak menembus sempurna seisi ruangan dalam bangunan berkaca itu.

Mari memasuki bangunan terminal.

Aspal pada jalur kendaraan bandara pun masih terlihat sangat hitam dan halus, pertanda lintasan ini belum lama digunakan. Rambu-rambu yang menempel di aspal masih putih sempurna. Tembok terminal masih berwarna krem menyala.

A. Arrival

Aku memasuki koridor arrival hall menuju ke area baggage claim. Lantai yang masih mengkilat memantulkan cahaya lampu dalam pola yang teratur, ruangan kaca disebelah kiri masih berstatus underconstruction sedangkan sisi kanan koridor sudah beroperasi beberapa toilet, lift, dan musholla. Beberapa rak berisi pot-pot bunga sepatu memperindah sudut-sudut ruangan.

Koridor menuju baggage claim area.
Baggage claim area.

Beberapa konter baggage service milik beberapa maskapai masih tampak tutup, mungkin maskapai yang bersangkutan belum beroperasi di terminal ini.

Setelah melalui baggage claim area, deretan konter penyedia informasi telah dipersiapkan seperti Tourist Information Center, BP3TKI, money changer dan perusahaan persewaan mobil TRAC. Sementara antara bangunan utama dan ruas jalan untuk keluar-masuk bandara dipisahkan oleh hamparan air. Ya, aku kini sedang berada di terminal terapung seluas 7 hektar yang didirikan diatas rawa.

Area pintu keluar diletakkan di bawah sebuah koridor berkanopi dan berangka balok baja  bercat putih. Koridor ini menghubungkan arrival hall dan commercial zone bandara. Keberadaan kolam, umbrella shade dengan kursi-kursi dibawahnya dan taman tertanam pohon bertinggi sedang dengan sebaran berpola menjadikan penampakan area pintu keluar menjadi sangat apik. Di sinilah para penjemput menunggu kedatangan tamu atau sanak saudara mereka yang baru saja mendarat.

Pintu keluar.
Area taman.

Begitu melewati pintu keluar terdapatlah photospot area dengan background presiden Joko Widodo yang sedang mengontel sepeda kebo. Dilanjutkan dengan keberadaan toilet, nursery room, money changer, musholla dan ATM area.

Musholla setelah pintu keluar.
Koridor dengan sederet ATM beberapa bank.

Layar airpot digital clock sudah menunjukkan pukul 17:09, ketika aku memasuki commercial zone. Tampak dua meja customer service dominan hijau diletakkan sejajar dengan exit gate. Sedangkan bangku bangku tunggu berselang-seling warna hitam merah melingkari setiap pilar-pilar utama bangunan terminal serta berjajar di beberapa sisi dinding yang kosong. Beberapa spot foto berada di pojok bangunan, sedangkan departure and arrival flight information LCD menguasai zona tengah sehingga mudah diakses oleh semua penumpang dan pengunjung bandara.

Konter customer service.

Area commercial zone sudah ditempati beberapa brand ternama seperti X-Side Eat, A&W, Kukomart, Bank BNI, Eaten Kopi Tiam dan brand lainnya.

Keluar dari commerzial zone building, aku disambut oleh koridor ganda yang dipisahkan oleh jalur kendaraan roda empat. Ini zona taksi dan drop and pickup zone. Koridor ini tampak rapi dengan tiang tiang bulat dan beratapkan spandek.Sementara di bawah naungan, disusunlah kursi tunggu di sepanjang koridor. Aku sendiri memilih moda transportasi taksi menuju pusat kota, mengingat ini adalah business trip yang semua biayanya ditanggung oleh kantor tempatku bekerja.

B. Departure

Tiga hari berselang, aku menyambangi kembali bandara ini untuk pulang ke ibukota. Taksi online menurunkanku di tempat yang sama ketika aku meninggalkan bandara saat tiba di hari pertama. Aku menginjakkan kaki di drop and pickup zone lalu bergegas mencari check-in area di dalam bangunan terminal.

Tiba di drop and pickup zone.

Memasuki commercial zone, aku terus melaluinya saja, banyak calon penumpang yang nampak bersantai di area ini, baik di area umum atau menyantap makanan di  beberapa coffee shop. Begitu keluar dari commercial zone aku memasuki area beratap transparan bertiang baja dengan dua layar check-in information LCD, sementara di sisi kanan tersaji geladak kayu dengan sejumlah pot palem diatasnya sedangkan bagian lainnya berupa kolam air yang merendam tiang-tiang pancang pondasi terminal sehingga memberikan kesan bahwa ini adalah terimal penumpang terapung….Keren sekali.

Taman dan kolam disisi kanan departure hall.

Di ujung taman dan kolam, aku memasuki sebuah gedung yang berfungsi sebagai check-in area. Seperti pada taman di luarnya, check-in area ini tampak tinggi dan luas. Jajaran konter check-in memanjang hingga bilangan tiga puluh di salah satu sisi hall. Sementara konter ‘Total Baggage Solution” berwarna oranye siap membantu setiap penumpang me-wrapping bagasinya untuk mengamankannya selama proses loading & unloading bagasi ke lambung pesawat.

Check-in area.

Aku bergegas menuju ke waiting room setelah mendapatkan boarding pass, melewati sebuah koridor sempit dengan sisi kiri jendela kaca menghadap taman dan sisi kanan tertutup oleh triplek proyek pengerjaan ruang fungsional. Di ujung koridor, tepat berhadapan dengan iPORT shop, aku dibelokkan ke kiri menuju commercial zone. Beberapa toko pakaian seperti POLO atau coffee shop macam Starbucks ada di area ini.

Commercal zone di departure hall.

Aku mulai memasuki waiting room, berkursi tunggu hijau, berkarpet pola abu-abu, dilengkapi dengan musholla, executive lounge, smoking area, toilet, charging area, LCD TV dan free internet counter. Di beberapa spot disediakan photospot.

Waiting room.
Salah satu spot foto di waiting room.

Dan akhirnya, sore itu aku meninggalkan Ahmad Yani International Airport melalui  gate 2A.  Itulah cerita singkat eksplorasiku mengenai bandara kebanggaan warga Semarang.

Silahkan berkunjung ke Kota Atlas dan nikmati keindahannya.

Kisah Selanjutnya—->

Citilink QG 144 dari Jakarta (HLP) ke Semarang (SRG)

Rute penerbangan QG 144 (sumber: https://flightaware.com/).

Yeaaaa….Aku mendapatkan business trip akhir pekan. Seperti biasa, aku selalu mensiasati tugas kantor untuk tetap bisa menyalurkan hobby andalan….Yes, eksplorasi. Tugas pelatihan Jum’at dan Sabtu, akan kusambung dengan extend hingga Ahad dalam perjalanan gratisan ini.

SEMARANG….

Itulah kota tujuanku kali ini. Halim Perdanakusuma International Airport menjadi titik tolak dan Ahmad Yani International Airport menjadi titik mendaratku.

Bos : “Don, saya belum dapat orang untuk menghandle training di Semarang. Kamu bisa ga ya, kalau akhir pekan ini pergi ke Semarang?. Mendadak sih Don, sorry sebelumnya”.

Aku: “Hhmmhh (pura-pura mikir), boleh lah pak (sok jual mahal, padahal mau bingiiitttzzzz)

Bos: “Kamu berangkat Kamis sore, pulang Sabtu sore, nanti biar tiket diurus orang Marketing Support”.

Aku: “Siap, Pak”.

Setelah pembicaraan selesai, secepat kilat kutelpon staff Marketing Support yang dimaksud.  Aku minta kepulanganku di extend hingga Ahad sore. “Biar akomodasi hari Ahad aku yang tanggung, tapi tiket pulang tetap kantor yang bayar”, seruku padanya yang disusul dengan konfirmasi “OK, Pak Donny”.

Wah senangnya hatiku….Jalan-jalan lageeeeee.

Pagi itu, aku masih bekerja seperti biasa hingga tengah hari. Setelah menaruh beat pop hitam kesayangan di rumah, aku berangkat menuju Halim. Tak jauh, hanya 25 menit dari landmark tempat tinggalku, Terminal Bus Kampung Rambutan.

Aku tiba di bandara sangat mepet dengan boarding time, membuatku berfokus pada memotong panjangnya antrian di konter check-in. Entah mengapa, para calon penumpang yang mengantri di depanku selalu memanggil teman-temannya ketika sudah berada di depan konter, membuat jengkel karena banyak penumpang yang mengantri dibelakangku bisa otomatis menyodok antrian….Parah.

Aku mendapatkan tiket tepat sepuluh menit sebelum boarding time. Itulah….Aku tak lagi berfikir mendokumentasikan setiap sesi di Halim Perdanakusuma

Alhamdulillah, selamat dari keterlambatan.

Aku memasuki gate 6 dengan nafas cepat karena khawatir tertinggal penerbangan. Tak sempat mendinginkan keringat, panggilan penerbangan itu tiba. Tanpa sempat duduk, aku segera bersiap diri menuju Semarang sore itu.

Waiting room Halim Perdanakusuma International Airport.
Mengantri boarding di gate 6.

Citilink menjadi daftar maskapai ke-12 dari 28 maskapai yang pernah kunaiki. Bangga bisa menikmati penerbangan maskapai berwarna korporat hijau itu. Warna yang melambangkan tiga makna yaitu young-fun-dynamic. Inilah anak dari maskapai kenamaan Garuda Indonesia. Dan yang lebih membanggakan adalah terpilihnya Citilink dalam daftar The 20 Best Budget Airline for 2019 versi Skytrax.

Pemandangan keren, ya. Hanya perlu berjalan kaki dari gate 6 menuju ke pesawat.
Wooow….tepat di kaki pesawat.
Lihat ACnya, hingga berkabut begitu….Dingiiiiin.

Seharusnya aku duduk di bangku 23A, persis di window seat.

Seorang Ibu: “Mas, bangkunya tuker ya. Saya pusing kalau tidak dekat jendela”.

Aku: “ Oh silahkan Ibu, tidak apa-apa”, hmmmh perlahan kumasukkan Canon EOS M10 ku, tak ada gunanya kupegang, aku tak bakalan bisa meng-capture indahnya bumi dari bangku bernomor 23C.

Duduk di aisle seat.
Linkers….Inflight magazine milik Citilink.

Perjalanan menempuh jarak 400 km ini ditempuh dalam waktu 50 menit. Jadi ini adalah penerbangan singkat yang sangat tanggung untuk dibuat tidur. Lebih baik, aku menyusun itinerary dadakan dari beberapa referensi yang kudapat serta menyusun anggaran perjalanan.

Sore itu perjalanan sungguh berat karena sepanjang pantai utara Jawa penuh dengan awan yang membuat penerbangan penuh turbulensi. Kufikir semua penumpang terdiam karena memikirkan hal yang sama….Hahaha. Sementara seorang pramugara terus berpegangan pada bagasi kabin untuk menahannya terlempar karena turbulensi. Senang tapi menegangkan. Aku sendiri selalu berserah diri kepada Yang Maha Kuasa ketika melakukan penerbangan.

Begitu leganya, ketika suara lembut pramugari mengarahkan segenap penumpang untuk bersiap mendarat. Memasuki kota Semarang, cuaca berubah cerah dan pesawat mulai langsir dengan lembut dan akhirnya….Touchdown Semarang.

Oh itu, bentuk bangunan baru Ahmad Yani International Airport.
Terimakasih Citilink.

Pelatihan yang ditugaskan oleh kantor masih berlangsung esok hari dan rehearsel pelatihan sudah diwakilkan oleh rekanku yang datang dari kantor cabang Surabaya sejak pagi tadi. Dia memilih menggunakan kereta dari Surabaya menuju Semarang. Jadi, aku tak perlu terburu waktu menuju ke hotel setelah mendarat.

Seperti biasa, aku akan mengeksplore gerbang wisata Kota Semarang ini…..Yes, Ahmad Yani International Airport.

Kuy lah….

Kisah Selanjutnya—->

Lion Air JT 257 dari Padang (PDG) ke Jakarta (CGK)

Ini bukan pertama kali bagiku menaiki Lion Air, pernah kunaiki maskapai ini pada rute Solo-Jakarta, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Singapura, atau sebaliknya. Hanya saja, ini adalah kali pertama pengalamanku menjajal Boeing 737 MAX 8, jenis pesawat fenomenal, yang sedang “grounded “ semenjak kecelakaan ganda, satu di Indonesia dan kedua di Ethiopia, dengan penyebab yang sama.

Aku akhirnya berhasil mengeksplore Minangkabau International Airport dalam gerimis, tapi nanti saja kusampaikan. Aku masih menyimpan sebuah petualangan repetisi ke Padang pada sebuah business trip di awal tahun 2020. Jadi harap bersabar jika ingin mengintip keotentikan Minangkabau International Airport dari blog ala kadar ini.

Drop Zone di Departure Hall Minangkabau International Airport.

Aku diturunkan tepat di depan lobby keberangkatan oleh DAMRI berukuran tiga perempat, tetapi setelahnya, aku tak segera memasuki check-in area. Aku lebih memilih mengambil beberapa gambar ketika hujan sedang merubah fasenya menjadi gerimis lembut. Kulakukan hingga beberapa gambar menjejal di kartu memori Canon EOS M10ku.

Mari segera masuk area check-in!

Penerbangan lokal yang hanya mensyaratkan tampilan booking confirmation di layar telepon pintar serta kartu identitas biru langit bernama sama, memudahkan penumpang memasuki check-in area.

Harus kusediakan kesabaran karena selepas meninggalkan konter check-in, aku akan menunggu Si “Singa Merah” datang lebih lama….Delay, gaesss!. Aku memang telah bersiap dengan kondisi itu. Bukan perkara waktu, tapi perkara terjangkaunya harga tiket maskapai ini yang menjadi prioritasku.

Setelah menaiki escalator menuju Departure Gate, aku duduk sebentar di commercial hall yang berlokasi di sebelah screening gate. Membereskan setiap perlengkapan agar sedikit rapi dan nyaman ketika memasuki kabin pesawat nanti. Sementara backpack 45L milikku memilih berdiam di lambung pesawat demi menyelamatkan payung bermotif pelangi seharga Rp. 50.000 yang kubeli di Pelabuhan Tiga Raja lima hari lalu.

Kejutan tiba, saat menuju musholla untuk menunaikan ibadah shalat maghrib, aku bersua kembali dengan Boris, Tukang Pos dari Slovakia.

Aku        :     “Hi, Boris….What happen to your flight?

Boris      :     ”Hi, Donny, It’s crazy…..Very long delay with Citilink

Aku tak lama bercakap karena Boris sudah mulai memasuki antrian menuju gate, dia terbang ke Surabaya, lalu akan melanjutkan perjalanan ke Malang begitu mendarat. Stasiun Gubeng menjadi pilihannya untuk bertolak dari Kota Pahlawan. Informasi itu kudapat ketika berbincang di jok belakang Maestro Travel lima jam silam. Yang kuamati, botol air mineral pemberianku masih utuh terselip di sebelah kiri backpacknya….Hahaha, entah bagaimana air itu lolos dari screening gate.

Setelah menunggu lama, akhirnya penerbangan JT 257 mulai memanggil penumpangnya. Aku mulai mengantri dan bersiap melakukan perjalanan menuju Soekarno Hatta International Airport dengan penerbangan seharga Rp. 563.000. Tiket ini sendiri kubeli 11 hari sebelum keberangkatan.

Melalui aerobridge, aku memasuki badan pesawat,  sebetulnya aku baru mengetahui bahwa selongsong terbang ini berjenis Boeing 737 MAX 8 setelah salah satu awak pemegang microphone menginformasikannya ketika peragaan standard keselamatan penumpang sedang dilakukan.

Selain gres, kesan pertama yang kudapat setelah duduk di salah satu window seat jenis pesawat ini adalah kelegaan dan tampilan futuristiknya. Pesawat sudah berada pada posisi terbaiknya untuk menyalakan mesin jet, pilot menunggu konfirmasi untuk segera mengudara. Beberapa menit kemudian aku benar-benar meninggalkan Padang.

Malam yang sedikit mendung membuat pesawat sedikit terguncang menubruki awan-awan rendah di langit Minang. Yang kusaksikan kemudian adalah sekuel-sekuel pertunjukan pelita bumi yang dipaksa bejeda oleh awan-awan hitam tipis sebagai bintang iklannya. Indah dan mempesonaku sebagai pengantar tidur. Detik-detik selanjutnya hanyalah

Gelap….

Geelaaap……..

Geeelaaap…………

Aku tidur berselimut rasa capek yang luar biasa setelah enam hari berkeliling tanah Sumatera. Sepertinya aku genap tidur selama 1 jam 45 menit, ekuivalen dengan waktu tempuh penerbangan itu. Terpejam sejauh 700 km lebih bersama halusnya performa pesawat milik maskapai swasta terbesar di tanah air ini.

Aku tiba di Cengkareng lewat tengah malam.
Maskapai yang telah genap mengudara selama 20 tahun.
Soekarno Hatta International Airport (CGK) adalah mainhub dari Lion Air.

Aku tiba dalam kantuk, lalu tergopoh menyetop kehadiran Bus DAMRI menuju Terminal Kampung Rambutan. Aku tiba di rumah dalam hantaran ojek pangkalan dan mensyukuri nikmat Allah atas kesempatan eksplorasi yang dianugerahkan yang menjadi bab kesekian dalam cerita perjalanan hidupku.

Saatnya menutup cerita perjalanan ke tanah Sumatera. Dan beralih ke perjalanan berikutnya.

Kemana ya????

Yes, SEMARANG…….

Kisah Heroik dibalik RTH Putri Kaca Mayang

<—-Kisah Sebelumnya

Tugu Bambu Runcing.

Bundaran di tenggara Masjid Agung An-Nur itu berhiaskan tugu bambu runcing berwarna kuning berlatar Universitas Riau tepat sejejar dibelakangnya. Aku terus mengarahkan Canon EOS M10 ku ke arah tugu hingga pengemudi ojek online datang memanggilku.

Sepertinya aku akan menghabiskan sore itu bersama warga lokal untuk menimati suasana kota di sebuah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di tepian jalan protokol. Dari Masjid Agung An-Nur aku menuju selatan sejauh 4 kilometer dengan waktu tempuh 15 menit berkendara.

Jam empat kurang sepuluh menit aku tiba. Puluhan orang telah hanyut dalam suasana taman yang tenang walaupun raungan knalpot kendaraan menghiasi warna suara di sekelilingnya.

Taman dengan background The Premiere Hotel.

Unik, taman ini di belah oleh sebuah jalan pintas yang menghubungkan Jalan Jenderal Sudirman di timur taman dan Jalan Sumatera baratnya. Disematkan nama Jalan RTH Kaca Mayang, jalan ini membelah pendek sepanjang seratus meter saja.

Tempat duduk beton berkaki tiga, tempat sampah modern tiga kategori, Kanopi beton berbentuk jamur dengan atap hijau, sepasang area bermain pasir berwahana up-down stairs yang mengapit sebidang area peruntukan teater, pohon-pohon berdiameter kecil sebagai pertanda belum lama tertanam, jogging track dengan pola bersambung dari dua belahan taman serta dua jembatan kecil diatas aliran air yang cukup bersih adalah jenis fasilitas yang didudukkan pada taman seluas kurang lebih satu hektar ini. Itulah gambaran singkat RTH Putri Kaca Mayang yang bisa kutangkap.

Putri Kacang Mayang adalah satu dari delapan Ruang Terbuka Hijau di Pekanbaru yang dikenal sebagai taman paling ramah anak. Pemerintah daerah harus menggelontorkan dana sebesar enam milyar rupiah untuk membangun taman ini.

Penamaan taman sendiri diambil dari sebuah dongeng lokal yang dipercaya sebagai asal muasal Kota Pekanbaru. Putri Kaca Mayang konon digambarkan sebagai seorang putri nan cantik jelita yang dikemudian hari diculik oleh seorang raja Atjeh yang sakit hati karena pinangannya tertolak.

Panglima Gimpam yang merupakan tokoh terkuat di Kerajaan Gisab merasa harga dirinya diinjak-injak dengan peristiwa penculikan itu, karena Raja Atjeh dengan bantuan seorang penghianat berhasil mengelabuhi Sang Panglima yang telah bersiap menunggu pertempuran di batas kota, sedangkan musuh berhasil memasuki kerajaan melalui jalan lain yang sangat rahasia.

Tanpa pikir panjang, dikejarlah Raja Atjeh ini sendirian. Dengan kesaktiannya, Panglima Gimpam memporak porandakan seisi kerajaan musuh sendirian dan akhirnya dikembalikanlah Sang Putri kepadanya. Namun sayang, Sang Putri tak selamat pulang ke Kerajaan Gisab karena jatuh sakit di tengah perjalanan.

Itulah sepenggal kisah dari penamaan RTH Putri Kaca Mayang. Ternyata ada cerita klasik dibalik keindahan taman kota ini.

Kisah Selanjutnya—->

Kampung Laut’s Kampung Batik

Shortly after entering room number 523 at The Azana Hotel Airport, I rushed into bathroom, then came out with wearing casual clothes. From his face, I knew that Mr. Muchlis was starving. Because of this, he has been snacking on packaged peanuts which he brought from the rehearsal place.

Come on sir, let’s go, looking for dinner!“, I said while preparing Canon EOS M10.

Where are we going to have dinner, Donny?“, He also seemed to didn’t have choice.

Do you want to go to Kampung Laut or not? Let’s eat seafood!”, I asked him. Secretly, I’ve found this restaurant through browsing since leaving the airport this afternoon.

Is it far, Donny?“, He asked. Maybe he was reluctant because as far as I know his passion is not far from climbing mountains, doing city exploration made him was grabbed by laziness.

No sir, it’s only six kilometers, at most a quarter of an hour, sir, let’s go! Before too late.“, I said.

I agree, Donny. I will order a online taxi”, Let’s go.

Soon, a black Honda Jazz picked up us at the lobby, we drove to Tawangsari area. I understand that this was same route when I left Ahmad Yani International Airport to The Azana Hotel Airport. We passed Yos Sudarso Street then turned left and following Puri Anjasmoro Street towards the airport. It was just that we will stop about two kilometers before actually arriving at the airport.

We arrived at Kampung Laut Restaurant.

Together with Mr. Muchlis in Kampung Laut.

Once arrived at our destination, I forgot to be hungry. Sight of whole restaurant made my exploration desire relapse. I asked Mr. Muchlis to find a seat, I briefly looked at the menu at a table, then I asked him to order white rice, sweet and sour squid and young coconut ice for my dishes.

I’ll walk around for a while, Sir, let me know where we will sit!“, I hurriedly asked.

I’ll sit in the middle, there Donny, I’ll wait!“, He pointed to a small table in open space on west side of main hut.

Yes Sir“, I closed our quick conversation.

I left him to explore some spots in restaurant which is designed to float on artificial lake. I started to enter the first part which was eight main huts, four on left and the rest on right. Elongated tables with dozens of chairs were arranged under huts, as a sign that that huts are used to serve large numbers of visitors. It seemed that Mr. Muchlis was right to chose a small table in outer court.

A row of huts with a pond in front of it.
Long dining table in the hut….Perfect for eating together with all office-mate.

Meanwhile, at western end, there is a long platform leading to a “Kampung Laut” nameboard which is designed to be a spot to take pictures for visitors after eating. The concept which attracts young people to visit here.

The best photo spot in Kampung Laut.

Not long after, I immediately joined with Mr. Muchlis for dinner after he sent a short message “Foods are ready, Donny. Come here!“.

Come on, dinner….

Outdoor dining table.
Our menu: water spinach, squids, fishes, coconut ice and avocado juice….It was simple menu… .Hahahaha.

After eating, I talked about rehearsal this afternoon which Mr. Muchlis did without my help. Were there anything missing?, what can be prepared again before tomorrow’s training?. “All were done, Donny, you don’t need to worry. The important thing is tomorrow we come half an hour before the event start, Okay! “, He concisely and convincingly said .

Before closing our dinner at Kampung Laut Restaurant, we stood in front of a small stage and enjoyed several songs which sung by a beautiful singer. Wow, if there were a lot of time, I would definitely sing with her. But seemed, She was singing a few requested songs from restaurant guests.

What was the best song if I had a duet with her?… .”Yellow” or “Tiwas Tresno”.

At exactly 21:30 hours, we withdrew and immediately headed to hotel to rest. Mr. Muchlis swiftly brought in an online taxi with Wuling Confero brand. This was first time for me to feel sensation of riding a China car.
Hmmhhh….It was quite relieved. “This uses a Chevrolet engine, for your information, Sir“, said the driver, proud to his car. Woow….When I hear a “Chevrolet” word, the first image which comes to my mind is the yellow “Bumblebee”.

Eittt I forgot, before actually leaving the restaurant, for you who wanted to shop for “Batik (Javanese clothes)“, there was a “Kampung Batik” outlet that sells Semarang typical batik.

For Batik fans…. Please stop by.

Time for sleeping and got a sweet dream, my friend …….