Perdebatan pilihan itu selesai dengan cepat oleh otoritasku sendiri. “Tak usah taat dalam seni backpacker, Donny. Ini tugas kantor, manfaatkan saja fasilitasnya, naiklah taksi!”, batinku tegas mengalahkan beberapa opsi bodoh yang kadang sporadis muncul dalam sikap dan pilihan.
“Dasar, si anak pengiritan”, candaan para kolega kepadaku, begitulah brand yang tersemat. Bagaimana tidak, setiap keluar bandara aku selalu berfikir otomatis bahwa biaya naik bus itu cuma seperempat biaya naik taksi. Jadi aku selalu rela berlama-lama menunggu kedatangan kotak raksasa beroda empat atau enam itu.

Sudah lewat Maghrib….
Telepon terus berdering dari kolegaku yang sedang melakukan sesi rehearsel training di kawasan Bukit Semarang Baru (BSB). Tanpa ragu aku mengangkat smartphone, ternyata dia hanya ingin mengabarkan bahwa aku lebih baik langsung menuju penginapan saja, karena rehearsel akan paripurna dalam lima belas menit lagi.
Lima menit mengantri untuk mendapatkan tiket taxi service seharga Rp. 50.000, aku segera di arahkan menuju sebuah taksi. Seorang pengemudi paruh baya nan sederhana berlari kecil menjemputku. “Assalamu’alaikum, mas. Mandap pundi?”, tanyanya penuh senyum sembari membantu mengangkat kardus di pundak kiri dan dua buah roll up banner ditentengnya di tangan kanan.


Seperti biasa, backpack kesayanganku tetap tak pernah lepas dariku, bersamaku masuk dari pintu depan. Kubaca papan ID Card yang tertempel di dashboard.
“Pak Ari, asli mriki pak?”, aku membuka pembicaraan sembari memasang safety belt untuk kemudian meluncur bersama ke hotel.
“Wah mboten mas, aku asli pekalongan. Njenengan saking pundi niki wau?”, jawabnya sembari pelan menginjak pedal gas keluar dari area bandara.
“Saking Ibu kota pak. Sampun dangu nyambut damel wonten Semarang pak, pripun rame nggih? “, dialog mengalir lancar menghangatkan suasana.
“Nembe tigang tahun mas Donny. Sakderengipun, wonten Jakarta, gandeng anak sampun sami mentas, nggih pun, pindah nyambut damel mriki mawon. Caket ngomah”, ucapnya sambil terus ceria mengendalikan taksi putih meninggalkan daerah Tambakharjo.
“Tugas kantor nopo pripun niki mas Donny? “, tanyanya menyidik.
“Nggih pak, manawi mboten tugas kantor biasanipun pados bus pak. Bandara niki wonten bus ten pusat kuto pak? “, tanyaku mencari referensi.
“Oh wonten mas Donny. Wonten BRT (Bus Rapid Transit) Trans Semarang. Mirah kok mas, namung Rp. 3.500, mas”, ungkapnya menjelaskan.


Lama sekali aku tak merasakan nikmatnya menggunakan jasa taksi bandara. Sehingga waktu 20 menit itu kumanfaatkan sungguh untuk menikmati business trip kali ini….Terimakasih ya kantorku tercinta atas kesempatan ini.
Perlahan taksi berbelok ke kanan, mulai merapat ke Jalan Arteri Yos Sudarso, menuju ke selatan. Aku berpindah dari jalan berpembatas beton yang Nampak masih baru , menuju ke jalan dua jalur di masing-masing ruas, berpembatas setinggi trotoar dan pepohonan rindang di setiap sisi kiri ruasnya.
Dalam dua puluh menit, dengan jarak tempuh enam kilometer aku tiba di The Azana Hotel Airport. Selembar alat tukar bergambar Soekarno dan Hatta kuserahkan kepada pak Ari. Sengaja kulebihkan ongkos perjalanan dan berbagi rezeqi kepadananya….Sadar diri, kalau sedang backpackeran, aku jarang melebihkan ongkos….Hahahaha.

Mari kita lihat dalam empat hari kedepan, Semarang punya apa saja….
“mengangkat kardus di pundak kiri” — ciri khas wong mudik; kardus mie instan tak pernah lupa 😀
Omahku padahal cuma berjarak sepeminuman teh seko bandara Achmad Yani, Oom
Kardus mie pertanda itu makanan idola masyarakat Kita……
Sepemimuman teh brarti 15 menit….berarti 10 kiloan….wkwkwk
Hahaha… Nggak sampai 10 kilometer lah; sepeminuman teh cangkir cilik, bukan gelas bir 🙂
Wadidaw…waow…waow….5 menit…3-5 km. Tau gitu mampir kan….nge teh kita……😁
Thank you!
You are Welcome Ms. Narine.😁👍