Kisah Wafatnya Buddha di Pagoda Watugong

<—-Kisah Sebelumnya

Motor bebek itu digeber sekuat tenaga oleh Titan menuju ke selatan kota. 15 kilometer jauhnya, 30 menit lamanya. Katanya aku akan diajak menuju pagoda tertinggi di Indonesia, di daerah Pudakpayung. Hampir jam 12:00, aku dan Titan tiba disana, tepat di tepian Jalan Perintis Kemerdekaan. Memasuki gerbang, baru kusadari bahwa tempat itu adalah sebuah vihara atau kompleks peribadatan umat Buddha, bernama Vihara Buddhagaya Watugong.

Aku melewati sebuah bangunan dengan bentuk atap yang mirip dengan pucuk-pucuk atap di Grand Palace, Bangkok. Jika Grand Palace beratapkan warna emas maka bangunan yang ini berwarnakan merah bata. Bangunan ini bernama Vihara Dhammasala. Aku mulai mengeksplorasinya dari lantai atas yang digunakan sebagai aula serbaguna baru kemudian memasuki ruangan di lantai bawah.

Vihara Dhammasala.
Lantai pertama Vihara Dhammasala untuk ruang peribadatan, berhiaskan patung Buddha berwarna emas.

Meninggalkan Vihara Dhammasala, aku perlahan mendekati bagian utama kedua di vihara ini. Inilah yang dimaksud oleh Titan sedari tadi. Pagoda tujuh tingkat berjuluk Pagoda Avalokitesvara. Avalokitesvara sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sansekerta “Avalokita” yang berarti mendengar ke bawah dan “Isvara” yang bermakna suara. Sedangkan Avalokitesvara dalam bahasa Tiongkok disebut dengan dengan dua kata yaitu “Kwan Im”. Sedangkan “Kwan Im” sendiri adalah perwujudan welas asih dari Buddha.

Oleh karenanya Vihara ini juga dikenal dengan nama Pagoda Dewi Kwan Im. Beberapa khalayak menyebutnya Pagoda Metakaruna atau Pagoda Cinta Kasih karena keberadaannya untuk menghormati figur Kwan Sie Im Po Sat, Sang Dewi Cinta Kasih.

Patung Sidharta Gautama dibawah Pohon Bodhi pohon bodhi berusia 65 tahun.
Pagoda Avalokitesvara menjulang setinggi 45 meter.
Aku dan Titan.
Patung Dewi Kwan Im setinggi 5 meter terletak di dalam pagoda Avalokitesvara.

Selesai mengeliling pagoda Avalokitesvara yang dijaga oleh patung Dewa-Dewi yang diatur mengelilingi setiap sisi di lantai dasar, aku mulai mengeksplorasi bagian pelataran dan taman. Tampak gazebo kembar dengan dua lapis atap yang digunakan oleh para pengunjung untuk duduk dan beristirahat karena kelelahan mengelelingi area vihara yang sangat luas.

Sementara di sisi pelataran lain terdapat Patung Sleeping Buddha (Buddha Parinibbana), mengingatkanku ketika mengunjungi Pha That Luang di Vientiane tepat lima bulan sebelum kunjunganku ke vihara ini. Di sebelah Patung Buddha Tidur, berbaris Tugu Ariya Atthangika Magga yang melambangkan jalan utama berunsur delapan sebagai latihan untuk meraih kebahagiaan tertinggi (Nibbana).

Gazebo di sekitar pagoda.
Buddha Parinibbana yang menggambarkan wafatnya Sang Buddha di antara dua Pohon Sala.

Aku perlahan mulai meninggalkan Vihara Buddhagaya. Tampak pula kegagahan Tugu Ashoka setiinggi 7 meter. Sebuah tugu yang terbuat dari batu utuh dan diujungnya berkepala singa. Makna yang terkandung dari bentuk singa ini adalah sebuas apapun singa, ketika kita tahu karakternya maka akan mudah ditaklukkan.

Dan di bagian akhir aku melewati Gerbang Sanchi dan Monumen Watugong. Gerbang ini merupakan replika dari gapura yang berada di depan Stupa Sanchi, India. Gerbang yang dibangun sebagai simbol penghormatan saat masuk bangunan vihara.

Sedangkan Monumen Watugong dibangun untuk menunjukkan asal mula nama area “Watugong”. Nama yang diambil dari sebuah batu alam asli berbentuk gong.

Hampir selesai berkunjung.
Tugu Ashoka untuk mengenang Raja Ashoka dari India yang taat menganut ajaran Buddha.
Monumen Watugong dan Gerbang Sanchi.

Kunjunganku di Semarang telah benar-benar usai. Titan akan mengantarkanku menuju Sleep & Sleep Capsule untuk mengambil backpack dan perlengkapan. Setelahnya aku akan menuju Ahmad Yani International Airport dan kembali ke Jakarta.

Terimakasih Semarang.

Kisah Selanjutnya—->

The Story of Buddha’s Death at Watugong Pagoda

The moped was lauched with all its might by Titan heading south of the city. 15 kilometers away, 30 minutes in length. He said that I would be brought to the highest pagoda in Indonesia, in Pudakpayung area. Almost 12:00 hours, Titan and I arrived there, right on the edge of Perintis Kemerdekaan Street. Entering the gate, I just realized that it was a Buddhist monastery or worship complex, named Vihara Buddhagaya Watugong.

I passed a building with a roof shape which was similar to roof top at Grand Palace, Bangkok. If Grand Palace has a golden roof, this building will be brick red. This building is called Dhammasala Vihara. I started exploring it from top floor which was used as a multipurpose hall then entered its room in downstairs.

Dhammasala Vihara.
The first floor of Dhammasala Vihara is a praying room, decorated with a golden Buddha statue.

Leaving Dhammasala Vihara, I slowly approached second main section of monastery. This was what Titan meant earlier. The seven-story pagoda was with its nicknamed as Avalokitesvara Pagoda. Avalokitesvara itself comes from Sanskrit word “Avalokita” which means to hear down and “Isvara” which means sound. Meanwhile, Avalokitesvara in Chinese language is called by two words, namely “Kwan Im”. Meanwhile “Kwan Im” itself is a manifestation of compassion from Buddha.

Therefore, this temple is also known as Goddess Kwan Im Pagoda. Some people call it as Metakaruna Pagoda or Love Pagoda because of its existence to honor Kwan Sie Im Po Sat figure, Goddess of Love.

Sidharta Gautama statue under Bodhi Tree, a 65 year old Bodhi Tree.
Avalokitesvara Pagoda rises 45 meters in high.
Me dan Titan.
The 5 meter high statue of Goddess Kwan Im is located inside Avalokitesvara Pagoda.

Having finished walking around Avalokitesvara Pagoda which was guarded by God statues which arranged around each side on ground floor, I started exploring its courtyard and garden. There were twin gazebos with two layers of roofs which were used by visitors to sit and rest because they were tired after exploring vast monastery area.

Meanwhile, on other side of its courtyard was Sleeping Buddha Statue (Buddha Parinibbana), which reminded me when visiting Pha That Luang in Vientiane exactly five months before my visitation to this monastery. Next to Sleeping Buddha Statue, lined Ariya Atthangika Magga Monument, which represented eightfold main path as a practice for attaining highest happiness (Nibbana).

Gazebo around pagoda.
Buddha Parinibbana which describes passing of Buddha between two Sala Trees.

I slowly started to leave Buddhagaya Vihara. 7 meters tall Ashoka Monument was also visible. A monument made from solid stone and had lion head. A meaning which is contained in this lion head is that no matter how wild a lion is, when we know its character, it will be easy to conquer.

And at the end, I passed Sanchi Gate and Watugong Monument. This gate is a replica of a gate in front of Sanchi Stupa at India. The gate was built as a symbol of respect when entering temple building.

Meanwhile, Watugong Monument was built to show origin of area name, i.e “Watugong”. The name was taken from an original natural stone in the form of a gong (Javanese musical instrument).

Almost finished in visiting.
Ashoka Monument to commemorate King Ashoka from India who obey in practicing Buddhism.
Watugong Monument and Sanchi Gate.

My visitation in Semarang had really ended. Titan would take me to Sleep & Sleep Capsule to pick up my backpack and supplies. After that I would go to Ahmad Yani International Airport and returned to Jakarta.

Thank you Semarang.