Sebetulnya aku belumlah puas menikmati keindahan yang tertampil di segenap sisi Al Alam Palace. Corak menarik, arsitektur khas, warna mencolok berpadu dengan hijaunya taman membuat Al Alam Palace menjadi aktor utama pariwisata di daerah Kalbuh.
Sementara itu, diantara kemegahan segenap area sekitar, tampak beberapa tukang kebun istana sedang sibuk-sibuknya membersihkan taman. Para pekerja itu khas berwajah Asia Selatan, mengenakan seragam dengan paduan celana panjang yang keseluruhannya berwarna coklat muda. Satu diantara mereka tampak mendorong seperangkat peralatan kebun untuk mendukung pekerjaan mereka.


Aku bergegas meninggalkan Al Alam Palace dari sisi baratnya. Melewati Al Khor Mosque. Masjid mungil dengan warna dominan ungu yang tersemat di bagian kubah-kubah mungilnya itu menjadi tempat peribadatan ikonik di sekitar istana.
Aku terus melewati masjid itu untuk segera tiba di bibir pantai. Tetapi mendadak langkahku melambat ketika dengan seketika mendengar logat jawa dari arah belakang.
“Kae lho….bentenge dhuwur banget yo…..”, aku segera menoleh ke arah sumber suara.
Kulihat sepasang muda-mudi sedang melangkah cepat menuju ke bangunan benteng. Mereka berdua menyalip langkahku dari belakang, untuk kemudian berdiri di bawah kaki benteng. Begitupun aku, berdiri di sebelah mereka untuk mengambil foto terbaik dari rupa arsitektur pertahanan itu. Al Mirani Fort nama benteng tersebut.
Inilah benteng yang menjadi saksi pengambil alihan Muscat dari kekuasaan Portugis oleh Dinasti Utsmaniyah pada awal Abad ke-16 melalui sebuah pertempuran bertajuk “Capture of Muscat”.
“Mas, Jowone ngendi?”, aku yang sedari sebelumnya sudah tak tahan untuk menyapa mereka, akhirnya mulai bertanya juga.
“Loh mase soko Indonesia yo?”, mereka terkaget seketika
“Aku soko Jakarta, Mas”
“Oalah, Aku soko Jogja, Mas”, dia menjawab sambil menunjuk kekasihnya yang berwajah khas Eropa.
“Aku asli Paris mas, tapi sekolah nang Jogja”, gadis cantik berambut pirang itu menjelaskan ketika aku terheran karena dia bisa berbahasa Jawa.
Percakapan kami di depan Al Mirani Fort kemudia berlanjut lebih jauh tentang dari mana kami sebelum sama-sama tiba di Muscat, perjalanan selanjutnya setelah berkunjung di Muscat serta hal-hal menarik lainnya tentang pengalaman bertraveling.
Tetapi karena perbedaan agenda, akhirnya percakapan berdurasi hampir setengah jam itu harus terhenti, karena mereka berdua hendak pergi menuju Masjid Sultan Qaboos yang terletak di kawasan Al Ghubrah South.



Akhirnya kami bertiga berpisah….
Aku sendiri menlanjutkan langkah menuju utara Al Mirani Fort demi menggapai pantai.
Aku tiba di tepian pantai lima menit kemudian, kini pemandangan berubah menjadi hamparan membiru perairan pantai yang mengisi ruang diantara perbukitan berbatu yang menjadi pertahanan sempurna Kesultanan Oman tempo doeloe.
Sementara di salah satu puncak bukit yang lain, berdiri gagah Al Jalali Fort yang dua menaranya menjulang seakan lekat mengawasi sekitar.
“Can I go there?”, aku bertanya pada seorang serdadu yang tampak mengamankan Al Alam Palace sisi selatan sembari melempar telunjuk jariku ke arah benteng.
“No….That fort is closed for next several day”, dia menjelaskan singkat dengan wajah super dingin.
“Oh….Okay. Thanks, Sir”, aku tak berani lagi melanjutkan percakapan.
Alhasil, aku hanya menikmati suasana pantai untuk beberapa saat ke depan.