Menginap di Muscat International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Ruwi-Mwasalat Bus Station mulai diselimuti gelap, hanya sisa semburat senja saja yang memiliki dominasi akhir di atas atap alam terminal bus terbesar di kawasan Ruwi tersebut.

Degup jantungku perlahan melambat usai mendudukkan diri di sebuah bangku terminal, beberapa waktu sebelumnya aku berjibaku di sepanjang Al Fursan Street dengan langkah super cepat demi mendahului gelap untuk tiba di terminal bus.

Sesekali aku meneguk air mineral tersisa, aku berusaha mendinginkan keringat sebelum masuk ke dalam bus.

Sedangkan tepat di depanku, menyala dengan langsam mesin Mwasalat Bus bernomor 1B. “Lebih baik aku naik jika bus bersiap untuk jalan saja”, aku membatin sembari menatap ke arah bus yang perlahan terisi penumpang, tetapi tak terlalu penuh.

Beberapa detik menjelang pukul enam sore…

Pengemudi mulai menaiki bus di bangkunya, bersamaan dengan itu aku pun ikut serta masuk melalui pintu depan. Menyerahkan ongkos senilai 1 Rial maka aku duduk di bangku tengah, tepat di belakang seorang turis asal Eropa yang tampak sibuk mengotak-atik kamera DSLRnya.

Seperti perjalananku menuju Ruwi-Mwasalat Bus Station beberapa hari lalu dari bandara, perjalanan ini akan membutuhkan waktu setengah jam saja untuk tiba di tujuan akhir .

Bus perlahan berjalan meninggalkan terminal, memasuki jalan-jalan kota yang indah tersiram cahaya lampu-lampu jalanan. Sedangkan beberapa bangunan ikonik di sepanjang jalan menampilkan keelokan tersembuyi ketika mendapatkan terpaan lampu berwarna-warni, menjadikan seluruh penjuru kota Muscat yang kulewati tampak hidup.

Menyusuri Sultan Qaboos Street, aku terus terhanyut dalam suasana malam kota. Turis Eropa yang berada di depanku tampak sesekali mengarahkan kameranya ke beberapa sudut kota yang menarik mata.

Sedikit lewat dari pukul setengah tujuh malam….

Aku tiba di Muscat International Airport dan diturunkan di Public Bus Service Area yang berlokasi di Ground Floor bandara. Aku tak terburu-buru untuk memasuki bagian dalam bangunan bandara karena memang penerbanganku menuju Bahrain masih dijadwalkan esok pagi.

Aku pun beranjak menuju Lantai 1. Aku memutuskan untuk berada di luar bangunan bandara demi menikmati keindahan Muscat International Airport di malam hari dari salah satu sudut tamannya. Udara yang belum terlalu dingin seolah mendukung niatanku untuk menghabiskan waktuku di taman depan bandara tersebut.

Duduk di salah satu bangku taman, aku terus berpikir, begitu apiknya Oman Airports sebagai operator Muscat International Airport dalam menata bandara berusia setengah abad tersebut. Sejauh mata memandang, parkir area yang tertata rapi telah dipenuhi dengan kendaraan-kendaraan mewah. Sedangkan cahaya di setiap penjuru taman menjadikan gradasi tiga warna dominan melukis penampilan bandara. Warna hijau dari vegetasi di sekitar bandara berpadu dengan warna putih dan kuning cahaya lampu membuat simfoni alam yang meneduhkan mata.

Keindahan suasana manjadikanku tak sadar terpedaya oleh waktu. Tak terasa tengah malam sekejap lagi tiba. Udara juga terasa lebih dingin dari waktu sebelumnya. Tak mau kedinginan, aku pun menuju lantai dua bangunan bandara yang merupakan lantai dimana Services & Amenities Area ditempatkan.

Tujuan utama dan pertamaku di lantai itu adalah musholla, tentunya demi menunaikan kewajiban shalat Jamak Maghrib dan Isya’.

Usai shalat, aku tak punya tujuan lain setelah selain beristirahat. Maka kuputuskan untuk mengakuisisi sebuah bangku kosong di food court area untuk tidur dan beristirahat hingga fajar tiba.

Sungguh aku telah menemukan malam yang berkesan di Muscat International Airport.

Kisah Selanjutnya—->

Kembali ke Ruwi-Mwasalat Bus Station: Menutup Petualangan di Muscat

<—-Kisah Sebelumnya

Satu setengah jam lamanya, aku menyambangi setiap sudut Muscat Sports Club hingga matahari tergelincir menuju ufuk barat.

Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore….

Aku pun memutuskan untuk undur diri, mengakhiri petualangan dan beranjak kembali menuju penginapan. Aku harus mengambil backpack yang kutitipkan usai check-in siang sebelumnya. Rencananya, setelah mengambil backpack, aku akan menuju bandara dan menginap di sana saat malam tiba. Itu karena penerbanganku menuju Bahrain akan berlangsung di keesokan pagi.

Melintasi coffee shop yang terletak di sebelah gerbang utama Muscat Sports Club, aku kembali turun di jalanan. Menelusuri An Nuzhah Street sisi selatan, menuju utara. Kembali menyisir jalanan yang sama ketika aku tiba di Al Wadi Al Kabeer Park dan Muscat Sports Club.

Sore itu udara sudah tak panas lagi, melainkan bertransformasi menjadi hembusan angin dingin yang membawa butir-butir pasir, membuat kulit gatal dan mata pedih ketika menerpa badan.

Tak peduli dengan hembusan angin  itu……

Entah kenapa, tetiba langkahku menjadi kikuk ketika tiba di depan Al Wadi Al Kabir Market. Aku berhenti sejenak, menatap bangunan perbelanjaan itu. Memaksa otak untuk berpikir, “Apa yang harus kupersiapkan?”.

Aku menarik dompet dari dalam folding bag, melihat isinya, setelah merasa cukup dengan lembaran Rial yang kupunya, maka aku pun tanpa ragu masuk ke dalam bangunan itu dan bergegas memasuki Lulu Hypermarket di dalamnya.

Ya….Aku menyempatkan berbelanja beberapa makanan untuk perbekalan selama di perjalanan menuju Bahrain. Perjalananku menuju Bahrain akan dimulai dengan menginap di Muscat International Airport malam itu juga dan akan tiba di Bahrain pada pukul empat sore di keesokan harinya. Itu berarti aku akan berada diperjalanan selama 22 jam.

Setelah menelusuri seisi Lulu Hypermarket selama lima belas menit aku keluar dari pasar swalayan itu dengan membawa cheese sandwich, yogurt, orange juice dan cake. Semuanya kutebus dengan harga 725 Baisa.

Lalu aku pergi meninggalkan Al Wadi Al Kabir Market dengan menenteng kantung plastik yang berisi barang belanjaan. Selepas mengunjungi Lulu Hypermarket, aku pun melangkah secepat mungkin dan berfokus menuju penginapan. Menjelang pukul lima sore, aku pun tiba di OYO 117 Majestic Hotel, tempatku menginap.

Setelah mengambil backpack di resepsionis, aku tak terburu menuju Ruwi-Mwasalat Bus Station, melainkan menuju ke kedai khas Bangladesh yang telah menjadi langgananku semenjak tiba di Muscat.

Mampir di Lulu Hypermarket.
Suasana jalanan di sekitar OYO 117 Majestic Hotel.
Tepat di tikungan menuju OYO 117 Majestic Hotel.
Makan dengan cara Bangladesh….Wkwkwkwk.
Menjelang gelap di Al Fursan Street.

Sore menjelang malam itu, aku menyantap nasi putih dengan chicken fry sebagai lauknya. Pemilik kedai itu telah paham dengan kebiasaanku selama beberapa hari sebelumnya. Dia menyuguhkanku satu potongan paha yang itu berarti menyuguhkan setengah dari porsi normal. Jadi aku hanya perlu untuk membayarnya separuh porsi saja, cara tepat bagiku untuk berhemat.

Aku pun membayar menu makan malamku dengan 250 Baisa ketika selesai menandaskan nasi di piring.

Selanjutnya aku pun kembali menelusuri Al Fursan Street. Berjalan sejauh dua kilometer dengan waktu tempuh tiga puluh menit.

Aku pun tiba di Ruwi-Mwasalat Bus Station….

Aku bersiap menuju ke Muscat International Airport

Kisah Selanjutnya—->

Mwasalat Bus Line 4: Mejemput Keindahan Mutrah

<—-Kisah Sebelumnya

Dengat perut kenyang aku meninggalkan kedai makan khas Bangladesh yang letaknya tak jauh dari OYO 117 Majestic Hotel, tempatku menginap.

Aku kembali tiba di perempatan yang terbentuk oleh persilangan Al Baladiya Street dan Al Fursan Sreet. Di Al Fursan Street, aku terus mempercepat langkah untuk segera tiba di Ruwi Mwasalat Bus Station.

Berjalan sejauh dua setengah kilometer selama tiga puluh menit, akhirnya aku tiba di terminal.

Misiku selanjutnya adalah mencari keberadaan bus yang akan berangkat menuju Mutrah. Dari brosur pariwisata Oman yang kudapatkan dari Muscat International Airport pada malam sebelumnya, aku cukup mendapatkan informasi bahwa untuk menggapai Mutrah maka aku harus menaiki Mwasalat Bus Line 4.

Kusapukan pandangan ke seluruh sudut terminal demi menemukan bus itu. Pada akhirnya aku mendapatkannya di platform bagian tengah. Oleh karena sebagian kursi bus telah terisi penumpang, maka aku memutuskan untuk segera menaikinya.

Membayar dengan uang koin sebesar 200 Baisa, maka aku segera mendudukkan diri di kursi tengah. Tak lebih dari sepuluh menit kemudian, bus itu perlahan berjalan meninggalkan terminal.

Bus meninggalkan daerah Ruwi menuju utara melalui daerah Darsait untuk kemudian merubah arah menuju timur demi menggapai tepian Teluk Oman. Menyisir Mina Street, bus berjalan di sepanjang kaki perbukitan berbatu.

Tak berapa lama jalanan lengang di sepanjang Mina Street berubah menjadi jalanan penuh keramaian di sepanjang Al Bahri Road yang arusnya berbelok di tepan pantai Teluk Oman.

Pemandangan berganti dengan berjajarnya kapal-kapal pesiar mewah di sepanjang Sultan Qaboos Port yang menjadi pelabuhan kargo dan penumpang utama di Kota Muscat. Rombongan turis asal Eropa juga tampak memenuhi jalanan di sepanjang pantai.

Bus terus menyisir Al Bahri Road, kali ini bus bergerak menuju selatan mengikuti kontur pantai. Al Bahri Road sendiri adalah jalan raya dengan dua ruas, ada dua jalur di setiap ruasnya, dan antar ruas dipisahkan dengan taman memanjang dimana bunga-bunga di tanam dengan metode drip irrigation.

Mwasalat Bus Line 4.
Interior bus.
Area di dekat Sultan Al Qaboos Port.
Pelabuhan penumpang Al Qaboos Port.
Aku turun di The National Museum Oman.

Selain keberadaan taman yang menghiasi sepanjang jalan, keindahan Al Bahri Road menjadi sempurna dengan keberadaan perbukitan batu nan menawan di sisi baratnya dan hamparan pantai yang membiru di sisi timurnya. Pemandangan yang bahkan membuatku tak rela barang sekedip mata untuk menikmatinya.

Tetapi aku yang berada di dalam bus juga harus bersegera menetapkan tempat untuk berhenti, karena semakin jauh mengikuti arus bus maka aku akan semakin jauh menyisir ulang jalanan itu sebagai metode utamaku untuk mengekplorasi keindahan daerah Mutrah.

Dalam waktu menunggu untuk mengambil keputusan itu, tetiba melintas penampakan indah warna-warni di Al Alam Palace yang merupakan istana Kesultanan Oman.

“Ya….Di sinilah aku harus turun”, aku memutuskan.

Tak lama kemudian, bus berhenti di Al Alam Palace Bus Stop untuk menurunkan beberapa penumpangnya. Akhirnya kuputuskan untuk ikut turun Bersama para penumpang itu.

Kini aku berada di daerah Kalbuh yang berjarak sepuluh kilometer jauhnya dari titik semula aku berangkat, yaitu Ruwi-Mwasalat Bus Stop. Perlu waktu hampir setengah jam untuk menempuh perjalanan ini.

Kini saatnya berjalan kaki demi mengeksplorasi keindahan daerah Mutrah.

Kisah Selanjutnya—->

Menuju OYO 117 Majestic Hotel: Jalan Tenang nan Menentramkan

<—-Kisah Sebelumnya

Pukul setengah tujuh pagi aku sudah menginjakkan kaki di daerah Ruwi setelah dihantarkan oleh Mwasalat Bus bernomor 1B dari Muscat International Airport.

Menuruni bus, aku tetiba terperangah….

Bagaimana tidak, terminal bus berukuran kecil itu tampak indah karena dikelilingi oleh bukit berbatu yang membentang dengan warna coklat kemerahan di segenap pandangan. “Ini sungguh pesona yang luar biasa”, batinku berujar sesaat.

Usai mengabadikan beberapa sudut terminal dalam jepretan Canon EOS M10 kesayangan, maka tatapanku berpindah ke arah selatan.

Jalanan masih sepi, sementara OYO 117 Majestic Hotel yang kupesan tersembunyi di sebuah sisi jalan yang berjarak dua setengah kilometer jauhnya. Aku memesan salah satu kamarnya seharga 11 Rial per malam tepat sebulan sebelum keberangkatan.

Untuk beberapa saat aku menatap bentangan lurus panjang Al Fursan Street yang sangat lengang. Jalan itu lurus bersisian dengan Alkbir Wadi yang kering kerontang, menampakkan tanah permukaannya yang pecah merekah dimana-mana karena konsitensi terpaan panas surya dalam beberapa bulan musim kering.

Wadi sendiri adalah sebutan untuk hamparan sungai yang kering karena pada umumnya sungai tersebut hanya mengalirkan air saat musim penghujan tiba.

“Tak ada waktu lagi…..”, aku meyakinkan diri untuk mantab saja melangkah memasuki Al Fursan Street.

Aku melangkah cepat sembari terus memperhatikan posisiku terhadap hotel di aplikasi peta pada gawai pintar yang terus kugenggam selama melangkah. Semaikin jauh menelusuri Al Fursan Street, bukan perasaan gentar yang kudapatkan, justru rasa tenang nan damai yang menyelimuti setiap langkah demi langkah. Aku merasa berada di jalanan paling aman yang membuatku berani melambatkan langkah demi menikmati suasana pagi yang sejuk hingga kemudian langkahku terhenti di sebuah perempatan.

Aku berdiam di sisi barat persimpangan dua jalan itu. Aku mencoba mencari papan petunjuk untuk memahami nama jalan pemotong Al Fursan Street yang sedari sebelumnya aku lewati.

“Al Baladiya Street….Oh itu nama jalannya”, aku mendapatkan papan nama jalan dengan cepat.

Aku memutuskan untuk menyeberangi perempatan itu, karena letak hotel yang sedang kucari berada di sisi timur Alkbir Wadi. Aku pun menyeberangi jembatan yang gagah mengangkangi wadi yang memiliki lebar tak kurang dari lima puluh meter.

Aku memasuki daerah Al Walja.
Suasana AL Fursan Street yang tenang dan menentramkan.
Perempatan jalan yang dibentuk oleh Al Fursan Street dan Al Baladiya Street.
Alkbir Wadi yang kering kerontang.
Ruas jalan terakhir menuju ke OYO 117 Majestic Hotel.

Kini langkahku berpindah di jalan yang menyejajari Alkbir Wadi di sisi timurnya. Sepanjang jalan itu, tampak ruko-ruko lima lantai yang masih tertutup rapat di sisi kiriku melangkah. Sedangkan di sisi kanan lebih didominasi oleh keberadaan truk-truk besar yang bagian depannya ditundukkan sebagai pertanda bahwa mesin-mesin pengangkut itu sedang mendapatkan reparasi.

Tampak wajah-wajah khas Asia Selatan mendominasi kegiatan reparasi itu, nantinya aku akan mengetahui bahwa mayoritas mereka berasal dari Bangladesh.

Semakin mendekati hotel, suasana jalanan mulai ramai. Nadi kehidupan ekonomi Kota Muscat tampak sedang menggeliat dari bangun malamya.

Sebelum benar-benar tiba di hotel, aku mulai memfokuskan pandangan untuk mencari keberadaan kedai makan di sekitar aku melangkah. Naluriku mengatakan bahwa di daerah tersebut pasti ada kedai makan murah khas Bangladesh yang memfasilitasi kebutuhan perut para pekerja Bangladesh yang sibuk bekerja di sekitarnya.

Benar saja, di sebuah gang dan sedikit tersembunyi aku melihat sebuah kedai makan mungil.

Baiklah….Di situlah aku akan menikmati sarapan pertamaku di Oman”, bibirku tersenyum tipis ketika mengambil keputusan.

Demi segera bersarapan, maka aku mempercepat langkah menuju hotel yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi di depan.

Kisah Selanjutnya—->