Muttrah Fort: Temuan Terindah di Hari Perdana

<—-Kisah Sebelumnya

Aku masih terduduk….Masih terpesona….Masih mematung di salah satu bangku beton Muttrah Corniche. Aku bersiap-siap menyiapkan kata-kata untuk mengutuk diri jika siang itu tidak lagi berhasil menginjakkan kaki di gagahnya Muttrah Fort yang berada di puncak bukit yang berada tepat di hadapanku….Tepat di sisi seberang Al Bahri Road yang sedari tadi kutapaki.

Kalimat-kalimat kutukan itu kupersiapkan untuk diri sendiri karena sedari pagi megeksplorasi area Muttrah dan sudah melintasi Al Jalali Fort, Al Mirani Fort dan Rawia Fort, tetapi keberuntungan tak berpihak untukku dikarenakan tutupnya ketiga obyek sejarah Kesultanan Oman tersebut.

Jangan sampai kamu gagal, Donny….Mau kau kemanakan reputasimu?”, aku memberi peringatan tegas untuk diriku sendiri.

Tatapku menjadi lebih awas karenanya….

Tak ada jalan langsung dari sisi Al Bahri Road untuk menanjak menuju banteng. Aku memperhatikan sekitar, mencari keberadaan gang untuk mencoba melihat sisi belakang bukit.

“Itu dia….”, aku mulai menebak-nebak. Ada dua gang tak terlalu besar di sisi barat dan timur bukit. Mempertimbangkan jarak terdekat dengan kedua gang itu, aku memutuskan mengambil gang sisi barat.

Gang yang hanya cukup untuk berpapasan dua mobil itu mengantarkanku untuk tiba di Muttrah High Street yang membentang di belakang bukit. Melangkah seratus meter kemudian akhirnya aku menemukan jawaban. Gerbang menuju Muttrah Fort ternyata tepat berada di belakang bukit.

Kalimat-kalimat kutukan itu runtuh sudah….

Gerbang itu terbuka lebar, pertanda benteng megah tersebut terbuka untuk wisatawan….

Jalur pendakian itu berada tepat di area parkir benteng. Aku mulai menapaki satu anak tangga hingga ke anak tangga berikutnya. Sementara bendera Kesultanan Oman berukuran besar gagah berkibar di ujung teratas benteng, membuatku semakin tak sabar untuk tiba di atas.

Tapi aku yang terengah-engah harus beberapa kali berhenti demi mengambil nafas yang sering kali hampir habis.

Karena ketinggian benteng yang membahayakan, beberapa tanda peringatan keamanan ditampilkan dalam lima bahasa internasional, yaitu Arab, Inggris, Jepang, Jerman dan Perancis.

Situs sejarah ini telah di restorasi menggunakan metode dan material tradisional yang sesuai dengan desain asli benteng. Demi keamanan, harap berhati-hati ketika melintasi permukaan yang tidak rata. Ketika berada di tepian benteng harap berdiri di besi pembatas dan memanfaatkan pegangan tangan dalam mendaki anak tangga”….Demikian kira-kira peringatan tersebut.

Menaklukkan 207 anak tangga akhirnya aku tiba tepat di bagian teratas benteng. Akhirnya aku menaklukkan ketinggian Muttrah Fort. Melihat luasan benteng yang begitu lebar, menunjukkan bahwa Muttrah Fort menjadi salah satu pertahanan utama Kesultanan Oman di masa lalu.

Muttrah Corniche dari atas.
Perumahan di belakang benteng,
Sultan Qaboos Port.
Difotoin turis Selandia Baru….Wkwkwk.
Meriam asli benteng.
Dinding benteng,

Benteng itu berlokasi di punggung bukit yang menghadap ke dua sisi, yaitu kota dan pantai Muttrah dimana menara beserta bangunan utama bentengnya menempati posisi ideal untuk melindungi kota Muttrah dari serangan musuh yang berasal dari lautan dan daratan sekitar. Benteng ini dibangun pada awal Abad ke-16, kemudian Portugis menambahkan dua menara dan dinding penahan. Pada akhir Abad ke-18, Dinasti Al Busaidi mengembangkan lagi Muttrah Fort dengan menggandakan menara dan dinding benteng. Baru pada tahun 1980, Ministry of Heritage Kesultanan Oman memugarnya hingga berbentuk seperti saat ini.

Siang itu menjadi titik kulminasiku dalam menungunjungi Muttrah. Lukisan alam yang terpampang dari atas benteng menjadikan temuan paling indah yang kudapati di hari perdana mengunjungi Oman.

Aku pun yakin bahwa kamu mengagumi pemandangan itu….Amazing view.

Kisah Selanjutnya—->

Bait Al Zubair: Terpapar Sejarah di Kalbuh

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir masuk pukul sepuluh pagi…..

Aku memutuskan untuk meninggalkan tepian pantai di utara Al Alam Palace. Memaksakan diri meninggalkan otentiknya Al Mirani Fort yang sebelumnya kupunggungi dan Al Jalali Fort yang dari kejauhan seakan melambai mengundangku untuk berkunjung.

Kembali berjalan mengitari sisi barat istana, aku meninggalkan kompleks pemerintahan Kesultanan Oman melalui halamannya yang memanjang menuju selatan dan berakhir di tepian Al Bahri Road.

Tiba di tepian jalan utama, aku menatap jauh ke arah barat. Antusiasku kembali tumbuh, menerka-nerka, “Spot  pariwisata apa saja yang akan kutemui apabila aku berjalan kaki sejauh tujuh kilometer?”.

Tanpa keraguan….Aku pun mulai melangkahkan kaki.

Tiba di sebuah jalur melingkar, aku tertegun pada sebuah bukit berbatu dengan benteng gagah di atasnya. Adalah Rawia Fort yang menjadi benteng pertahanan ketiga yang kusaksikan di area Mutrah.

Dari bundaran sisi utara, langkah kaki akhirnya mengantarkanku tiba di Al Bab Al Kabeer Gate. Sesuai namanya, gerbang itu memiliki ukuran besar, menjadi landmark kesekian di daerah Kalbuh. Gerbang besar itu menjadi akses utama menuju Musee Franco-Omanais yang merupakan  pengenang hubungan dekat antara Oman dengan Perancis. Oleh karena fungsinya, maka di dalam museum itu terdapat foto-foto diplomatik antar kedua negara di masa lalu serta berbagai jenis pakaian, furniture dan perhiasan khas kedua negara. Kapal niaga Oman dan Perancis juga ada di dalam museum ini.

Sementara itu…..

Aku juga mengunjungi obyek wisata di selatan gerbang, yaitu Bait Al Zubair Museum dan Bait Muzna.

Bait Al Zubair sendiri adalah museum pribadi milik keluarga Zubair yang dibuka untuk umum tujuh belas tahun lalu. Kekhasan museum ini adalah ukiran-ukiran khas Oman yang tersemat di beberapa bagian museum yang berbahan dari kayu.

Sheikh Al Zubair bin Ali sendiri merupakan tokoh nasional yang pernah melayani Sultan Oman sebagai Menteri dan penasehat.

Terdapat beberapa bagian utama dari Bait Al Zubair, yaitu Bait Al Nahdhah, Galleri Syarah, Bait Al Bagh, Bait Al Oud dan Bait Al Dalaleel.

Bait Al Oud adalah rumah utama yang didesain untuk mencerminkan karakteristik masyarakat pertama di Muscat, dimana Sheikh Ali bin Juma (Sheikh Al Zubair) dan keluarganya menjadi salah satu tokohnya. Masyarakat itu hidup damai pada Abad ke-19 dan Abad ke-20.

Bait Al Oud memiliki tiga lantai, yaitu

Lantai G  digunakan untuk Temporary Exhibition Hall

Lantai 1 terdapat peta antic dari Semenanjung Arab, pameran maritim, furniture milik warga utama,

Lantai 2 digunakan untuk Foto Muscat tempo dulu, kolekdi kamera, cetakan tua Semenajung Arab

Rawia Fort terlihat di atas perbukitan.
Al Bab Al Kabeer Gate.
Musee Franco-Omanais.
Bait Al Zubair Museum.
Bait Al Dalaleel.
Bait Muzna Gallery (kanan).

Sedangkan…..Bait Al Dalaleel adalah rumah di Distrik Daleleel yang direstorasi dan direnovasi secara detail sehingga bisa membantu pengunjung untuk berpetualang waktu dan mengalami sendiri bagaimana penduduk asli oman menjalankan hidup pada masa seratus tahun lalu.

Lalu…..Bait Al Bagh (Bagian Utama) yang merupakan bangunan museum utama yang awalnya didirikan sebagai rumah keluarga pada tahun 1914 oleh Sheikh Al Zubair bin Ali. Pada masa lalu bangunan ini berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para elit negara. Jika ingin mengetahui lebih detail tentang Dinasti Busaidi, maka di sinilah tempatnya. Dinasti Busaidi sendiri telah berkuasan sejak pertengahan Abad ke-18 di tanah Oman.

Sedangkan tepat di utara Bait Al Zubair, di seberang jalan Al Bahri Road, berdirilah Bait Al Muzna yang menjadi galer seni pertama dan utama di Muscat yang menampilkan perkembangan seni kotemporer di area kesultanan.

Kunjungan di Bait Al Muzna membuatku semakin bersemangat untuk segera menemukan destinasi lain di sekitar Mutrah.

Yuk, ikuti langkahku……

Kisah Selanjutnya—->

Al Mirani Fort dan Al Jalali Fort: Kembaran Khas Portugis

<—-Kisah Sebelumnya

Sebetulnya aku belumlah puas menikmati keindahan yang tertampil di segenap sisi Al Alam Palace. Corak menarik, arsitektur khas, warna mencolok berpadu dengan hijaunya taman membuat Al Alam Palace menjadi aktor utama pariwisata di daerah Kalbuh.

Sementara itu, diantara kemegahan segenap area sekitar, tampak beberapa tukang kebun istana sedang sibuk-sibuknya membersihkan taman. Para pekerja itu khas berwajah Asia Selatan, mengenakan seragam dengan paduan celana panjang yang keseluruhannya berwarna coklat muda. Satu diantara mereka tampak mendorong seperangkat peralatan kebun untuk mendukung pekerjaan mereka.

Al Alam Palace dari dekat.
Halaman barat Al Alam Palace,

Aku bergegas meninggalkan Al Alam Palace dari sisi baratnya. Melewati Al Khor Mosque. Masjid mungil dengan warna dominan ungu yang tersemat di bagian kubah-kubah mungilnya itu menjadi tempat peribadatan ikonik di sekitar istana.

Aku terus melewati masjid itu untuk segera tiba di bibir pantai. Tetapi mendadak langkahku melambat ketika dengan seketika mendengar logat jawa dari arah belakang.

Kae lho….bentenge dhuwur banget yo…..”, aku segera menoleh ke arah sumber suara.

Kulihat sepasang muda-mudi sedang melangkah cepat menuju ke bangunan benteng. Mereka berdua menyalip langkahku dari belakang, untuk kemudian berdiri di bawah kaki benteng. Begitupun aku, berdiri di sebelah mereka untuk mengambil foto terbaik dari rupa arsitektur pertahanan itu. Al Mirani Fort nama benteng tersebut.

Inilah benteng yang menjadi saksi pengambil alihan Muscat dari kekuasaan Portugis oleh Dinasti Utsmaniyah pada awal Abad ke-16 melalui sebuah pertempuran bertajuk “Capture of Muscat”.

“Mas, Jowone ngendi?”, aku yang sedari sebelumnya sudah tak tahan untuk menyapa mereka, akhirnya mulai bertanya juga.

“Loh mase soko Indonesia yo?”, mereka terkaget seketika

“Aku soko Jakarta, Mas”

“Oalah, Aku soko Jogja, Mas”, dia menjawab sambil menunjuk kekasihnya yang berwajah khas Eropa.

“Aku asli Paris mas, tapi sekolah nang Jogja”, gadis cantik berambut pirang itu menjelaskan ketika aku terheran karena dia bisa berbahasa Jawa.

Percakapan kami di depan Al Mirani Fort kemudia berlanjut lebih jauh tentang dari mana kami sebelum sama-sama tiba di Muscat, perjalanan selanjutnya setelah berkunjung di Muscat serta hal-hal menarik lainnya tentang pengalaman bertraveling.

Tetapi karena perbedaan agenda, akhirnya percakapan berdurasi hampir setengah jam itu harus terhenti, karena mereka berdua hendak pergi menuju Masjid Sultan Qaboos yang terletak di kawasan Al Ghubrah South.

Al Khor Mosque.
“Wong Indonesia iku narsis yo mas nak di foto”, Ungkap gadis bule itu
Al Jalali Fort tampak dari kejauhan.

Akhirnya kami bertiga berpisah….

Aku sendiri menlanjutkan langkah menuju utara Al Mirani Fort demi menggapai pantai.

Aku tiba di tepian pantai lima menit kemudian, kini pemandangan berubah menjadi hamparan membiru perairan pantai yang mengisi ruang diantara perbukitan berbatu yang menjadi pertahanan sempurna Kesultanan Oman tempo doeloe.

Sementara di salah satu puncak bukit yang lain, berdiri gagah Al Jalali Fort yang dua menaranya menjulang seakan lekat mengawasi sekitar.

Can I go there?”, aku bertanya pada seorang serdadu yang tampak mengamankan Al Alam Palace sisi selatan sembari melempar telunjuk jariku ke arah benteng.

No….That fort is closed for next several day”, dia menjelaskan singkat dengan wajah super dingin.

Oh….Okay. Thanks, Sir”, aku tak berani lagi melanjutkan percakapan.

Alhasil, aku hanya menikmati suasana pantai untuk beberapa saat ke depan.

Kisah Selanjutnya—->