Bait Al Zubair: Terpapar Sejarah di Kalbuh

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir masuk pukul sepuluh pagi…..

Aku memutuskan untuk meninggalkan tepian pantai di utara Al Alam Palace. Memaksakan diri meninggalkan otentiknya Al Mirani Fort yang sebelumnya kupunggungi dan Al Jalali Fort yang dari kejauhan seakan melambai mengundangku untuk berkunjung.

Kembali berjalan mengitari sisi barat istana, aku meninggalkan kompleks pemerintahan Kesultanan Oman melalui halamannya yang memanjang menuju selatan dan berakhir di tepian Al Bahri Road.

Tiba di tepian jalan utama, aku menatap jauh ke arah barat. Antusiasku kembali tumbuh, menerka-nerka, “Spot  pariwisata apa saja yang akan kutemui apabila aku berjalan kaki sejauh tujuh kilometer?”.

Tanpa keraguan….Aku pun mulai melangkahkan kaki.

Tiba di sebuah jalur melingkar, aku tertegun pada sebuah bukit berbatu dengan benteng gagah di atasnya. Adalah Rawia Fort yang menjadi benteng pertahanan ketiga yang kusaksikan di area Mutrah.

Dari bundaran sisi utara, langkah kaki akhirnya mengantarkanku tiba di Al Bab Al Kabeer Gate. Sesuai namanya, gerbang itu memiliki ukuran besar, menjadi landmark kesekian di daerah Kalbuh. Gerbang besar itu menjadi akses utama menuju Musee Franco-Omanais yang merupakan  pengenang hubungan dekat antara Oman dengan Perancis. Oleh karena fungsinya, maka di dalam museum itu terdapat foto-foto diplomatik antar kedua negara di masa lalu serta berbagai jenis pakaian, furniture dan perhiasan khas kedua negara. Kapal niaga Oman dan Perancis juga ada di dalam museum ini.

Sementara itu…..

Aku juga mengunjungi obyek wisata di selatan gerbang, yaitu Bait Al Zubair Museum dan Bait Muzna.

Bait Al Zubair sendiri adalah museum pribadi milik keluarga Zubair yang dibuka untuk umum tujuh belas tahun lalu. Kekhasan museum ini adalah ukiran-ukiran khas Oman yang tersemat di beberapa bagian museum yang berbahan dari kayu.

Sheikh Al Zubair bin Ali sendiri merupakan tokoh nasional yang pernah melayani Sultan Oman sebagai Menteri dan penasehat.

Terdapat beberapa bagian utama dari Bait Al Zubair, yaitu Bait Al Nahdhah, Galleri Syarah, Bait Al Bagh, Bait Al Oud dan Bait Al Dalaleel.

Bait Al Oud adalah rumah utama yang didesain untuk mencerminkan karakteristik masyarakat pertama di Muscat, dimana Sheikh Ali bin Juma (Sheikh Al Zubair) dan keluarganya menjadi salah satu tokohnya. Masyarakat itu hidup damai pada Abad ke-19 dan Abad ke-20.

Bait Al Oud memiliki tiga lantai, yaitu

Lantai G  digunakan untuk Temporary Exhibition Hall

Lantai 1 terdapat peta antic dari Semenanjung Arab, pameran maritim, furniture milik warga utama,

Lantai 2 digunakan untuk Foto Muscat tempo dulu, kolekdi kamera, cetakan tua Semenajung Arab

Rawia Fort terlihat di atas perbukitan.
Al Bab Al Kabeer Gate.
Musee Franco-Omanais.
Bait Al Zubair Museum.
Bait Al Dalaleel.
Bait Muzna Gallery (kanan).

Sedangkan…..Bait Al Dalaleel adalah rumah di Distrik Daleleel yang direstorasi dan direnovasi secara detail sehingga bisa membantu pengunjung untuk berpetualang waktu dan mengalami sendiri bagaimana penduduk asli oman menjalankan hidup pada masa seratus tahun lalu.

Lalu…..Bait Al Bagh (Bagian Utama) yang merupakan bangunan museum utama yang awalnya didirikan sebagai rumah keluarga pada tahun 1914 oleh Sheikh Al Zubair bin Ali. Pada masa lalu bangunan ini berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para elit negara. Jika ingin mengetahui lebih detail tentang Dinasti Busaidi, maka di sinilah tempatnya. Dinasti Busaidi sendiri telah berkuasan sejak pertengahan Abad ke-18 di tanah Oman.

Sedangkan tepat di utara Bait Al Zubair, di seberang jalan Al Bahri Road, berdirilah Bait Al Muzna yang menjadi galer seni pertama dan utama di Muscat yang menampilkan perkembangan seni kotemporer di area kesultanan.

Kunjungan di Bait Al Muzna membuatku semakin bersemangat untuk segera menemukan destinasi lain di sekitar Mutrah.

Yuk, ikuti langkahku……

Kisah Selanjutnya—->

Al Mirani Fort dan Al Jalali Fort: Kembaran Khas Portugis

<—-Kisah Sebelumnya

Sebetulnya aku belumlah puas menikmati keindahan yang tertampil di segenap sisi Al Alam Palace. Corak menarik, arsitektur khas, warna mencolok berpadu dengan hijaunya taman membuat Al Alam Palace menjadi aktor utama pariwisata di daerah Kalbuh.

Sementara itu, diantara kemegahan segenap area sekitar, tampak beberapa tukang kebun istana sedang sibuk-sibuknya membersihkan taman. Para pekerja itu khas berwajah Asia Selatan, mengenakan seragam dengan paduan celana panjang yang keseluruhannya berwarna coklat muda. Satu diantara mereka tampak mendorong seperangkat peralatan kebun untuk mendukung pekerjaan mereka.

Al Alam Palace dari dekat.
Halaman barat Al Alam Palace,

Aku bergegas meninggalkan Al Alam Palace dari sisi baratnya. Melewati Al Khor Mosque. Masjid mungil dengan warna dominan ungu yang tersemat di bagian kubah-kubah mungilnya itu menjadi tempat peribadatan ikonik di sekitar istana.

Aku terus melewati masjid itu untuk segera tiba di bibir pantai. Tetapi mendadak langkahku melambat ketika dengan seketika mendengar logat jawa dari arah belakang.

Kae lho….bentenge dhuwur banget yo…..”, aku segera menoleh ke arah sumber suara.

Kulihat sepasang muda-mudi sedang melangkah cepat menuju ke bangunan benteng. Mereka berdua menyalip langkahku dari belakang, untuk kemudian berdiri di bawah kaki benteng. Begitupun aku, berdiri di sebelah mereka untuk mengambil foto terbaik dari rupa arsitektur pertahanan itu. Al Mirani Fort nama benteng tersebut.

Inilah benteng yang menjadi saksi pengambil alihan Muscat dari kekuasaan Portugis oleh Dinasti Utsmaniyah pada awal Abad ke-16 melalui sebuah pertempuran bertajuk “Capture of Muscat”.

“Mas, Jowone ngendi?”, aku yang sedari sebelumnya sudah tak tahan untuk menyapa mereka, akhirnya mulai bertanya juga.

“Loh mase soko Indonesia yo?”, mereka terkaget seketika

“Aku soko Jakarta, Mas”

“Oalah, Aku soko Jogja, Mas”, dia menjawab sambil menunjuk kekasihnya yang berwajah khas Eropa.

“Aku asli Paris mas, tapi sekolah nang Jogja”, gadis cantik berambut pirang itu menjelaskan ketika aku terheran karena dia bisa berbahasa Jawa.

Percakapan kami di depan Al Mirani Fort kemudia berlanjut lebih jauh tentang dari mana kami sebelum sama-sama tiba di Muscat, perjalanan selanjutnya setelah berkunjung di Muscat serta hal-hal menarik lainnya tentang pengalaman bertraveling.

Tetapi karena perbedaan agenda, akhirnya percakapan berdurasi hampir setengah jam itu harus terhenti, karena mereka berdua hendak pergi menuju Masjid Sultan Qaboos yang terletak di kawasan Al Ghubrah South.

Al Khor Mosque.
“Wong Indonesia iku narsis yo mas nak di foto”, Ungkap gadis bule itu
Al Jalali Fort tampak dari kejauhan.

Akhirnya kami bertiga berpisah….

Aku sendiri menlanjutkan langkah menuju utara Al Mirani Fort demi menggapai pantai.

Aku tiba di tepian pantai lima menit kemudian, kini pemandangan berubah menjadi hamparan membiru perairan pantai yang mengisi ruang diantara perbukitan berbatu yang menjadi pertahanan sempurna Kesultanan Oman tempo doeloe.

Sementara di salah satu puncak bukit yang lain, berdiri gagah Al Jalali Fort yang dua menaranya menjulang seakan lekat mengawasi sekitar.

Can I go there?”, aku bertanya pada seorang serdadu yang tampak mengamankan Al Alam Palace sisi selatan sembari melempar telunjuk jariku ke arah benteng.

No….That fort is closed for next several day”, dia menjelaskan singkat dengan wajah super dingin.

Oh….Okay. Thanks, Sir”, aku tak berani lagi melanjutkan percakapan.

Alhasil, aku hanya menikmati suasana pantai untuk beberapa saat ke depan.

Kisah Selanjutnya—->

Aroma Militer Menyelimuti Al Alam Palace

<—-Kisah Sebelumnya

Sekian lama menunggu hingga titik akhir rutenya, maka tersimpul pilihan untuk turun dari Mwasalat Bus Line 4 di Al Alam Bus Stop. Hal ini dikarenakan bus akan segera memutar balik menuku ke Ruwi- Mwasalat Bus Station di putaran terdekat dari halte bus itu.

Turun di halte dan melanjutkan langkah menuju sebuah bundaran, maka tempatku berdiri selanjutnya secara serta merta diapit oleh dua rupa arsitektur klasik dan berusia tua. Yang pertama adalah The National Museum yang memamerkan peninggalan sejarah bangsa Oman semenjak generasi pertama yang menempati semenanjung tersebut.

Sementara itu bangunan yang kedua, tepat di utaranya berdiri gagah Kantor Pusat Perpajakan Negara Oman. Bangunan klasik tiga lantai itu berdiri kokoh memunggungi perbukitan berbatu. Kantor pajak itu tentu menjadi tempat paling sibuk siang itu mengingat pada tahun kedatanganku, Kesultanan Oman sedang memberlakukan pajak penghasilan bagi setiap warga negara untuk pertama kalinya dalam sejarah. Wah kenapa negara kaya minyak itu baru menerapkan pajak penghasilan perorangan ya?……Pasti ada defisit anggaran.

Demi menghindari teriknya surya, aku segera menyelinap diantara rimbunnya trotoar yang memisahkan kedua ruas Al Bahri Road di tengahnya. Tujuan utama pertamaku di Muscat adalah mengunjungi Al Alam Palace yang merupakan salah satu dari enam istana milik Kesultanan Oman.

Istana ini sendiri tidak memperbolehkan wisatawan untuk masuk, tetapi para wisatawan diperbolehkan berdiri hingga di dekat pintunya yang hanya dibatasi oleh selapis gerbang besi .

The National Museum.
Tax Authority Building.
Trotoar pemisah dua ruas Al Bahri Road.
Al Alam Palace.
Suasana di sekitar Al Alam Palace.

Aku berusaha mendekati bangunan pemerintahan itu dengan menyelinap diantara deretan truk-truk militer yang terparkir di halaman istana. Aku sendiri tak begitu memahami apa yang terjadi di sekitar istana sehingga aroma militer tercium begitu kuat.

Para serdadu tampak sibuk berjaga di sepanjang halaman . Beberapa terlihat sangat ramah penuh senyum ketika aku berpapasan dengannya. Jawaban salam sesekali terdengar dari tutur mereka ketika aku berucap salam.

Dan pada akhirnya, semua kebingunganku terjawab setelah dua hari diriku meninggalkan Oman. Dari Manama -ibu kota Bahrain”, aku melihat sebuah berita di layar televisi bahwa Sang Pemimpin Kesultanan Oman, Sayyid Qaboos bin Sa’id Al Bu Sa’id telah berpulang kehadiran Sang Maha Kuasa.

Ternyata kesiap siagaan para tentara Oman itu terkait dengan keadaan darurat Kesultanan Oman karena sakitnya Sang Sultan.

Kembali ke Al Alam Palace…..

Aku dan beberapa gelintir turis Eropa berdiri tertegun di hadapan istana kesultanan yang sangat mempesona. Berlapiskan marmer halus dengan paduan tiga warna utama, biru-kuning-putih dan mengedepankan arsitektuk khas Oman.

Keindahan arsitektur itu terpadu indah dengan perbukitan berbatu yang tampak mengelilingi istana dan menjadi benteng alam yang ideal pada masanya.

Usai puas menikmati keindahan istana kesultanan Oman maka aku bergegas menuju ke sisi belakang istana demi menikmati keberadaan benteng-benteng kuno yang kuyakini sebagai pelindung utama atas keberadaan istana tersebut.

Kisah Selanjutnya—->

Mwasalat Bus Line 4: Mejemput Keindahan Mutrah

<—-Kisah Sebelumnya

Dengat perut kenyang aku meninggalkan kedai makan khas Bangladesh yang letaknya tak jauh dari OYO 117 Majestic Hotel, tempatku menginap.

Aku kembali tiba di perempatan yang terbentuk oleh persilangan Al Baladiya Street dan Al Fursan Sreet. Di Al Fursan Street, aku terus mempercepat langkah untuk segera tiba di Ruwi Mwasalat Bus Station.

Berjalan sejauh dua setengah kilometer selama tiga puluh menit, akhirnya aku tiba di terminal.

Misiku selanjutnya adalah mencari keberadaan bus yang akan berangkat menuju Mutrah. Dari brosur pariwisata Oman yang kudapatkan dari Muscat International Airport pada malam sebelumnya, aku cukup mendapatkan informasi bahwa untuk menggapai Mutrah maka aku harus menaiki Mwasalat Bus Line 4.

Kusapukan pandangan ke seluruh sudut terminal demi menemukan bus itu. Pada akhirnya aku mendapatkannya di platform bagian tengah. Oleh karena sebagian kursi bus telah terisi penumpang, maka aku memutuskan untuk segera menaikinya.

Membayar dengan uang koin sebesar 200 Baisa, maka aku segera mendudukkan diri di kursi tengah. Tak lebih dari sepuluh menit kemudian, bus itu perlahan berjalan meninggalkan terminal.

Bus meninggalkan daerah Ruwi menuju utara melalui daerah Darsait untuk kemudian merubah arah menuju timur demi menggapai tepian Teluk Oman. Menyisir Mina Street, bus berjalan di sepanjang kaki perbukitan berbatu.

Tak berapa lama jalanan lengang di sepanjang Mina Street berubah menjadi jalanan penuh keramaian di sepanjang Al Bahri Road yang arusnya berbelok di tepan pantai Teluk Oman.

Pemandangan berganti dengan berjajarnya kapal-kapal pesiar mewah di sepanjang Sultan Qaboos Port yang menjadi pelabuhan kargo dan penumpang utama di Kota Muscat. Rombongan turis asal Eropa juga tampak memenuhi jalanan di sepanjang pantai.

Bus terus menyisir Al Bahri Road, kali ini bus bergerak menuju selatan mengikuti kontur pantai. Al Bahri Road sendiri adalah jalan raya dengan dua ruas, ada dua jalur di setiap ruasnya, dan antar ruas dipisahkan dengan taman memanjang dimana bunga-bunga di tanam dengan metode drip irrigation.

Mwasalat Bus Line 4.
Interior bus.
Area di dekat Sultan Al Qaboos Port.
Pelabuhan penumpang Al Qaboos Port.
Aku turun di The National Museum Oman.

Selain keberadaan taman yang menghiasi sepanjang jalan, keindahan Al Bahri Road menjadi sempurna dengan keberadaan perbukitan batu nan menawan di sisi baratnya dan hamparan pantai yang membiru di sisi timurnya. Pemandangan yang bahkan membuatku tak rela barang sekedip mata untuk menikmatinya.

Tetapi aku yang berada di dalam bus juga harus bersegera menetapkan tempat untuk berhenti, karena semakin jauh mengikuti arus bus maka aku akan semakin jauh menyisir ulang jalanan itu sebagai metode utamaku untuk mengekplorasi keindahan daerah Mutrah.

Dalam waktu menunggu untuk mengambil keputusan itu, tetiba melintas penampakan indah warna-warni di Al Alam Palace yang merupakan istana Kesultanan Oman.

“Ya….Di sinilah aku harus turun”, aku memutuskan.

Tak lama kemudian, bus berhenti di Al Alam Palace Bus Stop untuk menurunkan beberapa penumpangnya. Akhirnya kuputuskan untuk ikut turun Bersama para penumpang itu.

Kini aku berada di daerah Kalbuh yang berjarak sepuluh kilometer jauhnya dari titik semula aku berangkat, yaitu Ruwi-Mwasalat Bus Stop. Perlu waktu hampir setengah jam untuk menempuh perjalanan ini.

Kini saatnya berjalan kaki demi mengeksplorasi keindahan daerah Mutrah.

Kisah Selanjutnya—->