Muttrah ke Ruwi: Mubadzir Air di OYO 117 Majestic Hotel

<—-Kisah Sebelumnya

Aku berkejaran dengan gelap demi tiba di halte bus Fish Market yang terletak di tepian Harat A’Shamal Street. Bersyukur sekali, aku tiba di halte tepat bersamaan dengan merapatnya Mwasalat Bus Line 4 yang berwarna dominan merah.

Aku segera melompat dari pintu depan ketika bus tersebut berhenti mendecit di depan halte. Membayar dengan 200 Baisa kepada pengemudi, aku pun menduduki bangku tengah. Tak berselang lama Mwasalat Bus itu melaju dengan anggun di Al Mina Street menuju Ruwi-Mwasalat Bus Station.

Aku sampai dalam lima belas menit….

Tiba di terminal utama Ruwi tidak berarti perjalananku usai. Melainkan aku harus menyambung langkah sejauh dua kilometer demi tiba di OYO 117 Majestic Hotel yang terletak di daerah Al Wadi Al Kabir.

Bak atlit jalan cepat, aku melahap blok demi blok daerah Al Humriyyah dan dalam waktu tiga puluh menit aku telah berjarak seratus meter dari penginapan.

Belum juga tiba di penginapan….

Tetiba perutku berbunyi. “Oh, iya….Sudah waktunya makan malam”, aku yang terlupa akhirnya membatin.

Tanpa pikir panjang, aku segera berbalik arah demi menyambangi kantin langganan yang sudah terlewat beberapa puluh meter di belakang.

Sore itu aku pun menyantap setengah porsi chicken fry khas Bangladesh beserta sepiring nasi dan menebusnya dengan 700 Baisa.

Aku menyantap menuku dengan cepat untuk kemudian kembali bergegas menuju penginapan.

Hatiku terasa lega ketika tiba di depan penginapan, setidaknya aku bisa mendahului datangnya malam demi mengamankan diri di penginapan.

Melangkahlah aku di lobby penginapan…..

“Hello, sir…. How is your day…. Is it fun?”,, sapa resepsionis pria yang menerima kedatanganku pada pagi sebelumnya.

Hi, Sir….Wonderful, I had explored the beauty of Muttrah all day”, aku melambaikan tangan kepadanya

Have a good rest, Sir”, dia terseyum ramah kepadaku.

“Thanks….”, aku pun meninggalkannya demi menuju lift yang akan mengantarkanku menuju lantai 3.

Beberapa saat kemudian, aku pun tiba di depan pintu kamar.

Aku sudah tak sabar untuk menghempaskan tubuhku di kasur dengan segera, mengingat sedari malam sebelumnya, aku tak bisa memejamkan mata dengan sempurna karena harus menempuh perjalanan udara dari Dubai. Ingin rasanya untuk membalas dendam kekurangan tidurku.

Aku pun membuka pintu dengan santainya, tak ada siapapun di lorong kamar sore menjelang malam itu. Aku segera memasuki kamar, mengunci pintu dan bersiap untuk melompat ke kasur.

Tetapi….

Tolakan kakiku terhenti seketika ketika aku mendengar bunyi samar gemerecik air.

“Itu dari kamar mandi”, aku diam berkonsentrasi mendengarkan.

Halte Bus Fish Market\.
Chicken Fry khas Bangladesh.
Ini dia, warung makan langgananku selama du Muscat.
Kamarku lega banget kan?

Aku pun segera menuju ke kamar mandi.

“Astaga……”, aku menepok jidat, memaki diri sendiri melihat apa yang terjadi di wastafel.

Kran itu mengucurkan air dengan pelannya.

Hmmh…..Sudah berapa banyak air yang kubuang sia-sia sedari meninggalkan kamar pagi tadi?”, aku merasa berdosa karenanya.

Parah kamu Donny…..”, aku terus memaki diri.

Selepas kejadian itu, aku pun segera membersihkan diri dan kemudian berisitirahat demi memulihkan kesegaran badan untuk berpetualang di keesokan harinya.

Kisah Selanjutnya—->

Aroma Militer Menyelimuti Al Alam Palace

<—-Kisah Sebelumnya

Sekian lama menunggu hingga titik akhir rutenya, maka tersimpul pilihan untuk turun dari Mwasalat Bus Line 4 di Al Alam Bus Stop. Hal ini dikarenakan bus akan segera memutar balik menuku ke Ruwi- Mwasalat Bus Station di putaran terdekat dari halte bus itu.

Turun di halte dan melanjutkan langkah menuju sebuah bundaran, maka tempatku berdiri selanjutnya secara serta merta diapit oleh dua rupa arsitektur klasik dan berusia tua. Yang pertama adalah The National Museum yang memamerkan peninggalan sejarah bangsa Oman semenjak generasi pertama yang menempati semenanjung tersebut.

Sementara itu bangunan yang kedua, tepat di utaranya berdiri gagah Kantor Pusat Perpajakan Negara Oman. Bangunan klasik tiga lantai itu berdiri kokoh memunggungi perbukitan berbatu. Kantor pajak itu tentu menjadi tempat paling sibuk siang itu mengingat pada tahun kedatanganku, Kesultanan Oman sedang memberlakukan pajak penghasilan bagi setiap warga negara untuk pertama kalinya dalam sejarah. Wah kenapa negara kaya minyak itu baru menerapkan pajak penghasilan perorangan ya?……Pasti ada defisit anggaran.

Demi menghindari teriknya surya, aku segera menyelinap diantara rimbunnya trotoar yang memisahkan kedua ruas Al Bahri Road di tengahnya. Tujuan utama pertamaku di Muscat adalah mengunjungi Al Alam Palace yang merupakan salah satu dari enam istana milik Kesultanan Oman.

Istana ini sendiri tidak memperbolehkan wisatawan untuk masuk, tetapi para wisatawan diperbolehkan berdiri hingga di dekat pintunya yang hanya dibatasi oleh selapis gerbang besi .

The National Museum.
Tax Authority Building.
Trotoar pemisah dua ruas Al Bahri Road.
Al Alam Palace.
Suasana di sekitar Al Alam Palace.

Aku berusaha mendekati bangunan pemerintahan itu dengan menyelinap diantara deretan truk-truk militer yang terparkir di halaman istana. Aku sendiri tak begitu memahami apa yang terjadi di sekitar istana sehingga aroma militer tercium begitu kuat.

Para serdadu tampak sibuk berjaga di sepanjang halaman . Beberapa terlihat sangat ramah penuh senyum ketika aku berpapasan dengannya. Jawaban salam sesekali terdengar dari tutur mereka ketika aku berucap salam.

Dan pada akhirnya, semua kebingunganku terjawab setelah dua hari diriku meninggalkan Oman. Dari Manama -ibu kota Bahrain”, aku melihat sebuah berita di layar televisi bahwa Sang Pemimpin Kesultanan Oman, Sayyid Qaboos bin Sa’id Al Bu Sa’id telah berpulang kehadiran Sang Maha Kuasa.

Ternyata kesiap siagaan para tentara Oman itu terkait dengan keadaan darurat Kesultanan Oman karena sakitnya Sang Sultan.

Kembali ke Al Alam Palace…..

Aku dan beberapa gelintir turis Eropa berdiri tertegun di hadapan istana kesultanan yang sangat mempesona. Berlapiskan marmer halus dengan paduan tiga warna utama, biru-kuning-putih dan mengedepankan arsitektuk khas Oman.

Keindahan arsitektur itu terpadu indah dengan perbukitan berbatu yang tampak mengelilingi istana dan menjadi benteng alam yang ideal pada masanya.

Usai puas menikmati keindahan istana kesultanan Oman maka aku bergegas menuju ke sisi belakang istana demi menikmati keberadaan benteng-benteng kuno yang kuyakini sebagai pelindung utama atas keberadaan istana tersebut.

Kisah Selanjutnya—->

Mwasalat Bus Line 4: Mejemput Keindahan Mutrah

<—-Kisah Sebelumnya

Dengat perut kenyang aku meninggalkan kedai makan khas Bangladesh yang letaknya tak jauh dari OYO 117 Majestic Hotel, tempatku menginap.

Aku kembali tiba di perempatan yang terbentuk oleh persilangan Al Baladiya Street dan Al Fursan Sreet. Di Al Fursan Street, aku terus mempercepat langkah untuk segera tiba di Ruwi Mwasalat Bus Station.

Berjalan sejauh dua setengah kilometer selama tiga puluh menit, akhirnya aku tiba di terminal.

Misiku selanjutnya adalah mencari keberadaan bus yang akan berangkat menuju Mutrah. Dari brosur pariwisata Oman yang kudapatkan dari Muscat International Airport pada malam sebelumnya, aku cukup mendapatkan informasi bahwa untuk menggapai Mutrah maka aku harus menaiki Mwasalat Bus Line 4.

Kusapukan pandangan ke seluruh sudut terminal demi menemukan bus itu. Pada akhirnya aku mendapatkannya di platform bagian tengah. Oleh karena sebagian kursi bus telah terisi penumpang, maka aku memutuskan untuk segera menaikinya.

Membayar dengan uang koin sebesar 200 Baisa, maka aku segera mendudukkan diri di kursi tengah. Tak lebih dari sepuluh menit kemudian, bus itu perlahan berjalan meninggalkan terminal.

Bus meninggalkan daerah Ruwi menuju utara melalui daerah Darsait untuk kemudian merubah arah menuju timur demi menggapai tepian Teluk Oman. Menyisir Mina Street, bus berjalan di sepanjang kaki perbukitan berbatu.

Tak berapa lama jalanan lengang di sepanjang Mina Street berubah menjadi jalanan penuh keramaian di sepanjang Al Bahri Road yang arusnya berbelok di tepan pantai Teluk Oman.

Pemandangan berganti dengan berjajarnya kapal-kapal pesiar mewah di sepanjang Sultan Qaboos Port yang menjadi pelabuhan kargo dan penumpang utama di Kota Muscat. Rombongan turis asal Eropa juga tampak memenuhi jalanan di sepanjang pantai.

Bus terus menyisir Al Bahri Road, kali ini bus bergerak menuju selatan mengikuti kontur pantai. Al Bahri Road sendiri adalah jalan raya dengan dua ruas, ada dua jalur di setiap ruasnya, dan antar ruas dipisahkan dengan taman memanjang dimana bunga-bunga di tanam dengan metode drip irrigation.

Mwasalat Bus Line 4.
Interior bus.
Area di dekat Sultan Al Qaboos Port.
Pelabuhan penumpang Al Qaboos Port.
Aku turun di The National Museum Oman.

Selain keberadaan taman yang menghiasi sepanjang jalan, keindahan Al Bahri Road menjadi sempurna dengan keberadaan perbukitan batu nan menawan di sisi baratnya dan hamparan pantai yang membiru di sisi timurnya. Pemandangan yang bahkan membuatku tak rela barang sekedip mata untuk menikmatinya.

Tetapi aku yang berada di dalam bus juga harus bersegera menetapkan tempat untuk berhenti, karena semakin jauh mengikuti arus bus maka aku akan semakin jauh menyisir ulang jalanan itu sebagai metode utamaku untuk mengekplorasi keindahan daerah Mutrah.

Dalam waktu menunggu untuk mengambil keputusan itu, tetiba melintas penampakan indah warna-warni di Al Alam Palace yang merupakan istana Kesultanan Oman.

“Ya….Di sinilah aku harus turun”, aku memutuskan.

Tak lama kemudian, bus berhenti di Al Alam Palace Bus Stop untuk menurunkan beberapa penumpangnya. Akhirnya kuputuskan untuk ikut turun Bersama para penumpang itu.

Kini aku berada di daerah Kalbuh yang berjarak sepuluh kilometer jauhnya dari titik semula aku berangkat, yaitu Ruwi-Mwasalat Bus Stop. Perlu waktu hampir setengah jam untuk menempuh perjalanan ini.

Kini saatnya berjalan kaki demi mengeksplorasi keindahan daerah Mutrah.

Kisah Selanjutnya—->