Muttrah Fish Market: Tengara Baru di Sepanjang Corniche

<—-Kisah Sebelumnya

Sebuah bangunan kecil nan unik menarik perhatianku ketika berada di lantai teratas beranda utara Muttrah Souq. Bangunan itu berada di sisi timur pasar. Maka tanpa berpikir panjang, aku pun menuruni tangga dan melangkahkan kaki menujunya.

Hanya perlu bergerak sejauh seratus meter, maka aku pun tiba di depan bangunan mungil itu.

“Omani Heritage Gallery….”, aku membaca sebuah signboard yang terpajang di bagian depan bangunan.

Tanpa pikir panjang aku pun memasukinya….

Di ruangan bagian dalam aku meliat etalase yang memajang dan menjual kerajinan tangan dan buah tangan khas Oman. Beberapa turis asal Eropa tampak khusyu’ menawar beberapa produk asli masyarakat Muttrah itu.

Berdasar informasi yang kudapatkan, outlet ini memang didirikan untuk memfasilitasi para pengrajin lokal dalam memasarkan karyanya. Kerena berfungsi sebagai fasilitator maka Omani Heritage Gallery menyerahkan semua keuntungan penjualannya kepada para pengrajin. Salah satu hasil kerajinan yang kulihat di salah satu etalasenya adalah Frankincense Essential Oil yang merupakan minyak olahan khas Timur Tengah.

Untuk beberapa saat, aku bisa menikmati karya-karya otentik tersebut, untuk kemudian aku pun keluar dari ruangan dan berniat untuk melanjutkan eksplorasi.

Aku kembali berjalan menuju ke arah barat. Tujuanku adalah ujung barat Al Bahri Road.

Aku akan mengakhiri petualanganku di titik itu”, aku telah memutuskan.

Kali ini aku berjalan mengikuti kontur depan pertokoan yang kebanyakan menjual kain-kain sutra. Beberapa diantaranya menjual perhiasan yang terbuat dari perak. Beberapa saat kemudian berganti melintasi Masjid Nabawi-Muttrah yang didesain dengan warna dominan biru.

Dalam setengah kilometer akhirnya aku benar-benar tiba di ujung barat Al Bahri Road yang ditengarai dengan keberadaan Al Saidia School.

Al Saidia School yang berada di Muttrah merupakan sekolah cabang ketiga yang sudah berusia 63 tahun. Sedangkan Al Saidia School sendiri adalah sekolah pertama yang berdiri di Negara Oman pada masa modern. Keberadaan sekolah berusia tua di sini menunjukkan bahwa area Muttrah telah lama memegang peranan penting dalam perkembangan Kesultanan Oman.

Dari titik itulah aku melihat dengan jelas bangunan besar modern dan futuristik, letaknya tepat di sisi seberang Al Saidia School sedikit ke barat.

Aku pun bergegas mendekatinya….

Begitu tiba tepat di hadapan bangunan raksasa itu, aku membaca signboard di depannya.

Mutrah Market For Fish, Fruits & Vegetables….Oh, pasar ikan”, aku bergumam pelan.

Pasar ikan itu berwarna putih dengan atap yang dibuat bergelombang bak permukaan lautan. Area parkir yang luas tampak dipenuhi oleh mobil-mobil warga yang terparkir dengan rapi. Sementara di bagian belakang pasar adalah Sultan Qaboos Port yang berdampingan dengan dermaga beton yang menyandarkan perahu-perahu mungil nelayan.

Sore itu pasar tak begitu ramai, mungkin aku tidak datang di puncak keramaiannya. Biasaya pasar ikan memang ramai pada dini hari hingga menjelang fajar. Tetapi toh aku masih bisa menemukan beberapa pedagang yang menjajakan ikan di lapak-lapaknya.

Omani Heritage Gallery.
Pertokoan di sisi selatan Al Bahri Road.
Al Saidia School.
Muttrah Fish Market.
Dermaga nelayan di belakang Muttrah Fish Market.

Muttrah Fish Market adalah tengara baru di tepian pantai, tepatnya di salah satu titik dari corniche yang ramai. Pasar ini diproyeksikan Kesultanan Oman sebagai pusat industri perikanan Oman yang terus berkembang dengan pesat.

Hal ini tentu sangat selaras dengan semangat Muttrah yang telah melegenda dengan sejarah panjangnya sebagai pusat perdagangan komersial, pelabuhan, dan tradisi perikanan.

Dengan mencapai titik ini, sudah dipastikan petualangan pada hari perdanaku di Oman telah usai.

Sampai jumpa di area lain pada keesokan hari…..

Kisah Selanjutnya—->

Muttrah Souq: Al Dhalam yang Mengesankan

<—-Kisah Sebelumnya

Menjelang pukul setengah tiga sore, aku memutuskan untuk meninggalkan benteng.

Aku belum juga sampai di bagian akhir Muttrah. Aku harus bergegas sebelum gelap menggantikan terang”, gumamku ketika menuruni anak-anak tangga Muttrah Fort.

Beberapa saat kemudian, tibalah aku di gerbang Muttrah Souq yang berada tepat di sisi utara Muttrah High Street.

Kali ini aku tidak kembali ke jalanan utama area Muttrah, yaitu Al Bahri Road. Melainkan aku memutuskan untuk melintasi jalan belakang demi menuju ujung barat Muttrah.

Muttrat High Street adalah jalanan kecil yang terletak di belakang deretan bangunan perkantoran serta barisan pertokoan yang menjejali sisi selatan Al Bahri Road.

Tapi entah kenapa, menjelang pukul tiga sore, pertokoan di sekitaran Muttrah High Road menutup pintunya. Tetapi mobil-mobil pribadi tampak padat berjejer di area-area parkir gedung dan pertokoan. Untuk sementara aku menghiraukan keanehan itu.

Aku terus saja melangkahkan kaki, aku paham bahwa jika meneruskan langkah menuju barat maka aku akan tiba di pasar tradisional terkenal, Muttrah Souq nama tempat perdagangan itu.

Benar adanya….Dalam jarak setengah kilometer, aku akhirnya tiba di pintu selatan Muttrah Souq. Sebelum memasuki bagian dalam pasar, aku mencoba untuk diam dan berdiri sejenak mengawasi sekitar. Mengumpulkan beberapa informasi dari segenap papan-papan pengumuman yang berada di area parkir.

Dari sebuah papan pengumuman lebar berwarna merah, aku akhirnya paham bahwa waktu kerja normal di kawasan pasar adalah dari pukul 08:00 – 13:30 dan dilanjutkan pada pukul 16:00 – 22:00, sedangkan pukul 13:30 -16:00 adalah waktu jeda yang digunakan untuk beristirahat.

Akhirnya aku mulai memasuki gerbang pasar….

Kesan pertama yang menyelimuti bilik pengalamanku adalah gelapnya suasana di dalam pasar. Cahaya lampu yang tak begitu benderang menjadi satu-satunya sumber cahaya yang membantu para pedaganng dan pembeli dalam bertransaksi.

Ciri khas Muttrah Souq yang gelap ini untuk kemudian menjadikan pasar tersebut memiliki julukan lokal Al Dhalam. Hal ini dikarenakan cahaya matahari yang tidak bisa masuk ke dalam pasar karena rapatnya kios-kios di dalamnya. Al Dhalam sendiri berarti kegelapan.

Suasana di dalam Muttrah Souq sendiri tampak begitu ramai ketika aku tiba, padahal aku tiba saat jeda istirahat pasar. Tak sedikit para wisatawan yang berburu souvenir di pasar tersebut. Bukhoor (minyak wangi), peralatan yang terbuat dari perak, barang-barang antik, pakaian tradisional ataupun rempah-rempah menjadi barang dagangan pavorit yang diperjual belikan di dalam pasar

Barang-barang antik yang mengkilap.
Turis-turis Eropa sedang berburu souvenir.
Tetap saja ramai walau sedang jeda istirahat.
Lampu-lampu gantung yang indah.
Kompas-kompas besar nan antik.
Suasana di sekitar gerbang utara Muttrah Souq.

Menurut catatan sejarah, area Muttrah sejak dulu memang sangat cocok menjadi pelabuhan alami yang kemudian otomatis membuat Muttrah bertransformasi menjadi kawasan perdagangan. Aktivitas perdagangan itu untuk kemudian membutuhkan keberadaan sebuah pasar sebagai pusatnya, oleh karena itulah Muttrah Souq didirikan oleh Kesultanan Oman.

Usaha kesultanan dalam menjaga otentiknya Muttrah Souq menjadikan pasar tradisional tersebut tetap menampilkan kekhasan budaya Oman yang kental didalamnya. Memiliki keunggulan dalam kelengkapan barang yang diperdagangkan menjadikan Muttrah Souq sebagai salah satu tujuan wisata terpopuler di Oman. Bahkan mayoritas wisatawan menjadikan Muttrah Souq sebagai lokasi terbaik untuk berburu souvenir.

Kunjunganku ke Muttrah Souq sendiri hanya berlangsung tak lebih dari satu jam, selain tak ada niatan untuk mencari souvenir apapun, waktu juga sudah mendekati pukul empat sore dan aku masih memiliki satu tujuan terakhir di ujung barat area Muttrah pada hari pertamaku di Oman.

Yuk ikut aku…..

Kisah Selanjutnya—->

Muttrah Fort: Temuan Terindah di Hari Perdana

<—-Kisah Sebelumnya

Aku masih terduduk….Masih terpesona….Masih mematung di salah satu bangku beton Muttrah Corniche. Aku bersiap-siap menyiapkan kata-kata untuk mengutuk diri jika siang itu tidak lagi berhasil menginjakkan kaki di gagahnya Muttrah Fort yang berada di puncak bukit yang berada tepat di hadapanku….Tepat di sisi seberang Al Bahri Road yang sedari tadi kutapaki.

Kalimat-kalimat kutukan itu kupersiapkan untuk diri sendiri karena sedari pagi megeksplorasi area Muttrah dan sudah melintasi Al Jalali Fort, Al Mirani Fort dan Rawia Fort, tetapi keberuntungan tak berpihak untukku dikarenakan tutupnya ketiga obyek sejarah Kesultanan Oman tersebut.

Jangan sampai kamu gagal, Donny….Mau kau kemanakan reputasimu?”, aku memberi peringatan tegas untuk diriku sendiri.

Tatapku menjadi lebih awas karenanya….

Tak ada jalan langsung dari sisi Al Bahri Road untuk menanjak menuju banteng. Aku memperhatikan sekitar, mencari keberadaan gang untuk mencoba melihat sisi belakang bukit.

“Itu dia….”, aku mulai menebak-nebak. Ada dua gang tak terlalu besar di sisi barat dan timur bukit. Mempertimbangkan jarak terdekat dengan kedua gang itu, aku memutuskan mengambil gang sisi barat.

Gang yang hanya cukup untuk berpapasan dua mobil itu mengantarkanku untuk tiba di Muttrah High Street yang membentang di belakang bukit. Melangkah seratus meter kemudian akhirnya aku menemukan jawaban. Gerbang menuju Muttrah Fort ternyata tepat berada di belakang bukit.

Kalimat-kalimat kutukan itu runtuh sudah….

Gerbang itu terbuka lebar, pertanda benteng megah tersebut terbuka untuk wisatawan….

Jalur pendakian itu berada tepat di area parkir benteng. Aku mulai menapaki satu anak tangga hingga ke anak tangga berikutnya. Sementara bendera Kesultanan Oman berukuran besar gagah berkibar di ujung teratas benteng, membuatku semakin tak sabar untuk tiba di atas.

Tapi aku yang terengah-engah harus beberapa kali berhenti demi mengambil nafas yang sering kali hampir habis.

Karena ketinggian benteng yang membahayakan, beberapa tanda peringatan keamanan ditampilkan dalam lima bahasa internasional, yaitu Arab, Inggris, Jepang, Jerman dan Perancis.

Situs sejarah ini telah di restorasi menggunakan metode dan material tradisional yang sesuai dengan desain asli benteng. Demi keamanan, harap berhati-hati ketika melintasi permukaan yang tidak rata. Ketika berada di tepian benteng harap berdiri di besi pembatas dan memanfaatkan pegangan tangan dalam mendaki anak tangga”….Demikian kira-kira peringatan tersebut.

Menaklukkan 207 anak tangga akhirnya aku tiba tepat di bagian teratas benteng. Akhirnya aku menaklukkan ketinggian Muttrah Fort. Melihat luasan benteng yang begitu lebar, menunjukkan bahwa Muttrah Fort menjadi salah satu pertahanan utama Kesultanan Oman di masa lalu.

Muttrah Corniche dari atas.
Perumahan di belakang benteng,
Sultan Qaboos Port.
Difotoin turis Selandia Baru….Wkwkwk.
Meriam asli benteng.
Dinding benteng,

Benteng itu berlokasi di punggung bukit yang menghadap ke dua sisi, yaitu kota dan pantai Muttrah dimana menara beserta bangunan utama bentengnya menempati posisi ideal untuk melindungi kota Muttrah dari serangan musuh yang berasal dari lautan dan daratan sekitar. Benteng ini dibangun pada awal Abad ke-16, kemudian Portugis menambahkan dua menara dan dinding penahan. Pada akhir Abad ke-18, Dinasti Al Busaidi mengembangkan lagi Muttrah Fort dengan menggandakan menara dan dinding benteng. Baru pada tahun 1980, Ministry of Heritage Kesultanan Oman memugarnya hingga berbentuk seperti saat ini.

Siang itu menjadi titik kulminasiku dalam menungunjungi Muttrah. Lukisan alam yang terpampang dari atas benteng menjadikan temuan paling indah yang kudapati di hari perdana mengunjungi Oman.

Aku pun yakin bahwa kamu mengagumi pemandangan itu….Amazing view.

Kisah Selanjutnya—->

Muttrah Corniche: Promenade yang Cantik nan Mempesona

<—-Kisah Sebelumnya

Semakin matahari mendekati titik puncaknya, maka ketenanganku dalam menjelajah Muscat pun mendapatkan titik tertingginya. Demikian adanya setelah aku duduk tenang dan menikmati hamparan biru Teluk Oman dari ujuang Riyam Park yang berada di sebuah puncak bukit.

Pada tingkat kepercayaan diri tertinggi tersebut, kuputuskan untuk segera menuruni bukit dan meninggalkan taman….Aku melanjutkan petualangan, semakin jauh ke barat tentunya.

Langkahku kini tepat berada di pusar Muttrah Corniche.

Mutrah Corniche sendiri adalah jalur pejalan kaki (promenade) yang membentang sepanjang tiga kilometer di tepi selatan Teluk Oman. Promenade ini dibatasi oleh Muttrah Fish Market di ujung baratnya dan Kalboos Park di sisi timurnya. Di sepanjang jalur tepi pantai ini diletakkan resoran, cafe, pertokoan, hotel, pasar-pasar tradisional berusia tua dan situs-situs peninggalan sejarah lainnya.

Aku mengunjungi Muttrah Corniche pada siang hari, padahal keanggunan Muttrah Corniche biasanya akan terekspose di malam hari dengan pendaran multi-cahaya yang mempesona.

Berjalan dan menikmati promenade yang bersih dan cantik mampu melupakan diriku akan keberadaan matahari yang dengan konsisten menyengat area Muttrah. Itu karena aku terlanjur jatuh hati pada panorama yang ada di hadapan. Pemandangan lautan dan pegunungan berkolaborasi dalam menjadikan Muttrah Corniche sebagai promenade yang cantik nan mempesona.

Pengalaman termegah yang aku temui pertama kali di Muttrah Corniche adalah ketika menatap megahnya Costa Diadema, sebuah kapal pesiar asal Genoa yang mampu mengangkut lima ribu wisatawan. Kapal wisata seharga 11 Triliun Rupiah itu mengapung megah di salah satu sisi Passenger Cruise Terminal milik Sultan Qaboos Port. Sepengamatanku, kapal itu memiliki tiga belas lantai, tinggi menjulang bak gedung bertingkat.

Sedangkan di sepanjang area corniche, diletakkan papan-papan informasi yang menampilkan kekayaan budaya Kesultanan Oman.

Pada salah satu sisi aku menemukan informasi tentang “Baat Ancient Cemeteries”, sebuah pemakaman kuno di Oman . Diinformasikan bahwa pemakaman itu adalah kekayaan Nekropolis milik Oman yang berasal dari millennium ke-3 Sebelum Masehi. Nekroplolis mengacu pada sebuah tugu yang Bersatu dengan pemakaman dimana jasad manusia yang dimakamkan diletakkan di atas tanah.

Sementara papan informasi lain menampilkan tentang foto kekayaan fashion Oman. Adalah Dishdasha yang dikenakan oleh seorang pemuda yang tampak gagah memegang rifle dengan latar belakang pintu berukir khas Oman.

Satu karya seni terakhir yang bisa kutemukan di sepanjang corniche adalah sculpture ikonik berwujud sepasang gold fish yang menghiasi area promenade.

Sepeda kebo milik sapa tuh?…..Wkwkwk.
Kapal pesiar Costa Diadema tampak dari kejauhan.
Suasana asri Muttrah Corniche.
Lautan Teluk Oman berpadu dengan Al Hajar Mountain.
Bagaimana caranya supaya bisa ke benteng kuno di atas bukit itu?

Sedangkah tepat di pertengahan corniche, di sisi selatan Al Bahri Road membentang tinggi Al Hajar Mountain yang dipuncaknya terbangun sempurna sebuah benteng pertahanan masa lalu Kesultanan Oman, yaitu Muttrah Fort.

Aku lama tertegun memandangi benteng itu dengan mendudukkan diri di sebuah bangku beton di salah satu sisi corniche, mencoba mencari cara untuk mengunjungi benteng yang berada di salah satu puncak bukit itu….

Ya….Aku penasaran dan aku harus bisa naik ke benteng megah itu bagaimanapun caranya.

Kisah Selanjutnya—->

Riyam Park….”Biar Kunikmati Sejenak Taman Ini”

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir satu jam lamanya waktu telah berlalu, aku memutuskan untuk segera mengusaikan diri dalam bermain air laut di tepian pantai yang lokasinya berada tepat di teras depan Kalboos Park.

Mengenakan kembali sepatu yang kutinggalkan pada tempat kering di salah satu sisi pantai, aku bersay hello kepada keluarga kecil asal Roma yang sedari tadi menemani diriku di pinggiran pantai.

Langkah eksplorasiku berlanjut semakin jauh menuju barat. Kali ini aku tak mengambil sisi selatan Al Bahri Road, melainkan melangkah di sepanjang corniche. Maklum, kali ini jalan utama di area Mutrah itu tepat bersisian dengan pantai. Hanya saja pantai di sepanjang Teluk Oman itu telah mengalami reklamasi, “Mungkin untuk menghindari abrasi jalanan utama”, aku menebak-nebak saja. Tampak tetrapod disebar di sepanjang pantai untuk menghindari sruktur jalanan dari hantaman keras ombak pantai.

Mataku terus menatap satu obyek yang sedari kunjungan di Kalboos Park pada beberapa waktu lalu telah merenggut perhatianku. Tak lain lagi, obyek itu adalah Riyam Censer yang gagah berdiri di puncak bukit berbatu.

Riyam Censer sendiri adalah struktur bangunan yang digunakan sebagai tempat pembakaran sehingga akan menimbulkan efek cahaya yang indah di malam hari. Riyam Censer ini sengaja dibangun sang Sultan untuk memperingati Hari Nasional ke-20 Negara Oman.

Satu kilometer jauhnya aku terengah hingga akhirnya bisa berdiri tepat di bawahnya. Bangunan pembentuk cahaya saat malam itu sempurna berbentuk layaknya cawan, berbahankan marmer putih susu, di bagian atas cawan ditutup dengan sebuah bentukan mahkota dengan ukiran-ukiran indah di permukaannya.

Lama aku tertegun melihat rupa arsitekur itu pada jarak tak lebih dari lima puluh meter. Karena memang tempat itu tak terbuka untuk umum.

Tentu itu tak mengecewakanku, karena di belakang tempatku berdiri tersuguhkan sebuah luasan taman yang cukup indah dengan pemandangan laut lepas di salah satu sisinya.

Memiliki luasan tak kurang dari sepuluh hektar menjadikan taman ini sebagai ruang terbuka hijau terbesar di area Mutrah. Jika Kalboos Park berada di hamparan kaki perbukitan yang dibatasi perairan pantai, maka Riyam Park berada di puncak perbukitan yang tepiannya berwujud tebing yang berbatasan langsung dengan jalanan utama di kawasan Mutrah, Al Bahri Road.

Bahkan taman ini pada masa dahulu pernah tersohor sebagai jalur pendakian antara dua area utama, yaitu Mutrah dan Muscat. Karena letaknya yang berada di ketinggian maka Riyam Park bisa dikatakan sebagai salah satu tempat terbaik untuk melihat area Mutrah dari ketinggian, juga menjadi titik paling tepat untuk menikmati sunset.

Taman yang landmarknyaberwujud Riyam Censer ini memiliki fauna utama penghuni yang berupa sekawanan burung gagak.

Riyam Censer.
Gazebonya aja segede gituh….
Sudah berlokasi di puncak bukit….Tapi masih berada di bawah bukit yang lain….keren ya?
Playground zone.
Kontur taman yang bertingkat-tingkat….Mengagumkan.
Duduk di sini damai banget rasanya….

Lalu apa pentingnya taman ini dalam sejarah perjalanan Kesultanan Oman?

Ternyata taman ini pernah menjadi tempat bagi sejarah ditandatanganinya perjanjian damai antara Kesultanan Oman dan Portugis pada pertengahan Abad ke-17.

Taman ini sepertinya sengaja diciptakan untuk bisa dikunjung oleh penduduk segala umur. Tampak di salah satu sisi tersedia playground zone yang bisa membuat anak-anak senang berkunjung ke Riyam Park. Restoran dan coffee shop milik Maher Enterprises tampak berdiri di sisi yang lain.

Sementara di banyak hamparan rumput, sprinkler bertugas otomatis dalam menyirami setiap jengkal taman. Sebuah kolam buatan pun tampak semakin mempercantik taman. Dan karena berada di puncak perbukitan, taman ini terkesan menjadi taman bertingkat karena ketinggian permukaan tanah yang berbeda-beda.

Untuk sejenak aku bisa duduk dan menikmati keindahan pantai dari ketinggian bersama dengan beberapa warga lokal yang sudah tiba.

Biarkan aku sejenak menikmati taman ini ya, gaes…..

Kisah Selanjutnya—->

Muscat Gate Museum….Pertahanan Kota Tua Muscat yang Menawan

<—-Kisah Sebelumnya

Khatam menghubungkan potongan-potongan sejarah yang ditampilkan dengan apik di Bait Al Zubair, serta meresapi glamournya karya seni kontemporer di Bait Muzna, maka aku segera memastikan diri untuk bersiap menuju ke landmark lain yang akan tersaji di sepanjang kawasan Mutrah.

Menjauhi area Kalbuh, aku melangkah melalui rindangnya dan suburnya jalur hijau di selatan trotoar menuju barat. Jalur hijau itu dinaungi pohon-pohon palem berukuran besar. Sementara di tengahnya disediakan jalur pejalan kaki dengan dasar pavling block bewarna cerah.

Rindangnya jalur itu secara otomatis membuat langkahku melambat, hal itu mungkin dikarenakan oleh keenggananku untuk terpapar menyengatnya surya lebih lama. Sayangnya, jalur hijau itu hanya membentang sejauh dua ratus meter. Sebagai konsekuensi, aku harus kembali melangkah melawan teriknya surya. Toh, tetap saja aku menerima itu dengan suka cita. Itulah resiko menjadi seorang backpacker dengan anggaran terbatas. Tak perlu iri dengan mereka-mereka yang berwisata dengan diantar oleh shuttle bus yang mewah dan nyaman.

Keluar dari jalur hijau tersebut, tatapku dihadapkan oleh sebuah gerbang raksasa yang mengangkangi Al Bahri Road yang mengalirkan arus kendaraan di bawahnya.

Gerbang itu berwarna coklat muda, panjangnya lebih dari lima puluh meter dari ujung utara ke ujung selatannya. Sebelah utaranya dihiasi dengan pemandangan laut dan di selatannya disuguhkan pemandangan perbukitan berbatu yang menawan. Sementara di sepanjang trotoar menujunya disuguhkan tanaman bunga dominan merah yang dihidupkan dengan teknik drip irrigation.

Aku semakin dekat dengan gerbang agung yang menjadi salah satu landmark menarik di kawasan Mutrah.

Aku pun tepat berada di bawahnya sewaktu kemudian.

Aku tertegun pada ukiran-ukiran batu yang tersemat di sepanjang dinding lorongnya, lampu-lampu dengan desain unik terpajang di bagian atas lorong dalam interval teratur dan lekukan-lekukan berukir di langit-langit lorong tak kalah mempesona.

Ruangan memanjang di bagian atas gerbang dimanfaatkan sebagai museum. Koleksi-koleksi sejarah Oman dari zaman Neolitik hingga era modern disuguhkan dengan apik. Ruangan tersebut memamerkan sejarah mata air Muscat, sumur-sumur kuno, terowongan bawah tanah, pasar, rumah khas, pelabuhan masa lalu dan bangunan-bangunan pertahanan tempo dulu.

Jalur hijau di tepian Al Bahri Road.
Muscat Gate Museum dari kejauhan.
Ini dia gerbangnya.
Sematan berukir di dinding terowongan.
Ukiran di sisi lainnya.
Bunga yang hidup dari drip irrigation.

Dahulunya, bangunan ini dimanfaatkan sebagai pertahanan anti perampok yang berbahaya dan berpotensi menembus batas kota. Dibangun di atas singkapan gunung berbatu yang merupakan batas kota tua Muscat. Tetapi batas itu telah dihapuskan semenjak kebangkitan Kesutanan Oman modern.

Tentu keberadaan museum di atas gerbang ini bisa menjadi pelajaran bagi generasi muda Oman dalam menghargai warisan kota kuno mereka.Tentu tempat ini juga bermanfaat bagi para pendatang dan wisatawan yang mengunjungi Oman untuk memahami sejarah Oman dengan lebih baik dan jelas.

Di buka untuk umum dari hari Minngu hingga Kamis, mulai dari pukul delapan pagi hingga pukul dua siang. Jaraknya yang hanya berjarak setengah kilometer dari Bait Al Zubair dan hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki, bisa menjadikannya sebagai destinasi wisata yang layak untuk dikunjungi.

Bait Al Zubair: Terpapar Sejarah di Kalbuh

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir masuk pukul sepuluh pagi…..

Aku memutuskan untuk meninggalkan tepian pantai di utara Al Alam Palace. Memaksakan diri meninggalkan otentiknya Al Mirani Fort yang sebelumnya kupunggungi dan Al Jalali Fort yang dari kejauhan seakan melambai mengundangku untuk berkunjung.

Kembali berjalan mengitari sisi barat istana, aku meninggalkan kompleks pemerintahan Kesultanan Oman melalui halamannya yang memanjang menuju selatan dan berakhir di tepian Al Bahri Road.

Tiba di tepian jalan utama, aku menatap jauh ke arah barat. Antusiasku kembali tumbuh, menerka-nerka, “Spot  pariwisata apa saja yang akan kutemui apabila aku berjalan kaki sejauh tujuh kilometer?”.

Tanpa keraguan….Aku pun mulai melangkahkan kaki.

Tiba di sebuah jalur melingkar, aku tertegun pada sebuah bukit berbatu dengan benteng gagah di atasnya. Adalah Rawia Fort yang menjadi benteng pertahanan ketiga yang kusaksikan di area Mutrah.

Dari bundaran sisi utara, langkah kaki akhirnya mengantarkanku tiba di Al Bab Al Kabeer Gate. Sesuai namanya, gerbang itu memiliki ukuran besar, menjadi landmark kesekian di daerah Kalbuh. Gerbang besar itu menjadi akses utama menuju Musee Franco-Omanais yang merupakan  pengenang hubungan dekat antara Oman dengan Perancis. Oleh karena fungsinya, maka di dalam museum itu terdapat foto-foto diplomatik antar kedua negara di masa lalu serta berbagai jenis pakaian, furniture dan perhiasan khas kedua negara. Kapal niaga Oman dan Perancis juga ada di dalam museum ini.

Sementara itu…..

Aku juga mengunjungi obyek wisata di selatan gerbang, yaitu Bait Al Zubair Museum dan Bait Muzna.

Bait Al Zubair sendiri adalah museum pribadi milik keluarga Zubair yang dibuka untuk umum tujuh belas tahun lalu. Kekhasan museum ini adalah ukiran-ukiran khas Oman yang tersemat di beberapa bagian museum yang berbahan dari kayu.

Sheikh Al Zubair bin Ali sendiri merupakan tokoh nasional yang pernah melayani Sultan Oman sebagai Menteri dan penasehat.

Terdapat beberapa bagian utama dari Bait Al Zubair, yaitu Bait Al Nahdhah, Galleri Syarah, Bait Al Bagh, Bait Al Oud dan Bait Al Dalaleel.

Bait Al Oud adalah rumah utama yang didesain untuk mencerminkan karakteristik masyarakat pertama di Muscat, dimana Sheikh Ali bin Juma (Sheikh Al Zubair) dan keluarganya menjadi salah satu tokohnya. Masyarakat itu hidup damai pada Abad ke-19 dan Abad ke-20.

Bait Al Oud memiliki tiga lantai, yaitu

Lantai G  digunakan untuk Temporary Exhibition Hall

Lantai 1 terdapat peta antic dari Semenanjung Arab, pameran maritim, furniture milik warga utama,

Lantai 2 digunakan untuk Foto Muscat tempo dulu, kolekdi kamera, cetakan tua Semenajung Arab

Rawia Fort terlihat di atas perbukitan.
Al Bab Al Kabeer Gate.
Musee Franco-Omanais.
Bait Al Zubair Museum.
Bait Al Dalaleel.
Bait Muzna Gallery (kanan).

Sedangkan…..Bait Al Dalaleel adalah rumah di Distrik Daleleel yang direstorasi dan direnovasi secara detail sehingga bisa membantu pengunjung untuk berpetualang waktu dan mengalami sendiri bagaimana penduduk asli oman menjalankan hidup pada masa seratus tahun lalu.

Lalu…..Bait Al Bagh (Bagian Utama) yang merupakan bangunan museum utama yang awalnya didirikan sebagai rumah keluarga pada tahun 1914 oleh Sheikh Al Zubair bin Ali. Pada masa lalu bangunan ini berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para elit negara. Jika ingin mengetahui lebih detail tentang Dinasti Busaidi, maka di sinilah tempatnya. Dinasti Busaidi sendiri telah berkuasan sejak pertengahan Abad ke-18 di tanah Oman.

Sedangkan tepat di utara Bait Al Zubair, di seberang jalan Al Bahri Road, berdirilah Bait Al Muzna yang menjadi galer seni pertama dan utama di Muscat yang menampilkan perkembangan seni kotemporer di area kesultanan.

Kunjungan di Bait Al Muzna membuatku semakin bersemangat untuk segera menemukan destinasi lain di sekitar Mutrah.

Yuk, ikuti langkahku……

Kisah Selanjutnya—->

Aroma Militer Menyelimuti Al Alam Palace

<—-Kisah Sebelumnya

Sekian lama menunggu hingga titik akhir rutenya, maka tersimpul pilihan untuk turun dari Mwasalat Bus Line 4 di Al Alam Bus Stop. Hal ini dikarenakan bus akan segera memutar balik menuku ke Ruwi- Mwasalat Bus Station di putaran terdekat dari halte bus itu.

Turun di halte dan melanjutkan langkah menuju sebuah bundaran, maka tempatku berdiri selanjutnya secara serta merta diapit oleh dua rupa arsitektur klasik dan berusia tua. Yang pertama adalah The National Museum yang memamerkan peninggalan sejarah bangsa Oman semenjak generasi pertama yang menempati semenanjung tersebut.

Sementara itu bangunan yang kedua, tepat di utaranya berdiri gagah Kantor Pusat Perpajakan Negara Oman. Bangunan klasik tiga lantai itu berdiri kokoh memunggungi perbukitan berbatu. Kantor pajak itu tentu menjadi tempat paling sibuk siang itu mengingat pada tahun kedatanganku, Kesultanan Oman sedang memberlakukan pajak penghasilan bagi setiap warga negara untuk pertama kalinya dalam sejarah. Wah kenapa negara kaya minyak itu baru menerapkan pajak penghasilan perorangan ya?……Pasti ada defisit anggaran.

Demi menghindari teriknya surya, aku segera menyelinap diantara rimbunnya trotoar yang memisahkan kedua ruas Al Bahri Road di tengahnya. Tujuan utama pertamaku di Muscat adalah mengunjungi Al Alam Palace yang merupakan salah satu dari enam istana milik Kesultanan Oman.

Istana ini sendiri tidak memperbolehkan wisatawan untuk masuk, tetapi para wisatawan diperbolehkan berdiri hingga di dekat pintunya yang hanya dibatasi oleh selapis gerbang besi .

The National Museum.
Tax Authority Building.
Trotoar pemisah dua ruas Al Bahri Road.
Al Alam Palace.
Suasana di sekitar Al Alam Palace.

Aku berusaha mendekati bangunan pemerintahan itu dengan menyelinap diantara deretan truk-truk militer yang terparkir di halaman istana. Aku sendiri tak begitu memahami apa yang terjadi di sekitar istana sehingga aroma militer tercium begitu kuat.

Para serdadu tampak sibuk berjaga di sepanjang halaman . Beberapa terlihat sangat ramah penuh senyum ketika aku berpapasan dengannya. Jawaban salam sesekali terdengar dari tutur mereka ketika aku berucap salam.

Dan pada akhirnya, semua kebingunganku terjawab setelah dua hari diriku meninggalkan Oman. Dari Manama -ibu kota Bahrain”, aku melihat sebuah berita di layar televisi bahwa Sang Pemimpin Kesultanan Oman, Sayyid Qaboos bin Sa’id Al Bu Sa’id telah berpulang kehadiran Sang Maha Kuasa.

Ternyata kesiap siagaan para tentara Oman itu terkait dengan keadaan darurat Kesultanan Oman karena sakitnya Sang Sultan.

Kembali ke Al Alam Palace…..

Aku dan beberapa gelintir turis Eropa berdiri tertegun di hadapan istana kesultanan yang sangat mempesona. Berlapiskan marmer halus dengan paduan tiga warna utama, biru-kuning-putih dan mengedepankan arsitektuk khas Oman.

Keindahan arsitektur itu terpadu indah dengan perbukitan berbatu yang tampak mengelilingi istana dan menjadi benteng alam yang ideal pada masanya.

Usai puas menikmati keindahan istana kesultanan Oman maka aku bergegas menuju ke sisi belakang istana demi menikmati keberadaan benteng-benteng kuno yang kuyakini sebagai pelindung utama atas keberadaan istana tersebut.

Kisah Selanjutnya—->

Mwasalat Bus Line 4: Mejemput Keindahan Mutrah

<—-Kisah Sebelumnya

Dengat perut kenyang aku meninggalkan kedai makan khas Bangladesh yang letaknya tak jauh dari OYO 117 Majestic Hotel, tempatku menginap.

Aku kembali tiba di perempatan yang terbentuk oleh persilangan Al Baladiya Street dan Al Fursan Sreet. Di Al Fursan Street, aku terus mempercepat langkah untuk segera tiba di Ruwi Mwasalat Bus Station.

Berjalan sejauh dua setengah kilometer selama tiga puluh menit, akhirnya aku tiba di terminal.

Misiku selanjutnya adalah mencari keberadaan bus yang akan berangkat menuju Mutrah. Dari brosur pariwisata Oman yang kudapatkan dari Muscat International Airport pada malam sebelumnya, aku cukup mendapatkan informasi bahwa untuk menggapai Mutrah maka aku harus menaiki Mwasalat Bus Line 4.

Kusapukan pandangan ke seluruh sudut terminal demi menemukan bus itu. Pada akhirnya aku mendapatkannya di platform bagian tengah. Oleh karena sebagian kursi bus telah terisi penumpang, maka aku memutuskan untuk segera menaikinya.

Membayar dengan uang koin sebesar 200 Baisa, maka aku segera mendudukkan diri di kursi tengah. Tak lebih dari sepuluh menit kemudian, bus itu perlahan berjalan meninggalkan terminal.

Bus meninggalkan daerah Ruwi menuju utara melalui daerah Darsait untuk kemudian merubah arah menuju timur demi menggapai tepian Teluk Oman. Menyisir Mina Street, bus berjalan di sepanjang kaki perbukitan berbatu.

Tak berapa lama jalanan lengang di sepanjang Mina Street berubah menjadi jalanan penuh keramaian di sepanjang Al Bahri Road yang arusnya berbelok di tepan pantai Teluk Oman.

Pemandangan berganti dengan berjajarnya kapal-kapal pesiar mewah di sepanjang Sultan Qaboos Port yang menjadi pelabuhan kargo dan penumpang utama di Kota Muscat. Rombongan turis asal Eropa juga tampak memenuhi jalanan di sepanjang pantai.

Bus terus menyisir Al Bahri Road, kali ini bus bergerak menuju selatan mengikuti kontur pantai. Al Bahri Road sendiri adalah jalan raya dengan dua ruas, ada dua jalur di setiap ruasnya, dan antar ruas dipisahkan dengan taman memanjang dimana bunga-bunga di tanam dengan metode drip irrigation.

Mwasalat Bus Line 4.
Interior bus.
Area di dekat Sultan Al Qaboos Port.
Pelabuhan penumpang Al Qaboos Port.
Aku turun di The National Museum Oman.

Selain keberadaan taman yang menghiasi sepanjang jalan, keindahan Al Bahri Road menjadi sempurna dengan keberadaan perbukitan batu nan menawan di sisi baratnya dan hamparan pantai yang membiru di sisi timurnya. Pemandangan yang bahkan membuatku tak rela barang sekedip mata untuk menikmatinya.

Tetapi aku yang berada di dalam bus juga harus bersegera menetapkan tempat untuk berhenti, karena semakin jauh mengikuti arus bus maka aku akan semakin jauh menyisir ulang jalanan itu sebagai metode utamaku untuk mengekplorasi keindahan daerah Mutrah.

Dalam waktu menunggu untuk mengambil keputusan itu, tetiba melintas penampakan indah warna-warni di Al Alam Palace yang merupakan istana Kesultanan Oman.

“Ya….Di sinilah aku harus turun”, aku memutuskan.

Tak lama kemudian, bus berhenti di Al Alam Palace Bus Stop untuk menurunkan beberapa penumpangnya. Akhirnya kuputuskan untuk ikut turun Bersama para penumpang itu.

Kini aku berada di daerah Kalbuh yang berjarak sepuluh kilometer jauhnya dari titik semula aku berangkat, yaitu Ruwi-Mwasalat Bus Stop. Perlu waktu hampir setengah jam untuk menempuh perjalanan ini.

Kini saatnya berjalan kaki demi mengeksplorasi keindahan daerah Mutrah.

Kisah Selanjutnya—->