Menginap di Muscat International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Ruwi-Mwasalat Bus Station mulai diselimuti gelap, hanya sisa semburat senja saja yang memiliki dominasi akhir di atas atap alam terminal bus terbesar di kawasan Ruwi tersebut.

Degup jantungku perlahan melambat usai mendudukkan diri di sebuah bangku terminal, beberapa waktu sebelumnya aku berjibaku di sepanjang Al Fursan Street dengan langkah super cepat demi mendahului gelap untuk tiba di terminal bus.

Sesekali aku meneguk air mineral tersisa, aku berusaha mendinginkan keringat sebelum masuk ke dalam bus.

Sedangkan tepat di depanku, menyala dengan langsam mesin Mwasalat Bus bernomor 1B. “Lebih baik aku naik jika bus bersiap untuk jalan saja”, aku membatin sembari menatap ke arah bus yang perlahan terisi penumpang, tetapi tak terlalu penuh.

Beberapa detik menjelang pukul enam sore…

Pengemudi mulai menaiki bus di bangkunya, bersamaan dengan itu aku pun ikut serta masuk melalui pintu depan. Menyerahkan ongkos senilai 1 Rial maka aku duduk di bangku tengah, tepat di belakang seorang turis asal Eropa yang tampak sibuk mengotak-atik kamera DSLRnya.

Seperti perjalananku menuju Ruwi-Mwasalat Bus Station beberapa hari lalu dari bandara, perjalanan ini akan membutuhkan waktu setengah jam saja untuk tiba di tujuan akhir .

Bus perlahan berjalan meninggalkan terminal, memasuki jalan-jalan kota yang indah tersiram cahaya lampu-lampu jalanan. Sedangkan beberapa bangunan ikonik di sepanjang jalan menampilkan keelokan tersembuyi ketika mendapatkan terpaan lampu berwarna-warni, menjadikan seluruh penjuru kota Muscat yang kulewati tampak hidup.

Menyusuri Sultan Qaboos Street, aku terus terhanyut dalam suasana malam kota. Turis Eropa yang berada di depanku tampak sesekali mengarahkan kameranya ke beberapa sudut kota yang menarik mata.

Sedikit lewat dari pukul setengah tujuh malam….

Aku tiba di Muscat International Airport dan diturunkan di Public Bus Service Area yang berlokasi di Ground Floor bandara. Aku tak terburu-buru untuk memasuki bagian dalam bangunan bandara karena memang penerbanganku menuju Bahrain masih dijadwalkan esok pagi.

Aku pun beranjak menuju Lantai 1. Aku memutuskan untuk berada di luar bangunan bandara demi menikmati keindahan Muscat International Airport di malam hari dari salah satu sudut tamannya. Udara yang belum terlalu dingin seolah mendukung niatanku untuk menghabiskan waktuku di taman depan bandara tersebut.

Duduk di salah satu bangku taman, aku terus berpikir, begitu apiknya Oman Airports sebagai operator Muscat International Airport dalam menata bandara berusia setengah abad tersebut. Sejauh mata memandang, parkir area yang tertata rapi telah dipenuhi dengan kendaraan-kendaraan mewah. Sedangkan cahaya di setiap penjuru taman menjadikan gradasi tiga warna dominan melukis penampilan bandara. Warna hijau dari vegetasi di sekitar bandara berpadu dengan warna putih dan kuning cahaya lampu membuat simfoni alam yang meneduhkan mata.

Keindahan suasana manjadikanku tak sadar terpedaya oleh waktu. Tak terasa tengah malam sekejap lagi tiba. Udara juga terasa lebih dingin dari waktu sebelumnya. Tak mau kedinginan, aku pun menuju lantai dua bangunan bandara yang merupakan lantai dimana Services & Amenities Area ditempatkan.

Tujuan utama dan pertamaku di lantai itu adalah musholla, tentunya demi menunaikan kewajiban shalat Jamak Maghrib dan Isya’.

Usai shalat, aku tak punya tujuan lain setelah selain beristirahat. Maka kuputuskan untuk mengakuisisi sebuah bangku kosong di food court area untuk tidur dan beristirahat hingga fajar tiba.

Sungguh aku telah menemukan malam yang berkesan di Muscat International Airport.

Kisah Selanjutnya—->

Kembali ke Ruwi-Mwasalat Bus Station: Menutup Petualangan di Muscat

<—-Kisah Sebelumnya

Satu setengah jam lamanya, aku menyambangi setiap sudut Muscat Sports Club hingga matahari tergelincir menuju ufuk barat.

Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore….

Aku pun memutuskan untuk undur diri, mengakhiri petualangan dan beranjak kembali menuju penginapan. Aku harus mengambil backpack yang kutitipkan usai check-in siang sebelumnya. Rencananya, setelah mengambil backpack, aku akan menuju bandara dan menginap di sana saat malam tiba. Itu karena penerbanganku menuju Bahrain akan berlangsung di keesokan pagi.

Melintasi coffee shop yang terletak di sebelah gerbang utama Muscat Sports Club, aku kembali turun di jalanan. Menelusuri An Nuzhah Street sisi selatan, menuju utara. Kembali menyisir jalanan yang sama ketika aku tiba di Al Wadi Al Kabeer Park dan Muscat Sports Club.

Sore itu udara sudah tak panas lagi, melainkan bertransformasi menjadi hembusan angin dingin yang membawa butir-butir pasir, membuat kulit gatal dan mata pedih ketika menerpa badan.

Tak peduli dengan hembusan angin  itu……

Entah kenapa, tetiba langkahku menjadi kikuk ketika tiba di depan Al Wadi Al Kabir Market. Aku berhenti sejenak, menatap bangunan perbelanjaan itu. Memaksa otak untuk berpikir, “Apa yang harus kupersiapkan?”.

Aku menarik dompet dari dalam folding bag, melihat isinya, setelah merasa cukup dengan lembaran Rial yang kupunya, maka aku pun tanpa ragu masuk ke dalam bangunan itu dan bergegas memasuki Lulu Hypermarket di dalamnya.

Ya….Aku menyempatkan berbelanja beberapa makanan untuk perbekalan selama di perjalanan menuju Bahrain. Perjalananku menuju Bahrain akan dimulai dengan menginap di Muscat International Airport malam itu juga dan akan tiba di Bahrain pada pukul empat sore di keesokan harinya. Itu berarti aku akan berada diperjalanan selama 22 jam.

Setelah menelusuri seisi Lulu Hypermarket selama lima belas menit aku keluar dari pasar swalayan itu dengan membawa cheese sandwich, yogurt, orange juice dan cake. Semuanya kutebus dengan harga 725 Baisa.

Lalu aku pergi meninggalkan Al Wadi Al Kabir Market dengan menenteng kantung plastik yang berisi barang belanjaan. Selepas mengunjungi Lulu Hypermarket, aku pun melangkah secepat mungkin dan berfokus menuju penginapan. Menjelang pukul lima sore, aku pun tiba di OYO 117 Majestic Hotel, tempatku menginap.

Setelah mengambil backpack di resepsionis, aku tak terburu menuju Ruwi-Mwasalat Bus Station, melainkan menuju ke kedai khas Bangladesh yang telah menjadi langgananku semenjak tiba di Muscat.

Mampir di Lulu Hypermarket.
Suasana jalanan di sekitar OYO 117 Majestic Hotel.
Tepat di tikungan menuju OYO 117 Majestic Hotel.
Makan dengan cara Bangladesh….Wkwkwkwk.
Menjelang gelap di Al Fursan Street.

Sore menjelang malam itu, aku menyantap nasi putih dengan chicken fry sebagai lauknya. Pemilik kedai itu telah paham dengan kebiasaanku selama beberapa hari sebelumnya. Dia menyuguhkanku satu potongan paha yang itu berarti menyuguhkan setengah dari porsi normal. Jadi aku hanya perlu untuk membayarnya separuh porsi saja, cara tepat bagiku untuk berhemat.

Aku pun membayar menu makan malamku dengan 250 Baisa ketika selesai menandaskan nasi di piring.

Selanjutnya aku pun kembali menelusuri Al Fursan Street. Berjalan sejauh dua kilometer dengan waktu tempuh tiga puluh menit.

Aku pun tiba di Ruwi-Mwasalat Bus Station….

Aku bersiap menuju ke Muscat International Airport

Kisah Selanjutnya—->

Muttrah ke Ruwi: Mubadzir Air di OYO 117 Majestic Hotel

<—-Kisah Sebelumnya

Aku berkejaran dengan gelap demi tiba di halte bus Fish Market yang terletak di tepian Harat A’Shamal Street. Bersyukur sekali, aku tiba di halte tepat bersamaan dengan merapatnya Mwasalat Bus Line 4 yang berwarna dominan merah.

Aku segera melompat dari pintu depan ketika bus tersebut berhenti mendecit di depan halte. Membayar dengan 200 Baisa kepada pengemudi, aku pun menduduki bangku tengah. Tak berselang lama Mwasalat Bus itu melaju dengan anggun di Al Mina Street menuju Ruwi-Mwasalat Bus Station.

Aku sampai dalam lima belas menit….

Tiba di terminal utama Ruwi tidak berarti perjalananku usai. Melainkan aku harus menyambung langkah sejauh dua kilometer demi tiba di OYO 117 Majestic Hotel yang terletak di daerah Al Wadi Al Kabir.

Bak atlit jalan cepat, aku melahap blok demi blok daerah Al Humriyyah dan dalam waktu tiga puluh menit aku telah berjarak seratus meter dari penginapan.

Belum juga tiba di penginapan….

Tetiba perutku berbunyi. “Oh, iya….Sudah waktunya makan malam”, aku yang terlupa akhirnya membatin.

Tanpa pikir panjang, aku segera berbalik arah demi menyambangi kantin langganan yang sudah terlewat beberapa puluh meter di belakang.

Sore itu aku pun menyantap setengah porsi chicken fry khas Bangladesh beserta sepiring nasi dan menebusnya dengan 700 Baisa.

Aku menyantap menuku dengan cepat untuk kemudian kembali bergegas menuju penginapan.

Hatiku terasa lega ketika tiba di depan penginapan, setidaknya aku bisa mendahului datangnya malam demi mengamankan diri di penginapan.

Melangkahlah aku di lobby penginapan…..

“Hello, sir…. How is your day…. Is it fun?”,, sapa resepsionis pria yang menerima kedatanganku pada pagi sebelumnya.

Hi, Sir….Wonderful, I had explored the beauty of Muttrah all day”, aku melambaikan tangan kepadanya

Have a good rest, Sir”, dia terseyum ramah kepadaku.

“Thanks….”, aku pun meninggalkannya demi menuju lift yang akan mengantarkanku menuju lantai 3.

Beberapa saat kemudian, aku pun tiba di depan pintu kamar.

Aku sudah tak sabar untuk menghempaskan tubuhku di kasur dengan segera, mengingat sedari malam sebelumnya, aku tak bisa memejamkan mata dengan sempurna karena harus menempuh perjalanan udara dari Dubai. Ingin rasanya untuk membalas dendam kekurangan tidurku.

Aku pun membuka pintu dengan santainya, tak ada siapapun di lorong kamar sore menjelang malam itu. Aku segera memasuki kamar, mengunci pintu dan bersiap untuk melompat ke kasur.

Tetapi….

Tolakan kakiku terhenti seketika ketika aku mendengar bunyi samar gemerecik air.

“Itu dari kamar mandi”, aku diam berkonsentrasi mendengarkan.

Halte Bus Fish Market\.
Chicken Fry khas Bangladesh.
Ini dia, warung makan langgananku selama du Muscat.
Kamarku lega banget kan?

Aku pun segera menuju ke kamar mandi.

“Astaga……”, aku menepok jidat, memaki diri sendiri melihat apa yang terjadi di wastafel.

Kran itu mengucurkan air dengan pelannya.

Hmmh…..Sudah berapa banyak air yang kubuang sia-sia sedari meninggalkan kamar pagi tadi?”, aku merasa berdosa karenanya.

Parah kamu Donny…..”, aku terus memaki diri.

Selepas kejadian itu, aku pun segera membersihkan diri dan kemudian berisitirahat demi memulihkan kesegaran badan untuk berpetualang di keesokan harinya.

Kisah Selanjutnya—->

Aroma Militer Menyelimuti Al Alam Palace

<—-Kisah Sebelumnya

Sekian lama menunggu hingga titik akhir rutenya, maka tersimpul pilihan untuk turun dari Mwasalat Bus Line 4 di Al Alam Bus Stop. Hal ini dikarenakan bus akan segera memutar balik menuku ke Ruwi- Mwasalat Bus Station di putaran terdekat dari halte bus itu.

Turun di halte dan melanjutkan langkah menuju sebuah bundaran, maka tempatku berdiri selanjutnya secara serta merta diapit oleh dua rupa arsitektur klasik dan berusia tua. Yang pertama adalah The National Museum yang memamerkan peninggalan sejarah bangsa Oman semenjak generasi pertama yang menempati semenanjung tersebut.

Sementara itu bangunan yang kedua, tepat di utaranya berdiri gagah Kantor Pusat Perpajakan Negara Oman. Bangunan klasik tiga lantai itu berdiri kokoh memunggungi perbukitan berbatu. Kantor pajak itu tentu menjadi tempat paling sibuk siang itu mengingat pada tahun kedatanganku, Kesultanan Oman sedang memberlakukan pajak penghasilan bagi setiap warga negara untuk pertama kalinya dalam sejarah. Wah kenapa negara kaya minyak itu baru menerapkan pajak penghasilan perorangan ya?……Pasti ada defisit anggaran.

Demi menghindari teriknya surya, aku segera menyelinap diantara rimbunnya trotoar yang memisahkan kedua ruas Al Bahri Road di tengahnya. Tujuan utama pertamaku di Muscat adalah mengunjungi Al Alam Palace yang merupakan salah satu dari enam istana milik Kesultanan Oman.

Istana ini sendiri tidak memperbolehkan wisatawan untuk masuk, tetapi para wisatawan diperbolehkan berdiri hingga di dekat pintunya yang hanya dibatasi oleh selapis gerbang besi .

The National Museum.
Tax Authority Building.
Trotoar pemisah dua ruas Al Bahri Road.
Al Alam Palace.
Suasana di sekitar Al Alam Palace.

Aku berusaha mendekati bangunan pemerintahan itu dengan menyelinap diantara deretan truk-truk militer yang terparkir di halaman istana. Aku sendiri tak begitu memahami apa yang terjadi di sekitar istana sehingga aroma militer tercium begitu kuat.

Para serdadu tampak sibuk berjaga di sepanjang halaman . Beberapa terlihat sangat ramah penuh senyum ketika aku berpapasan dengannya. Jawaban salam sesekali terdengar dari tutur mereka ketika aku berucap salam.

Dan pada akhirnya, semua kebingunganku terjawab setelah dua hari diriku meninggalkan Oman. Dari Manama -ibu kota Bahrain”, aku melihat sebuah berita di layar televisi bahwa Sang Pemimpin Kesultanan Oman, Sayyid Qaboos bin Sa’id Al Bu Sa’id telah berpulang kehadiran Sang Maha Kuasa.

Ternyata kesiap siagaan para tentara Oman itu terkait dengan keadaan darurat Kesultanan Oman karena sakitnya Sang Sultan.

Kembali ke Al Alam Palace…..

Aku dan beberapa gelintir turis Eropa berdiri tertegun di hadapan istana kesultanan yang sangat mempesona. Berlapiskan marmer halus dengan paduan tiga warna utama, biru-kuning-putih dan mengedepankan arsitektuk khas Oman.

Keindahan arsitektur itu terpadu indah dengan perbukitan berbatu yang tampak mengelilingi istana dan menjadi benteng alam yang ideal pada masanya.

Usai puas menikmati keindahan istana kesultanan Oman maka aku bergegas menuju ke sisi belakang istana demi menikmati keberadaan benteng-benteng kuno yang kuyakini sebagai pelindung utama atas keberadaan istana tersebut.

Kisah Selanjutnya—->

Mwasalat Bus Line 4: Mejemput Keindahan Mutrah

<—-Kisah Sebelumnya

Dengat perut kenyang aku meninggalkan kedai makan khas Bangladesh yang letaknya tak jauh dari OYO 117 Majestic Hotel, tempatku menginap.

Aku kembali tiba di perempatan yang terbentuk oleh persilangan Al Baladiya Street dan Al Fursan Sreet. Di Al Fursan Street, aku terus mempercepat langkah untuk segera tiba di Ruwi Mwasalat Bus Station.

Berjalan sejauh dua setengah kilometer selama tiga puluh menit, akhirnya aku tiba di terminal.

Misiku selanjutnya adalah mencari keberadaan bus yang akan berangkat menuju Mutrah. Dari brosur pariwisata Oman yang kudapatkan dari Muscat International Airport pada malam sebelumnya, aku cukup mendapatkan informasi bahwa untuk menggapai Mutrah maka aku harus menaiki Mwasalat Bus Line 4.

Kusapukan pandangan ke seluruh sudut terminal demi menemukan bus itu. Pada akhirnya aku mendapatkannya di platform bagian tengah. Oleh karena sebagian kursi bus telah terisi penumpang, maka aku memutuskan untuk segera menaikinya.

Membayar dengan uang koin sebesar 200 Baisa, maka aku segera mendudukkan diri di kursi tengah. Tak lebih dari sepuluh menit kemudian, bus itu perlahan berjalan meninggalkan terminal.

Bus meninggalkan daerah Ruwi menuju utara melalui daerah Darsait untuk kemudian merubah arah menuju timur demi menggapai tepian Teluk Oman. Menyisir Mina Street, bus berjalan di sepanjang kaki perbukitan berbatu.

Tak berapa lama jalanan lengang di sepanjang Mina Street berubah menjadi jalanan penuh keramaian di sepanjang Al Bahri Road yang arusnya berbelok di tepan pantai Teluk Oman.

Pemandangan berganti dengan berjajarnya kapal-kapal pesiar mewah di sepanjang Sultan Qaboos Port yang menjadi pelabuhan kargo dan penumpang utama di Kota Muscat. Rombongan turis asal Eropa juga tampak memenuhi jalanan di sepanjang pantai.

Bus terus menyisir Al Bahri Road, kali ini bus bergerak menuju selatan mengikuti kontur pantai. Al Bahri Road sendiri adalah jalan raya dengan dua ruas, ada dua jalur di setiap ruasnya, dan antar ruas dipisahkan dengan taman memanjang dimana bunga-bunga di tanam dengan metode drip irrigation.

Mwasalat Bus Line 4.
Interior bus.
Area di dekat Sultan Al Qaboos Port.
Pelabuhan penumpang Al Qaboos Port.
Aku turun di The National Museum Oman.

Selain keberadaan taman yang menghiasi sepanjang jalan, keindahan Al Bahri Road menjadi sempurna dengan keberadaan perbukitan batu nan menawan di sisi baratnya dan hamparan pantai yang membiru di sisi timurnya. Pemandangan yang bahkan membuatku tak rela barang sekedip mata untuk menikmatinya.

Tetapi aku yang berada di dalam bus juga harus bersegera menetapkan tempat untuk berhenti, karena semakin jauh mengikuti arus bus maka aku akan semakin jauh menyisir ulang jalanan itu sebagai metode utamaku untuk mengekplorasi keindahan daerah Mutrah.

Dalam waktu menunggu untuk mengambil keputusan itu, tetiba melintas penampakan indah warna-warni di Al Alam Palace yang merupakan istana Kesultanan Oman.

“Ya….Di sinilah aku harus turun”, aku memutuskan.

Tak lama kemudian, bus berhenti di Al Alam Palace Bus Stop untuk menurunkan beberapa penumpangnya. Akhirnya kuputuskan untuk ikut turun Bersama para penumpang itu.

Kini aku berada di daerah Kalbuh yang berjarak sepuluh kilometer jauhnya dari titik semula aku berangkat, yaitu Ruwi-Mwasalat Bus Stop. Perlu waktu hampir setengah jam untuk menempuh perjalanan ini.

Kini saatnya berjalan kaki demi mengeksplorasi keindahan daerah Mutrah.

Kisah Selanjutnya—->

Menuju OYO 117 Majestic Hotel: Jalan Tenang nan Menentramkan

<—-Kisah Sebelumnya

Pukul setengah tujuh pagi aku sudah menginjakkan kaki di daerah Ruwi setelah dihantarkan oleh Mwasalat Bus bernomor 1B dari Muscat International Airport.

Menuruni bus, aku tetiba terperangah….

Bagaimana tidak, terminal bus berukuran kecil itu tampak indah karena dikelilingi oleh bukit berbatu yang membentang dengan warna coklat kemerahan di segenap pandangan. “Ini sungguh pesona yang luar biasa”, batinku berujar sesaat.

Usai mengabadikan beberapa sudut terminal dalam jepretan Canon EOS M10 kesayangan, maka tatapanku berpindah ke arah selatan.

Jalanan masih sepi, sementara OYO 117 Majestic Hotel yang kupesan tersembunyi di sebuah sisi jalan yang berjarak dua setengah kilometer jauhnya. Aku memesan salah satu kamarnya seharga 11 Rial per malam tepat sebulan sebelum keberangkatan.

Untuk beberapa saat aku menatap bentangan lurus panjang Al Fursan Street yang sangat lengang. Jalan itu lurus bersisian dengan Alkbir Wadi yang kering kerontang, menampakkan tanah permukaannya yang pecah merekah dimana-mana karena konsitensi terpaan panas surya dalam beberapa bulan musim kering.

Wadi sendiri adalah sebutan untuk hamparan sungai yang kering karena pada umumnya sungai tersebut hanya mengalirkan air saat musim penghujan tiba.

“Tak ada waktu lagi…..”, aku meyakinkan diri untuk mantab saja melangkah memasuki Al Fursan Street.

Aku melangkah cepat sembari terus memperhatikan posisiku terhadap hotel di aplikasi peta pada gawai pintar yang terus kugenggam selama melangkah. Semaikin jauh menelusuri Al Fursan Street, bukan perasaan gentar yang kudapatkan, justru rasa tenang nan damai yang menyelimuti setiap langkah demi langkah. Aku merasa berada di jalanan paling aman yang membuatku berani melambatkan langkah demi menikmati suasana pagi yang sejuk hingga kemudian langkahku terhenti di sebuah perempatan.

Aku berdiam di sisi barat persimpangan dua jalan itu. Aku mencoba mencari papan petunjuk untuk memahami nama jalan pemotong Al Fursan Street yang sedari sebelumnya aku lewati.

“Al Baladiya Street….Oh itu nama jalannya”, aku mendapatkan papan nama jalan dengan cepat.

Aku memutuskan untuk menyeberangi perempatan itu, karena letak hotel yang sedang kucari berada di sisi timur Alkbir Wadi. Aku pun menyeberangi jembatan yang gagah mengangkangi wadi yang memiliki lebar tak kurang dari lima puluh meter.

Aku memasuki daerah Al Walja.
Suasana AL Fursan Street yang tenang dan menentramkan.
Perempatan jalan yang dibentuk oleh Al Fursan Street dan Al Baladiya Street.
Alkbir Wadi yang kering kerontang.
Ruas jalan terakhir menuju ke OYO 117 Majestic Hotel.

Kini langkahku berpindah di jalan yang menyejajari Alkbir Wadi di sisi timurnya. Sepanjang jalan itu, tampak ruko-ruko lima lantai yang masih tertutup rapat di sisi kiriku melangkah. Sedangkan di sisi kanan lebih didominasi oleh keberadaan truk-truk besar yang bagian depannya ditundukkan sebagai pertanda bahwa mesin-mesin pengangkut itu sedang mendapatkan reparasi.

Tampak wajah-wajah khas Asia Selatan mendominasi kegiatan reparasi itu, nantinya aku akan mengetahui bahwa mayoritas mereka berasal dari Bangladesh.

Semakin mendekati hotel, suasana jalanan mulai ramai. Nadi kehidupan ekonomi Kota Muscat tampak sedang menggeliat dari bangun malamya.

Sebelum benar-benar tiba di hotel, aku mulai memfokuskan pandangan untuk mencari keberadaan kedai makan di sekitar aku melangkah. Naluriku mengatakan bahwa di daerah tersebut pasti ada kedai makan murah khas Bangladesh yang memfasilitasi kebutuhan perut para pekerja Bangladesh yang sibuk bekerja di sekitarnya.

Benar saja, di sebuah gang dan sedikit tersembunyi aku melihat sebuah kedai makan mungil.

Baiklah….Di situlah aku akan menikmati sarapan pertamaku di Oman”, bibirku tersenyum tipis ketika mengambil keputusan.

Demi segera bersarapan, maka aku mempercepat langkah menuju hotel yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi di depan.

Kisah Selanjutnya—->

Mwasalat Bus No. 1B: Menuju Ruwi di Pagi Perdana

<—-Kisah Sebelumnya

Aku yang tertidur ayam tetiba terperanjat bangun ketika suara berisik alat pel lantai yang digunakan oleh seorang cleaning service terdengar jelas dari bawah bangku tempatku tertidur. Aku membuka mata dan langsung melihat penunjuk waktu digital di sebuah layar FIDS yang terpampang di pojok ruangan.

Masih saja pukul empat pagi ketika aku melihatnya.

Sorry if what I do had disturbed your sleep”, cleaning service berperawakan Asia Selatan itu dengan sopannya membungkuk di depanku.

Oh….No matter, brother”, aku memanggilnya demikian karena raut mukanya yang masih terlihat muda.

Are you working here?

Nop….I’m just backpacking

I’m from Indonesia….Where are you come from brother?”,

I’m from Blochistan….I had worked here since a year ago but the salary isn’t good here”, dia mulai bercerita tentang keadaannya bekerja di Muscat.

Dari percakapan lanjutan setelah itu, aku sungguh merasa bersyukur karena bisa bekerja di negara sendiri dan sedikit sisa dari pendapatanku bisa kugunakan untuk menjelajah dunia.

Setelah percakapan singkat itu, aku tak lagi bisa tidur. Aku hanya berkali-kali membuka itinerary dan brosur-brosur pariwisata yang kuambil saat pertama kali tiba di bandara. Aku berusaha memahami informasi dari setiap obyek wisata yang akan kukunjungi beberapa saat di depan.

Tak terasa waktu Shalat Subuh pun akhirnya tiba….

Aku tergopoh naik ke lantai atas untuk mencari keberadaan mushola. Dan aku mendapatkannya dengan mudah dan akhirnya bisa menjalankan ibadah dengan pandangan mata bergelayutan karena menahan kantuk.

Sementara itu bekal makanan yang kubeli dari Dubai telah habis kusantap sebagai makan malam. Aku yang kelaparan terpaksa harus menahan protes perut hingga menemukan sarapan di tengah kota nanti.

Usai menjalankan ibadah Shalat Subuh, aku mempersiapkan diri untuk bertolak ke pusat kota. Tujuanku kali ini adalah Daerah Ruwi yang berjarak tak kurang dari 30 kilometer di barat bandar udara. Sebuah kamar milik OYO 117 Majestic Hotel yang kupesan berada di daerah tersebut.

Tak membuang waktu…..

Aku bergegas menuju Level 0 bandara untuk mencari keberadaan bus umum bernomor 1B demi menuju ke Ruwi-Mwasalat Bus Station. Mwasalat sendiri adalah penyedia jasa transportasi publik di Muscat.

Just wait here….The bus will come in five minutes….I will show you the bus next”, begitulah ucap seorang lelaki berperawakan kurus tinggi yang mengatur pemberangkatan setiap bus Mwasalat di bandara.

Menunggu kedatangan Mwasalat Bus No. 1B di Muscat International Airport.
Salah satu mushola di Muscat International Airport.
Interior Mwasalat Bus No. 1B.
Melalui kawasan Al Azaiba South.
Melintas sekejap di daerah Al Khuwayr South.
Akhirnya tiba di Ruwi-Mwasalat Bus Station.

Bus itu benar-benar datang tepat lima menit seperti apa yang diucapkannya…..

Aku menaiki Mwasalat Bus bernomor 1B melalui pintu depan dan menyerahkan ongkos senilai 1 Rial ke pengemudi berbadan tambun yang mengenakan gamis putih. Setelah pengemudi itu memberikan karcis maka aku mengambil tempat duduk di bagian tengah. Dalam kondisi yang masih setengah gelap, aku telah bersiap.

Porsi besar perjalanan ini ditempuh melalui jalan tol utama kota Muscat yaitu Sultan Qaboos Street. Semakin jauh meninggalkan bandara menuju timur maka semburat fajar mulai melunturkan gelap yang sedari awal perjalanan masih angkuh berkuasa.

Dalam setengah jam, Mwasalat Bus bernomor 1B yang kunaiki telah merapat di Ruwi-Mwasalat Bus Station.

Kini aku bersiap menggeber langkah menuju selatan untuk menggapai penginapan.

Kisah Selanjutnya—->