Gemerlap pelita bumi membuka aura kecantikan Pelabuhan Bebas Sabang. Bentangan corniche didesain begitu ciamik, tak kalah dengan lajur yang sama milik beberapa kota di negara-negara yang pernah kukunjungi.
Kapal-kapal berukuran sedang diparkirkan teratur, terpaan gelombang laut membuat setiap haluan kapal mengangguk-angguk harmonis. Pemandangan itu membuatku khusyuk berdiri di ujung corniche, bersandar di pagarnya, melepas pandangan jauh ke arah laut lepas. Sementara itu, tak sedikit warga lokal yang sibuk berburu foto berlatarkan corniche yang indah nan gemerlap.


Sesaat kemudian aku telah berpindah ke pusat aktivitas sebuah taman. Area melingkar beralaskan keramik kasar itu ditengarai oleh sebuah menara yang berdiri tinggi menjulang. Warna dindingnya memadukan dua warna utama, merah dan putih. Oleh karenanya, khalayak menyebutnya sebagai Menara Merah Putih.
Sementara itu aktivitas warga tampak meriah di dasar menara. Bisnis penyewaan mobil-mobilan bertenaga baterai tampak mendominasi. Beberapa anak-anak tampak berseru-seru riang mengamati mainan terjun payung dengan kerlap-kerlip lampu yang menarik perhatian.
Deret tenda kuliner tampak benderang dan riuh di utara taman. Beragam kuliner dijual di tempat itu. Tetiba tatapku tertuju pada sebuah kedai. Kedai itu tampak ramai adanya. Adalah sate gurita yang menjadi idola dalam etalasenya. Kulihat, pelayan kedai tampak menyajikan hidangan sate gurita itu kepada para pelanggan dengan paduan lontong dan saus. Sekejap membuatku penasaran untuk mencobanya.
Gurita memang sering tersangkut di jaring nelayan di perairan dangkal Pulau Weh yang menyimpan banyak potensi. Tak ayal gurita menjadi menu kuliner khas Kota Sabang.
Aku yang penasaran akhirnya bangkit dari duduk di bawah menara, kudatangi kedai makan itu, kupesan seporsi Sate Gurita dan kupilih lontong untuk melengkapi menu itu.
Si penjual memintaku menunggu untuk beberapa saat di sebuah bangku karena dia sedang sibuk meramu pesanan para pengunjung kedai yang telah memesan makanan sejak sebelum aku tiba.
Lima menit kemudian pesanan itu tiba, aku membayar dengan Rp. 25.000. Setelah mendapatkan seporsi Sate Gurita, aku memutuskan untuk kembali ke penginapan. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
“Lebih baik aku menyantapnya di penginapan saja“, aku membatin
Aku menaiki sepeda motor sewaan menuju PUM Losmen Syariah. Aku sedikit tenang, karena pada siang sebelumnya, resepsionis losmen memberikan informasi bahwa aku sudah mendapatkan kamar bernomor B-2. Aku juga telah menitipkan backpack di losmen itu sejak pagi dan backpack itu sudah dimasukkan ke dalam kamarku.



Dalam 5 menit aku tiba….
Keributan terjadi di lobby losmen. Terdapat satu keluarga penginap yang akan melempar komplain kepada resepsionis, tetapi si resepsionis tak terlihat batang hidungnya.
Menurut si kepala keluarga, dia sudah melakukan reservasi dan membayar satu kamar di sebuah e-commerce perjalanan ternama di tanah air. Tetapi ketika mereka tiba di losmen, semua kamar telah terisi. Akan tetapi, uang yang sudah mereka bayarkan tidak bisa ditarik hari itu juga. Itulah yang membuat mereka mengalami kekecewaan.
Aku hanya tersenyum simpul mendengarkan komplain itu. Sudah begitu sering aku mendengarkan komplain serupa. Aku sendiri sempat mendapatkan masalah serupa di Shenzen ketika hotel yang kamarnya kupesan tetiba tutup ketika aku telah berada di lokasi.
Perdebatan akhirnya tak pernah terjadi karena si calon tamu pergi meninggalkan losmen karena resepsionis tak kunjung hadir. Kemudian aku duduk di lobby dan bercakap dengan seorang lelaki paruh baya asal Takengon yang kebetulan menginap di losmen yang sama.
Kami bercakap seperlunya sembari menunggu kamar mandi bersama ada yang kosong. Kebetulan kamar mandi penuh malam itu, sedangkan aku berniat untuk berbasuh.
Beruntung ada sebuah kamar mandi yang kosong beberapa menit kemudian. Aku izin meninggalkan si bapak untuk memasuki kamar demi mempersiapkan alat mandi.
Begitu terkejutnya ketika aku memasuki kamar. Karena tidak ada pendingin ruangan di kamar itu selain satu unit standing fan berukuran besar saja.
“Malam ini aku akan tidur tanpa AC”, aku bergumam.
Satu hal yang membuatku tersenyum lagi adalah kondisi kamar mandinya yang menyematkan bak mandi super lebar di dalamnya. Membuatku harus mandi dari bak mandi lebar yang tentu telah dipakai oleh semua tamu yang menginap. Tentu tak menjadi masalah, masa kecilku di masa lalu sering mandi menggunakan bak mandi yang demikian.
Tak ada air hangat pun aku tak mengomplain. Aku hanya terus menikmati setiap tahap perjalananku dengan gembira.
Malam itu aku tidur dengan jendela terbuka, beruntung hujan turun di tengah malam, membuat udara menjadi sejuk.
Saking beratnya rasa kantuk, aku tak sempat menyantap sate gurita yang kubeli. Beruntung jajanan itu tak basi di keesokan hari. Sehingga bisa kujadikan menu sarapan sebelum melakukan eksplorasi di hari terakhirku di Pulau Weh.
Kisah Selanjutnya—->