Burung trulek menutup kunjunganku di Fort de Kock.
“Masih ada waktu”….Batin terus memaksa langkah.
Tiket TMSBK digenggaman, lalu di ujung Fort de Kock aku meyaksikan keramaian di bukit sebelah. Sementara fikiran terus membayangkan eloknya Ngarai Sianok, sedangkan segantung jembatan ikonik menyambutku di depan pandangan.
Aku tak bisa mengelak pesonanya…..
Enam Atap Gonjong di pusat, empat utas baja raksasa menahan deck bridge sepanjang 90 meter. Menghubungkan gagahnya dua bukit yang cukup tenar di Bukittinggi yaitu Bukit Jirek dan Bukit Cubudak Bungkuak dengan lebar pijakan 3 meter.
Adalah Jembatan Limpapeh yang nampak perkasa mengangkangi Jalan Ahmad Yani. Telah berjasa selama 28 tahun dalam menghubungkan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan dengan kawasan benteng Fort De Kock.
Jembatan Limpapeh sendiri adalah penyambut pertama kedatanganku di Bukittinggi sehari sebelumnya.
“Limpapeh” sendiri berarti “Tiang Tengah”. Keunikan jembatan ini adalah selain berada di tengah struktur, pier kembarnya juga membatasi kedua sisi Jalan Ahmad Yani sehingga membentuk sebuah gate penyambut tamu kota di jalan protokolnya.
Jembatan Limpapeh dengan enam gonjong dua lapis.
Sedangkan pada kunjungan keduaku di malam hari pertama, aksara “Jembatan Limpapeh” yang bersinar merah menyala terhiasi dengan siraman cahaya ungu di kedua pilar kembarnya. Benar-benar menjadi pintu kota yang sangat indah di pandang mata.
Di malam hari, Jembatan Limpapeh menjadi penyedap aktivitas kuliner di daerah yang terkenal dengan nama Kampung Cino.
Seperti Janjang yang tersebar di banyak sudut kota, penghubung cantik ini juga merupakan manifestasi integrasi fasilitas kota. Adalah wisata Fort de Kock dan wisata Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) yang menjadi obyek terekspose dari alasan pembangunan jembatan ini. Memudahkan para turis untuk berwisata di kota berjuluk Parijs van Sumatra ini.
Atap gonjong dengan motif batik bunga.
Demi menjaga keamanan dan merawat usia pakai jembatan, pengelola wisata hanya memperbolehkan maksimal 200 pengunjung yang bisa secara bersamaan berada di atas jembatan ini dan setiap pengunjung hanya boleh berfoto diatas jembatan selama maksimal 3 menit saja. Hayu….Taat aturan ya kalau berwisata kesini….Hehehe.
Gunung Marapi berselimut kabut dipandang dari atas jembatan.
Akhirnya aku berkesempatan menikmati pemandangan kota mungil yang pernah menjadi ibu kota Indonesia ini dari ketinggian. Bukan gedung pencakar langit yang tampak dalam pandangan, melainkan hamparan rumah warga, kios-kios perniagaan yang memanjang mengikuti lekuk demi lekuk Jalan Ahmad Yani serta dominasi pepohonan hijau yang diandalkan sebagai area resapan kota.
Gunung Sirabungan terlihat dari jembatan.
Menjadi sensasi tersendiri ketika berada di atas jembatan dalam kondisi yang terus bergoyang sebagai ciri khas sebuah jembatan gantung. Menjadi sebuah kepuasaan tersendiri ketika menikmati pesona kota Bukittinggi dari jembatan yang menjadi ikon unggulan kota setelah keberadaan ikon pertama mereka yaitu Jam Gadang.
Jadi….Kamu harus ke sini ya jika berwisata ke Bukittinggi.
Seketika aku tersadar bahwa aku belum menunaikan kewajiban Shalat Maghrib. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 19:10 dan suara shalawatan telah menghilang sejak tadi. Lalu waktu memaksaku untuk segera beranjak dari pelataran Plaza Bukittinggi.
Menyusuri Jalan Cinduo Mato, aku sudah tak menemukan keramaian seperti yang kubayangkan. Sebagian besar ruko di kiri-kanan jalan sudah mulai menutup pintu. Hanya beberapa yang bertahan karena masih harus melayani pelalu-lalang tersisa di jalanan.
Aku tiba di Masjid Raya Bukittinggi. Bangunan delapan jendela lengkung di lantai kedua. Tepat terletak di sisi jalan dan ditandai dengan satu buah menara berpendar kehijauan di salah satu sudut depannya.
Halaman depan Masjid Raya Bukittinggi.
Memasuki area teras, satu hal yang menarik perhatian adalah disediakannya tempat duduk beton untuk kaum perempuan di sisi kiri, sedangkan para pria diletakkan di sayap kanan. Pemisahan dimulai semenjak memasuki teras.
Tempat duduk kaum hawa dibalik pagar beton.
Aku menunaikan kewajiban Shalat Maghrib di gelaran karpet merah, sedangkan jamaáh lain tengah khusyu’ mendengarkan tausiyah pemuka agama yang berkhutbah dari sebelah mimbar. Kutenangkan fikiran, duduk bersimpuh dan menyirami kerasnya hati dengan nasehat-nasehat surgawi, sesuatu yang jarang lagi kuikuti.
Ceramah sang ustadz yang kuikuti hingga tuntas.
Aku keluar bersama jama’ah, Kaum Adam dan Hawa teratur keluar pada jalurnya. Pasangan suami-istri satu persatu meninggalkan masjid dengan berbonceng motor, beberapanya menaiki sepeda kayuh. Sementara para pemuda tampak memasuki gang-gang sempit menuju peraduannya masing-masing.
Ujung jalan Canduo Mato berangsur sepi. Rona terang deretan ruko mulai ditinggalkan pengunjung. Beberapa empu toko masih bersabar menunggu pembeli tersisa yang akan datang.
Berburu keramaian, aku memintas di Jalan Minangkabau lalu memasuki Jalan Ahmad Yani. Aku benar-benar menemukannya. Parking lot di sepanjang halaman pertokoan masih berjejal kendaraan roda empat, membuatku semakin bersemangat untuk menunda pulang ke penginapan.
Jalan Ahmad Yani di ujung selatan.
Aku terus melangkah melewati sebuah pertigaan yang dipotong Jalan Ahmad Karim dari kiri selatan. Berlanjut menemukan warung-warung tenda yang berjajar memanjang di salah satu sisi jalan dengan pemandangan Jembatan Limpapeh yang menyala penuh rona.
Deretan kuliner kaki lama di sepanjang Jalan Ahmad Yani.
Ahhhh….Sate Padang ajalah yang cuma Rp. 15.000.
Aroma sate yang semenit lalu tuntas terkunyah pengecap dengan sekejap mengusir kantuk yang menggelayuti kelopak mata sejak sesi nasehat surgawi sang ustadz di Masjid Raya Bukittinggi.
Berlanjut dengan menggusur bangku bakso ke penyeduh kopi keliling, waktuku perlahan terhempas bersamaan dengan semakin sirnanya lalu lalang kuda-kuda besi berplat BA.
Derajat suhu malam itu cepat sekali berkurang, aku yang tak berjaket sungguh merasakan dinginnya udara Bukittinggi, memaksaku segera undur diri dan melangkah pelan menuju penginapan. Esok hari aku akan terjaga lebih dini dan berkeliing kota sedari pagi.
Memasuki lantai satu penginapan, Noah, Si Insinyur Amerika itu melambaikan tangan kanannya dan menyapaku dengan senyum lebar. Sebotol beer besar ada di tangan kirinya. “I will sleep early”, ucapku kepadanya. Dia menaikkan jempol kanannya sambil berucap pendek “See you tomorrow”.
Pengemudi: “Don, turun di sini saja ya. Mobil mau ambil arah kanan, nanti tambah jauh”.
Aku: “Oh Okay, Uda. Sini aja gapapa”.
Diturunkan Annanta Travel di Jalan Veteran, aku sejenak duduk meregangkan kekakuan otot setelah duduk di jok belakang selama 8 jam. Patung putih Tuanku Imam Bonjol diatas kudanya menjadi pemandangan pertama yang menjamu kedatanganku di Bukittinggi. Pemimpin Perang Paderi itu menebar berkharisma, gagah tanpa suara.
Pertigaan Jalan Veteran, Jalan Pemuda (kiri) dan Jalan Ahmad Yani (kanan).
Setelah dua hari tersiram panas menyengat di Pekanbaru, kini aku menikmati sejuknya udara Bukittinggi. Kini aku leluasa berlama-lama mengarahkan kameraku kemanapun tanpa sengatan surya. Aku memang harus sesekali berhenti karena kontur jalanan kota yang naik turun, membuatku terengah-engah dengan beban backpack di punggung.
Memasuki Jalan Teuku Umar yang mulai menurun.
Dari kejauhan, aku terus bertatapan dengan gadis muda berambut pirang yang duduk menikmati sore di atas moge. Yang kuprediksi adalah dia tepat berada di depan De Kock Hotel tempatku menginap.
Benar adanya, tiba tepat dimana moge itu terparkir, aku dihadapkan pada lobby hotel yang berwujud sebuah cafe, perempuan muda itu menyusul dan bergegas menuju meja resepsionis. Sepertinya dia adalah staff hotel yang bertugas sore itu.
Aku akan tidur lantai dua dormitory sederhana itu.
Aku: “Hi. Were you in Samosir four days ago?, I think that we stayed at a similar hotel, Bagus Bay Homestay”.
Noah: “Oh really? Yes, I was in Samosir four days ago”.
Aku: “I’m Donny. I am an Indonesian traveler. What is your name?”.
Noah: “I’m Noah form California”.
Aku: “Are you on vacation, No? What do you do in America?”.
Noah: “Yes, I’m on vacation. I am an engineer at oil company. What is your job in Indonesia? “.
Aku: “Marketing”.
Noah: “What marketing?”.
Aku: “I work in field, meet customers, and sell products”.
Noah: “Oh, you aren’t marketing. You are a sales. How about your income? Good income? I work with good income but with high risk in America … hahahaha”.
Aku:” Yes, of course, I’m a salesman. I got a lot of money from my work”.
Itulah Noah, kenalan baruku di Bukittinggi. Kebetulan kita hanya berdua yang menghuni ruang dormitory dengan lima tempat tidur tunggal itu.
—-****—-
Aku duduk di lobby, sebotol Coca Cola berukuran sedang berhasil membekukan keringat setelah berjalan sejauh satu kilometer. Sore itu aku berniat menyambangi Jam Gadang yang hanya berjarak setengah kilometer di barat laut hotel.
Sekitar pukul 17:30, aku mulai beranjak dengan mejinjing kamera menuju kesana. Aku memilih berjalan kaki melewati Jalan Yos Sudarso yang cenderung datar dan menurun di Jalan Istana.
Bangunan tua Novotel.
Tepat di seberang Novotel adalah Plaza Bukittinggi. Aku hanya berdiri terdiam di pelataran plaza untuk menikmati keelokan Jam Gadang. Taman Sabai Nun Aluih yang berada di bawah menara jam itu tertutup lembarang seng proyek dengan rapat. Sedang ada renovasi taman rupanya.
Jam berusia 96 tahun yang didedikasikan untuk sekretaris Fort de Kock (Nama lama Bukittinggi).
Sesuai namanya “Gadang” yang dalam bahasa Minang berarti besar, menara jam ini berketinggian dua puluh enam meter dengan empat jam kembar berusia 128 tahun yang didatangkan langsung dari Rotterdam melalui Teluk Bayur.
Digerakkan mesin Brixlion yang kembarannya ada di Big Ben, London.
Di arsiteki oleh Radjo Mangkuto, Jam Gadang dibuat dengan 4 tingkatan. Tingkat bawah merupakan ruangan petugas, tingkat kedua berisi bandul pemberat jam. Mesin jam ditempatkan di tingkat ketiga dan tingkat paling atas sebagai puncak menara dimana lonceng jam ditempatkan.
Bahagia rasanya, bisa melihat Jam Gadang yang sedari kecil, aku hanya mengenalnya lewat buku pelajaran Sekolah Dasar.
Berjalan kaki menyusuri Jalan Veteran, aku perlahan mendekati Hotel De Kock untuk melalukan check-in. Sejuk dan damai itulah gambaran awal di kepalaku mengenai Bukittinggi ketika pertama kali tiba.
1. Jembatan Limpapeh
Setengah perjalanan menuju penginapan, aku sudah terpesona dengan sebuah jembatan gantung. Adalah Jembatan Limpapeh yang membentang diatas Jalan Ahmad Yani. Didirikan pada tahun 1992 dan berfungsi sebagai penghubung antara Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan dengan kawasan Benteng Fort De Kock. Membentang sepanjang sembilan puluh meter dengan lebar kurang lebih tiga meter, menjadikan jembataan ini begitu gagah terlihat dari jalanan.
2. Jam Gadang
Sebotol coca cola menutup sesi check-in ku sekaligus sebagai penanda mula untuk penelusuranku sore itu di sekitaran Pasar Atas. Menelusuri Jalan Yos Sudarso yang naik turun, langkahku tiba di sebuah landmark fenomenal yang terkenal di seantero Indonesia.
Jam Gadang, landmark pemberian Ratu Wilhelmina itu tampak gagah menjulang. Lama untuk sekedar menunggu lampu aneka warna muncul dan menyirami seluruh bangunan jam raksasa itu sebagai penanda bergantinya sore ke malam.Karena ketersohorannya, Jam Gadang telah ditetapkan sebagai Titik Nol Kilometer Kota Bukittinggi. Atapnya yang berbentuk gonjong atau atap yang biasa dipakai pada Rumah Gadang menjadikan karya arsitektur Eropa itu memiliki kekayaan adat lokal.
3. Plaza Bukittinggi
Renovasi besar pada Taman Sabai Nan Aluih, menjadikanku hanya mampu menikmati keindahan Jam Gadang dari pelataran sebuah mall yang letaknya berseberangan dengan jam besar itu.
Plaza Bukittinggi dalam beberapa kurun waktu terakhir telah menjadi mall terbaik di Bukittinggi. Brand Ramayana menjadi pemain utama yang menempati tujuh puluh persen dari kapasitas keseluruhan mall ini.
4. Masjid Raya Bukittinggi
Keasyikan menikmati keelokan Jam Gadang hampir saja membuatku kehilangan Shalat Maghrib. Aku mencoba menelusuri asal adzan beberapa puluh menit sebelumnya. Menuju ke utara, akhirnya aku tiba di Masjid Raya Bukittinggi.
Masjid yang pada saat terjadinya gempa bumi tahun 2007 menjadi tempat perlindungan bagi warga yang mengungsi karena kerusakan yang diakibatkan oleh gempa besar itu.
5. Pasar Atas Bukittinggi
Jalan Cindua Mato menuju Pasar Atas
Masjid raya yang terletak tepat di pusat Pasar Atas inilah yang membuatku tertarik untuk sekalian menelusuri jalanan menuju ke Pasar Atas. Gelap yang terus melahap hari, membuat pemilik deretan ruko mulai menutup tokonya satu-persatu.
Pasar Atas adalah pasar yang menempatkan beberapa penjual Nasi Kapau, Es Ampiang Dadiah dan Kerupuk Sanjai yang menjadi kerupuk favorit untuk oleh-oleh bagi para pengunjung kota Bukittinggi.
Laparnya perut telah memaksa diriku untuk segera mencari menu santap malam. Makan malam di bawah Jembatan Limpapeh akhirnya menutup dua jam penjelajahan pada malam pertamaku di Bukittinggi
6. Tugu Pahlawan Tak Dikenal
Hari keduaku dimulai dengan beranjaknya diriku dari hotel pada pagi sepi. Bahkan aktivitas warga belum tampak. Sepi nan dingin tak menyurutkan langkah untuk mengunjungi Tugu Pahlawan Tak Dikenal.
Tugu ini dibangun untuk mengenang perlawanan para pahlawan yang tak bisa dikenali secara pasti dalam menentang Kolonialisme Belanda pada tahun 1905. Tugu dengan ornamen berbentuk lingkar ular naga besar dan diatasnya berdiri patung seorang pemuda memegang bendera.
7. Taman Monumen Proklamator Bung Hatta
Sementara di seberang depan tugu, tampak sebuah taman dengan patung hitam Bung Hatta. Dikenal dengan nama Taman Proklamator Bung Hatta, taman ini didedikasikan untuk Mohammad Hatta, putera asli Bukittinggi yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia bersama Ir. Soekarno.
8.Janjang Ampek Puluah
Kembali menelusuri Jalan Cindua Mato yang kulewati semalam, aku menuju sebuah tangga penghubung antara Pasar Atas dan Pasar Bawah serta Pasar Banto. Sebuah tangga beton curam dengan empat puluh anak tangga berusia 112 tahun. Inilah perwujudan integrasi fasilitas publik versi tempoe doele. Pada waktu itu, Pemerintah Hindia Belanda dengan satuan kekuasaan setempat sepakat menghubungkan setiap pasar yang ada di Bukittinggi, salah satunya dengan pembuatan janjang atau anak tangga.
9 Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta
Keluar dari gapura bawah dan melewati Banto Trade Centre yang tampak tak terawat, aku menuju ke kediaman Bung Hatta semasa kecil. Walaupun sesungguhnya rumah ini hanya berupa bangunan rekonstruksi, akan tetapi penataan interior dan penampilan eksterior dibuat semirip mungkin dengan kondisi rumah aslinya yang telah runtuh. Jika kamu ingin mengetahui sejarah hidup di balik kegemilangan Bung Hatta dalam karir politiknya, maka datanglah ke tempat ini.
10. Fort De Kock
Selesai berkunjung di Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta, aku niatkan berjalan kaki menuju Benteng Fort de Kock melalui Jalan Pemuda yang lumayan panjang mendaki dan berkelok dari selatan ke utara. Tapi ternyata aku tak mampu lagi di pertengahan jalan, kupanggil tranportasi online untuk mengantarkanku tepat di gerbang depan Fort de Kock.
Benteng Fort de Kock ini didirikan oleh Kapten Bauer pada tahun 1825 di atas Bukit Jirek sebagai kubah pertahanan Pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat dalam Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
11. Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan (TMSBK)
Dari Fort de Kock, aku hanya perlu menyeberangi Jembatan Gantung Limpapeh menuju sebuah kebun binatang terkenal di Bukittinggi.
Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) merupakan salah satu kebun binatang tertua yang ada di Indonesia dan satu-satunya di Sumatra Barat dengan koleksi hewan terlengkap di pulau Sumatra.
12. Museum Rumah Adat Baanjuang
Semakin berkembangnya kebun binatang ini, maka pada tahun 1935 dibangunlah Rumah Adat Baanjuang di dalamnya.
Difungsikan sebagai museum, rumah adat ini didedikasikan untuk mengangkat kebudayaan tradisional masyarakat Minangkabau. Di dalamnya dipertunjukkan berbagai pakaian, perhiasan dan alat-alat kesenian khas Minang.
13. Museum Zoologi
Tak jauh….Di timur laut kebun binatang, terdapatlah Museum Zoologi berwarna hijau sengan harimau sumatera dan ikan mas sebagai ikon museum. Museum yang didirikan bersamaan dengan Museum sejenis di Bogor pada 1894. Dua ribu jenis binatang diawetkan dan dipamerkan di dalam museum ini.
14.Ngarai Sianok
Aku meninggalkan Fort de Kock dari pintu masuknya. Niatan berikutnya adalah bermain ke Ngarai Sianok. Sebuah lembah yang terbentuk dari patahan alami, memiliki dinding tegak lurus dengan sungai Sianok mengalir di tengahnya.Tetapi sangat disayangkan hujan turun begitu lebatnya. Selepas turun dari ojek online, aku serasa tak bardaya dan menunggu hujan reda. Dibawah pohon aku terus mengamati lembah siku-siku pada topografi area ini.
Cekungan dereta tebing itu seakin diperindah dengan alira air sungai tepat d bawah jurang-jurang tinggi.
15. Lobang Jepang
Hujan mulai menipis tapi tetap tak kunjung reda, mengakibatkan asa menikmati ngarai lebih lama harus kuakhiri. Aku mendapatkan ojek online dengan pengendara wanita berjilban berumur setengah baya. Di bawah hujan yang mulai mengerimis aku menuju Taman Panorama.
Sebelum mengeksplore Taman Panorama aku sempatkan untuk menelusuri sebuah lobang pertahanan terpanjang di Asia. Lobang Jepang yang dibuat atas perintah Letnan Jenderal Moritake Tanabe, Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Balatentara Jepang. Sangat dalam, panjang dan mengagumkan.
16.Taman Panorama
Akhirnya kunjungan penutup jatuh di Taman Panorama, sebuah taman besar dengan dua buah pintu masuk di tepian Jalan Panorama. Dengan tiket seharga Rp. 15.000, aku bisa berusaha menikmati taman rindang ini pada detik-detik terakhirku di Bukittinggi.
Meninggalkan taman dan kembali ke hotel, aku bersiap menuju kantor travel untuk menuju Padang. Pukul 13:00 aku akhirnya benar-benar meninggalkan Kota Bukittinggi. Selamat tinggal Bukittinggi.
Jadi bagi kalian yang berniat ke Sumatera Barat….Berkunjunglah Ke Bukittinggi dan nikmati sejuknya udara kota.
Gagal check-in lebih cepat, kuputuskan tiga hingga empat jam ke depan untuk menjelajah area Senapelan, area dimana Kesultanan Siak Sri Indrapura pernah menggapai masa keemasannya. Aku mencoba menapak tilas sejarah kesultanan dengan melawat ke beberapa peninggalannya yang abadi hingga kini.
Atas alasan itu, berangkatlah aku menuju Sungai Siak yang kesohorannya melegenda di Nusantara. Betapa tidak, Sungai Siak pernah menjadi sungai terdalam di Indonesia.
Kawasan Pecinan di Jalan Dr. Leimena masih sepi pagi itu, hanya satu dua mobil melintas. Aku berbelok ke kiri ketika mulai memotong Jalan Ir. H. Juanda dan menemukan area hijau yang tampak mengakuisisi junction area yang dibatasi Jalan Riau dan Jalan Ahmad Yani. Tak jauh, kuperkirakan sekitar setengah kilometer di utara hotel.
Ke kanan: Jl. Ir. H. Juanda, lurus: Jalan Jend. Ahmad Yani dan ke kiri: Jl. Riau.
Taman seluas dua kali lapangan bola ini layaknya taman kota di Jakarta. Memamerkan nameboard dan menyediakan trotoar luas sebagai pembatas antara jalan dan area taman.
Ini dia nama tamannya.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tunjuk Ajar Integritas merupakan spot playground terkenal di Pekanbaru dan menjadi taman terfavorit bagi warga yang tinggal di area Senapelan.
Tak pelak, di panasnya siang pun, masih ada beberapa keluarga kecil yang membawa anaknya ke taman dan beraktivitas di area bermain pasir yang dilengkapi dengan ayunan (swing seat), tangga naik turun (kids up down stairs) dan prosotan (kids slide) berketinggian rendah.
Sementara beberapa petugas kebersihan taman berkaos panjang warna hijau muda tampak sibuk mencabuti rumput liar, menyiram tanaman dan menyapu setiap sudut taman. Taman memang luas, tetapi kebersihannya tak bisa diragukan.
Menempati bekas kantor Dinas Pekerjaan Umum, dana sebesar delapan milyar rupiah yang telah diinvestasikan dalam pembuatan taman ini tercermin dari lapangnya area dan lengkapnya fasilitas yang disediakan taman.
Di empat pojok taman disediakan kanopi beton dengan atap berbentuk jamur dan sebuah kanopi tepat di tengah taman dengan atap khas Melayu berornamen selembayung.
Di sisi kiri, tampak ruang terbuka melingkar yang ditata layaknya area teater lengkap dengan podium tiga tingkat. Beberapa anak muda tampak terduduk di sebuah kanopi memegang papan skateboardnya masing-masing. Sementara pemilik rental mobil-mobilan berdaya baterai tampak mulai menata mainan sewaannya di area yang lebih rindang.
Jogging track membelah taman.
Area terbuka multifungsi.
“Tunjuk Ajar” yang bermakna “Memberikan Teladan” dan “Integritas” yang mewakili sebuah “Sikap Kepemimpinan”, cukup menjelaskan bahwa taman ini adalah wahana untuk mencontohkan integritas dalam kepemimpinan masyarakat. Makna ini dipertegas dengan keberadaan sebuah tugu di salah satu ujung taman.
Tugu Integritas.
Dibangun dan dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Riau, taman ini didedikasikan untuk program perlawanan korupsi di Pemerintahan Daerah.
Tugu Integritas menampilkan Bono Sungai Kampar dan Bono Sungai Rokan serta keris Melayu. Bono merujuk pada ombak yang terbentuk di muara Sungai Kampar dan Sungai Rokan sebagai akibat pertemuan air tawar yang menuju ke laut dan air laut yang menuju ke darat. Sedangkan keris Melayu mendiskripsikan proses penancapan integritas di seluruh lapisan masyarakat.
Tak rugi juga, mampir di sebuah taman yang tak sengaja kutemukan sebelum mencapai tepian Sungai Siak.