Bersua Dua Traveler Muda di Pulau Rubiah

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir pukul setengah dua siang ketika aku meninggalkan Tugu Nol Kilometer RI. Rasa penasaranku telah lindap dalam memori pengalaman terdalam. Tak lain karena keberhasilan diri mengunjungi destinasi penting dalam passionku sebagai seorang solo-traveler.

Bertolak dari Titik Nol Kilometer Indonesia, aku tak perlu lagi keseringan menatap layar telepon pintar demi menuju Teupin Layeu, aku sudah melintasi jalur menujunya dua setengah jam sebelumnya.

Praktis, aku hanya perlu fokus untuk menggeber gas sepeda motor sewaan menuju titik tersebut. Alhasil, aku pun berhasil melewati ruas jalan yang penuh proyek renovasi itu dalam lima belas menit untuk kemudian kembali menggapai gerbang Teupin Layeu.

Tanpa menunggu ditanya, aku menyerahkan selembar Rp. 5.000 kepada pemuda penjaga gerbang masuk.

Nginep, Bang?

Oh, engga….Mau nyebrang aja, Bang”.

Oh….Nanti cari kelompok lain di tempat penyewaan snorkle untuk nyebrang bareng, Bang….Biar murah”.

Ok….Terimakasih ya, Bang”, aku pun bergegas mencari tempat parkir.

Tiba di tempat parkir, aku langsung disapa oleh seorang lelaki tegap, berperawakan besar.

Abang mau nyebrang?”, pertanyaan tanpa basa-basi dilontarkannya

Betul, Bang

Kalau mau sewa snorkle, saya ada persewaan….Saya bisa carikan pengunjung lain untuk nyebrang bareng. Ongkosnya biar murah, Bang”, dia tersenyum sembari merapikan sepeda motorku di tempat parkir.

OK, saya ikut Abang aja”, aku menolehkan muka ke arah titik penyeberangan.

Aku pun dibawa ke tempat persewaannya dengan langit-langit ruangan yang digelantungi baju pelampung. Kemudian, seorang perempuan setengah baya mendatangiku,

Ukuran kakinya berapa, Bang?

40, Bu”, aku faham bahwa ukuran itu digunakan untuk menentukan fin yang akan kupakai.

Sewaktu kemudian perempuan setengah baya itu membawa peralatan snorkeling lengkap. Fin sesuai ukuran kaki, snorkel mask dan baju pelampung. Cukup membayar dengan Rp. 50.000 untuk menyewa ketiga jenis peralatan itu seharian.

Sementara itu, si Bapak mempertemukan aku dengan dua traveler lain untuk menyeberang ke Pulau Rubiah menggunakan satu perahu. Metode sharing cost ini ternyata memang disediakan langsung oleh para pelaku bisnis wisata di Teupin Layeu.

Dua traveler muda asal Medan itu adalah Mahalli dan Joko. Mahalli adalah pemuda Medan keturunan Sunda, sedangkan Joko berketurunan Jawa.

Teupin Layeu.
Persewaan alat snorkeling di Teupin Layeu.

Aku diberikan selembar tiket perahu berwarna merah dengan nomor HP pengemudi perahu dan nomor perahu di lembarannya.

Perahu kayu nomor 16 ya, Bang”, perempuan pemililik persewaan snorkel itu memberitahu kami bertiga.

Tanpa pikir panjang kami bertiga menuju dermaga, untuk kemudian aku melakukan panggilan telepon kepada nomor HP yang tertera di karcis.

Dari percakapanku dengan pengemudi perahu di handphone, aku akhirnya tahu bahwa perahu kayu itu masih ada di sekitar dermaga, sehingga kami tak perlu menunggu lama untuk menyeberang.

Perahu kayu bermesin tempel tunggal itu tiba dalam lima menit di dermaga Pulau Rubiah. Di perahu itu ikut menumpang seorang perempuan paruh baya yang memiliki warung di Pulau Rubiah. Maka demi memudahkan kegiatan snorkeling, kami diajak si ibu ke warungnya dan dipersilahkan menyimpan tas di sana.

Dermaga di Teupin Layeu.
Tiba di Dermaga Pulau Rubiah

Tiba di warung, aku segera berganti baju di sebuah kamar ganti sederhana di belakang. Aku juga minta disiapkan dua bungkus mie instan mentah yang telah disiram air untuk aktivitas memberi makan ikan ketika bersenorkeling nanti.

Berdasar informasi dari si ibu pemilik warung bahwa biasanya kegiatan snorkeling akan selesai maksimal pukul enam sore. Dan itu adalah tiga jam ke depan semenjak kedatanganku di Pulau Rubiah beberapa menit sebelumya.

Aku segera menuju titik snorkeling yang letaknya 200 meter dari dari warung. Tampak garis pelampung diletakkan di kejauhan sebagai batas untuk melakukan aktivitas snorkeling. Keamanan berwisata tetap menjadi prioritas nomor satu di Pulau Rubiah.

Aku pun menyeburkan diri ke dalam jernihnya air laut. Beberapa terumbu karang masih tampak alami di sisi timur pantai. Pasir yang berada di sekitar Pantai Rubiah adalah pasir putih yang lembut. Sementara di perairan pantai yang agak dalam tampak beberapa bekas sepeda motor, dan anyaman besi di tanam di dasar pantai untuk membantu menumbuhkan terumbu karang.

Keeksotikan berikutnya yang kudapatkan adalah ketika melakukan aktivitas memberi makan ikan. Jika biasanya aku mendapatkan ikan laut berukuran kecil ketika melakukan kegiatan yang sama di beberapa pantai di tanah air, sore itu aku mendapatkan sekumpulan ikan berukuran besar yang berebut makanan.

Dermaga di Pulau Rubiah.
Area snorkeling Pulau Rubiah.
Aku, Mahalli dan Joko.

Bertambah sore, jumlah pengunjung semakin banyak. Beberapa diantaranya ternyata menggunakan jasa tour & travel, tampak beberapa tour guide yang menggunakan pakaian khas menyelam sibuk membriefing mereka sebelum melakukan aktivitas snorkeling.

Aktivitas snorkeling yang kulakukan pun berakhir pada pukul lima sore. Aku harus bersiap diri untuk kembali menyebrang ke Teupin Layeu, menyudahi petualangan hari perdanaku di Pulau Weh.

Keluar dari air laut, aku menahan rasa lapar yang teramat sangat. Oleh karenanya setelah berganti pakaian tanpa berbilas, aku pun memesan mie rebus dengan telur mata sapi setengah matang ke ibu si empunya warung.

Usai menyantap menu makan sore itu, aku bersama Mahalli dan Joko pun pergi menyeberang ke Teupin Layeu.

Petualanganku di Pulau Rubaih pun usai.

Kisah Selanjutnya—->

Rujak Aceh di Titik Nol Kilometer Indonesia

<—-Kisah Sebelumnya

Pantai Gapang.

Aku tak lama mengintip biru jernihnya Pantai Gapang, karena tujuan utamaku bukanlah pantai itu. Setelah mengambil beberapa gambar seperlunya, aku kembali menggeber sepeda motor sewaan menuju barat. Tujuanku tak jauh lagi dari Pantai Gapang. Hanya berjarak tiga kilometer lagi. Itu berarti aku hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit demi menujunya. Tak lama turun kembali di jalanan, suara bacaan Al-qur’an mulai terdengar sayup dari sebuah masjid besar, Masjid Baitul Muna namanya.

Aku pun berpikir bahwa Shalat Jum’at akan segera dimulai. Aku meniatkan berhenti dan melongok ke gerbang masjid. Ternyata belum ada siapa-siapa di halaman dan ruangan masjid. Dan setelah mengecek di “mesin pencari”, aku baru mengetahui bahwa ibadah Shalat Jum’at di Pulau Weh baru akan dimulai satu setengah jam lagi. Maka tanpa ragu, aku pun kembali menarik gas sepeda motor sewaanku….

Sewaktu kemudian, tibalah putaran roda di sebuah tikungan….Aku terus saja melenggang.

Tetiba….

Sepertinya aku melewatkan sesuatu”, gumamku usai sekelebat melihat antrian mobil di depan gerbang.

Maka kuputar kembali arah sepeda motor sewaanku, mendekat ke antrian, dan akhirnya aku pun ikut mengantri.

Giliranku akhirnya tiba….

Mau nginep, Bang?” pemuda penjaga gerbang menanyaiku

Engga, Bang. Cuma mau nyebrang”.

Lima Ribu, Bang….Tapi nanti nyebrang habis Shalat Jum’at ya….Jam setengah dua”, dia memberi informasi.

Oh baik, Bang, kalau begitu nanti saya ke sini lagi aja”, aku memutuskan pergi ke tempat lain saja.

Sebelum pergi, aku yang penasaran, kembali menatap signboard yang tertera di gerbang.

SELAMAT DATANG DI TEUPIN LAYEU“, begitulah aku membacanya.

Maka kulihat aplikasi berbasis peta di telepon pintarku. Lokasi itu merujuk pada nama “PANTAI IBOIH”. Nantinya aku akan paham bahwa kedua nama itu merujuk pada tempat yang sama. “Teupin Layeu” adalah nama pantainya, sedangkan “Iboih” adalah nama daerah  dimana pantai Teupin Layeu berada.

Sudahlah….Bukan perkara penting.

Aku masih memiliki tujuan lain yang lebih penting dan merupakan ikon nasional.

 Aku kembali menggeber sepeda motor sewaan lebih cepat, berkejaran dengan waktu Shalat Jum’at.

Dan dalam sekejap, aku pun mulai memasuki ruas jalan yang sedang dalam masa perbaikan di sana-sini. Alat-alat berat telah mengakuisisi sepanjang ruas jalan.

Bahkan para pengendara harus melewati ruas itu secara bergantian melalui jalur tunggal sementara. Lalu lintas jalan memang mulai sedikit padat. Itu karena aku sudah mendekati titik akhir tujuan yang pasti juga akan dikunjungi oleh para pelancong kebanyakan.

Aku pun tiba….

Dengan membayar Rp. 5.000, aku memasuki gerbang dan aku diminta oleh petugas parkir untuk memarkir motor di percabangan jalan sebelah kiri. Pengelola tempat wisata menyediakan lokasi parkir tak beraspal di sebuah lahan yang cukup luas. Tetapi aku lebih memilih memarkirkan sepeda motor sewaan tepat di bahu jalan.

Aku hanya diperingatkan oleh petugas parkir supaya tidak meninggalkan barang apapun di sepeda motor, karena banyak beruk yang sering mengutil barang-barang milik pelancong. Tapi tak perlu khawatir, aku cuma membawa folding bag berukuran sedang yang semua perlengkapan telah kumasukkan di dalamnya.

Aku melanjutkan langkah melewati jalan utama yang di kiri-kanannya  dipenuhi dengan deretan kedai makanan, buah tangan dan souvenir.

Untuk kali pertama kedatanganku itu, aku mengindahkan seruan para pembeli yang mengajak setiap pelancong untuk mampir di kedainya.

Lebih baik makan siang nanti aja saat mau bertolak pulang”, aku bergumam.

Tak lama, langkahku akhirnya tiba di titik terbarat Pulau Weh, titik terbarat Nusantara, yaitu titik Nol Kilometer Indonesia.

Titik inilah yang menjadi titik paling sakral bagi para traveler Indonesia. Titik Nol Kilometer Indonesia ini ditandai dengan kehadiran tugu berwarna biru langit. Tugu ini dinamakan sebagai Tugu Nol Kilometer RI yang ketinggiannya menjulang setinggi 43,6 meter.

Kuperhatikan, tugu itu berhiaskan rencong di keempat sayap berbentuk setengah lingkaran. Rencong sendiri adalah senjata khas Aceh. Rencong dalam Monumen Nol Kilometer ini melambangkan perjuangan rakyat Aceh dalam kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Sayang di beberapa bagian tugu, besi monumen mulai banyak yang berkarat. Harusnya tugu ini dirawat dengan lebih baik, karena di masa depan pasti akan banyak pelancong yang tak henti-hentinya datang dan berkunjung ke tempat ini.

Aku kembali diam menatap bangunan ikonik itu lekat-lekat.

Deretan kedai souvenir di Titik Kilometer 0 Indonesia.
Pemandangan dari lantai 2 Tugu Nol Kilometer RI.
Tugu Nol Kilometer RI.

Kuperhatikan bahwa keistimewaan tugu ini adalah lokasinya yang tepat berada di tepi pantai, sehingga ketika aku mencoba naik ke lantai kedua tugu, pesona Samudera Hindia terpampang dengan indahnya di hadapan.

Saking ramainya suasana, banyak sekali pelancong yang rela antri untuk bisa berfoto di depan dua signboargd, yaitu signboardKilometer 0 Indonesia” dan “Sabang Kilometer 0”.

Aku sendiri tak berhasrat mengambil foto di depan signboard itu, aku lebih memilih memperhatikan beberapa ekor beruk yang gigih meminta makan kepada para pelancong yang datang.

Aku sendiri hanya meluangkan waktu selama setengah jam di Tugu Nol Kilometer RI itu, karena aku harus berusaha keluar dari area tugu demi mencari kemungkinan keberadaan ibadah Shalat Jum’at di sekitar tugu.

Sayang aku tak menemukannya setelah menengoki setiap sudut di kawasan tugu. Hanya sebuah mushola kecil nan kosong yang kutemukan di salah satu sudut.

Ya sudah….Aku akan menjamak sholatku”, aku memutuskan.Gagal menemukan ibadah Shalat Jum’at, maka bergegaslah aku mencari kedai makan. Aku melewati begitu saja beberapa kedai yang hanya menjual mie rebus berbahan mie kemasan.

Hingga akhirnya aku menemukan sebuah warung nasi di ujung jalan. Pondok Nabila, nama warung nasi itu. Penjualnya adalah seorang muslimah asal Medan.

Di Pondok Nabila, aku hanya menyantap sepiring Nasi Goreng Kampung dengan telor mata sapi setengah matang. Harganya cukup murah dan fair kurasa , hanya Rp. 25.000.

Pondok Nabila.
Ayam goreng kampung itu warnanya putih tanpa kecap dan saus.

Usai menyantap makan siangku, aku bergegas menuju parkiran sepeda motor demi melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi aku mendadak tersadar bahwa aku telah melupakan sesuatu yang untungnya belum terlambat untuk dilakukan, yaitu mencicipi Rujak Khas Aceh dengan bahan buah Rumbia.

Maka aku mencari kedai rujak terdekat dari tempatku berdiri.

Aku menemukan seorang bapak yang sedang mengulek bumbu rujak dan anak gadisnya yang membungkus rujak yang telah diindent oleh para pembeli.

Wah, laris banget….Pakai indent segala”, batinku terkekeh.Aku mendekat ke arah bapak itu….

Berapaan, Pak ?

Lima Belas Ribu, Dek”, si Bapak penjual menjawabku dengan ramah.

Pesan satu ya, Pak

Baik, Dek,….Silahkan duduk dulu di dalam kedai, nanti saya buatkan….Saya ngelayanin yang sudah pesan duluan ya, Dek”,

Baik, Pak”, aku meninggalkannya dan melangkah ke dalam kedai semi permanen untuk duduk di salah satu kursinya.

Setelah lima belas menit menunggu, rujak khas Aceh yang kupesan akhirnya tiba.

Buah Rumbia yang digantung dan membuat penasaran.
Rujak Aceh dengan buah Rumbia.

Hmmmh….Penampakannya yang aduhai membuatku menyantapnya pelan-pelan.Sungguh cita rasa rujak yang luar biasa. Asam, pedas, manis, gurih, segar dan kelat bercampur menjadi satu dalam sajian Rujak Aceh itu.

Maka akupun menikmatinya dengan khusyu’ sebelum aku pergi menyeberang ke Pulau Rubiah.

Kisah Selanjutnya—->