Harta Tersembunyi Pantai Utara Pulau Weh

Aku berhasil menitipkan backpack di PUM Losmen. Itu juga setelah aku berkali-kali menekan lonceng losmen yang sedikit soak.

Bang Ari yang masih menyipitkan mata terbangun, keluar dari kamar dan menemuiku.

Kan bisa WA bang?”, dia menegurku

Oh, maaf Bang Ari, tadi sudah saya WA tapi tidak dibalas sama Abang”, aku menegaskan sembari memohon maaf.

Saya mau nitip tas aja bang, saya sudah pesan kamar via online”, aku menegaskan maksud.

Setelah Bang Ari mengiyakan, aku segera mengambil peralatan seperlunya dari backpack, menaruhnya di dalam folding bag yang kupanggul, untuk kemudian menyerahkan backpack kepadanya.

Sebelum benar-benar pergi, aku memperhatikan lobby dan koridor losmen. Semua tampak bersih. Aku yakin tidak salah memilih losmen. 

Aku sendiri tak menyadari bahwa aku akan sedikit menemukan hal yang menggelikan ketika nantinya sudah memasuki kamar.

Aku pamitan kepada Bang Ari…..Sambil melihat nomor HP Bang Ari yang terpampang di meja reception.

Apakah nomor itu aktif….Kok Bang Ari tidak membalas WAku”, aku masih berpikir.

Menuruni tangga, aku kembali menaiki sepeda motor sewaan yang kuparkirkan di pinggir jalan.

Sudah jam sepuluh pagi lewat ketika aku kembali turun di jalanan Sabang.

Aku memutar arah di Jalan Perdagangan untuk menggapai Jalan Cut Nyak Dien demi mendapatkan akses menuju barat. Ya, aku akan menyambangi titik terbarat pulau Weh sekaligus titik terbarat Nusantara.

Kamu tahu kan tempat yang kumaksud?

Aku berhasil menggapai Jalan Cut Nyak Dien, tetapi kemudian tetiba terpikir sesuatu.

Oh, iya….Nanti malam motorku parkir dimana ya?….Tadi kulihat tidak ada tempat parkir di losmen”, aku tetiba tersadar.

PUM Losmen yang kumaksud memang hanya menempati lantai 2 sebuah kompleks ruko.

Ah pikir nanti saja lah….Waktuku tak banyak”. Aku harus berlomba dengan waktu.

Aku kembali menggeber kendaraan lebih kencang, melintasi jalanan pulau Weh yang sepi. Pemandangan berubah. Kiri kanan jalan terhampar kebun-kebun warga yang luas dan hijau.

Selama menarik gas, ada dua perdebatan dalam diri. Otakku selalu berpikir untuk terus menggeber sepeda motor demi menghemat waktu eksplorasi. Sedangkan di sisi kiri dan kananku sesekali terhampar pemandangan laut yang indah nan cantik dan menarik minat hati untuk berhenti.

Beberapa kali aku telah melewatkan spot-spot cantik, bahkan semenjak permulaan perjalanan dari Kota Sabang di beberapa menit sebelumnya.

Tapi kemudian entah kenapa akhirnya aku berhenti mendadak pada sebuah spot. Hati nurani menginterupsi scenario perjalananku sendiri.

Aku memutuskan untuk mampir di setiap spot indah yang akan kutemui di depan.

Di hadapan telah terpampang panorama indah. Tepat di tepian jalan di daerah Kreung Raya. Aku memasang standar motor lalu berdiri tegak menikmati panorama itu. Tepat di seberang jalan adalah keramaian warung kopi dengan penikmatnya yang terus menatap keberadaanku. Aku mengindahkan tatapan mereka dengan terus menghadap ke arah pantai.

Untuk beberapa saat aku duduk di atas jok motor menikmati panorama indah itu.

Lima menit kemudian aku melanjutkan perjalanan.

Tetapi baru saja berkendara selama lima menit, aku kembali menemukan spot yang lebih indah. Berada dibalik sebuah kedai panggung di tepian dinding jalan yang terjal. Kedai itu dibikin menggantung di atas tebing jalan berpenopang kayu-kayu berukuran besar.

Sementara itu, di sebelah kiri kedai terdapat area titik pandang yang dibuat menempel dengan kedai. Kedai itu tutup, panggung titik pandang itu lengang. Maka aku memutuskan naik ke atas panggung itu dan menikmati keindahan pantai Pulau Weh yang sungguh eksotis.

Kali ini agak lama, karena pemandangannya memang sungguh indah, Untuk beberaa saat aku membiarkan waktu berlalu demi meresapi dan menyimpan memori keindahan yang ada di depan mata.

Panorama di Kreung Raya.
Panorama di atas panggung titik pandang.

Usai puas, aku kembali menggeber sepeda motor….

Kali ini aku dibawa melaju tepat di bibir pantai. Membuat pandanganku tak lagi terfokus ke depan melainkan lebih sering menatap ke sisi kanan. Birunya laut terpampang jelas di sepanjang jalan, berjeda cepat dan teratur dengan julangan tinggi pokok-pokok nyiur yang banyak tumbuh di sepanjang pantai.

Jalur yang eksotis….”, aku tersenyum membatin.

Jalanan tepat di sisi pantai utara Pulau Weh.

Beberapa saat kemudian aku tiba di daerah Batee Shoek,

Di daerah ini kembali aku menemukan sebiah view tepat di sisi tebing pantai, berupa tanah lapang berumput hijau yang berbatasan langsung dengan bibir laut yang tertahan oleh tebing setinggi tak lebih dari satu meter.  Dari tanah lapang itu, aku bisa menikmati pantai, sekaligus mendengarkan debur ombak yang menghantam tebing rendah itu silih berganti.

Panorama di Batee Shoek.
Tepat di bibir pantai.

Kembali meneruskan perjalanan, sepeda motorku mulai memasuki sebuah tikungan tajam sekaligus menanjak tajam, Tikungan Batee Shoek adalah sebutan untuk tikungan itu.

Di sepanjang tanjakan, dua motor wisatawan lokal yang membawa trolley bag berukuran besar dengan kondisi berboncengan dengan mudah kulewati. Kedua motor wisatawan itu tampak kepayahan menanjak.

Berikutnya….

Aku memasuki Kawasan Hutan Kemasyarakatan di daerah Aneuk Glee. Jalur dari tahap perjalanan ini tampak sepi, hanya satu dua kedai mie yang bisa kutemui sepanjang jalur hutan sekaligus gunung sepanjang lima kilometer itu.

Dan hanya ada satu titik pandang ke arah pantai yang bisa kudapatkan di atas gunung yang sedang kulewati.

Panorama di Hutan Kemasyarakatan Aneuk Glee
Gerbang Pantai Gapang.

Aku mulai sumringah ketika mulai menemui perumahan penduduk. Aku juga semakin antusias karena menemukan sebuah spot wisata….Pantai Gapang namanya.

Maka aku memutuskan untuk mampir sebentar…..

Kisah Selanjutnya —->