Jejak Jawa Candi Gumpung

Ramadhan hari kedua belas….

Pagi itu langit cerah sempurna, pertanda akan sangat terik pada siang harinya. Sementara itu itu, aku telah bersiap untuk perjalanan cukup jauh, tak kurang dari 25 km aku akan menempuhnya.

Hampir pukul delapan pagi ketika aku sudah duduk di sofa lobby OYO 2049 Tassa Kost Syariah yang berlokasi di kawasan Telanaipura. Sedangkan tujuanku jelas, yaitu Kompleks Candi Muaro Jambi.

Aku menatap sebuah aplikasi transportasi online di layar telepon pintarku. Tampak jelas di layar bahwa setidaknya dibutuhkan perjalanan selama 45 menit apabila menggunakan sepeda motor, biaya menunjukkan di angka Rp. 66.000.

Hmmhhh….Mahal juga ya”, aku bergumam dalam hati.

Karena tak ada pilihan lain, aku akhirnya mengeksekusi pesanan ojek online itu. Pengemudi ojek tiba dalam lima menit dan aku segera berjibaku di jalanan menuju tujuan. Perjalanan menggunakan sepeda motor ini, sebagian besar porsi perjalanannya harus melewati jalan penuh rawa dan hutan, yaitu Jalan Lintas Jambi-Muara Sabak. Perjalanan yang cukup berat, karena harus berjibaku dengan truk-truk bermuatan penuh di sepanjang ruasnya.

Selama di perjalanan, pengemudi ojek online itu menjelaskan bahwa nanti pada saat pulang dari kompleks candi, aku tidak akan pernah menemukan ojek online lagi. Kebanyakan wisatawan menuju ke sana menggunakan mobil pribadi. Oleh karenanya, aku disarankan untuk mencari ojek pangkalan sebagai cara terbaik bagiku untuk  ke kembali Kota Jambi.

Menjelang pukul sembilan pagi…..

Aku tiba……

Berhenti di pintu gerbang. Entahlah….Pintu loket tiket atau kantor jaga itu ternyata masih tertutup rapat, tak ada seorang pun di dalamnya. Maka aku melenggang melewati gerbang dengan leluasa tanpa membayar apapun.

Aku tiba di ujung Jalan Gerbang Candi Muaro Jambi. Tak ada jalan lagi di titik itu. Selebihnya pengunjung akan diarahkan untuk berjalan kaki atau menyewa sepeda ontel jika ingin berkeliling Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Candi Muaro Jambi yang memiliki luas hampir 4.000 hektar. Konon Kompleks Candi Muaro Jambi berfungsi sebagai perguruan tinggi tertua di Indonesia dan terluas di Asia Tenggara. Banyak pelajar dari India, Tiongkok dan Tibet belajar di kompleks candi itu. Pernah digunakan selama lima abad lamanya sebagai tempat menimba ilmu, tepatnya dari Abad VII hingga Abad XII.

Turun dari ojek online,

Aku terduduk di sebuah gazebo, di sudut awal kompleks candi tepatnya. Mengambil nafas sejenak usai berkendara motor dengan jarak yang cukup jauh. Mengamati hamparan lahan yang rata nan menghijau dengan tengara Candi Gumpung di kejauhan. Itulah candi terdekat dari tempatku duduk.

Candi Gumpung terlihat dari gazebo tempatku duduk.

Aku tak sendiri, ada empat sekawan berusia paruh baya di gazebo itu. Menguping dari percakapan mereka, aku tahu bahwa mereka telah berada dua malam di kompleks candi itu. Sepertinya mereka memang fokus melakukan eksplorasi.

Pak, ini untuk masuk ke candi itu apakah perlu tiket?”, aku harus segera bertanya karena ingin segera mengeksplorasi kompleks candi.

Loh, tadi di depan tidak dimintain  tiket ya, bang?”, salah satu dari mereka bertanya balik

Tidak, Pak

Oh, kalau begitu langsung masuk aja, Bang.  Tidak ada pemeriksaan tiket kok di dalam”, dia menjelaskan dengan yakin karena sudah dari sehari sebelumnya mereka mengeksplorasi kompleks candi itu.

Dengan wajah sumringah, aku undur diri dari gazebo, meninggalkan rombongan peneliti itu. Melewati jalur ganda pejalan kaki yang dipisahkan lajur hijau yang dijejali pohon-pohon besar.

Tepat di sisi kanan tempatku melangkah, berdiri Museum Candi Muaro Jambi. Dari informasi yang kudapatkan di pelataran museum, aku mengetahui bahwa berbagai jenis arca, artefak, koleksi batu bata merah penyusun candi, hingga logam-logam bersejarah disimpan di dalamnya.

Museum Candi Muaro Jambi yang tutup.

Tapi entah kenapa pintu museum itu tertutup rapat-rapat. Aku hanya tersenyum tipis ketika meninggalkan pelatarannya begitu saja. Aku kehilangan satu venue penting pagi itu.

Lindap di tikungan, untuk kemudian aku dihadapkan pada tanah lapang berumput. Apik dan rapi bak lapangan sepakbola berstandar internasional.  Beberapa pekerja wanita berkaos dengan warna seragam tampak sibuk memotong rumput dan menyapu lahan berumput itu dari dedauan yang gugur.

Sementara itu, di tengah tanah lapang berumput itu berdiri gagah Candi Gumpung. Keberadaannya hanya terpisahkan dengan reruntuhan pintu gerbangnya yang berada tepat di hadapanku. Tentu aku harus melewati gerbang itu untuk mendekati candi.

Rupanya pengelola candi membuat jembatan besi melintang di atas sisa-sisa reruntuhan gerbang yang tak terlalu tinggi. Jembatan itu jelas sekali ditujukan untuk menjaga batu bata asli penyusun gerbang yang sudah ada sejak tahun 800-an Masehi.

Melewati jembatan berketinggian rendah itu, aku berlanjut menapaki tanah lapang berumput hingga tiba di sebuah bagian candi yang berupa luasan penampang merata yang dibentuk oleh susunan batu bata merah tanpa dinding dan tiang bangunan. Di tengah bidang pelataran batu itu, terdapat dua bidang kecil umpak-umpak batu yang dulunya mungkin digunakan sebagai penyangga dua tiang saka yang digunakan dalam ritual awal keagamaan.

Dalam arsitektur candi-candi Jawa, bagian seperti itu disebut Mandapa, satu bagian tak terpisahkan dari candi utama yang memiliki fungsi sebagai tempat persiapan sebuah ritual keagamaan.

Usai mengamati bagian Mandapa dengan cermat, aku melanjutkan eksplorasi ke bangunan utama candi. Secara sekilas, garis keliling Candi Gumpung memiliki bentuk bujur sangkar. Bagian dindingnya disusun dari batu bata merah. Sepertinya batu bata merah itu direkatkan satu sama lain dengan tehnik kosot, tehnik yang juga digunakan dalam bangunan-bangunan peninggalan Kerajaan Majapahit.

Keunikan pada sisi depan candi adalah adanya batu andesit dengan ukiran khas seperti ukiran pada candi-candi di Jawa. Batu itu adalah Makara yang menggambar perwujudan Dewa Air. Tampak jelas bahwa candi itu digunakan sebagai tempat peribadatan bagi masyarakat pemeluk agama Buddha pada masanya.

Lihatlah Mandapa di depan bangunan Candi Gumpung itu !
Makara berbahan batu andesit.
Bentuk Candi Gumpung tampak belakang.

Karena usia candi berada pada rentang masa pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, maka diduga bahwa Candi Gumpung memiliki hubungan yang erat dengan Kerajaan Sriwijaya.

Setelah cukup puas menikmati pesona Candi Gumpung, maka aku melanjutkan perjalanan ke bangunan candi yang lain.

Yuk….Ikuti aku !

Kisah Selanjutnya—->