Dataran Engku Putri: Mengenang Riau-Lingga

Menjelang sore ketika aku beringsut meninggalkan Bukit Clara. Memunggungi aksara raksasa tersohor, aku mengikuti koridor memanjang tepat di tengah tenda-tenda kuliner di area WTB Food Market.

WTB Food Market sendiri adalah pasar kuliner di Kota Batam yang aktif di malam hari. Sayang sore itu aku sedang berpuasa Tarwiyah, membuatku hanya sekelebat saja menikmati awal keramaian yang mulai tampak. Para pelapak kuliner sedang sibuk-sibuknya menata bangku, membuka payung-payung raksasa, mengelap gerobak-gerobak makanan, beberapa dari mereka sudah mulai memanaskan minyak di penggorengan raksasa.

Jalur pasar kuliner malam itu memanjang tak kurang dari 150 meter. Membuat bau harum makanan menyebar ke setiap sudutnya. Aku mencoba membayangkan keramaiannya saat malam tiba beberapa waktu ke depan dengan berdiri dari salah satu sisi sehingga bisa menyapukan pandangan ke segenap penjuru pasar kuliner tersebut.

Hmmhh….Jadi ini semua tadi adalah permata wisata di daerah Teluk Tering”, aku sejenak merangkum perjalananku sedari dua jam sebelumnya dimana aku telah menyempatkan bersujud syukur di Masjid Raya Batam, menikmati keindahan Bukit Clara dengan tengara raksasanya hingga detik itu bediri di salah satu sudut WTB Food Market.

WTB Food Market yang tampak sedang bersiap menyambut malam.
Lihat Selembayung di sudut atap Kantor DPRD Kota Batam itu.

Beberapa saat kemudian, aku mulai merelakan pergi meninggalkan tempat itu, Melangkah melalui sebuah bundaran mini yang merupakan akses menuju rumah wakil rakyat, Kantor DPRD Kota Batam. Satu hal yang langsung tetangkap dalam pikiranku ketika melihat kantor wakil rakyat itu adalah sematan “Selembayung” di ujung atapnya.

Kamu tahu ga sih makna aksesoris “Selembayung” pada bangunan melayu di Provinsi Riau Kepulauan?

Gaes….Selembayung melambangkan makna kerukunan dan kesetiaan. Selembayung jika diamati dari dekat berwujud sulur berjalin dari bunga-bunga yang indah. Biasanya berwarna emas yang merupakan simbol kemakmuran masyarakat Melayu.

Melanjutkan langkah hingga memotong Jalan Engku Putri maka aku tiba di Gerbang Selatan Dataran Engku Putri. Kedatanganku ternyata menemui masalah karena pintu gerbang itu tampak terkunci rapat-rapat. Aku perlu menunggunya hingga 10 menit dengan duduk di salah satu sisinya. Tetapi tetap saja gerbang itu tak bergerak sedikitpun.

Tak mau kehabisan waktu, aku memutuskan mencari cara lain untuk memasuki Kawasan Dataran Engku Putri. Bergerak ke barat untuk mulai menyusuri Jalan Ahmad Yani  maka aku mulai menelusuri lebuh itu.

Beruntung setelah mengayunkan langkah hampir setengah kilometer jauhnya, aku menemukan gerbang barat alun-alun utama Kota Batam itu, tepatnya di salah satu sisi Jalan Ahmad Yani. Dari pintu itulah aku akan masuk. Ternyata memang hanya gerbang itu yang terkesan ramai saking banyaknya warga lokal yang memarkir berbagai jenis kendaraannya di salah satu sisinya.

Perlahan aku memasuki pintu gerbang tersebut, berdiri tepat di sisi dalam dan kemudian berdiri tertegun menikmati suasana di dalam Dataran Engku Putri. Panorama hijau dan klasik sungguh mendominasi.

Sabuk hijau tampak rapat mengelilingi di keempat sisi alun-alun, sedangkan sebuah bundaran plaza di pusat alun-alun juga dibatasi oleh sabuk hijau dari bagian lain di sekitarnya. Membuat bundaran plaza itu menjadi focal point dan bagian terindahnya.  

Sebelum kuperlihatkan konten apa yang ada di dalam alun-alun itu, beginilah kiranya intermezzo  yang mungkin bisa sedikit memperkaya ruang memori kalian.

Dataran Engku Putri, sejatinya siapakah beliau?

Engku Putri adalah tokoh nasional dari tahun 1800-an. Beliau merupakan seorang putri penguasa Kerajaan Riau-Lingga. Bapaknya bernama Raja Haji Fisabilillah, merupakan raja ke-4 Kerajaan Riau-Lingga. Engku Putri pada masa dewasanya adalah permaisuri dari Sultan Johor ke-3 yang bernama Sultan Mahmud Riayat Syah. Dari kisah ini, bisa kita ambil kesimpulan bahwa Kerajaan Riau-Lingga masih memiliki hubungan darah dengan banyak Kesultanan besar di Negeri Jiran. Makanya jangan berantem ya ama negeri sebelah, masih saudara sendiri loh!…..Hihihi.

Semasa hidup, Engku Putri berperan sebagai pemegang regalia kerajaan. Regalia adalah semua alat yang menjadi tanda kebesaran dan keagungan kerajaan.

Nah udah paham lah ya….

Gerbang Selatan Dataran Engku Putri.
Skatepark di selatan Dataran Engku Putri.
Batam Centre Park.
Museum Batam Raja Ali Haji.

Mari kembali ke alun-alun….!

Aku hinggap di sisi selatannya, tertegun dengan kehadiran beberapa bule yang berlatih di skatepark. Entah, kenapa sesuatu yang berbau bule itu selalu menarik di negeri ini, pikiranku telah tercemar dengan budaya itu. Skatepark sederhana itu seakan menjadi oase bagi pecinta olah raga “Papan seluncur beroda”. Selama mengeksplorasi Batam, memang jarang kutemukan keberadaan skatepark di Propinsi Kepulauan Riau tersebut.

Sedangkan di sisi timur skatepark, membentang lapangan bola sepak dengan latar belakang julangan meninggi Kantor Walikota Batam. Tapi bukan titik itu yang kemudian menjadi tempatku menaruhkan minat. Melainkan aku pergi ke bagian inti alun-alun, sebuah bundaran bertajuk Batam Centre Park.

Bundaran itu berdiameter 150 meter, berkelilingkan jogging track yang ramai dijejali warga lokal yang sedang menguras kalori, sedangkan di sisi lain, terdapat kesibukan sekelompok orang yang sedang mempersiapkan alun-alun sebagai tempat pelaksanaan ibadah shalat Idul Adha yang akan diselenggerakan esok hari.

Duh, kamu jadi tahu deh kalau aku ke Batam pas ada long weekend karena Hari Libur Nasional Idul Adha. Bandel emang, bukannya lebaran di rumah, malah kelayapan ke Batam.

Sementara itu di sisi utara , sebuah bangunan klasik berwarna putih berdiri elegan. Adalah Museum Batam Raja Ali Haji yang menjadi tengara penting di Alun-Alun Batam. Raja Ali Haji adalah pemegang tampuk pertama pemerintahan Kota Batam masa lampu. Beliau sendiri adalah cucu dari raja ke-4 Kesultanan Riau-Lingga. Museum itu sendiri menayangkan perkembangan berbagai sektor Kota Batam dari masa kesultanan, penjajahan hingga masa modern.

Eksplorasiku di Dataran Engku Putri akhirnya terhenti di Museum Batam Raja Haji Ali. Hal ini terjadi selesai mengeksplorasi museum menjelang pukul enam sore. Hari mulai gelap, aku yang sedang berpuasa harus segera mencari tempat berbuka yang nyaman.