Menara Merah Putih: Bersarapan dengan Sate Gurita

<—-Kisah Sebelumnya

Gemerlap pelita bumi membuka aura kecantikan Pelabuhan Bebas Sabang. Bentangan corniche didesain begitu ciamik, tak kalah dengan lajur yang sama milik beberapa kota di negara-negara yang pernah kukunjungi.

Kapal-kapal berukuran sedang diparkirkan teratur, terpaan gelombang laut membuat setiap haluan kapal mengangguk-angguk harmonis. Pemandangan itu membuatku khusyuk berdiri di ujung corniche, bersandar di pagarnya, melepas pandangan jauh ke arah laut lepas. Sementara itu, tak sedikit warga lokal yang sibuk berburu foto berlatarkan corniche yang indah nan gemerlap.

Pelabuhan Bebas Sabang.
Corniche di Pelabuhan Bebas Sabang.

Sesaat kemudian aku telah berpindah ke pusat aktivitas sebuah taman. Area melingkar beralaskan keramik kasar itu ditengarai oleh sebuah menara yang berdiri tinggi menjulang. Warna dindingnya memadukan dua warna utama, merah dan putih. Oleh karenanya, khalayak menyebutnya sebagai Menara Merah Putih.

Sementara itu aktivitas warga tampak meriah di dasar menara. Bisnis penyewaan mobil-mobilan bertenaga baterai tampak mendominasi. Beberapa anak-anak tampak berseru-seru riang mengamati mainan terjun payung dengan kerlap-kerlip lampu yang menarik perhatian.

Deret tenda kuliner tampak benderang dan riuh di utara taman. Beragam kuliner dijual di tempat itu. Tetiba tatapku tertuju pada sebuah kedai. Kedai itu tampak ramai adanya. Adalah sate gurita yang menjadi idola dalam etalasenya. Kulihat, pelayan kedai tampak menyajikan hidangan sate gurita itu kepada para pelanggan dengan paduan lontong dan saus. Sekejap membuatku penasaran untuk mencobanya.

Gurita memang sering tersangkut di jaring nelayan di perairan dangkal Pulau Weh yang menyimpan banyak potensi. Tak ayal gurita menjadi menu kuliner khas Kota Sabang.

Aku yang penasaran akhirnya bangkit dari duduk di bawah menara, kudatangi kedai makan itu, kupesan seporsi Sate Gurita dan kupilih lontong untuk melengkapi menu itu.

Si penjual memintaku menunggu untuk beberapa saat di sebuah bangku karena dia sedang sibuk meramu pesanan para pengunjung kedai yang telah memesan makanan sejak sebelum aku tiba.

Lima menit kemudian pesanan itu tiba, aku membayar dengan Rp. 25.000. Setelah mendapatkan seporsi Sate Gurita, aku memutuskan untuk kembali ke penginapan. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

Lebih baik aku menyantapnya di penginapan saja“, aku membatin

Aku menaiki sepeda motor sewaan menuju PUM Losmen Syariah. Aku sedikit tenang, karena pada siang sebelumnya, resepsionis losmen memberikan informasi bahwa aku sudah mendapatkan kamar bernomor B-2. Aku juga telah menitipkan backpack di losmen itu sejak pagi dan backpack itu sudah dimasukkan ke dalam kamarku.

Menara Merah Putih.
Kedai kuliner di utara Menara Merah Putih.
Sate Gurita khas Sabang.

Dalam 5 menit aku tiba….

Keributan terjadi di lobby losmen. Terdapat satu keluarga penginap yang akan melempar komplain kepada resepsionis, tetapi si resepsionis tak terlihat batang hidungnya.

Menurut si kepala keluarga, dia sudah melakukan reservasi dan membayar satu kamar di sebuah e-commerce perjalanan ternama di tanah air. Tetapi ketika mereka tiba di losmen, semua kamar telah terisi. Akan tetapi, uang yang sudah mereka bayarkan tidak bisa ditarik hari itu juga. Itulah yang membuat mereka mengalami kekecewaan.

Aku hanya tersenyum simpul mendengarkan komplain itu. Sudah begitu sering aku mendengarkan komplain serupa. Aku sendiri sempat mendapatkan masalah serupa di Shenzen ketika hotel yang kamarnya kupesan tetiba tutup ketika aku telah berada di lokasi.

Perdebatan akhirnya tak pernah terjadi karena si calon tamu pergi meninggalkan losmen karena resepsionis tak kunjung hadir. Kemudian aku duduk di lobby dan bercakap dengan seorang lelaki paruh baya asal Takengon yang kebetulan menginap di losmen yang sama.

Kami bercakap seperlunya sembari menunggu kamar mandi bersama ada yang kosong. Kebetulan kamar mandi penuh malam itu, sedangkan aku berniat untuk berbasuh.

Beruntung ada sebuah kamar mandi yang kosong beberapa menit kemudian. Aku izin meninggalkan si bapak untuk memasuki kamar demi mempersiapkan alat mandi.

Begitu terkejutnya ketika aku memasuki kamar. Karena tidak ada pendingin ruangan di kamar itu selain satu unit standing fan berukuran besar saja.

Malam ini aku akan tidur tanpa AC”, aku bergumam.

Satu hal yang membuatku tersenyum lagi adalah kondisi kamar mandinya yang menyematkan bak mandi super lebar di dalamnya. Membuatku harus mandi dari bak mandi lebar yang tentu telah dipakai oleh semua tamu yang menginap. Tentu tak menjadi masalah, masa kecilku di masa lalu sering mandi menggunakan bak mandi yang demikian.

Tak ada air hangat pun aku tak mengomplain. Aku hanya terus menikmati setiap tahap perjalananku dengan gembira.

Malam itu aku tidur dengan jendela terbuka, beruntung hujan turun di tengah malam, membuat udara menjadi sejuk.

Saking beratnya rasa kantuk, aku tak sempat menyantap sate gurita yang kubeli. Beruntung jajanan itu tak basi di keesokan hari. Sehingga bisa kujadikan menu sarapan sebelum melakukan eksplorasi di hari terakhirku di Pulau Weh.

Kisah Selanjutnya—->

Mie Sedap Sabang: Cita Rasa Otentik yang Melegenda

<—-Kisah Sebelumnya

Aku sedang mengejarnya.

Tak ada acara lain dalam memburu sunset yang sebentar lagi lindap di ufuk barat melainkan dengan menggeber gas sepeda motor sewaan, melibas tikungan demi tikungan di jalanan pantai utara Pulau Weh. Itu juga karena musabab hilangnya banyak waktu ketika aku mendapati kesulitan jaringan internet di Pulau Rubiah saat menghubungi pengemudi perahu demi mengeluarkanku dari pulau itu setengah jam sebelumnya.

Beruntung aku mendapatkan motor sewaan dengan kondisi prima sehingga aku bisa dengan cepat menuju ke timur pulau, mendekatkan diri ke pusat Kota Sabang.

Aku berencana menuju Paradiso Sabang Beach untuk menikmati sunset yang akan kuburu untuk pertama kalinya di Pulau Weh. Kebetulan pantai itu menghadap ke barat, sudah pasti sunset akan terekspose sempurna dari bibir pantai itu.

Ketika putaran roda sepeda motor sewaan tiba di daerah Kreung Raya, kedai-kedai kopi tepian jalan mulai membuka diri. Lokasi kedai yang menempati area perbukitan dan menghadap langsung ke arah pantai telah dijejali muda-mudi yang hendak menunggu sunset turun di titik terbaiknya.

Aku yang sempat tergoda, hampir saja mampir di salah satu kedai. Beruntung dari dipannya, aku melihat keberadaan sebuah pantai, tepat di bawah kaki bukit. Maka aku pun mengurungkan niat untuk menyeruput kopi di kedai itu. Aku memutuskan menuruni bukit melalui jalanan meliuk-menurun dan keluar dari jalur utama demi menuju pantai yang kumaksud, Teupin Ciriek adalah nama dari bentangan pantai nan indah itu.

Berhasil merapat ke bibir pantai, aku segera memarkirkan sepeda motor sewaan dan bergegas menuju ke salah satu kedai kopi. Namun sebelum memutuskan untuk duduk dan memesan segelas es teh tarik, aku memutuskan untuk mengambil air wudhu di belakang kedai demi menunaikan shalat jamak di sebuah surau mungil. Aku menjamak Dzuhur dan Asharku sore itu.

Barulah seusai shalat, aku mendudukkan diri di salah satu bangku kedai kopi yang persis menghadap pantai. Menikmati teguk demi teguk es teh tarik yang kupesan.

Sejenak aku mendapatkan cahaya senja di kejauhan. Namun sayang, itu terjadi tak cukup lama, segulung awan hitam mulai datang untuk menutup titik tenggelam sang surya.

Alhasil, pertunjukan alam itu tak sepenuhnya berhasil.

Pertunjukan alam yang tak sepenuhnya sempurna.

Menyimpan sedikit kekecewaan, aku memutuskan untuk menggeber kembali gas sepeda motor sewaan menuju pusat Kota Sabang. Itu karena gelap mulai mengakuisisi hari.

Menurut Bang Taufik si pemilik motor, Sabang memang aman dari tindak kejahatan, tetapi jaminan itu tidak sepenuhnya berlaku jika dikaitkan dengan keberadaan hewan liar yang masih banyak hidup di kawasan hutan Pulau Weh.

Oleh karenanya, kularikan sepeda motor sewaan itu sekencang mungkin meninggalkan kawasan hutan.

Aku sendiri tak bermaksud untuk bergegas pulang ke penginapan. Tak lain karena malam itu adalah malam terakhir bagiku di Pulau Weh. Sore di keesokan hari aku akan kembali bertolak menuju Banda Aceh.

Dalam lima belas menit aku pun tiba di tujuan. Aku telah mengincar tujuan ini semenjak keberangkatan dari Ibu Kota.

Yupz, aku tiba di Kedai Mie Sedap yang terletak di Jalan Perdagangan. Kedai mie itu menempati bangunan di pusat taman Pelabuhan Bebas Sabang. Berdiri bersisian dengan bangunan Acirasa Coffee yang dominan hijau muda. Kedai Mie Sedap itu dibiarkan tak berdinding, membiarkan pesona malam pantai terekspose dari dalam kedai.

Memasuki pintu kedai, kesibukan para chef berhasil mencuri perhatian para pengunjung. Sejenak aku berdiri memperhatikan cara mereka memasak mie lekat-lekat. Gemelontang spatula yang harmonis beradu dengan wajan bak menari-nari di gendang telinga, membuat perutku semakin lapar tak terbendung.

Duduk saja dulu, Bang. Nanti saya ke tempat Abang!”, seorang pelayan kedai memberitahuku ketika aku berusaha memesan salah satu menu dari sebelah kasir.

Akhirnya terduduklah aku di sebuah bangku, tepat di sebelah pintu belakang kedai. Tanpa melihat lembaran menu yang tersedia, aku telah menetapkan pesananku.

Mie rebus dengan topping telur mata sapi setengah matang ya, Bang. Minumnya es teh tarik”, aku telah menghafalkan menu itu dari rumah.

Tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan bagian makan malamku. Dalam lima menit hidangan yang kupesan telah tersaji di meja makan.

Masuk yuuuk!
Inilah cita rasa otentik berusia 83 tahun di Pulau Weh.
Itu dia Kedai Mie Sedap dilihat dari sisi pantai.

Mie Sedap Rebus itu menebarkan aroma sedap menusuk hidung. Tebaran potongan daun bawang membuatnya tampak segar dan harum, sementara itu tebaran potongan dadu ikan pisang-pisang berukuran kecil memunculkan cita rasa gurih ketika di santap.

Aku membiarkan malam menggulung waktuku, karena aku juga tak mau terburu-buru menikmati hidangan semangkok Mie Sedap itu.

Hingga lewat dari jam delapan malam, aku benar-benar selesai menyantapnya tanpa sisa.

Sama sekali tak khawatir dengan datangnya malam, bukannya semakin sepi, tempat itu justru semakin ramai oleh para pengunjung yang datang demi menikmati weekend yang baru saja dimulai sejak sore sebelumnya.

Kisah Selanjutnya—->

Bersua Dua Traveler Muda di Pulau Rubiah

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir pukul setengah dua siang ketika aku meninggalkan Tugu Nol Kilometer RI. Rasa penasaranku telah lindap dalam memori pengalaman terdalam. Tak lain karena keberhasilan diri mengunjungi destinasi penting dalam passionku sebagai seorang solo-traveler.

Bertolak dari Titik Nol Kilometer Indonesia, aku tak perlu lagi keseringan menatap layar telepon pintar demi menuju Teupin Layeu, aku sudah melintasi jalur menujunya dua setengah jam sebelumnya.

Praktis, aku hanya perlu fokus untuk menggeber gas sepeda motor sewaan menuju titik tersebut. Alhasil, aku pun berhasil melewati ruas jalan yang penuh proyek renovasi itu dalam lima belas menit untuk kemudian kembali menggapai gerbang Teupin Layeu.

Tanpa menunggu ditanya, aku menyerahkan selembar Rp. 5.000 kepada pemuda penjaga gerbang masuk.

Nginep, Bang?

Oh, engga….Mau nyebrang aja, Bang”.

Oh….Nanti cari kelompok lain di tempat penyewaan snorkle untuk nyebrang bareng, Bang….Biar murah”.

Ok….Terimakasih ya, Bang”, aku pun bergegas mencari tempat parkir.

Tiba di tempat parkir, aku langsung disapa oleh seorang lelaki tegap, berperawakan besar.

Abang mau nyebrang?”, pertanyaan tanpa basa-basi dilontarkannya

Betul, Bang

Kalau mau sewa snorkle, saya ada persewaan….Saya bisa carikan pengunjung lain untuk nyebrang bareng. Ongkosnya biar murah, Bang”, dia tersenyum sembari merapikan sepeda motorku di tempat parkir.

OK, saya ikut Abang aja”, aku menolehkan muka ke arah titik penyeberangan.

Aku pun dibawa ke tempat persewaannya dengan langit-langit ruangan yang digelantungi baju pelampung. Kemudian, seorang perempuan setengah baya mendatangiku,

Ukuran kakinya berapa, Bang?

40, Bu”, aku faham bahwa ukuran itu digunakan untuk menentukan fin yang akan kupakai.

Sewaktu kemudian perempuan setengah baya itu membawa peralatan snorkeling lengkap. Fin sesuai ukuran kaki, snorkel mask dan baju pelampung. Cukup membayar dengan Rp. 50.000 untuk menyewa ketiga jenis peralatan itu seharian.

Sementara itu, si Bapak mempertemukan aku dengan dua traveler lain untuk menyeberang ke Pulau Rubiah menggunakan satu perahu. Metode sharing cost ini ternyata memang disediakan langsung oleh para pelaku bisnis wisata di Teupin Layeu.

Dua traveler muda asal Medan itu adalah Mahalli dan Joko. Mahalli adalah pemuda Medan keturunan Sunda, sedangkan Joko berketurunan Jawa.

Teupin Layeu.
Persewaan alat snorkeling di Teupin Layeu.

Aku diberikan selembar tiket perahu berwarna merah dengan nomor HP pengemudi perahu dan nomor perahu di lembarannya.

Perahu kayu nomor 16 ya, Bang”, perempuan pemililik persewaan snorkel itu memberitahu kami bertiga.

Tanpa pikir panjang kami bertiga menuju dermaga, untuk kemudian aku melakukan panggilan telepon kepada nomor HP yang tertera di karcis.

Dari percakapanku dengan pengemudi perahu di handphone, aku akhirnya tahu bahwa perahu kayu itu masih ada di sekitar dermaga, sehingga kami tak perlu menunggu lama untuk menyeberang.

Perahu kayu bermesin tempel tunggal itu tiba dalam lima menit di dermaga Pulau Rubiah. Di perahu itu ikut menumpang seorang perempuan paruh baya yang memiliki warung di Pulau Rubiah. Maka demi memudahkan kegiatan snorkeling, kami diajak si ibu ke warungnya dan dipersilahkan menyimpan tas di sana.

Dermaga di Teupin Layeu.
Tiba di Dermaga Pulau Rubiah

Tiba di warung, aku segera berganti baju di sebuah kamar ganti sederhana di belakang. Aku juga minta disiapkan dua bungkus mie instan mentah yang telah disiram air untuk aktivitas memberi makan ikan ketika bersenorkeling nanti.

Berdasar informasi dari si ibu pemilik warung bahwa biasanya kegiatan snorkeling akan selesai maksimal pukul enam sore. Dan itu adalah tiga jam ke depan semenjak kedatanganku di Pulau Rubiah beberapa menit sebelumya.

Aku segera menuju titik snorkeling yang letaknya 200 meter dari dari warung. Tampak garis pelampung diletakkan di kejauhan sebagai batas untuk melakukan aktivitas snorkeling. Keamanan berwisata tetap menjadi prioritas nomor satu di Pulau Rubiah.

Aku pun menyeburkan diri ke dalam jernihnya air laut. Beberapa terumbu karang masih tampak alami di sisi timur pantai. Pasir yang berada di sekitar Pantai Rubiah adalah pasir putih yang lembut. Sementara di perairan pantai yang agak dalam tampak beberapa bekas sepeda motor, dan anyaman besi di tanam di dasar pantai untuk membantu menumbuhkan terumbu karang.

Keeksotikan berikutnya yang kudapatkan adalah ketika melakukan aktivitas memberi makan ikan. Jika biasanya aku mendapatkan ikan laut berukuran kecil ketika melakukan kegiatan yang sama di beberapa pantai di tanah air, sore itu aku mendapatkan sekumpulan ikan berukuran besar yang berebut makanan.

Dermaga di Pulau Rubiah.
Area snorkeling Pulau Rubiah.
Aku, Mahalli dan Joko.

Bertambah sore, jumlah pengunjung semakin banyak. Beberapa diantaranya ternyata menggunakan jasa tour & travel, tampak beberapa tour guide yang menggunakan pakaian khas menyelam sibuk membriefing mereka sebelum melakukan aktivitas snorkeling.

Aktivitas snorkeling yang kulakukan pun berakhir pada pukul lima sore. Aku harus bersiap diri untuk kembali menyebrang ke Teupin Layeu, menyudahi petualangan hari perdanaku di Pulau Weh.

Keluar dari air laut, aku menahan rasa lapar yang teramat sangat. Oleh karenanya setelah berganti pakaian tanpa berbilas, aku pun memesan mie rebus dengan telur mata sapi setengah matang ke ibu si empunya warung.

Usai menyantap menu makan sore itu, aku bersama Mahalli dan Joko pun pergi menyeberang ke Teupin Layeu.

Petualanganku di Pulau Rubaih pun usai.

Kisah Selanjutnya—->

Rujak Aceh di Titik Nol Kilometer Indonesia

<—-Kisah Sebelumnya

Pantai Gapang.

Aku tak lama mengintip biru jernihnya Pantai Gapang, karena tujuan utamaku bukanlah pantai itu. Setelah mengambil beberapa gambar seperlunya, aku kembali menggeber sepeda motor sewaan menuju barat. Tujuanku tak jauh lagi dari Pantai Gapang. Hanya berjarak tiga kilometer lagi. Itu berarti aku hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit demi menujunya. Tak lama turun kembali di jalanan, suara bacaan Al-qur’an mulai terdengar sayup dari sebuah masjid besar, Masjid Baitul Muna namanya.

Aku pun berpikir bahwa Shalat Jum’at akan segera dimulai. Aku meniatkan berhenti dan melongok ke gerbang masjid. Ternyata belum ada siapa-siapa di halaman dan ruangan masjid. Dan setelah mengecek di “mesin pencari”, aku baru mengetahui bahwa ibadah Shalat Jum’at di Pulau Weh baru akan dimulai satu setengah jam lagi. Maka tanpa ragu, aku pun kembali menarik gas sepeda motor sewaanku….

Sewaktu kemudian, tibalah putaran roda di sebuah tikungan….Aku terus saja melenggang.

Tetiba….

Sepertinya aku melewatkan sesuatu”, gumamku usai sekelebat melihat antrian mobil di depan gerbang.

Maka kuputar kembali arah sepeda motor sewaanku, mendekat ke antrian, dan akhirnya aku pun ikut mengantri.

Giliranku akhirnya tiba….

Mau nginep, Bang?” pemuda penjaga gerbang menanyaiku

Engga, Bang. Cuma mau nyebrang”.

Lima Ribu, Bang….Tapi nanti nyebrang habis Shalat Jum’at ya….Jam setengah dua”, dia memberi informasi.

Oh baik, Bang, kalau begitu nanti saya ke sini lagi aja”, aku memutuskan pergi ke tempat lain saja.

Sebelum pergi, aku yang penasaran, kembali menatap signboard yang tertera di gerbang.

SELAMAT DATANG DI TEUPIN LAYEU“, begitulah aku membacanya.

Maka kulihat aplikasi berbasis peta di telepon pintarku. Lokasi itu merujuk pada nama “PANTAI IBOIH”. Nantinya aku akan paham bahwa kedua nama itu merujuk pada tempat yang sama. “Teupin Layeu” adalah nama pantainya, sedangkan “Iboih” adalah nama daerah  dimana pantai Teupin Layeu berada.

Sudahlah….Bukan perkara penting.

Aku masih memiliki tujuan lain yang lebih penting dan merupakan ikon nasional.

 Aku kembali menggeber sepeda motor sewaan lebih cepat, berkejaran dengan waktu Shalat Jum’at.

Dan dalam sekejap, aku pun mulai memasuki ruas jalan yang sedang dalam masa perbaikan di sana-sini. Alat-alat berat telah mengakuisisi sepanjang ruas jalan.

Bahkan para pengendara harus melewati ruas itu secara bergantian melalui jalur tunggal sementara. Lalu lintas jalan memang mulai sedikit padat. Itu karena aku sudah mendekati titik akhir tujuan yang pasti juga akan dikunjungi oleh para pelancong kebanyakan.

Aku pun tiba….

Dengan membayar Rp. 5.000, aku memasuki gerbang dan aku diminta oleh petugas parkir untuk memarkir motor di percabangan jalan sebelah kiri. Pengelola tempat wisata menyediakan lokasi parkir tak beraspal di sebuah lahan yang cukup luas. Tetapi aku lebih memilih memarkirkan sepeda motor sewaan tepat di bahu jalan.

Aku hanya diperingatkan oleh petugas parkir supaya tidak meninggalkan barang apapun di sepeda motor, karena banyak beruk yang sering mengutil barang-barang milik pelancong. Tapi tak perlu khawatir, aku cuma membawa folding bag berukuran sedang yang semua perlengkapan telah kumasukkan di dalamnya.

Aku melanjutkan langkah melewati jalan utama yang di kiri-kanannya  dipenuhi dengan deretan kedai makanan, buah tangan dan souvenir.

Untuk kali pertama kedatanganku itu, aku mengindahkan seruan para pembeli yang mengajak setiap pelancong untuk mampir di kedainya.

Lebih baik makan siang nanti aja saat mau bertolak pulang”, aku bergumam.

Tak lama, langkahku akhirnya tiba di titik terbarat Pulau Weh, titik terbarat Nusantara, yaitu titik Nol Kilometer Indonesia.

Titik inilah yang menjadi titik paling sakral bagi para traveler Indonesia. Titik Nol Kilometer Indonesia ini ditandai dengan kehadiran tugu berwarna biru langit. Tugu ini dinamakan sebagai Tugu Nol Kilometer RI yang ketinggiannya menjulang setinggi 43,6 meter.

Kuperhatikan, tugu itu berhiaskan rencong di keempat sayap berbentuk setengah lingkaran. Rencong sendiri adalah senjata khas Aceh. Rencong dalam Monumen Nol Kilometer ini melambangkan perjuangan rakyat Aceh dalam kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Sayang di beberapa bagian tugu, besi monumen mulai banyak yang berkarat. Harusnya tugu ini dirawat dengan lebih baik, karena di masa depan pasti akan banyak pelancong yang tak henti-hentinya datang dan berkunjung ke tempat ini.

Aku kembali diam menatap bangunan ikonik itu lekat-lekat.

Deretan kedai souvenir di Titik Kilometer 0 Indonesia.
Pemandangan dari lantai 2 Tugu Nol Kilometer RI.
Tugu Nol Kilometer RI.

Kuperhatikan bahwa keistimewaan tugu ini adalah lokasinya yang tepat berada di tepi pantai, sehingga ketika aku mencoba naik ke lantai kedua tugu, pesona Samudera Hindia terpampang dengan indahnya di hadapan.

Saking ramainya suasana, banyak sekali pelancong yang rela antri untuk bisa berfoto di depan dua signboargd, yaitu signboardKilometer 0 Indonesia” dan “Sabang Kilometer 0”.

Aku sendiri tak berhasrat mengambil foto di depan signboard itu, aku lebih memilih memperhatikan beberapa ekor beruk yang gigih meminta makan kepada para pelancong yang datang.

Aku sendiri hanya meluangkan waktu selama setengah jam di Tugu Nol Kilometer RI itu, karena aku harus berusaha keluar dari area tugu demi mencari kemungkinan keberadaan ibadah Shalat Jum’at di sekitar tugu.

Sayang aku tak menemukannya setelah menengoki setiap sudut di kawasan tugu. Hanya sebuah mushola kecil nan kosong yang kutemukan di salah satu sudut.

Ya sudah….Aku akan menjamak sholatku”, aku memutuskan.Gagal menemukan ibadah Shalat Jum’at, maka bergegaslah aku mencari kedai makan. Aku melewati begitu saja beberapa kedai yang hanya menjual mie rebus berbahan mie kemasan.

Hingga akhirnya aku menemukan sebuah warung nasi di ujung jalan. Pondok Nabila, nama warung nasi itu. Penjualnya adalah seorang muslimah asal Medan.

Di Pondok Nabila, aku hanya menyantap sepiring Nasi Goreng Kampung dengan telor mata sapi setengah matang. Harganya cukup murah dan fair kurasa , hanya Rp. 25.000.

Pondok Nabila.
Ayam goreng kampung itu warnanya putih tanpa kecap dan saus.

Usai menyantap makan siangku, aku bergegas menuju parkiran sepeda motor demi melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi aku mendadak tersadar bahwa aku telah melupakan sesuatu yang untungnya belum terlambat untuk dilakukan, yaitu mencicipi Rujak Khas Aceh dengan bahan buah Rumbia.

Maka aku mencari kedai rujak terdekat dari tempatku berdiri.

Aku menemukan seorang bapak yang sedang mengulek bumbu rujak dan anak gadisnya yang membungkus rujak yang telah diindent oleh para pembeli.

Wah, laris banget….Pakai indent segala”, batinku terkekeh.Aku mendekat ke arah bapak itu….

Berapaan, Pak ?

Lima Belas Ribu, Dek”, si Bapak penjual menjawabku dengan ramah.

Pesan satu ya, Pak

Baik, Dek,….Silahkan duduk dulu di dalam kedai, nanti saya buatkan….Saya ngelayanin yang sudah pesan duluan ya, Dek”,

Baik, Pak”, aku meninggalkannya dan melangkah ke dalam kedai semi permanen untuk duduk di salah satu kursinya.

Setelah lima belas menit menunggu, rujak khas Aceh yang kupesan akhirnya tiba.

Buah Rumbia yang digantung dan membuat penasaran.
Rujak Aceh dengan buah Rumbia.

Hmmmh….Penampakannya yang aduhai membuatku menyantapnya pelan-pelan.Sungguh cita rasa rujak yang luar biasa. Asam, pedas, manis, gurih, segar dan kelat bercampur menjadi satu dalam sajian Rujak Aceh itu.

Maka akupun menikmatinya dengan khusyu’ sebelum aku pergi menyeberang ke Pulau Rubiah.

Kisah Selanjutnya—->

Harta Tersembunyi Pantai Utara Pulau Weh

Aku berhasil menitipkan backpack di PUM Losmen. Itu juga setelah aku berkali-kali menekan lonceng losmen yang sedikit soak.

Bang Ari yang masih menyipitkan mata terbangun, keluar dari kamar dan menemuiku.

Kan bisa WA bang?”, dia menegurku

Oh, maaf Bang Ari, tadi sudah saya WA tapi tidak dibalas sama Abang”, aku menegaskan sembari memohon maaf.

Saya mau nitip tas aja bang, saya sudah pesan kamar via online”, aku menegaskan maksud.

Setelah Bang Ari mengiyakan, aku segera mengambil peralatan seperlunya dari backpack, menaruhnya di dalam folding bag yang kupanggul, untuk kemudian menyerahkan backpack kepadanya.

Sebelum benar-benar pergi, aku memperhatikan lobby dan koridor losmen. Semua tampak bersih. Aku yakin tidak salah memilih losmen. 

Aku sendiri tak menyadari bahwa aku akan sedikit menemukan hal yang menggelikan ketika nantinya sudah memasuki kamar.

Aku pamitan kepada Bang Ari…..Sambil melihat nomor HP Bang Ari yang terpampang di meja reception.

Apakah nomor itu aktif….Kok Bang Ari tidak membalas WAku”, aku masih berpikir.

Menuruni tangga, aku kembali menaiki sepeda motor sewaan yang kuparkirkan di pinggir jalan.

Sudah jam sepuluh pagi lewat ketika aku kembali turun di jalanan Sabang.

Aku memutar arah di Jalan Perdagangan untuk menggapai Jalan Cut Nyak Dien demi mendapatkan akses menuju barat. Ya, aku akan menyambangi titik terbarat pulau Weh sekaligus titik terbarat Nusantara.

Kamu tahu kan tempat yang kumaksud?

Aku berhasil menggapai Jalan Cut Nyak Dien, tetapi kemudian tetiba terpikir sesuatu.

Oh, iya….Nanti malam motorku parkir dimana ya?….Tadi kulihat tidak ada tempat parkir di losmen”, aku tetiba tersadar.

PUM Losmen yang kumaksud memang hanya menempati lantai 2 sebuah kompleks ruko.

Ah pikir nanti saja lah….Waktuku tak banyak”. Aku harus berlomba dengan waktu.

Aku kembali menggeber kendaraan lebih kencang, melintasi jalanan pulau Weh yang sepi. Pemandangan berubah. Kiri kanan jalan terhampar kebun-kebun warga yang luas dan hijau.

Selama menarik gas, ada dua perdebatan dalam diri. Otakku selalu berpikir untuk terus menggeber sepeda motor demi menghemat waktu eksplorasi. Sedangkan di sisi kiri dan kananku sesekali terhampar pemandangan laut yang indah nan cantik dan menarik minat hati untuk berhenti.

Beberapa kali aku telah melewatkan spot-spot cantik, bahkan semenjak permulaan perjalanan dari Kota Sabang di beberapa menit sebelumnya.

Tapi kemudian entah kenapa akhirnya aku berhenti mendadak pada sebuah spot. Hati nurani menginterupsi scenario perjalananku sendiri.

Aku memutuskan untuk mampir di setiap spot indah yang akan kutemui di depan.

Di hadapan telah terpampang panorama indah. Tepat di tepian jalan di daerah Kreung Raya. Aku memasang standar motor lalu berdiri tegak menikmati panorama itu. Tepat di seberang jalan adalah keramaian warung kopi dengan penikmatnya yang terus menatap keberadaanku. Aku mengindahkan tatapan mereka dengan terus menghadap ke arah pantai.

Untuk beberapa saat aku duduk di atas jok motor menikmati panorama indah itu.

Lima menit kemudian aku melanjutkan perjalanan.

Tetapi baru saja berkendara selama lima menit, aku kembali menemukan spot yang lebih indah. Berada dibalik sebuah kedai panggung di tepian dinding jalan yang terjal. Kedai itu dibikin menggantung di atas tebing jalan berpenopang kayu-kayu berukuran besar.

Sementara itu, di sebelah kiri kedai terdapat area titik pandang yang dibuat menempel dengan kedai. Kedai itu tutup, panggung titik pandang itu lengang. Maka aku memutuskan naik ke atas panggung itu dan menikmati keindahan pantai Pulau Weh yang sungguh eksotis.

Kali ini agak lama, karena pemandangannya memang sungguh indah, Untuk beberaa saat aku membiarkan waktu berlalu demi meresapi dan menyimpan memori keindahan yang ada di depan mata.

Panorama di Kreung Raya.
Panorama di atas panggung titik pandang.

Usai puas, aku kembali menggeber sepeda motor….

Kali ini aku dibawa melaju tepat di bibir pantai. Membuat pandanganku tak lagi terfokus ke depan melainkan lebih sering menatap ke sisi kanan. Birunya laut terpampang jelas di sepanjang jalan, berjeda cepat dan teratur dengan julangan tinggi pokok-pokok nyiur yang banyak tumbuh di sepanjang pantai.

Jalur yang eksotis….”, aku tersenyum membatin.

Jalanan tepat di sisi pantai utara Pulau Weh.

Beberapa saat kemudian aku tiba di daerah Batee Shoek,

Di daerah ini kembali aku menemukan sebiah view tepat di sisi tebing pantai, berupa tanah lapang berumput hijau yang berbatasan langsung dengan bibir laut yang tertahan oleh tebing setinggi tak lebih dari satu meter.  Dari tanah lapang itu, aku bisa menikmati pantai, sekaligus mendengarkan debur ombak yang menghantam tebing rendah itu silih berganti.

Panorama di Batee Shoek.
Tepat di bibir pantai.

Kembali meneruskan perjalanan, sepeda motorku mulai memasuki sebuah tikungan tajam sekaligus menanjak tajam, Tikungan Batee Shoek adalah sebutan untuk tikungan itu.

Di sepanjang tanjakan, dua motor wisatawan lokal yang membawa trolley bag berukuran besar dengan kondisi berboncengan dengan mudah kulewati. Kedua motor wisatawan itu tampak kepayahan menanjak.

Berikutnya….

Aku memasuki Kawasan Hutan Kemasyarakatan di daerah Aneuk Glee. Jalur dari tahap perjalanan ini tampak sepi, hanya satu dua kedai mie yang bisa kutemui sepanjang jalur hutan sekaligus gunung sepanjang lima kilometer itu.

Dan hanya ada satu titik pandang ke arah pantai yang bisa kudapatkan di atas gunung yang sedang kulewati.

Panorama di Hutan Kemasyarakatan Aneuk Glee
Gerbang Pantai Gapang.

Aku mulai sumringah ketika mulai menemui perumahan penduduk. Aku juga semakin antusias karena menemukan sebuah spot wisata….Pantai Gapang namanya.

Maka aku memutuskan untuk mampir sebentar…..

Kisah Selanjutnya —->

Candi Gumpung 2: Imajinasi Masa Lalu yang Indah

<—-Kisah Sebelumnya

Suhu udara menghangat….

Matahari mulai mendaki ufuk timur ketika aku tuntas menikmati jengkal demi jengkal petilasan Candi Gumpung.

Rasa kagum memenuhi ruang imajinasi, berhasil membawaku ke dalam hayalan ritual-ritual keagamaan masa lalu yang berlangsung di candi itu.

Sementara itu, aku membuang tatapan ke sisi lain. Ada sebidang sebaran candi lagi di pojok utara.

Aku harus melihat kumpulan candi itu, jika melewatkannya maka peluang dan kesempatanku untuk mengunjunginya di lain waktu akan kecil”, aku sudah melangkah ketika ucapan dalam batin itu usai.

Melangkahlah aku ke sisi utara. Tak jauh, jaraknya hanya seratus meter.

Sungguh kompleks candi yang menakjubkan”, aku menggeleng-gelengkan kepala menatap luasan candi hingga ke titik tertimur.

Bahkan, menurut percakapan empat sekawan peneliti asal Jawa Barat yang aku dengar setiba di pintu gerbang Kompleks Candi Muaro Jambi beberapa menit sebelumnya, masih banyak menapo yang betebaran di seantero kompleks candi tersebut.

Menapo sendiri merujuk pada gundukan-gundukan tanah yang di dalamnya berisi reruntuhan candi yang telah terpendam berabad-abad silam. Hingga kini, sebaran menapo itu belum sempat dipugar karena menunggu anggaran pemugaran dari negara.

Aku tiba di reruntuhan candi yang kumaksud,

Satu spot yang pertama kutuju adalah papan informasi yang terletak di sisi selatan candi. Berdasarkan informasi yang kubaca, diketahui bahwa detik itu aku berdiri di depan Candi Gumpung 2.

Candi Gumpung 2 adalah situs sejarah yang merupakan kumpulan lima belas struktur stupa. Pada saat ditemukan sruktur tersebut hanya menyisakan bagian pondasi dan bagian tubuh, sedangkan bagian atas yang berbentuk stupa sudah banyak yang hilang. Batu stupa yang ditemukan hanya berupa profil berupa bata yang tidak lengkap. Fungsi stupa dalam tradisi Buddha adalah sebagai tempat persembahan untuk menghormati tokoh suci dalam sejarah ajaran Buddha ataupun para guru utama di masa lampau. Pendirian stupa juga berhubungan dengan penghormatan kitab suci, seperti Abhidarma, Vinya dan Sutta.

Candi Gumpung 2 dilihat dari kejauhan.
Struktur utama Candi Gumpung 2.
Candi pendamping di sisi utara Candi Gumpung 2.
Bagian dari stupa yang berhasil di rekonstruki.

Candi Gumpung 2 terdiri dari satu susunan candi utama di tengah di dampingi lima susunan candi perwara di sisi utara dan dua susuan candi perwara di sisi selatan.

Candi Perwara dalam arsitektur candi-candi Jawa diidentikkan dengan candi yang dibangun mengelilingi candi utama. Dalam manuskrip lain, candi perwara juga sering disebut sebagai Candi Pengiring.

Hanya ada satu stupa yang coba direkontruksi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi. Stupa itu berdiri gagah di atas candi pendamping di sisi utara.

Sejenak aku duduk tertegun di atas hijaunya rerumputan, tepat di tengah pelataran reruntuhan Candi Gumpung 2.

Aku berusaha menikmati hasil rekonstruksi Candi Gumpung 2 itu. Penampilan candi yang terkesan klasik walaupun hanya memamerkan bagian-bagian pondasi dari bangunan candinya saja. Toh aku bisa mengimajinasi tampilan menjulangnya di masa-masa awal pembangunannya lima belas abad silam.

Sejenak aku melarutkan diri dalam imajinasi masa lalu yang indah……

Jejak Jawa Candi Gumpung

Ramadhan hari kedua belas….

Pagi itu langit cerah sempurna, pertanda akan sangat terik pada siang harinya. Sementara itu itu, aku telah bersiap untuk perjalanan cukup jauh, tak kurang dari 25 km aku akan menempuhnya.

Hampir pukul delapan pagi ketika aku sudah duduk di sofa lobby OYO 2049 Tassa Kost Syariah yang berlokasi di kawasan Telanaipura. Sedangkan tujuanku jelas, yaitu Kompleks Candi Muaro Jambi.

Aku menatap sebuah aplikasi transportasi online di layar telepon pintarku. Tampak jelas di layar bahwa setidaknya dibutuhkan perjalanan selama 45 menit apabila menggunakan sepeda motor, biaya menunjukkan di angka Rp. 66.000.

Hmmhhh….Mahal juga ya”, aku bergumam dalam hati.

Karena tak ada pilihan lain, aku akhirnya mengeksekusi pesanan ojek online itu. Pengemudi ojek tiba dalam lima menit dan aku segera berjibaku di jalanan menuju tujuan. Perjalanan menggunakan sepeda motor ini, sebagian besar porsi perjalanannya harus melewati jalan penuh rawa dan hutan, yaitu Jalan Lintas Jambi-Muara Sabak. Perjalanan yang cukup berat, karena harus berjibaku dengan truk-truk bermuatan penuh di sepanjang ruasnya.

Selama di perjalanan, pengemudi ojek online itu menjelaskan bahwa nanti pada saat pulang dari kompleks candi, aku tidak akan pernah menemukan ojek online lagi. Kebanyakan wisatawan menuju ke sana menggunakan mobil pribadi. Oleh karenanya, aku disarankan untuk mencari ojek pangkalan sebagai cara terbaik bagiku untuk  ke kembali Kota Jambi.

Menjelang pukul sembilan pagi…..

Aku tiba……

Berhenti di pintu gerbang. Entahlah….Pintu loket tiket atau kantor jaga itu ternyata masih tertutup rapat, tak ada seorang pun di dalamnya. Maka aku melenggang melewati gerbang dengan leluasa tanpa membayar apapun.

Aku tiba di ujung Jalan Gerbang Candi Muaro Jambi. Tak ada jalan lagi di titik itu. Selebihnya pengunjung akan diarahkan untuk berjalan kaki atau menyewa sepeda ontel jika ingin berkeliling Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Candi Muaro Jambi yang memiliki luas hampir 4.000 hektar. Konon Kompleks Candi Muaro Jambi berfungsi sebagai perguruan tinggi tertua di Indonesia dan terluas di Asia Tenggara. Banyak pelajar dari India, Tiongkok dan Tibet belajar di kompleks candi itu. Pernah digunakan selama lima abad lamanya sebagai tempat menimba ilmu, tepatnya dari Abad VII hingga Abad XII.

Turun dari ojek online,

Aku terduduk di sebuah gazebo, di sudut awal kompleks candi tepatnya. Mengambil nafas sejenak usai berkendara motor dengan jarak yang cukup jauh. Mengamati hamparan lahan yang rata nan menghijau dengan tengara Candi Gumpung di kejauhan. Itulah candi terdekat dari tempatku duduk.

Candi Gumpung terlihat dari gazebo tempatku duduk.

Aku tak sendiri, ada empat sekawan berusia paruh baya di gazebo itu. Menguping dari percakapan mereka, aku tahu bahwa mereka telah berada dua malam di kompleks candi itu. Sepertinya mereka memang fokus melakukan eksplorasi.

Pak, ini untuk masuk ke candi itu apakah perlu tiket?”, aku harus segera bertanya karena ingin segera mengeksplorasi kompleks candi.

Loh, tadi di depan tidak dimintain  tiket ya, bang?”, salah satu dari mereka bertanya balik

Tidak, Pak

Oh, kalau begitu langsung masuk aja, Bang.  Tidak ada pemeriksaan tiket kok di dalam”, dia menjelaskan dengan yakin karena sudah dari sehari sebelumnya mereka mengeksplorasi kompleks candi itu.

Dengan wajah sumringah, aku undur diri dari gazebo, meninggalkan rombongan peneliti itu. Melewati jalur ganda pejalan kaki yang dipisahkan lajur hijau yang dijejali pohon-pohon besar.

Tepat di sisi kanan tempatku melangkah, berdiri Museum Candi Muaro Jambi. Dari informasi yang kudapatkan di pelataran museum, aku mengetahui bahwa berbagai jenis arca, artefak, koleksi batu bata merah penyusun candi, hingga logam-logam bersejarah disimpan di dalamnya.

Museum Candi Muaro Jambi yang tutup.

Tapi entah kenapa pintu museum itu tertutup rapat-rapat. Aku hanya tersenyum tipis ketika meninggalkan pelatarannya begitu saja. Aku kehilangan satu venue penting pagi itu.

Lindap di tikungan, untuk kemudian aku dihadapkan pada tanah lapang berumput. Apik dan rapi bak lapangan sepakbola berstandar internasional.  Beberapa pekerja wanita berkaos dengan warna seragam tampak sibuk memotong rumput dan menyapu lahan berumput itu dari dedauan yang gugur.

Sementara itu, di tengah tanah lapang berumput itu berdiri gagah Candi Gumpung. Keberadaannya hanya terpisahkan dengan reruntuhan pintu gerbangnya yang berada tepat di hadapanku. Tentu aku harus melewati gerbang itu untuk mendekati candi.

Rupanya pengelola candi membuat jembatan besi melintang di atas sisa-sisa reruntuhan gerbang yang tak terlalu tinggi. Jembatan itu jelas sekali ditujukan untuk menjaga batu bata asli penyusun gerbang yang sudah ada sejak tahun 800-an Masehi.

Melewati jembatan berketinggian rendah itu, aku berlanjut menapaki tanah lapang berumput hingga tiba di sebuah bagian candi yang berupa luasan penampang merata yang dibentuk oleh susunan batu bata merah tanpa dinding dan tiang bangunan. Di tengah bidang pelataran batu itu, terdapat dua bidang kecil umpak-umpak batu yang dulunya mungkin digunakan sebagai penyangga dua tiang saka yang digunakan dalam ritual awal keagamaan.

Dalam arsitektur candi-candi Jawa, bagian seperti itu disebut Mandapa, satu bagian tak terpisahkan dari candi utama yang memiliki fungsi sebagai tempat persiapan sebuah ritual keagamaan.

Usai mengamati bagian Mandapa dengan cermat, aku melanjutkan eksplorasi ke bangunan utama candi. Secara sekilas, garis keliling Candi Gumpung memiliki bentuk bujur sangkar. Bagian dindingnya disusun dari batu bata merah. Sepertinya batu bata merah itu direkatkan satu sama lain dengan tehnik kosot, tehnik yang juga digunakan dalam bangunan-bangunan peninggalan Kerajaan Majapahit.

Keunikan pada sisi depan candi adalah adanya batu andesit dengan ukiran khas seperti ukiran pada candi-candi di Jawa. Batu itu adalah Makara yang menggambar perwujudan Dewa Air. Tampak jelas bahwa candi itu digunakan sebagai tempat peribadatan bagi masyarakat pemeluk agama Buddha pada masanya.

Lihatlah Mandapa di depan bangunan Candi Gumpung itu !
Makara berbahan batu andesit.
Bentuk Candi Gumpung tampak belakang.

Karena usia candi berada pada rentang masa pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, maka diduga bahwa Candi Gumpung memiliki hubungan yang erat dengan Kerajaan Sriwijaya.

Setelah cukup puas menikmati pesona Candi Gumpung, maka aku melanjutkan perjalanan ke bangunan candi yang lain.

Yuk….Ikuti aku !

Kisah Selanjutnya—->

Nasi Campur Gili Trawangan

<—-Kisah Sebelumnya

Aku mengembalikan snorkle yang kusewa beberapa jam lalu. Menaruhnya di etalase sewa, karena si empunya persewaan sedang tak ada di tempat.

Aku bertanya kepada seorang lokal yang sedang melintas di depan persewaan. Menanyakan keberadaan kamar bilas untuk umum. Tetapi usahaku nihil hasil. Menurutnya susah untuk menemukan tempat bilas umum di Gili Trawangan. Adapun para wisatawan yang bersnorkeling biasa membilas badannya di hotel tempatnya menginap. Memang benar adanya, di kawasan sepanjang pantai Gili Trawangan telah diakuisisi oleh bisnis perhotelan.

Akhirnya aku disarankan untuk menuju masjid agung saja jika ingin berbilas. Ide yang bagus menurutku, karena aku bisa sekaligus menjalankan ibadah shalat Dzuhur di sana.

Tetapi nanti sajalah….
Lebih baik, aku melanjutkan aktivitas bersepedaku mengelilingi gili terlebih dahulu sebelum berbilas.

Tanpa pikir panjang. Aku tak jadi berganti celana. Melainkan kembali mengenakan t-shirt lengan panjang. Masih bertelanjang kaki, untuk kemudian kembali mengayuh sepeda sewaanku menuju ke utara gili.

Menyusuri sepanjang jalan sisi pantai, aku memperhatikan beberapa lahan di pinggir pantai sisi dalam yang telah diblokade dengan pagar berpanel beton.

Tanah ini pasti sudah dimiliki para pengusaha kaya yang siap menyulapnya menjadi hotel, restoran ataupun bangunan bisnis lainnya“, aku bergumam menggeleng-gelengkan kepala. Tentunya, ini dampak dari Lombok yang telah menjadi tujuan penting bisnis pariwisata.

Tak terasa, aku telah sampai di titik terutara gili.

Keadaan berubah 180 derajat….

Jalanan berubah menjadi ruas penuh pasir. Tidak ada lagi pavling block yang tersusun rapi lagi. Pasir putih nan tebal itu membuat kayuhan sepedaku semakin berat. Memaksaku untuk turun dari sepeda dan mendorong sepeda sewaan sembari terus berjalan kaki menjelajahi gili.

Tak lama, aku hanya sanggup bertahan hingga dua ratus meter. Telapak kakiku kepanasan karena terus menginjaki pasir yang suhunya naik karena terpaan intens sinar matahari.

Tanah-tanah kosong berpagar panel beton di sisi kiri milik para pengusaha.
Jalanan berpasir di utara gili.

Aku segera memutar balik. Kembali ke arah selatan gili. Menyusuri lagi jalanan yang telah kulalui sebelumnya.

Dan akhirnya, beberapa saat setelahnya, adzan Dzuhur berkumandang dari tengah gili. Aku memutuskan untuk break sebentar dalam bereksplorasi dan kemudian mencari arah sumber suara adzan itu.

Aku mengejar lantunan adzan yang sebentar lagi lindap. Kembali mengayuh sepeda sewaan dengan cepat. Hingga akhirnya, aku menemukan masjid itu. Hanya berjarak setengah kilometer dari titik tempat aku melakukan snorkeling.

Masjid Agung Baiturrahman Gili“, aku membaca nama masjid itu.

Tanpa pikir panjang. Aku memarkirkan sepeda dan mulai mendekati gerbang masjid. Dan sungguh beruntung karena aku menemukan tempat bilas umum di dekat gerbang itu.

Aku berpaling dari masjid, bergegas menuju tempat bilas. Karena penuhnya antrian di kamar bilas yang memiliki bak mandi, maka aku memutuskan untuk menuju kamar ganti saja, tak mandi dan hanya berganti pakaian.

Ahh, air laut gili kan jernih”, aku membela diri dan merasa tak kotor setelah bersnorkeling.

Selesai berganti baju dengan cepat, aku segera bersuci dan mulai menjamak shalat di teras belakang masjid.

Seusai shalat, aku memilih relax, mengistirahatkan otot yang fatigue dengan merebahkan diri di atas karpet tebal masjid, sejenak memejamkan mata karena kantuk yang teramat sangat.

Sesaat bisa terlelap untuk kemudian terbangun karena perutku mulai lapar. Aku bangkit, meninggalkan masjid dan mulai berburu makan siang. Tapi aku kurang beruntung, harga makanan yang ditawarkan restoran-restoran pinggir pantai cukup mahal. Banyak menu makan siang yang dibanderol dengan harga lebih dari seratus ribu rupiah.

Restoran-restoran pinggir pantai.
Pelabuhan Gili Trawangan.
Nasi campur ayam di kedai makan sederhana.

Oleh karenanya, aku memutuskan untuk menuju ke arah pelabuhan. Aku yakin banyak warung makan untuk kelas pekerja di sana. Hanya warung-warung makan demikian yang biasa menyediakan makanan dengan harga murah dan terjangkau.

Beberapa saat mengayuh, aku tiba di Pelabuhan Gili Trawangan. Memelankan kayuhan, mataku terus menatap ke setiap sudut jalan untuk menemukan penjual nasi. Bersyukur, aku menemukannya seratus meter di selatan pelabuhan. Ada wanita paruh baya penjual nasi campur di sebuah kedai makan. Nasi campur itu telah dibungkus dengan daun pisang dengan berbagai macam menu di dalamnya. Nyatanya harga sebungkus nasi campur itu sangat terjangkau, hanya Rp. 10.000 per bungkus.

Bersyukur aku bisa menyantapnya siang itu…..

Berburu Penyu di Gili Trawangan

Fast boat yang merapat di Pelabuhan Gili Trawangan.

Menjelang pukul sebelas pagi, public boat yang kutumpangi perlahan merapat di Pelabuhan Gili Trawangan, perahu yang kutumpangi tepat datang bersisian dengan fast boat berkelir kuning emas yang membawa para wisatawan asing dari Pelabuhan Padang Bai di Pulau Bali. Pelabuhan Padang Bai sendiri berjarak hampir 70 km dari Pelabuhan Gili Trawangan. Perlu waktu 1,5 jam untuk melakukan perjalanan laut di antara kedua pelabuhan itu.

Fast boat itu merapat dengan elegan di dermaga yang sepertinya memang dipersiapkan untuk perahu-perahu besar sepertinya. Wajah para wisatawan asing itu tampak sumringah. Sebagian diantara mereka berseru-seru riang melihat ramainya aktivitas di sepanjang garis pantai Gili Trawangan. Seperti kebiasaan umum para wisatawan asing di Bali, mereka tampak mengenakan pakaian santai seolah hendak bersiap diri untuk melakukan aktivitas di sepanjang pantai.

Sementara itu, di sisi lain, aku mulai berjibaku demi menuruni public boat yang kunaiki. Pengemudi perahu telah mematikan dan mendongakkan ketiga mesin tempelnya. Para warga pun mulai berebut turun dari buritan. Berbagai keranjang buah, sayuran dan bahan pokok lainnya mulai diturunkan satu persatu dari geladak. Aku menunggu hingga aktivitas itu usai dan baru kemudian menuruni perahu. Karena public boat ini berlabuh tepat di pinggir pantai, maka setiap penumpang harus pandai melompat turun, menyesuaikan irama debur ombak yang menerpa pantai untuk menghindari basahnya sepatu.

Public boat merapat di salah satu pantai Gili Trawangan.

Berhasil turun, aku pun melangkah meninggalkan bibir pantai….

Mataku awas mencari tempat penyewaan sepeda karena aku ingin segera berkeliling Gili Trawangan. Aku sepenuhnya paham bahwa aturan adat di Gili Trawangan membuat setiap wisatawan tidak boleh menggunakan sepeda motor untuk berwisata.

Tetiba seorang pria muda menghampiriku dari sisi belakang.

Sepeda, Bang?

Oh, ya….Berapaan, Bang?”, aku menanggapinya serius.

60 ribu, Bang….Seharian”.

40 lah, Bang. Cuma sebentar, ga sampai sore sudah selesai”, aku menawar

Ok lah, Bang….Ambil saja….Ayo pilih aja, Bang….Ikut saya”, dia memanduku untuk melihat koleksi sepeda sewaannya.

Aku memilih sepeda berkeranjang. Lumayan, keranjang itu bisa untuk menaruh folding bag. Masak iya mau memanggul tas seharian, pegel kan?.

Pria muda itu hanya mengingatkanku untuk selalu mengunci sepeda setiap aku memarkirkannya karena sering para turis memakai sepeda sembarangan dan membawa sepeda sewaan orang lain. Walau sepeda itu tidak hilang tetapi cukup merepotkan pengelola penyewaan untuk mencari keberadaannya.

Sewaktu kemudian….

Aku mulai larut di jalanan di sepanjang garis pantai Gili Trawangan. Jalanan selebar 7 meter itu ramai dengan lalu lalang sepeda.

Tetiba kayuhanku terasa berat. Setelah kuperiksa ternyata ban sepeda yang kunaiki kempes. Aku memutuskan untuk kembali ke tempat persewaan. Setelah dicek ulang, ternyata sepedaku hanya kekurangan angin saja. Dengan sedikit memompa, masalah itu selesai dengan mudah.

Aku kembali mengayuh, berkejaran dengan beberapa cidomo*1) yang mengangkut wisatawan maupun barang-barang logistik. Di tepian jalan, jalur trotoar ramai dengan wisatawan yang memilih berjalan kaki mengeksplorasi gili*2), beberapa dari mereka tampak baru saja tiba di gili dengan memanggul backpack berukuran besar menuju ke penginapan, beberapa diantaranya bahkan hendak meninggalkan gili dengan berjalan kaki menuju pelabuhan untuk mengejar keberangkatan fast boat terdekat.

Di seberang lain jalan, berderet restoran penuh dengan wisatawan asing yang lebih memilih bersantai dengan menikmati berbagai macam jenis kuliner, baik lokal ataupun western. Deretan bar tepi pantai juga terisi dengan wisatawan yang menikmati berbagai minuman bersoda, air kelapa, juga minuman beralkohol. Menjadi sebuah daya tarik untuk mengunjunginya, karena deretan bar itu menyediakan kursi-kursi panjang yang disusun di bibir pantai sebagai tempat berjemur. Tak sedikit pula outlet open trip yang menawarkan jasa wisata ke tiga pulau utama di Gili Tramena*3).  Di spot lain, tampak para wisatawan asing sedang menjalani kursus singkat scuba diving yang dilatih oleh trainer lokal professional di kolam-kolam renang berukuran sedang milik beberapa hotel.

Cidomo di jalanan Gili Trawangan.
Situasi pantai sisi timur di Gili Trawangan.
Area unbathe di pantai timur Gili Trawangan.


Dinamika pariwisata di Gili Trawangan bergeliat luar biasa siang itu.

Maka tak terasa, tibalah aku di titik yang kutuju. Pantai itu berada tepat di seberang penginapan Villa Unggul. Kuhentikan kayuhan sepeda, mengunci sepeda di slot parkir pinggir jalan, lalu bergegas menuju tempat penyewaan snorkle.

Beruntung aku menemukan tempat penyewaan snorkel dengan harga yang cukup terjangkau, hanya Rp. 25.000 untuk sekali pemakaian sepuasnya.

Maka tak menunggu lama, aku segera berganti baju dan mulai berburu penyu. Memulai snorkling, aku takjub, perairan Gili Trawangan tampak jernih dengan dasar laut berwarna putih. Beberapa batu karang berukuran kecil tampak terlihat di sepanjang hamparan pantai. Beberapa ikan karang tampak mondar-mandir sibuk mencari makanan.

Pucuk dicinta ulam tiba, aku menemukan penyu di salah satu titik. Penyu itu berukuran sedang, masih berusia muda sepertinya. Sedang sibuk memakan rumput yang tumbuh di dasar laut.

Tak lama kemudian, turis-turis yang sedang bersenorkeling pun mendekat. Bersama-sama menikmati pemandangan langka itu, kami terus berenang mengikuti kemana penyu itu mencari makan tanpa menyentuhnya sama sekali. Membiarkan penyu itu bebas beraktivitas. Baru kali ini aku melihat penyu di habitatnya secara langsung.

Bahkan siang itu, aku berhasil menemukan dua penyu. Mengikuti kedua penyu itu berenang membuat aktivitas snorkelingku di Gili Trawangan begitu berkesan.

Jasa penyewaan snorkle.
Berburu penyu….



Dalam satu setengah jam, aku memutuskan untuk mengakhiri aktivitas snorkelingku. Aku bergegas ke arah pantai, mengembalikan snorkle yang aku sewa dan kemudian bergegas mencari tempat bilas.

Perjalananku di Gili Trawangan terus berlanjut….

Kisah Selanjutnya—->

Keterangan:

Cidomo*1) : Delman dengan roda dari ban bekas mobil ala Gili Trawangan

gili*2) : Pulau

Gili Tramena*3) : Gili Trawangan Meno Air

Fort Malborough: Peninggalan Inggris di Bengkulu

<—-Kisah Sebelumnya

Aku tiba persis di depan kawasan Fort Malborough. Usai menyerahkan ongkos tunai beserta tips kepada pengemudi ojek online yang mengantarkanku, maka aku segera menuju loket penjualan tiket. Dengan membayar tiket masuk sebesar Rp. 5.000, aku diizinkan memasuki bagian Ravelin dari benteng itu.

Ravelin sendiri merujuk pada bagian pertahanan pertama benteng yang memiliki bentuk segitiga dan dihubungkan ke bangunan utama benteng melalui sebuah jembatan yang melintasi parit pertahanan.

Di Ravelin ini, aku mendapati dua ruangan penting, yaitu Barak Pegawai EIC (East India Company) dan Ruang Jaga. Beberapa batu nisan para petinggi tentara Inggris juga disimpan di bagian Ravelin.

Beruntung sekali, aku bertemu dengan seorang pria paruh baya yang biasa menjadi tour guide di benteng tersebut. Kebetulan dia sedang beristirahat, maka tak ada salahnya aku meluangkan waktu untuk bercakap-cakap dengannya menggali informasi.

Daripadanya aku mendapatkan sedikit cerita sejarah bahwa Inggris datang ke Bengkulu selain mengincar rempah-rempah juga mengincar emasnya. Dia menambahkan bahwa saking melimpahnya Bengkulu dengan emas, maka logam mulia dari Bengkulu itu dipakai untuk pembuatan bagian lidah api Monumen Nasional (Monas).

Dia juga sedikit menjelaskan bahwa sebetulnya benteng pertama Bangsa Inggris berada tiga kilometer di utara Fort Malborough. Benteng itu bernama Fort York.

Usai menggali informasi dari tour guide paruh baya itu, aku mulai mengeksplore beberapa informasi penting di kedua ruang utama Ravelin.

Beberapa menit kemudian bagian Ravelin usai kujelajahi.

Selanjutnya aku memasuki bagian Curtain Wall.

Curtain Wall merujuk pada bagian benteng yang berbentuk tembok tebal yang dibatasi oleh dua bastion (menara) di kedua ujung dinding.

Maka dalam sekejap aku menemukan ide menarik….

Aku paham bahwa cara terbaik untuk menikmati pesona Fort Malborough yang sangat luas adalah dengan mengamatinya dari ketinggian. Maka satu-satunya cara terbaik untuk bisa memfasilitasi ide ini adalah dengan menaiki bagian curtain wall yang memiliki bidang area cukup lebar di atasnya.

Berhasil menaiki Curtain Wall, maka terpampang dengan jelas bentuk benteng secara utuh. Dilihat dari sekilas pandangan bahwa Fort Malborough memiliki desain bangunan seperti kura-kura dengan ravelin sebagai bagian kepala. Sedangkan empat bastion menjadi bagian kakinya.

Tampak di bagian timur adalah bagian bangunan yang dimanfaatkan sebagai ruang tahanan. Bagian utara digunakan sebagai bangunan administrasi. Sedangkan pelataran segi empat di tengah-tengah benteng digunakan sebagai area terbuka dimana deretan meriam diposisikan siap menembak ke arah laut. Sedangkan tembok barat digunakan sebagai dinding pertahanan yang untuk menahan serangan musuh dari arah laut.

Dan untuk mendalami sejarah benteng ini, mau tidak mau, aku harus mengunjungi ruangan demi ruangan yang ada di seluruh bagian benteng.

Aku pun rela meluangkan waktu lebih lama untuk menjelajahi benteng. Dan daripadanya aku mendapatkan beberapa informasi penting tentang sejarah Fort Malborough dari masa ke masa.

Gerbang Fort Malborough.
Lihatlah dinding tebal Fort Malborough di bagian terluar.
Bagian atas Curtain Wall.
Pelataran Fort Malborough.
Bangunan Fort Malborough sisi paling utara.
Bangunan Fort Malborough sisi timur.

Dikisahkan dari artikel, foto dan gambar-gambar lainnya bahwa Fort Malborough dibangun tiga abad silam dan dinamai dari nama jenderal terkenal Ingris Jhon Churchill Duke of Malborough. Benteng ini terletak di tepian Pantai Tapak Padri.

Pada tahun 1685, untuk pertama kali Inggris datang dengan tiga kapal besarnya ke Bengkulu, yaitu Kapal The Caesar, The Resolution dan The Defence di bawah pimpinan Kapten J. Andrew dan kemudian menemui penguasa setempat yaitu Depati Bangsa Raja. Niat semula yang hanya ingin berdagang lada, produk agraria dan hasil hutan lainnya, selanjutnya Inggris mulai memperkuat pangkalan dagangnya di Selebar dengan membangun Fort York, maka awal mula kolonialisasi dimulai.

Selain rempah, Inggris juga mengincar emas di seluruh pertambangan di daerah Lebong. Kekayaan emas di Sumatera Inilah kemudian memberikannya julukan sebagai Swarnadwipa (Pulau Emas), Mayoritas jalur emas Sumatera tersebut berada  sepanjang patahan Bukit Barisan.

Tak lebih dari setengah abad. Pada tahun 1712, Kapten Joseph Collet membangun Fort Malborough untuk menggantikan Fort York yang lokasinya kurang strategis. Konon Fort York ini terletak di daerah rawa dan menyebabkan para tentara menderita disentri dan malaria.

Fort Malborough sendiri dibangun di atas lahan seluas 4,5 Ha oleh buruh yang didatangkan dari India. Benteng ini memiliki 72 meriam yang moncongnya menuju laut lepas. Dindingnya memiliki ketebalan hingga 3 meter.

Benteng ini juga sempat diperluas dengan penambahan gudang senjata dan barak militer untuk 120 tentara. Benteng juga memiliki parit di sekelilingnya yang dahulu ditempatkan beberapa jebakan mematikan di dalamnya.

Pada awal tahun 1700-an, perlawanan dilakukan oleh para Raja di Bengkulu karena EIC mulai memonopoli perdagangan rempah di Bengkulu. Pangeran Nata Diraja (Kerajaan Selebar) gugur dalam pertempuran ini. Inggris akhirnya sukses menaklukkan Kerajaan Selebar, Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Sungai Lemau, dan Kerajaan Sungai Itam di Bengkulu.

Perlawanan rakyat terus berlangsung hingga akhirnya pada akhir tahun 1700-an, pihak Inggris kehilangan Kapten Robert Hamilton dalam sebuah peperangan panjang.

Pada tahun 1800-an awal, masa penjajahan berlanjut dengan kebijakan tanam paksa kopi dan lada di Bengkulu. Balasan atas kekejaman tentara Inggris tersebut adalah dengan terbunuhnya Residen Thomas Parr yang terkenal kejam.

Inggris sendiri mampu bercokol selama 139 tahun di Bengkulu dari tahun 1685 hingga 1824. Masa kolonialisme Inggris baru terputus karena terjadinya Traktar London pada 1824. Menurut traktat itu Inggris harus menukar Bengkulu dengan Singapura dan Malaka yang awalnya dikuasai Belanda.

Begitu beruntung diriku mendapatkan pengetahuan berharga tersebut. Satu hal lain yang kudapatkan dalam eksplorasi benteng ini adalah pemahaman tentang kata “Bencoolen” yang merupakan pengucapan tentara-tentara Inggris untuk “Bengkulu”.

Ini tentu terkait dengan pengalaman travelingku yang pernah mengantarkanku untuk mengenal area “Bencoolen” di Singapura. Aku pernah menginap di kawasan itu dua kali. Dan sejak kunjunganku ke Bengkulu membuatku paham bahwa kata “Bencoolen” itu merujuk pada Bengkulu. Tentu hal ini bisa dimaklumi karena sebelum Traktat London terjadi, tentara-tentara Inggris itu pernah menguasai dan hidup di Bengkulu.

Nah, cukup sampai di sini ya cerita tentang Fort Marlborough. Saya sarankan kamu berkunjung ke sana jika berkunjung ke Bengkulu.