Чорсу  бекати: Bertemu Pedagang Paling Ramah se-Tashkent

<—-Kisah Sebelumnya

Masih duduk di salah satu bangku tunggu Oybek Station….

Aku antusias menikmati kesibukan warga lokal yang berlalu lalang di ruangan stasiun. Gelombang penumpang terus berdatangan dari anak tangga sisi kiri, kanan dan tengah stasiun.

Beruntung, kereta yang aku tunggu tiba dengan cepat.

Ternyata, kereta di O’zbekistan Line berpenampilan lebih garang dan maskulin. Bekelir putih dengan padanan biru navy, tetapi tetap tampak sama, berusia tua.

Seorang petugas perempuan membawa tongkat bundar berwarna merah berlari kecil di sepanjang platform mempersiapkan proses naik-turun penumpang.

Tak mau tertinggal, aku bangkit, mendekat ke kereta, melompat masuk melalui gerbong tengah, dan kembali mengambil posisi berdiri di dekat pintu.

Suasana gerbong kereta di O’zbekistan Line.

Tak berhenti lama, kereta melaju menuju barat. Menembus lorong-lorong panjang bawah tanah dengan cepat. Hanya perlu waktu sepuluh menit untuk tiba di tujuan akhirku, Chorsu Station.

Turun dari gerbong dengan cepat aku menyusuri ruangan Chorsu Station. Berbeda dengan Abdulla Qodiriy Station, Ming O’rik Station dan Oybek Station yang ruangan utamanya berbentuk persegi, Chorsu Station memiliki bentuk ruangan setengah lingkaran dengan padanan cat putih dan krem. Bentuk setengah lingkaran mampu memberikan kesan ruangan stasiun yang lebih luas.

Suasana di Chorsu Station.
Jalur keluar dari Chorsu Station.

Aku keluar dari “Shaharga Chiqish*1)” dengan menaiki tangga manual. Aku memilih exit gate itu karena terdapat “Chorzu Plaza Savdo Markazi*2)” tak jauh dari pintu keluarnya.

Keluar dari bangunan stasiun, aku kembali menoleh ke belakang, mencoba membaca sebuah signboard di atas dinding terowongan stasiun bawah tanah itu.

“Чорсу  бекати”

Aku berdiri terdiam. Mencoba membaca Aksara Kiril itu. Aku yang sebelum berangkat telah belajar untuk memahami cara membaca Aksara Kiril, dengan sangat terbata-bata mulai membacanya.

Yopsi….Eh….Yopsu….Eh, bukan….Chorsu….Oh, Chorsu Bekati….Bekati itu stasiun….Ya, itu artinya Stasiun Chorsu”, aku menyunggingkan sebelah bibir.

Kubalikkan badan kembali, pandanganku menuju ke permukaan tanah. Langkahku terhantar pada sebuah area perdagangan yang dijejali deretan tenda-tenda niaga.

Deret tenda niaga itu memenuhi ruang-ruang kosong yang diapit oleh sebuah ruas jalan dan pertokoan. Berdiri dengan jarak sangat rapat satu sama lain, lapak-lapak itu menjual buah-buahan, kacang-kacangan, pakaian, rempah-rempah, dan pernak-pernik lainnya.

Langkahku menyusuri gang-gang antar tenda menciptakan ketertarikan pada sebuah lapak tak bertenda yang dijaga oleh seorang ibu paruh baya. Dia duduk tenang menunggui roti khas Uzbekistan yang dijualnya. Non*3) adalah nama dari roti jenis itu. Aku mengetahui roti khas Uzbekistan ini dari sebuah artikel yang kubaca sebelum berangkat ke Uzbekistan.

Aku perlahan mendekat dan si ibu sepertinya memahami bahwa aku sedang menuju ke lapaknya. Kontan dia melempar senyum ketika jarakku hanya tinggal beberapa meter saja. Aku pun tak ragu melemparkan senyum balasan kepadanya.

Non….How Much?”, aku menginisiasi sebuah pertanyaan.

Nima….Nima*4)”, si ibu tampak panik dan bertanya kepada teman di lapak sebelahnya.

Demi memecahkan masalah percakapan itu, aku selalu memiliki ide sederhana.

Kukeluarkan dompet, kutarik selembar Som*5) dan kutunjukkan kepada si ibu, “How Much, mother?”. Si ibu lantas paham dan membuka kelima jarinya dan mengarahkan jarinya ke pandanganku.

Oh, Lima Ribu Som”, aku membatin.

Aku mengambil lembaran Som lain di dompet dan menyerahkan 5.000 Som kepada si ibu penjual roti itu. Si ibu dengan gesit mengambil dua buah Non, memasukkannya ke dalam plastik dan memberikannya kepadaku. Si ibu menjadi pedagang paling ramah yang kutemui pagi itu di Tashkent, dia selalu tersenyum ketika bertransaksi denganku.

Aku yang penasaran, sejenak mencicip Non yang kubeli di depan si ibu. Non yang diberikan kepadaku berasa samar manis dan meluruskan anggapanku yang kukira roti itu berasa tawar. Aku memasukkan roti ke dalam plastik kembali dan memutuskan untuk memakannya saat makan malam saja.

Sebelum berpamitan, aku meminta izin kepada si ibu untuk mengambil fotonya sebagai kenang-kenangan. Beruntung si ibu dengan baik hati memberiku izin. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Cekrak….Cekrek….Cekrak….Cekrek, aku beraksi mengambil gambar.

Tenda-tenda niaga di sekitar Chorsu Station.
Ibu baik hati penjual Non.
Pedagang sosis yang minta difoto….Hihihi.

Tetapi kejutan lain kemudian datang, mungkin iri melihat si ibu yang kuabadikan dalam Canon EOS M10 ku, seorang pria muda pedagang sosis menepuk punggungku dari belakang. Aku yang kaget segera mengalihkan pandangan dari si ibu dan menoleh ke belakang.

Photo….photo”, dia menunjuk ke Canon EOS M10 ku lalu bergantian menunjukkan dirinya sendiri.

Oh….Okay, brother….You look handsome”, aku tertawa kecil atas kejadian unik itu.

I’ll keep your photo to Indonesia”, aku menyudahi dalam mempotretnya.

Yaxshi….Yakxhi*6)”, dia mengacungkan jempolnya kepadaku.

Aku berpamitan kepada ibu penjual roti dan pemuda penjual sosis untuk meninggalkan lapaknya dan melanjutkan perjalanan…….

Keterangan Kata:

  1. Chiqish*1) = Keluar, Exit
  2. Savdo Markazi*2) = Shopping Mall
  3. Non*3) = Roti khas Uzbekistan, berebentuk bulat, berwarna mengkilat di salah satu sisinya
  4. Nima*4) = Apa
  5. Som*5) = Mata uang Uzbekistan
  6. Yakxhi*6) = Bagus

Kisah Selanjutnya—->

Tashkent Metropoliteni: Kejutan Klasik di Sepanjang Bekati

<—-Kisah Sebelumnya

Aku berdiri mematung di depan empat daun pintu kaca bertuliskan tiga kata yang diulang-ulang, yaitu Вход*1), Kirish*2), dan Entrance. Ketiganya tentu bermakna sama, yaitu “entry”.

Aku mendorong salah satunya dan memasuki ruangan yang dijaga oleh dua security pria yang menenteng metal detector di tangannya. Dia menunjuk folding back yang kupanggul dan mengalihkan arah telunjuknya ke sebuah meja. Aku paham bahwa mereka akan memeriksa tasku.

Percaya diri dan tanpa banyak tanya, aku menaruh folding bag di meja berwarna putih, kemudian salah satu dari mereka membuka resleting tasku untuk mengintip isinya.

Petugas itu hanya tersenyum dingin, memberi kode bahwa aku sudah dinyatakan aman untuk memasuki platform.

Ternyata bagiku, tak secepat yang terkira demi memasuki platform stasiun, aku bediri sejenak di depan ticket collection gate, memperhatikan dengan seksama bagaimana warga lokal menggunakan tiket kertasnya yang mirip karcis parkir demi memasuki gerbang platform.

Mudah ternyata, mereka hanya perlu untuk me-scan barcode yang tertera di tiket pada gate detector, lalu mereka akan melewati besi penghalang dengan mudah. Setelahnya, mereka akan membuang tiket kertasnya di tempat sampah yang disediakan di sisi dalam ticket collection gate.

Maka selanjutnya adalah giliranku untuk menduplikasi apa yang mereka lakukan. Aku berhasil melakukannya dengan mudah. Hanya bedanya, aku tak membuang tiket kertas itu melainkan menyimpannya sebagai sebuah kenangan perjalanan.

Berhasil melewati bagian itu, aku pun mulai menuruni tangga menuju platform. Dengan hati berdebar aku tak sabar ingin melihat nuansa klasik yang tersemat di ruangan Abdulla Qodiriy Station. Debar penasaran yang tak lain disebabkan oleh studi literatur yang memberikanku informasi bahwa desain interior semua stasiun MRT di Tashkent mengusung gaya klasik.

Dan begitu kagetnya aku ketika benar-benar tiba di tengah stasiun. Koridor stasiun ternyata memiliki platform area tak bersekat pelindung di sisi kiri-kanannya. Sementara itu, sangat jelas terlihat bahwa koridor stasiun bawah tanah itu ditopang oleh pilar-pilar besar yang berderet hingga di kedua ujung stasiun. Langit-langit koridor didesain melengkung berhiaskan gantungan lampu-lampu kristal nan klasik. Sementara itu, deretan bangku-bangku tunggu diletakkan tepat di tengah koridor dengan interval teratur.

Di sisi lain, tampak beberapa petugas keamanan berjalan mondar-mandir di tepian platform demi memastikan tidak ada penumpang yang berdiri di zona bahaya.

Ruangan bawah tanah Abdulla Qodiriy Sration.
Ngeri kan ga ada sekat pemisah antara rel kereta dan platform.

Dan tak perlu menunggu lama, tepatnya enam menit semenjak ketibaanku, kereta Tashkent Metropoliteni berwarna biru langit tiba.

Aku melompat masuk dari gerbong tengah setelah kereta itu berdecit, melambat dan akhirnya berhenti. Pagi itu, tempat duduk di gerbong dipenuhi oleh para penumpang, memaksaku untuk mengambil posisi berdiri di dekat pintu. Beberapa detik kemudian, kereta akhirnya melaju kembali meninggalkan Abdulla Qodiriy Station, stasiun yang telah berusia pakai 22 tahun di jalur Yunusobod Line.

Di dalam gerbong, mataku awas mengamati desain interior gerbong kereta Tashkent Metropoliteni. Aku teringat pada interior yang biasa terlihat di gerbong Kereta Komuter Jabodetabek. Keduanya cenderung berpenampilan tua.

Bagaimana tidak tua jika kereta Tashkent Metropoliteni yang didatangkan dari Russia itu sudah beroperasi semenjak 46 tahun silam.

Tetapi kesan lain tetap kudapatkan selama perjalanan. Para penumpang, khususnya muda-mudi Uzbekistan, mereka tampak super cantik dan super tampan dalam penampilan modis mereka. Tinggi badan mereka yang menjulang, telah menenggelamkanku yang berpostur kecil di dalam kerumunan gerbong.

Kereta Tashkent Metropoliteni di Yunusobod Line. MRT ke-17 yang kunaiki dari total 19 jenis MRT selama backpacking.
Interior di dalam kereta. Jadoel kan?

Sayangnya, dalam perjalanan menuju Distrik Chorsu, aku tak bisa langsung menuju Chorsu Station, karena stasiun itu berada di jalur kereta yang berbeda. Jadi aku harus berpindah ke Oybek Station yang terletak di O’zbekistan Line. Untuk menggapai Oybek Station, aku pun harus terlebih dahulu mencapai Ming O’rik Station yang jaraknya hanya tiga stasiun dari tempatku bertolak. Ming O’rik Station dan Oybek Station terletak di titik yang sama dan hanya terpisahkan oleh sebuah koridor penghubung.

Dalam sepuluh menit, kereta merapat cepat di Ming O’rik Station. Aku bergegas menuruni kereta dan untuk kesekian kalinya kembali berdiri di platform yang berbeda. Desain interior stasiunnya hampir mirip dengan milik Abdulla Qodiriy Station, hanya saja bentuk lampu kristal yang menggantung di langit-langit Ming O’rik Station sedikit berbeda, bentuknya lebih mirip stalaktit dan sekilas lalu menyematkan kesan modern pada Ming O’rik Station.

Satu yang menjadi masalah kemudian adalah kesulitanku dalam menemukan koridor penghubung menuju Oybek Station. Mungkin aku sendiri yang tak paham dengan Aksara Kiril yang tertera di berbagai titik. Untuk beberapa menit aku hanya mondar-mandir di sepanjang platform.

Hingga pada akhirnya, seorang petugas keamanan menyadari bahwa aku sedang kebingungan.  

Bergegas dia mendekatiku….

Where Go?”, tampaknya dia tak cakap berbahasa Inggris, tapi aku cukup paham apa maksudnya.

Chorsu Bekati*3)”, aku membalasnya singkat.

Oh….U Yerda*4)”, telunjuknya menunjuk ke atas tepat di sisi belakangku

Aku mengamati dengan cermat, memang ada tangga manual di arah yang dia tunjuk, dan ada terowongan menuju ke tempat lain dari Ming O’rik Station.

Jangan-jangan itu koridor penghubung ke Oybek Station”, aku manggut-manggut sendirian.

Thanks you, Sir”, aku menaruh respek pada petugas keamanan itu yang secara proaktif mendatangiku sebagai orang asing yang kebingungan di negerinya.

Aku meninggalkan petugas keamanan itu dan mulai menaiki tangga, untuk kemudian lindap di dalam interchange corridor.

Koridor yang kulewati tampak tua, klasik, langit-langitnya berbentuk melengkung setengah lingkaran dan dindingnya berlapis keramik dengan pola tua di sepanjangnya.

Hanya perlu waktu lima menit untuk tiba di mulut koridor di sisi yang lain.

Interchange corridor antara Ming O’rik Station dan Oybek Station.
Suasana di Oybek Station.
Oybek Station.

Di mulut koridor aku dihadapkan pada ruangan stasiun lain, Oybek Station.

Secara sekilas, Oybek Station tak memiliki ornamen istimewa di setiap jengkal koridornya. Hanyalah sematan ukiran keramik berwarna hijau yang menghias di setiap pilar stasiun.

Maka terduduklah aku di salah satu bangku demi menunggu kedatangan kereta di jalur O’zbekistan Line itu.

Satu hal yang membuatku penasaran selama duduk adalah sebuah pertanyaan sepele tentang bagaimana bentuk kereta di jalur O’zbekistan Line. Apakah mirip dengan kereta di jalur Yunusobod Line?. Pertanyaan itu akan selalu muncul oleh karena tidak adanya sekat penghalang antara platform dan jalur kereta, sehingga memudahkan siapa saja untuk melihat secara langsung gerbong kereta yang melintas.

Aku terus diam mengamati sekitar, sekaligus sumringah karena tak lama lagi akan tiba di Distrik Chorsu.

Keterangan:

Вход*1) (Baca “Vhod”) = Masuk

Kirish*2) = Entry

Bekati*3) = Stasiun

U Yerda*4) = di sana

Kisah Selanjutnya—->