Uzbekistan Airways HY 763: Gelisah Menuju Almaty

Aku turun dari bus berkelir hijau setelah setengah jam lamanya menaikinya dari pusat kota Tashkent. Bus kota bernomor 67 itu ternyata tak mengantarkan segenap penumpangnya hingga drop off zone, melainkan hanya pada pemberhentian tunggalnya, yaitu halte bandara.

Maka untuk menghindari kesalahan memilih, aku memutuskan untuk bertanya kepada seorang pengendara taksi tentang keberadaan terminal internasional.

Where will you go?”, dia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan.

Almaty”, aku menjawab penuh semangat

Just go to that terminal !”, telunjuknya jelas mengarah ke salah satu bangunan terminal

TOSHKENT XALQARO AEROPORTI”, aku membaca pelan signboard besar yang terpajang tepat di pusat bangunan terminal bandara.

Halte bus di bilangan Amir Temur Ko’chasi.
Bus No. 67 dengan rute Oqtepa ke airport.

Tanpa ragu aku segera melangkah melewati sisi timur bangunan bandara walaupun ada beberapa penjual ketengan valas yang menghadang demi membeli sisa Som*1) yang kumiliki. Tampaknya mereka tahu bahwa sebentar lagi aku akan meninggalkan Uzbekistan. Berkali-kali aku mengindahkannya, yang akhirnya membuat mereka menyerah dan melupakan keberadaanku.

Aku berhasil mencapai selasar depan bandara yang pagi itu dijaga oleh dua orang tentara berperawakan besar. Kemudian aku memasuki bagian dalam bandara usai menjalani pemeriksaan di screening gate yang dijaga oleh dua Aviation Security berparas cantik.

Aku segera melangkah menuju layar FIDS (Flight Infromation Display System) untuk memeriksa keakuratan jadwal penerbanganku menuju Almaty, kota terbesar kedua di Kazakhstan.

Waktu masih menujukkan tiga setengah jam dari waktu terbang, aku pun memutuskan menunggu untuk sementara waktu di sisi timur bangunan terminal. Aku menyantap sekerat Non*2) tersisa untuk mengganjal perut. Sepagian aku tak sempat bersarapan di penginapan karena harus mengejar keberangkatan bus menuju bandara.

Seusai bersarapan, aku merapikan lembaran Som tersisa untuk kemudian aku menukarnya di CASSIDA Moving Money Forward. Mendapatkan beberapa lembar dollar Amerika sebagai hasil penukaran, aku pun terduduk manis di salah satu bangku bangunan terminal selama satu setengah jam lamanya. Dalam duduk, aku lekat mengamati lalu lalang calon penumpang pesawat yang berasal dari berbagai ras, kesibukan para aviation security, staff bandara, polisi dan tentara. Tenru ini menjadi sebuah keasyikan tersendiri bagiku yang sendirian bersolo traveling.

Terminal Internasional, Tashkent International Airport.
Ruangan bagian dalam Tashkent International Airport.

Pukul sebelas kurang lima menit…..

Check-in desk bernomor 2,3 dan 4 dibuka untuk penerbangan Uzbekistan Airways HY 763. Aku pun segera merapat ke antrian. Tiba pada giliran, aku menghadap ke petugas check-in wanita berparas khas Kaukasus. Hanya ada sedikit percakapan antara aku dengannya, sebatas menanyakan ketersediaan visa Kazakhstan. Tentu aku mendapatkan boarding pass dengan mudah setelah menjelaskan kepadanya bahwa turis Indonesia mendapatkan free Visa untuk mengunjungi Kazakhstan.

Sukses mendapatkan boarding pass, aku pun menuju konter imigrasi. Keluar dari sebuah negara selalu saja menjadi proses termudah di konter imigrasi manapun. Begitupun siang itu, aku mendapatkan departure stamp dari seorang petugas imigrasi pria di salah satu konter, untuk kemudian jalur antrian mengarahkanku menuju screening gate.

Di screening gate, langkahku sempat dihentikan staff imigrasi yang duduk di awal jalur antrian masuk. Staff yang bertugas mengecek keberadaan departure stamp di setiap paspor calon penumpang pesawat itu berkali-kali secara bergantian melihat fotoku di paspor dan wajahku secara langsung. Aku yang sadar masalah pun menjelaskan kepadanya, “Sir, I’m bald because of the Umra I did a month ago”.

Ohhhhh….I understand….Ok…Ok”, dia manggut-manggut lalu menyerahkan kembali pasporku.

Seperti kebanyakan di bandara Asia Timur, melepas alas kaki khusunya sepatu boots saat melakukan screening sepertinya menjadi sebuah keharusan. Namun dalam proses screening itu, mereke meloloskan satu botol air mineral berukuran 600 ml dari backpackku.

Aku pun bergegas menuju Gate B9 karena Uzbekistan Airways HY 763 menuju Almaty akan diberangkatkan dari gerbang itu.

Meninggalkan screening area, aku mengindahkan keberadaan Duty Free Area. Untuk beberapa pejalan eksekutif, berburu wine produksi Uzbekistan mungkin menjadi hal yang menarik. Brand nasional mereka seperti Bagizagan, Sultan dan Bukhara menjadi serbuan para pengunjung bandara.

Keluar dari Duty Free Zone, aku terus memperhatikan penanda untuk menemukan keberadaan gate yang aku cari. Menemukan petunjuk, maka aku mencari tangga menuju lantai 1, karena Gate B9, B10 dan B11 berada di Lantai 1.

Menuruni tangga, akhirnya aku tiba juga di waiting room Gate B9. Deretan bangku hitam dengan armchair berjeda setiap dua kursi menghampar di dalam ruangan. Sedangkan pengelola bandara menyediakan satu outlet makanan dan minuman di salah satu sudut ruangan, PIE REPUBLIC adalah nama outlet tersebut.

Duty Free Zone.
Waiting Room Gate B9.

Hmmhh, aku harus menunggu satu jam setengah lamanya sebelum boarding time benar-benar tiba”, aku bergumam dalam hati.

Aku menyandarkan punggung di salah satu kursi, duduk manis, dan mengawasi sekitar……

Perlahan sebuah pesawat berjenis Airbus A320 milik maskapai Air Arabia merapat ke apron. Aku antusias melihatnya, teringat kembali pada perjalanan di awal 2020 silam yang memanfaatkan jasa maskapai itu ketika hendak berpindah dari Oman menuju Bahrain dan transit di Sharjah.

Tetapi dibalik ketenangan menunggu penerbangan, aku sebenernya menyimpan kecut hati. Aku sepenuhnya paham bahwa dalam beberapa jam ke depan, aku akan memasuki kota Almaty yang sebagian besar areanya diselimuti salju. Suhu udara akan jatuh bahkan bisa di bawah -10 derajat Celcius ketika ketika aku mendarat di sana. Aku mulai mengalami overthinking, bertanya pada diri tentang bagaimana cara mencari bus dan menemukan penginapan di kota Almaty ketika aku tiba nantinya. Tentu hal ini akan menjadi tantangan menegangkan.

Tak terasa……

Kelamaan berpikir dan khawatir, akhirnya panggilan untuk boarding pun tiba. Panggilan itu justru membuatku semakin khawatir mengingat petualanganku di daerah yang lebih dingin dari Tashkent akan segera dimulai.

Aku mulai memasuki antrian demi memasuki apron shuttle bus karena pesawat menunggu penumpangnya pada apron di titik lain nan jauh. Menunggu antrian selama tiga menit, aku pun memasuki apron shuttle bus kedua.

Untuk sejenak, aku mengikuti aliran bus melewati jalurnya di Tashkent International Airport hingga akhirnya aku tiba tepat di kaki- kaki raksana Uzbekistan Airways HY 763 sepuluh menit kemudian.

Aku mengantri di bawah passenger boarding stairs, tak sabar memasuki kabin pesawat berkelir bendera Uzbekistan yang sudah berdiri gagah di depan mata. Untuk kedua kalinya akan menaiki maskapai itu setelah tiga hari sebelumnya menaikinya pada rute Kuala Lumpur-Tashkent.

Menaiki satu demi satu anak tangga passenger boarding stairs, akhirnya aku berada tepat di depan pintu kabin belakang. Lalu aku merangsek melalui cabin aisle, awas mengamati deretan angka di kompartemen bagasi atas untuk mencari keberadaaan kursi bernomor 15C.

Aku menemukannya di tengah kabin. Aku pun segera menyimpan backpack biru 45L kesayanganku ke dalam kompartemen bagasi atas.

Satu hal yang menarik adalah hampir seluruh penumpang menjejalkan winter jacketnya ke dalam kompartemen yang menyebabkan penumpang lain terlihat kesulitan untuk menemukan ruang kosong dalam kompartemen untuk menyimpan bagasi mereka.

Aku yang berhasil menyimpan backpack, segera menduduki kursi bernomor 15C yang berlokasi tepat di sisi kiri cabin aisle, sementara dua bangku di sisi kiriku diduduki oleh dua gadis muda berambut pirang asal Uzbekistan.

Untuk beberapa saat aku harus sabar menunggu penumpan lain untuk duduk sebelum pesawat benar-benar siap untuk lepas landas. Siang itu peragaan keselamatan penerbangan yang biasanya dilakukan oleh awak kabin, digantikan dengan peragaan video yang ditampilkan pada layar LCD yang keluar dari kompartemen atas. Peragaan keselamatan itu tertampil sangat unik karena diceritakan melalui sebuah video yang mengambil latar belakang Uzbekistan di era para raja, sangat klasik.

Apron Shuttle Bus, Tashkent International Airport.
Uzbekistan Airways HY 763 rute Tashkent-Almaty.
Inflight meal Uzbekistan Airways HY 763.
Suasana kabin Uzbekistan Airways HY 763.

Melihat dengan antusias, membuat peragaan keselamatan penerbangan itu berlangsung dengan cepat. Sehingga pesawat benar-benar telah siap untuk mengudara.

Sejenak Uzbekistan Airways HY 763 berdiri gagah di ujung landasan, kapten penerbangan melakukan koordinasi dengan petugas ATC, meminta izin untuk lepas landas. Percakapan yang hanya sesaat terdengar itu pun berakhir. Desing suara mesin jet mulai meninggi, badan pesawat terhentak seketika, menciptakan momentum yang menghempaskan badan penumpang di sandaran kursi. Pesawat meluncur dengan cepat untuk kemudian melakukan airborne di ujung landasan satunya.

Aku meninggalkan Tashkent seketika….Menutup petualanganku di udara

Di dalam pesawat, aku terus gelisah, membayangkan diri yang akan tiba di Almaty saat gelap, jalanan akan dipenuhi salju dan berjibaku mencari bus kota menuju penginapan di pusat kota. Sementara roman muka tampak berbeda pada wajah kedua gadis berambut pirang di sisi kiriku. Mereka begitu bahagia menanti pesawat mendarat di Almaty.

Aku yang tak bisa memejamkan mata karena kegelisahan itu, akhirnya mulai mengamati awal kesibukan para pramugari yang mempersiapkan hidangan untuk para penumpang. Dua food trolley mulai didorong bersamaan dari kabin depan dan belakang. Para pramugari dengan cepat menaruh setiap paket hidangan yang sama ke semua penumpang.

Karena memang sudah terlewat dari waktu makan siang, aku pun menyantap sandwich yang ada di dalam paket inflight meal tersebut, lalu menyimpan makanan lainnya ke dalam folding bag yang kuletakkan di bawah kursi.

Tak terasa sembilan puluh menit mengudara, akhirnya pilot menginformasikan bahwa pesawat bersiap untuk melakukan pendaratan di Almaty International Airport.

Pesawat mulai merendah, pada titik tertentu bunyi hentakan dari lambung pesawat. “Tampaknya roda sudah dikeluarkan”, aku membatin.

Ketika berada pada ketinggian rendah, sangat tampak daratan Almaty yang serba putih. Seperti dugaanku, salju terhampar merata di seluruh daratan. Inilah pertama kali aku melihat salju di habitatnya secara langsung. Aku terkagum-kagum dan enggan untuk mengalihkan pandangan dari kaca jendela pesawat, khawatir melewatkan sedetik saja pemandangan mempesona itu.

Hingga akhirnya badan pesawat terhentak cukup kuat sebagai pertanda bahwa roda-roda pesawat telah menyentuh landasan. Lantas tepuk tangan para penumpang terdengar membahana di sepanjang kabin. Memang demikian budaya warga Asia Timur yang memberikan penghargaan kepada pilot dan awak kabin yang berhasil melakukan penerbangan dengan cara bertepuk tangan bersama-sama.

Sejenak pesawat melakukan taxiing menuju apron untuk menurunkan penumpangnya.

Som*1) = Mata uang Uzbekistan

Non*2) = Roti khas Uzbekistan

Kisah Selanjutnya—->

Korzinka: Penyelamat Makan Malam

<—-Kisah Sebelumnya

Navoiy Shoh Ko’chasi menjelang pukul tujuh malam.

Memunggungi Stasiun Abdulla Qodiriy, aku berusaha menyembunyikan rasa pengecut yang muncul karena panik menghadapi suhu udara 1oC. Tanganku mulai kaku, nafas terasa berat, ditambah lapar yang mulai menyertai setiap ayunan langkah.

Aku terus menatap ke depan ketika melangkah di sepanjang sisi timur Amir Temur Shoh Ko’chasi demi mencari perempatan terdekat untuk merubah haluan ke barat.

Lalu lintas tampak ramai sore itu. Beberapa wakku kemudian, aku tiba di perempatan yang dimaksud. Berdiri di pangkal zebra cross, aku diperhatikan oleh dua polisi bertubuh tegap yang sedang mengatur lalu lintas. Aku yang merasa was-was karenanya bisa bernafas lega karena seusai lampu merah menyala, mereka dengan baik hati membantuku menyeberang dengan memastikan tak ada kendaraan yang melintas selama lampu merah menyala. Walau wajahhnya tampak garang dan galak, aku tak meragukan kebaikan hati kedua polisi itu.

Aku berhasil menyeberangi Amir Temur Shoh Ko’chasi yang memiliki lebar tak kurang dari dua puluh lima meter, untuk kemudian menyusuri trotoar sisi utara Navoiy Shoh Ko’chasi demi menuju Paradise Hostel tempatku menginap.

Namun satu hal yang masih mengganjal di setiap langkah semenjak keluar dari Abdulla Qodiriy Station. Itu karena aku tak kunjung menemukan satu pun kedai food street. Padahal aku membutuhkan seporsi makanan apapun untuk makan malam. Alhasil, aku hanya bisa pasrah jikalau aku memang tak bisa mendapatkan menu makan malam. Aku sudah menyiapkan rencana untuk menyantap saja dua buah “Non” yang sempat aku beli di Chorsu Bazaar pada pagi sebelumnya.

Mataku tetap awas di sepanjang Navoiy Shoh Ko’chasi untuk menemukan kedai food street, namun kurasa mustahil untuk menemukannya, karena aku baru paham bahwa trotoar yang kulalui berada di jalur protokol kota. Setiap jengkal sisi trotoal dijejali perkantoran kelas atas.

Apapun itu….

Ternyata pertolongan Tuhan itu muncul ketika langkahku semakin dekat dengan lokasi penginapan. Aku tetiba melihat dua wanita paruh baya menenteng dua tas berisi belanjaan. Aku mendekat menuju gedung tempat kedua wanita itu keluar.

“KORZINKA”, aku membacanya pelan-pelan.

Mataku awas mengawasi sisi dalam bangunan yang bisa dilihat jelas dari jendela kacanya yang bening dan lebar. Tampak dengan jelas deretan etalase produk seperti layaknya supermarket pada umumnya. Maka aku memutuskan untuk masuk ke dalamnya. Dan sungguh riang hati, ketika tahu bahwa aku benar-benar berada di sebuah supermarket.

Saatnya mencari menu makan malam dan sarapan untuk esok hari”, aku bergumam menang.

Etalase “Non” di Korzinka.
Cari kopi mini sachet di Korzinka.
Berbelanja di Korzinka bersama masyarakat lokal.
Sampai jumpa lagi Korzinka.

Nantinya aku tahu bahwa Korzinka adalah jaringan supermarket terkenal di Uzbekistan.

Setengah jam lamanya aku berbelanja di Korzinka, itu karena begitu senangnya hati menemukan supermarket yang berlokasi sangat dekat dengan penginapan, hanya berjarak kurang lebih seratus meter saja, sehingga tak membuatku khawatir untuk berlama-lama dalam berbelanja di Korzonka.

Inilah daftar belanjaanku sore itu:

  1. Roti “Non”                       :   2.800 Som
  2. Jus Apel Kemasan         :  10.490 Som
  3. Enting-Enting Kacang   :   6.490 Som
  4. Kopi sachet mini  4gram :  4.480 Som

Total  :     24.260 Som atau setara dengan Rp. 33.500

Aku pulang dengan menenteng belanjaan. Aku tak lagi khawatir akan menu sarapan esok hari. Bahkan aku berencan untuk menyeduh kopi yang kubeli saat bersarapan, karena penginapan menyediakan pantry yang memiliki pemanas air.

Aku tiba di Paradise Hostel sekitar pukul setengah tujuh malam.

Sangat kaget ketika tiba, ruangan kamar sangat ramai, itu karena para pejalan asal Turki sedang berkumpul dan bercakap. Aku yang tak mau diam saja, berusaha untuk bergabung dalam percakapan mereka sebelum mandi. Aku berusaha berkenalan dengan pejalan sekamar.

Bahkan malam itu sungguh istimewa, share lobby dipenuhi para tamu hostel. Kembali aku melibatkan diri untuk aktif dalam setiap percakapan hangat dengan mereka sembari menikmati “Non” dan menikmati jus apel segar yang kubeli beberapa jam sebelumnya di Korzinka.

Saatnya istirahat sejenak setelah seharian berpetualang.

Penutup malam keduaku di Tashkent meninggalkan kesan indah nan menyenangkan.

Berkejaran dengan Gelap di Sepanjang O’zbekistan Yo’li

<—-Kisah Sebelumnya

Langkahku menuruni anak tangga di gerbang Stasiun G’afur G’ulom terus diperhatikan oleh seorang wanita yang tampak cantik dalam balutan winter jacket berwarna pink, dia berhenti di tangga jeda demi berbicara dengan seseorang melalui telepon pintarnya. Aku paham bahwa wanita itu berdiri di tangga jeda juga untuk menghindari hawa dingin yang sore itu juga mulai menembus winter jacket bekas yang kukenakan.

Aku mengindahkannya ketika tepat berpapasan dengannya. Mataku lebih tertarik memperhatikan ruangan di ujung lorong, bertanya-tanya dalam hati, kejutan apa lagi yang akan aku temukan di ruangan stasiun mengingat ruangan di setiap stasiun Tashkent Metropoliteni memiliki desain klasik yang berbeda-beda.

Sore itu, aku tak kebingungan lagi tentang bagaimana harus mendapatkan tiket one-way, mengingat pada pagi sebelumnya, aku untuk pertama kalinya membeli tiket Tashkent Metropoliteni di Stasiun Abdulla Qodiriy.

Aku menyerahkan 1.300 Som kepada kasir di loket stasiun. Sesudahnya akan memasuki pintu masuk yang dijaga oleh petugas keamanan. Hanya perlu untuk membuka tas untuk diperlihatkan kepadanya hingga aku diizinkan memasuki peron setelah dinyatakan aman.

Seperti yang kuduga, kembali terpesona, aku terpesona dengan ruangan bawah tanah stasiun yang ditopang oleh tiang-tiang raksasa berwarna hijau dengan lekukan-lekukan klasik di sepanjangnya. Sedangkan langit-langit stasiun dipenuhi dengan pola-pola lingkaran yang dilengkapi lampu-lampu penerang di setiap pusat lingkarannya. Sungguh perwujudan desain interior yang mengesankan.

Peron Stasiun G’afur G’ulom.

Lima menit menunggu, kereta putih berkelir biru datang dari salah satu lorong, decit rodanya memekakkan telinga, getarannya terasa di peron tempatku menunggu.

Sepertinya inilah kereta yang harus kunaiki”, aku membatin.

Benar saja, itulah kereta yang akan membawaku menuju Stasiun Oybek. Tanpa pikir panjang aku melompat masuk di gerbong belakang setelah kereta berhasil menghentikan lajunya. Untuk beberapa detik berhenti, menurunkan dan menaikkan penumpang, maka kereta itu kembali melanjutkan perjalanan.

Aku bersandar pada sebuah tiang di dalam gerbong, menikmati rasa capek usai berjalan kaki seharian, hanya bersandar terpaku, melamun, menyerahkan diri mengukiti laju kereta.

Setidaknya aku harus melewati tiga stasiun lain sebelum tiba di Stasiun Oybek sebagai stasiun transfer menuju Yunusobod Yo’li. Tiga stasiun yang kumaksud adalah Stasiun Alisher Navoiy, Stasiun O’zbekiston, dan Stasiun Kosmonavtlar.

Aku sadar, kesalahanku hanya satu ketika berada di O’zbekistan Yo’li ini, yaitu tidak mencoba berhenti di Stasiun Kosmonavtlar yang konon memiliki desain super klasik nan megah.

Aku melewatkannya begitu saja hingga akhirnya sampai di Stasiun Oybek, untuk kemudian melalui lorong penghubung antar stasiun aku berhasil sampai di Stasiun Ming O’rik.

Stasiun Ming O’rik kembali memamerkan desain klasik lainnya. Memang tiang penyangga ruangannya tampak biasa saja, namun rasa klasiknya terletak pada desain lampu yang diinstall di langit-langit ruangan stasiun. Desainnya mirip stalagtit, unik tetapi tak meninggalkan sisi kewibawaan dari gaya arsitekturnya.

Menunggu selama enam menit, ternyata kereta yang datang memiliki beda bentuk dari kereta O’zbekistan Yo’li. Sore itu, kereta yang datang berwarna sepenuhnya biru langit, berbentuk kotak sempurna dengan usia gerbong yang nampak tua. Aku melompat di gerbong depan demi memasukinya. Kursi gerbong depan dipenuhi oleh penumpang lokal yang tampaknya baru saja pulang dari kantornya masing-masing. Aku memilih berdiri tepat di dekat pintu kereta, karena stasiun tempatku turun tidaklah jauh. Untuk turun di Stasiun Abdulla Qodiry, aku hanya perlu melintasi satu stasiun saja, yaitu Stasiun Yunus Rajabiy.

Peron Stasiun Ming O’rik.
Interior kereta di Yunusobod Yo’li.

Dalam delapan menit aku tiba…..

Maka aku telah berada di titik awal petualanganku kembali.

Aku beranjak keluar dari bawah tanah untuk naik ke plaza stasiun di permukaan. Berhasil menginjakkan kaki di plaza, gelap pun menyambutku. Gemerlap lampu telah berpendar di setiap bangunan di sekitar stasiun. Udara juga semakin dingin terasa.

Plaza di Stasiun Abdulla Qodiriy.
Plaza di Stasiun Abdulla Qodiriy.

Aku yang tak mampu berlama-lama di area plaza, segera beranjak menuju penginapan yang jaraknya hanya berkisar satu kilometer saja dari Stasiun Abdulla Qodiriy.

Kisah Selanjutnya—->

Menuju Stasiun G’afur G’ulom

<—-Kisah Sebelumnya

Udara mulai mendingin ketka aku bertolak dari Moyie Mubarek Library Museum, waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Langkah kakiku kali ini jelas, mengakhiri eksplorasi, menuju penginapan.

Aku membuka aplikasi transportasi Kota Tashkent berbasis Android….Aplikasi itu bernama 3TM. Aku sendiri sudah mahir menggunakan aplikasi itu karena aku telah menginstallnya di telepon pintar sebulan sebelum keberangkatan. Aku bisa dengan mudah memahami beberapa nomor bus kota yang melintas di sekitar penginapan yang kupilih.

Pada awalnya aku berencana menggunakan bus dari Halte Kalkavuz Kanali yang letaknya tepat di sisi selatan dari Hast-Imam. Ada bus bernomor 42 menuju penginapan. Namun aku mengurungkan niat usai melihat penuhnya halte oleh pekerja lokal yang menanti kedatangan bus.

Aku bergegas meninggalkan halte, mencari alternatif lain yang lebih nyaman. Alternatif terbaik adalah menggunakan jasa bus bernomor 109 yang akan berhenti di sebuah halte di depan Masjid Jami’ Akhunguzar, jaraknya hanya satu kilometer di Selatan Halte Bus Kalkavuz Kanali. Tanpa berpanjang pikir, aku melangkah cepat.

Lima belas menit selanjutnya aku tiba…..

Halte itu hanya berupa tiang penanda saja, tanpa tempat duduk, juga tanpa atap. Tepat di gerbang masjid yang langsung berbatasan dengan Zarqaynar Ko’chasi terdapat pedagang “Non” yang menjajakan roti khas Uzbekistan itu kepada para pengunjung yang keluar masuk masjid.

“Non” dengan aneka ragam, bentuk dan warnanya mengkilap sempat menggodaku untuk membelinya. Tetapi karena aku masih meyimpan dua buah “Non” yang pagi sebelumya aku beli di Chorsu Bazaar, aku mengurungkan niat untuk membeli “Non” kembali.

Sudah banyak “Non” yang terjual ketika aku berdiri di tiang halte hingga aku tersadar bahwa tak ada bus yang kunjung datang. Aku kembali berpikir ulang, mengingat sebentar lagi hari akan gelap. Hingga pada suatu waktu, aku kembali mengambil keputusan lain….Ya, aku bermaksud ingin mengunakan jasa Tashkent Metropoliteni menuju penginapan.

Aku pun beranjak dari halte bus untuk menyeberang Zarqaynar Ko’chasi. Aku harus menyisir trotoar sisi selatan demi menggapai Stasiun G’afur G’ulom. Tetapi sungguh pahit rasanya, baru saja aku berhasil menyeberang dan tiba di seberang jalan, bus kota berukuran kecil bernomor 109 tiba di halte tempatku menunggu beberapa saat sebelumnya.

Menuju Stasiun G’afur G’ulom.
Sisi barat Sebzor Ko’chasi.
Gerbang masuk Stasiun G’afur G’ulom.

Aku hanya menatap kesal sejenak lalu gontai menuju stasiun. Beberapa waktu kemudian, aku pun tiba di Stasiun G’afur G’ulom yang merupakan stasiun MRT yang berada pada jalur O’zbekiston Yo’li. Tak berasa aku telah berpindah dari sisi utara ke sisi timur Abdulla Qodiriy Park yang memiliki luas lebih dari 20 Hektar itu. Bisa kamu bayangkan kan seberapa jauh aku berjalan kaki?….

Tepat di sebuah perempatan dengan Ganga Skatepark sebagai landmarknya, aku menatap Halte Bus G’afur G’ulom yang berada di seberang utara jalan. Tapi sial, aku tak mampu menemukan jalur penyeberangan menujunya. Keberadaan flyover yang membentang dari selatan ke utara di atas Sebzor Ko’chasi membuatku terditraksi mencari arah.

Rupanya opsi terakhiru untuk menggunakan bus kota pupus. Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, maka aku memutuskan untuk turun ke bawah tanah melalui pintu masuk Stasiun G’afur G’ulom.

Kisah Selanjutnya—->

Larangan Mengambil Foto di Hast-Imam

<—-Kisah Sebelumnya

Lewat pukul dua siang….

Aku memaksakan langkah menyeberangi pertigaan di hadapan. Abdulla Qodiriy Ko’chasi cukup sibuk siang itu. Aku menunggu giliran menyeberang dengan sabar, berdiri di bawah tiang lampu merah dengan ukuran yang tak cukup besar.

Beberapa saat menunggu, lampu merah berganti hijau, untuk kemudian aku mulai melangkah menapaki jalur penyeberangan yang tak ada markah zebra crossnya. Aku terus mengarahkan pandangan mata ke samping kiri, menjaga diri jikalau ada kendaraan yang menyelonong melanggar lampu merah. Begitulah aku, selalu waspada ketika berpetualang sendirian di negeri orang.

Dari sudut pandang lain, setiap mata pengendara yang berhenti di lampu merah tampak memperhatikan setiap langkahku di jalur penyeberangan itu, karena memang akulah satu-satunya penyeberang jalan yang melintas. Canggung tetapi menjadi sebuah kesan yang menyenangkan tentunya.

Berhasil menyeberangi Abdulla Qodiriy Ko’chasi, hamparan panjang trotoar Qorasaroy Ko’chasi menanti di hadapan. Sejauh mata memandang, trotoar itu tersusun dari beton precast yang berfungsi ganda, selain sebaga u-ditch cover, juga berfungsi sebagai jalur trotoar.

Sementara itu di sisi kanan adalah jalur hijau dimana pohon-pohon berukuran besar, berumur tua, dengan cat putih di setengah batangnya, berbaris rapi di tepian jalan yang tercover oleh hamparan rerumputan nan hijau. Sedangkan ruang kota di sebelah kanan trotoar sepenuhnya tertutup oleh lembaran-lembaran papan seng proyek berlogokan Pemerintah Kota Tashkent “Toshkent Shahar Hokimligi” yang menjadi penanggung jawab pembangunan Islamic Civilization Center di Distrik Olmazor.

Islamic Civilization Center yang akan menjadi bangunan raksasa di sekitar Hast-Imam.

Trotoar yang kulalui tak begitu ramai, justru cenderung sepi dan lengang. Namun, aku telah mengenyahkan ragu, mantap melangkah menuju destinasi terakhir pada petualangan hari keduaku di Tashkent.

Dua puluh menit kemudian, aku tiba di tujuan…..

Sejenak aku terdiam di gerbang tujuan, menatap lekat-lekat Masjid Abdullah Murodkhojayev yang telah berusia sepuluh abad. Sontak rasa penasaran muncul ketika menatap menara kembar masjid yang tinggi menjulang. Oleh karenanya, aku berusaha mendekati masjid dari sisi depan. Hingga tiba tepat berada dibawah kaki menara, aku seolah nampak kerdil, bangunan masjid itu sungguh megah luar biasa, berarsitektur klasik, berdiri sangat kokoh.

Semakin penasaran, aku mencoba menemukan keotentikan arsitektur masjid dari sisi lain. Berpindahlah aku ke sisi selatan yang kebetulan berfungsi sebagai area parkir. Di sisi itulah, aku menemukan ruangan komersial untuk pemberdayaan masjid. Tampak dua belas kios dipergunakan untuk aktivitas perniagaan. Kios-kios itu ramai disinggahi para pengunjung dan siswa yang besekolah di Imam Al Bukhari Islamic Institute.

Masjid Abdullah Murodkhojayev tampak depan.
Masjid Murodkhojayev tampak belakang.

Langkahku semakin intens, berlanjut ke sisi belakang masjid. Di halaman belakangnya yang luas, aku menemukan dua bangunan besar lain, yaitu salah satu bagian Barakhan Madrasah dan Moyie Mubarek Library Museum.

Aku mulai memasuki bangunan bersejarah Barakhan Madrasah, bangunan yang didirikan oleh Raja Navruz Ahmadkhan pada pertengahan Abad ke-16.  Di dalam bangunan selain memiliki banyak ruangan kelas juga terdapat beberapa toko souvenir. Menakjubkannya, sebagian besar lantai plaza bagian dalam madrasah terselimuti oleh lapisan es. Hal ini dimungkinkan karena dinginnya cuaca Tashkent di akhir Desember.

Khatam menikmati suasana di Barakhan Madrasah, aku meninggalkan bangunan klasik itu demi menuju Moyie Mubarek Library Museum. Tak berjarak jauh, tak sampai lima puluh meter, aku tiba di pos penjualan tiket masuk. Aku harus membayar 30.000 Som untuk kemudian penjaga memberikanku selembar tiket dan mempersilahkanku untuk masuk.

Can me take a picture in the museum?”, aku memeperagakan tangan layaknya memfoto sesuatu dengan memicingkan mata

No”, petugas itu melambaikan tangannya sebagai isyarat tak mengizinkan.

Aku pun melepas sepatu boots dan mulai memasuki ruangan museum. Tampak seorang penjaga duduk mengawasi para tamu yang datang. CCTV tampak disiagakan di setiap kamar. Ada satu naskah besar di ruangan utama, adalah naskah Al Qur’an yang sedang dibaca Khalifah Usman bin Affan ketika beliau dibunuh.

Bagian dari Barakhan Madrasah.
Moyie Mubarek Library Museum.

Sedang di ruangan kamar yang berukuran lebih kecil tampak beberapa pajangan mushaf Al Qur’an dari berbagai masa, dari yang berukuran besar hingga Al Qur’an berukuran super kecil. Moyie Mubarek Library Museum menjadi titik terakhir petualangan hari keduaku di Tashkent.

Aku mengakhiri kunjungan lewat pukul empat sore, kemudian bersiap diri untuk pulang menuju penginapan.

Kisah Selanjutnya—->

Memarkir Langkah di Abdulla Qodiriy Park

<—-Kisah Sebelumnya

Aku melangkahkan kaki keluar dari kompleks Dhzuma Mosque, melewati deretan peminta-minta yang didominasi wanita dan anak-anak, kembali melintasi sisi timur pelataran Kukeldash Madrasah yang di penuhi lalu lalang para pelajar. Sama sepertiku, para pelajar itu baru saja usai menjalankan ibadah Shalat Dzuhur di Dhzuma Mosque.

Turun di trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi*1), menyusuri sisi utara wilayah Shaykhontohur Tumani*2), tetiba aku teringat kalau satu-satunya pulpen yang kumiliki telah berpindah tangan ke Tuan Khadirjan, Beberapa waktu sebelumnya, aku memberikan pulpen itu kepadanya usai dia menulis nama, nomor telepon dan alamat tempat tinggalnya pada selembar kertas yang telah terlipat rapi di kantong celanaku.

Sembari melangkah, tatapku awas menyapu pertokoan di sepanjang trotoar, berusaha menemukan toko yang menjual Alat Tulis Kantor. Aku tersenyum kecil ketika melihat sebuah toko kecil yang pintu masuknya terpasang tirai plastik penahan suhu dingin. “ZEBINISO Kitob Do’koni”, begitu nama toko yang kubaca pada nameboardnya.

Berburu pulpen pengganti.

Aku dengan percaya diri memasuki toko, untuk kemudian berdiri sejenak di dalamnya, memperhatikan koleksi novelnya yang berbahasa Rusia. Aku tak berkeinginan membeli, hanya terkesan dengan aksara Kiril yang memenuhi setiap lembaran novel itu.

Ruchka*3)?”, tanganku memperagakan gerakan menulis di atas telapan tangan.

Da*4)”, tangannya merogoh etalase di sampingnya dan mengeluarkan sebuah pulpen. Jarinya pun lincah memencet beberapa tombol kalkulator lalu menunjukkan layarnya padaku.

Oh, Dua Ribu Som”, aku tersenyum membatin

Kurogoh kocek dan menyerahkan pecahan pas kepada perempuan cantik pemilik toko buku itu.

Spasibo*5)”, aku bercakap padanya untuk terakhir kali sebelum pergi meninggalkan toko dari pintu bertirai plastic tebal itu.

Kembali di trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi……

Tentu aku semakin antusias menyusuri trotoar oleh karena berkesempatan untuk berpapasan dengan muda-mudi Tashkent yang melintas….Mereka tampak modis dan berpenampilan menarik.

Hingga langkahku tiba di sebuah perempatan. Furqot Ko’chasilah yang memotong arus Navoiy Ko’chasi sehingga membentuk perempatan besar itu. Furqot atau Furkat pada nama jalan ini didedikasikan untuk seorang scientist terkenal asal Russia, F.N Russanov.

Perempatan itu tampak luas dengan arsitektur taman yang baik. Pohon-pohon tampak asri dengan seni topiary yang diaplikasikan di dalamnya.

Perempatan antara Navoiy Shoh Ko’chasi dan Furqot Ko’chasi.

Bella Cosa Beauty Salon”, aku membaca sebuah nameboard terbesar yang kutemui di deretan pertokoan sisi barat perempatan. Untuk sejenak aku berdiri lama di sisi itu, menikmati suasana sekitar yang udaranya mulai menghangat dengan bersinarnya matahari tanpa penghalang.

Sewaktu kemiudian aku melangkah menuju utara melalui ruas jalan baru. Adalah Zarqaynar Ko’chasi yang mengantarku untuk kembali tiba di Stasiun Chorsu. Stasiun dimana aku menginjakkan kaki di pagi hari beberapa waktu sebelumnya, hanya siang itu aku berada di sisi timur stasiun, sedangkan pagi sebelumnya aku berada di sisi baratnya.

Aku dihadapkan pada lokasi parkir stasiun yang memanjang dari timur ke barat dengan deretan kios makanan di sisi selatannya.

Parkiran sisi timur Chorsu Station.

Lalu aku menatap ke arah seberang Zarqaynar Ko’chasi, ruas jalan yang didediasikan pemerintah Uzbekistan untuk menghormati Zarqaynar, seniman asal negeri itu.

Di seberang jalan, aku melihat keberadaan flyover yang memiliki terowongan di bawahnya dengan dinding bercat biru.

Itu adalah akses terbaik untuk pejalan kaki menuju Hazrati Imam Complex”, aku menatap jalurnya yang tampak sepi. Suasana lengang yang membuatku ragu untuk melintasinya.

Beruntung, beberapa saat kemudian muncul seorang lelaki yang menyeret travel bag yang berbelok dari arah berlawanan melalui terowongan itu. Tanpa pikir panjang aku berlari menuju terowongan. Aku hanya berpikir sederhana, bahwa aku akan berpapasan dengan lelaki itu di tengah-tengah terowongan.

Setidaknya aku tidak sendirian di pertengahan lorong”, aku memutuskan cepat.

Benar saja, aku berpapasan dengannya dan merasa sedikit tenang. Aku berhasil melewati lorong itu dengan cepat, untuk kemudian tiba di sebuah jalan sempit dengan aspal yang tak rata, retak disana-sini, bahkan ada bagiannya yang masih berwujud permukaan tanah. Banyak kendaraan tua diparkirkan di salah satu sisi jalan itu. Sedangkan tepat di sisi kananku adalah sebuah taman kota yang berukuran luas, Abdulla Qodiriy Park namanya.

Davlat Tabiat Muzeyi.

Aku menyusuri tepian barat taman kota yang memiliki luas tak kurang dari 20 hektar tersebut. Semakin jauh melangkah, aku mulai menemukan keramaian. Beberapa muda-mudi tampak melintas di jalanan, tampak mereka sedang pulang dari perkuliahan, begitulah aku menebak dari dandanannya.

Aku sendiri akhirnya berusaha untuk menemukan pintu masuk Abdulla Qodiriy Park demi menikmati keindahan di dalamnya.

Pada akhirnya aku memang menemukan gerbang utama taman itu setelah memutarinya separuh lingkaran. Tapi tampak gerbang taman itu ditutup rapat-rapat. Aku mendekat untuk mencari tahu, mengintip dari gerbang dan mengetahuinya bahwa taman itu sedang menjalani proyek renovasi.

Mengintip bagian dalam Abdulla Qodiriy Park yang ditutup karena renovasi.

Aku pun memutuskan untuk melangkah menjauh dari gerbang dan mencari sebuah tempat duduk di jalur masuk taman. Jalur yang kebanyakan tempat duduknya telah diakuisisi muda-mudi Tashkent demi bersiap menikmati keindahan sore yang beberapa saat kemudian akan tiba.

Patung Abdulla Qodiriy.

Aku terduduk tepat di sisi patung Abdulla Qodiriy, seorang sastrawan terkemuka asal Uzbekistan. Untuk sementara aku memarkirkan langkah di gerbang masuk Abdulla Qodiriy Park sebelum melangkah menuju tujuan akhir yang hanya berjarak 1.5 kilometer lagi.

Keterangan Kata:

Ko’chasi*1) = Jalan

Tumani*2) = Distrik

Ruchka*3) = Pulpen

Da*4) = Ok

Spasibo*5) = Terimakasih

Kisah Selanjutnya—->

Kukeldash Madrasah: Do’a ke Tanah Suci

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan kedai pilav, menyusuri trotoar Saqichmon Ko’chasi sisi timur, menuju selatan, untuk kemudian terhenti pada dinamika di sebuah perempatan jalan.

Beruniy Shoh Ko’chasi lah yang membentuk perempatan besar itu karena memotong Saqichmon Ko’chasi dari barat ke timur.

Tampak, walaupun ramai di area zebra crossnya, tetap saja pemerintah setempat menyediakan fasilitas penyeberangan bawah tanah yang menyediakan alternatif menyeberang paling aman dan nyaman.

Di sisi lain, delapan jalur trotoar perempatan itu dihiasi barisan pepohonan besar yang meranggas dihajar musim dingin. Pokok-pokok besar itu berbaris dengan interval teratur di sepanjang sisi jalanan.

Sejenak aku berdiri cukup lama, mengarahkan pandangan ke arah timur jauh dimana satu dua gedung pencakar langit sedang dibangun di sepanjang Beruniy Shoh Ko’chasi.

Perempatan antara Saqichmon Ko’chasi dan Beruniy Shoh Ko’chasi.

Pada satu sisi, bentangan panjang trotoar mengarah ke timur telah menunggu. Setengah kilometer di depan, destinasi selanjutnya telah menunggu.

Apalagi semakin lama berdiam di sisi perempatan, udara dingin semakin menusuk dari sela-sela winter jacket yang kukenakan, perlahan tapi pasti menyurutkan hangat badan. Maka, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Bertolak meninggalkan halaman toko springbed “TAMAKI” di pojok perempatan, aku memasuki trotar sisi utara Beruniy Shoh Ko’chasi.

Trotoar selebar tiga meter itu beralaskan beton, tak berbatasan langsung dengan jalan raya, melainkan terjeda dengan bidangan rumput hijau di kiri kanannya. Jalur rumput yang berbatasan langsung dengan jalan tertanam pepohonan yang berjajar rapi. Pohon-pohon itu diberi cat warna putih di bagian pangkal batang hingga setinggi orang dewasa. Pemberian cat warna putih tentu bertujuan sama di jalanan manapun, yaitu mengurangi durasi batang pohon terpapar panas secara langsung untuk mencegah peretakan.

Setengah kilometer kemudian, sebuah halte bus menyambut. Pemberhentian bus itu ramai dipenuhi calon penumpang, bernama Chorsu Mall Bus Stop karena memang letaknya yang berada di tepian pusat perbelanjaan dengan nama yang sama.

Melewati keramaian halte, deretan lapak pedagang kaki lima menjadi pemandangan menarik berikutnya. Sahutan para pedagang buah-buahan, sayur-mayur, mie berbagai warna, dan Non*1) berhasil membuat bising sepanjang trotoar.

Untuk sementara aku larut dalam aktivitas perdagangan kecil itu. Menyaksikan aksi tawar-menawar dan tentu mengagumi modisnya muda-mudi Uzbekistan yang melalui kawasan pasar jalanan yang terletak persis di sebuah pertigaan besar yang terbentuk dari pertemuan tiga ruas jalan, yaitu Beruniy Shos Ko’chasi, Samarqand Darvoza Ko’chasi dan Navoiy Shoh Ko’chasi.

Perdagangan di depan Kukeldash Madrasah.

Dan tepat di sebelah timur pasar jalanan itu terdapat sebuah bangunan dengan arsitektur khas Timurid. Adalah Kukeldash Madrasah yang telah lama menjadi pusat pendidikan penting di Kota Tashkent.

Timurid merujuk pada nama Amir Temur, seorang pemimpin berkharisma ada Abad XIV yang pernah berkuasa di Asia Tengah, Iran, Afganistan, Pakistan, India, Irak dan Kaukasus.

Sedangkan kekhasan arsitektur Timurid terletak pada pintu gerbang yang berbentuk persegi menjulang dengan lengkungan khas di bukaan pintunya. Sedangkan model dekorasi muqarnas menjadi penghias dindingnya. Gerbang itu akan diapit oleh dua menara dengan dekorasi khas.

Sejenak aku terduduk di salah satu tempat duduk beton demi menikmati keindahan arsetektur pesantren itu.

Aku larut dalam keasyikan mengambil beberapa gambar di setiap sudut Kulkedash Madrasah, hingga akhirnya berdiri terpaku menatap keindahan jengkal demi jengkalnya.

Gerbang depan Kukeldash Madrasah.

Tibalah pada suatu waktu, dari belakang, sentuhan lembut dari tangan seseorang mendarat di pundakku.

Hello, where are you come from?

Aku menoleh ke belakang. Menemukan wajah tua bersahaja dengan senyuman super ramahnya.

“Indonesia, Sir”, aku tergagap, gugup menatap senyum cerah lelaki tua itu.

“I’m a teacher in this school….my name Khadirjon….Are you moslem?”,

“Yes, Sir…I’m moslem”

“Subhanallah….Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam”.

“Do you live in Tashkent?….What is your name?”

“No Sir, I’m jus a solo traveler…My name is Donny”.

“Masyaallah….You’re a musafir. Your do’a is maqbul….Please, pray for me”

“What do’a do you want, Sir”

“I want go to Makkah Al Mukarrom for Hajj or Umra….Also, I want my daughter to get married this year…Please, say do’a for me !”

Me & Mr. Khadirjon.

Aku pun mulau berdo’a sembari berdiri di depannya. Dia mengamini setiap do’a yang kupanjatkan. Aku merasakan kebahagiaan dalam setiap do’a yang kupanjatkan untuknya. Tak menyangka keramahan orang ini membuatku serasa berada di rumah sendiri.

“Donny….Do you have something that I can keep it as a keepsake?”

Aku yang bingung mencoba berpikir, menentukan barang khas Indonesia apa yang bisa kuberikan. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah ide.

“Do you want Indonesian money”?

“Oh..good idea….Just give me a small banknotes”

Aku merogoh kantong mengambil dompet , menarik selembar uang kertas Rp. 10.000, menandatanganinya dan menyerahkan kepadanya

“10.000 rupiah is equal with 8.000 Som, Sir”

“Oh, nice Donny….Thank you”

Tak lama kemudian, seorang perempuan cantik berkerudung putih melintas dan mendekat ke kami berdua. Entah perempuan itu bicara apa, yang jelas dia sedang memberi salam kepada Mr. Khadirjon. Menunduk-nunduk ketika berbicara dengannya sebagai bentuk rasa hormat.

“Shara…Introduce my guest, he is traveler from Indonesia. His name is Donny”

“Hallo, Mr Donny….Nice to meet you…My name is Shara from Samarkand”

“Hi, Sara….Nice to meet you”

Perempuan itu menunduk sopan dan meminta izin kepada Mr Khadirjon untuk memasuki pensantren.

“Donny, can you shalat with me in that mosque ?”

“Oh sure, time to Dzuhur pray…Let’s go to the mosque and pray together”.

Kukeldash Madrasah dari sisi timur.

Aku tersenyum lebar dan berinisiatif mengikuti langkahnya menuju masjid.

Sejenak aku akan menjalani ibadah shalat dzuhur. Itulah shalat berjama’ahku untuk pertama kali di kota Tashkent.

Catatan Kaki:

Non*1) = Roti khas Uzbekistan, biasanya berbentuk bulat dan lebar dengan satu sisinya lebih mengkilat dan bertabur wijen.

Kisah Selanjutnya—->

Pilav dan Kegagalan Menyeruput Teh Hangat

<—-Kisah Sebelumnya

Masuk dari lantai bawah, aku terhenti dalam beberapa langkah, tertegun dengan tata letak lapak di Chorsu Bazaar. Mengikuti bentuk lingkaran bangunannya, deretan lapak pun disusun dengan pola melingkar, berpusat di titik tengah ruangan. Tata letak yang efektif, efisien, juga penuh gaya.

Aku mulai menyusuri lantai pertama pasar yang didominasi oleh penjual daging, sosis, keju, sayur-mayur, buah-buahan dan bahan pangan lainnya. Sibuknya aktivitas pasar membuat para pedagang tak mempedulikanku ketika memfoto aktivitas mereka ketika melayani pembelian para pelanggannya.

Aku yang kagum dengan aktifitas dan kebersihan pasar, harus mengitari lantai bawah pasar hingga dua kali sembari menikmati atmosfer perniagaan di dalamnya.

Lapak sekitar pintu masuk yang kulalui.
Chorsu Bazaar dari atas.

Selesai pada putaran kedua, aku mendongak ke atas, melihat sekilas apakah aktivitas di lantai itu sama bergeliatnya. Kuperhatikan dengan seksama, riuh rendah teriakan para pedagang menggema di langit-langit pasar. Aku yang tak bisa menahan rasa penasaran, mengarahkan pandangan ke bagian paling belakang deretan lapak lantai satu. Aku fokus mencari akses tangga menuju ke lantai atas.

Bersyukur aku menemukannya dengan cepat. Aku mendekatinya, entah kenapa banyak tercecer tumpahan lumpur tipis di sekitar anak tangga. Seorang petugas tampak sedang berjibaku membersihkannya dengan floor wiper. Mungkin lapisan tipis lumpur itu adalah residu dari bongkar muat ikan air tawar yang dijual di lapak paling belakang

Aku harus sedikit berjingkat demi menggapai anak tangga pertama. Aku berhasil melalui lapisan lumpur dan mulai menaiki anak tangga menuju ke lantai atas.

Setiba di lantai atas, aku langsung membuat kesimpulan bahwa lantai dua Chorsu Bazaar digunakan sebagai pasar kering dimana manisan kering, buah-buahan kering, navat (gula batu), parvarda*1), kacang-kacangan, kismis, apricot, saffron diperjualbelikan.

Melihat lantai bawah dari atas, menyematkan kesan indah di sejauh mata memandang. Susunan melingkar lapak tampak rapi dan teratur. Balon warna-warni dibentangkan dari sudut ke sudut bangunan, berhasil menambahkan suasana meriah di ruangan pasar.

Pedagang di lantai atas ternyata lebih agresif, berkali-kali mereka menjemput kedatanganku dengan menawarkan barang dagangan. Seorang pedagang pria bahkan terus mengikuti setiap langkahku sembari menawarkan saffron.

Best saffron from Kashmir, brother”, dia menyejajari langkahku sembari terus menatap mukaku yang kuarahkan ke tempat lain.

Thanks, brother. I come here just to sightseeing”, aku menegaskan maksud.

Hampir mengikutiku sejauh setengah putaran pasar hingga akhirnya dia menyerah karena usahanya tak kunjung membuahkan hasil. Dia berbalik badan dan membiarkanku lepas dari incarannya.

Doi minta difoto setelah lelah mengejarku.

Aku yang telah selesai mengelilingi lantai atas satu putaran penuh, memutuskan untuk turun. Aku menuruni tangga yang sama disaat naik, lalu keluar dari pintu bertiraikan plastik di lantai bawah.

Dalam sekejap, aku sudah berada di luar bangunan pasar kembali.

Petualangku selama 45 menit di Chorsu Bazaar usai, bahkan berhasil membuatku lapar. Maka aku menyempatkan diri untuk mencari kedai makan di sekitar pasar. Akan tetapi mengitari bagian luar Chorsu Bazaar untuk mencari makanan ternyata tetap tak membuahkan hasil.

Perut yang keroncongan akhirnya mengingatkanku pada sebuah kedai yang menggoreng nasi di tepian jalan dan sempat kulihat sebelum menuju Chorsu Bazaar beberapa menit sebelumnya.

Menemukan ingatan di kepala, aku pun tersenyum dan dengan cepat meninggalkan Chorsu Bazaar. Aku bergerak tangkas menuju kedai makan yang dimaksud.

Derean kedai makanan dekat Chorsu Bazaar.
Pilav.

Menghafalkan rute dengan baik, aku tiba di lokasi dalam tujuh menit. Semua pintu di deret kedai makan tampak sama. Aku susah membedakan pintu mana yang menjual “nasi goreng” yang dimaksud. Aku juga tak melihat pemuda yang beberapa menit sebelumnya kulihat memasak di tepian trotoar.

Maka kulongokkan muka dari pintu ke pintu untuk menemukan masakan itu. Tiga pintu yang kulongok tak membuahkan hasil. Hingga akhirnya pada pintu keempat, aku melihat seorang pria berumur yang mengangkat penggorengan besar dan menumpahkan isinya ke lima piring kosong nan lebar.

Itu dia”, aku bersorak dalam hati.

Aku yang antusias, memberanikan diri masuk ke pintu yang berhadapan langsung dengan dapur dan meja kasir.

Seorang perempuan berkerudung dan bersepatu boots menyambutku, dia tampak modis dan cantik.

A portion….that food, Mam!”, aku menunjuk nasi goreng di sebuah penggorengan yang asapnya menebarkan bau super sedap.

Da*2)……”, dia mengangguk dengan ekspresi wajah datar sembari menunjuk ke arah bangku kosong.

Aku yang menahan lapar, menyeret langkah dan duduk di meja yang dimaksud.

Tak lama, makanan pesananku datang dan disajikan di meja makan. Terdapat tiga potongan roti berukuran sedang yang disuguhkan bersama seporsi nasi bertabur rempah, daging domba, telur puyuh dan sedikit sayur.

Tak berpikir panjang, aku segera menyantapnya. Tetapi gigitan pertamaku pada roti memberikan kesan tawar. Maka kuputuskan untuk memasukkan tiga kerat roti itu kedalam plastik dan menenggelamkannya di dalam folding bag.

Lebih baik untuk makan malam nanti saja”, aku cengar-cengir sendirian.

Dengan lahap aku menyantap makanan itu. Sendok dan garpu berkelontangan beradu dengan piring.

Fokus pada makanan, membuatku tak memperhatikan jika sewaktu kemudian empat sekawan datang dan duduk di bangku sebelah. Mereka berempat sepertinya mahasiswa dan sedang riuh rendah bercakap-cakap di sisi kananku.

Ramainya suasana di bangku sebelah membuatku mengarahkan pandangan kepada mereka. Aku menatap mereka ketika mereka berempat kompak melihatku yang sedang rakus menyantap makanan. Aku tersenyum kepada mereka ketika sesendok nasi masih kukunyah di mulut.

Aku pun segera menelannya dengan cepat. Kemudian mengajukan pertanyaan singkat pada keempat pria muda itu.

What is the name of this?”, aku menunjuk pada hidangan yang kumakan.

Pilav….That is Pilav3*), our typical food”, salah satu dari mereka yang berpostur paling tinggi menjawab.

Oh, Pilav…..Nice food”, aku menimpali.

Melihat Pilav membuatku  teringat oleh makanan dengan penampilan yang sama. Namanya Pullao, makanan asal Pakistan yang pernah kusantap ketika mengunjungi Qatar. Cuma waktu itu Pullao tersebut dimasak oleh seseorang hanya dengan bercampukan sayuran dan kacang-kacangan.

Enjoy that….”, pemuda itu menambahkan dan menutup percakapan.

Sure…”, aku kembali menghadapi makananku.

Aku menyantapnya kembali ketika pilav itu mendingin dengan cepat oleh sebab dinginnya udara sekitar.

Porsinya yang banyak dan kondisinya yang sudah dingin memaksaku untuk memindahkan separuh porsi pilav itu ke dalam foldable lunch box. Aku bisa memanfaatkannya untuk makan malam.

Usai sudah menyantap pilav.

Aku melangkah ke meja kasir untuk meminta sesuatu….

Can you serve me a cup of tea?”, aku menunjuk pada sebuah tea pot yang terletak di sebuah meja makan.

Nima?*3)”, dia mengambil kalkulator dan menujukkan angka 27.000 padaku

Tea….Please!”, aku menegaskan bahwa aku belum bermaksud menyudahi makan siangku

Rupanya nona cantik itu tak paham dan hanya tersenyum melihatku.

Aku yang sudah kehabisal akal memutuskan untuk menyudahi saja makan siangku dan membayar pilav yang sudah aku santap.

Sudahlah, aku membalikkan punggung dan meninggalkan kedai itu.

Keterangan:

Parvarda*1) : Caramel khas Uzbekistan yang sangat populer, berbentuk manisan kecil yang dilapisi tepung.

Da*2): OK

Nima?*3) : Apa

Kisah Selanjutnya—->

Chorsu Bazaar: Tertegun pada Lapak Kaki Ternak

<—-Kisah Sebelumnya

Dengan tegas, aku mengarahkan langkah menuju Chorsu Bazaar, sebuah pasar tradisional terbesar di Kota Tashkent atau boleh dikatakan sebagai pasar tradisional tertua di kawasan Asia Tengah.

Dari pelataran atas stasiun bawah tanah Chorsu, aku bersusah payah mencari jalur menuju jalan arteri. Aku sepenuhnya paham bahwa Chorsu Bazaar terletak di utara tempatku berdiri dan jalan arteri untuk menujunya berada di sisi barat, itu berarti bahwa aku harus berjalan memutar demi menuju pasar tradisional yang sudah berdiri sejak Abad Pertengahan tersebut.

Maka melangkahlah aku ke barat, melewati jalur kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Jalur itu membawaku melintasi Chorsu Gold Center yang merupakan pusat perdagangan emas terbesar di Tashkent. Sentra emas itu sengaja dibangun oleh pemerintah Uzbekistan untuk melawan dominasi brand perhiasan emas dari luar negeri.

Aku berhenti sejenak di depan sentra emas itu, memperhatikan antrian warga lokal di depan bangunan kecil bertajuk “Bankomat ATM”.

Pasti mereka menarik uang tunai untuk berbelanja emas di sentra emas itu”, aku mengambil kesimpulan cepat.

Chorsu Gold Center.
Toko souvenir.

Sementara itu, membalikkan badan ke arah seberang, aku mendapati sebuah toko besar yang menjual souvenir khas “Negeri Jalan Sutera”. Karpet berpola khas, guci klasik dari berbagai macam bahan dan pernak-pernik lain yang tersusun di etalase dengan mudah bisa dilihat dari luar toko. Tetapi aku toh tetap tak mengindahkan keberadaannya.

Justru aku lebih tertarik pada sebuah lapak tanpa tenda dimana seorang pria paruh baya menjual potongan kaki ternak yang ramai dengan antrian pengunjung. Aku yang beruntung melihat pemandangan itu, memutuskan untuk mengambil foto beberapa momen transaksi jual beli di lapak mungil itu. Untuk beberapa saat, langkahku tersangkut di lapak kaki ternak yang baru pertama kali kulihat dalam hidup.

Hingga akhirnya aku mencukupkan diri mbengambil foto transaksi jual beli ketika si bapak penjual menatap dan tersenyum lebar melihat kehadiranku.

Wonderful, Sir….Thank you for this special moment”, aku bercakap kepadanya yang entah dia paham atau tidak..

Penjual kaki ternak.

Aku berhasil menggapai tepian Saqichmon Ko’chasi*1), lalu tersenyum menatap utara. Jalanan sedang macet-macetnya menjelang pukul sebelas siang. Sepanjang mata memandang, jalan arteri itu dipenuhi oleh brand Chevrolet, compact car varian The New Chevrolet Spark  tampak mendominasi kepadatan jalan. Konon, Chevrolet memang mendominasi pangsa pasar mobil di Uzbekistan.

Di sisi lain, di sepanjang trotoar yang kulintasi, aktivitas perdagangan tepi jalan juga sangat bergairah. Gerobak-gerobak beroda berjajar rapi dan menawarkan berbagai makanan, buah-buahan dan hasil bumi lainnya.

Bahkan beberapa puluh meter kemudian, aku menemukan deretan kedai makan yang telah bergeliat dengan aktivitas memasak. Aku tertegun di satu titik, tempat dimana seorang pria muda sedang mengaduk-aduk nasi di sebuah wajan besar, dia sengaja memasak di atas perapian yang diletakkan di tepian trotoar. Bau rempahnya kuat menusuk indra pencium, otomatis membuatku lapar.

Nasi goreng macam apakah ini?”, aku bertanya dan terkekeh dalam hati.

Tapi belum saatnya untuk makan….Aku harus segera sampai di Chorsu Bazaar”, aku memutuskan untuk menghampiri lagi kedai makan itu setelah mengeksplorasi Chorsu Bazaar.

Saqichmon Ko’chasi yang macet.

Aku meneruskan langkah kaki, melewati area parkir yang sangat luas. Sepertinya itu adalah area parkir khusus untuk pengunjung Chorsu Bazaar, karena aku telah melihat bangunan besar dengan atap sepenuhnya berbentuk kubah warna biru.

Itu pasti Chorsu Bazaar yang sedang kutuju”, aku menatapnya lekat-lekat dari area parkir.

Aku yang sumringah, melangkah lebih cepat demi menggapai gerbang Chorsu Bazaar.

Akhirnya aku sampai……

Aku sendiri tak terburu-buru masuk, aku lebih memilih duduk di pelataran luasnya. Pengelola pasar setempat tampaknya sangat mengerti kebutuhan warga dan wisatawan dengan menyediakan tempat duduk yang nyaman di sekitar pasar.

Aku memilih salah satu bangku beratap dan ternyata betah duduk di bangku itu. Suhu 4oC tak mengalahkan rasa antusiasku untuk menikmati kesibukan di sekitar gerbang masuk. Chorsu Bazaar jika dilihat sepintas lalu, lebih tampak seperti sebuah shopping mall yang besih dan bergaya.

Untuk beberapa saat, aku menikmati duduk manisku di bangku mungil itu.

Hanya saja, karena tak mau didahului siang, aku pun bangkit dan menuju gerbang pasar yang dijaga seorang petugas keamanan yang membawa metal detector.

Tapi entah bagaimana, aku bisa lolos dari pemeriksaannya. Tapi toh aku tak khawatir jika sewaktu-waktu harus diperiksa ketika sudah berada di dalam pasar. Aku melenggang masuk melewati gerbang yang penuh dengan hiasan ucapan selamat tahun baru dengan warna dominan biru. Tampak beberapa pohon natal di tempatkan di anak tangga teratas di sebelah pintu pasar. Yang perlu kamu tahu bahwa 5% penduduk Uzbekistan beragama Kristen Orthodox.

Aku sendiri tak langsung menaiki tangga menuju ke ruangan utama pasar, melainkan memilih berdiri di dekat pintu gerbang demi mengamati aktivitas sekitar. Mengambil beberapa foto menarik di beberapa titik. Memenuhi memori Canon EOS M10 yang setia menemaniku sejak lima tahun terakhir.

Gerbang Chorsu Bazaar.
Nah….Setelah berjibaku, sampai juga di Chorsu Bazaar.

Aktivitas tak normalku membuat security yang berjaga di gerbang lebih intens mengamatiku. Aku hanya berharap dia tak menaruh kecurigaan apapun. Bersyukurnya, segenap waktuku di sekitar gerbang tak ditegur olehnya. Aku dibiarkannya begitu saja. Mungkin dia memahami bahwa aku hanyalah seorang turis yang sedang menikmati suasana saja.

Cukup dengan beberapa gambar yang kudapat, aku pun mulai menaiki anak tangga demi anak tangga untuk memasuki ruangan pasar.

Di anak tangga teratas aku dihadapkan pada akses masuk tak berdaun pintu, melainkan hanya tirai plastik yang digunakan untuk mencegah udara dingin memasuki ruangan dalam pasar.

Aku segera menyingkap tirai itu, masuk ke ruangan pasar, dan terkesima dengan segenap isinya….

Чорсу  бекати: Bertemu Pedagang Paling Ramah se-Tashkent

<—-Kisah Sebelumnya

Masih duduk di salah satu bangku tunggu Oybek Station….

Aku antusias menikmati kesibukan warga lokal yang berlalu lalang di ruangan stasiun. Gelombang penumpang terus berdatangan dari anak tangga sisi kiri, kanan dan tengah stasiun.

Beruntung, kereta yang aku tunggu tiba dengan cepat.

Ternyata, kereta di O’zbekistan Line berpenampilan lebih garang dan maskulin. Bekelir putih dengan padanan biru navy, tetapi tetap tampak sama, berusia tua.

Seorang petugas perempuan membawa tongkat bundar berwarna merah berlari kecil di sepanjang platform mempersiapkan proses naik-turun penumpang.

Tak mau tertinggal, aku bangkit, mendekat ke kereta, melompat masuk melalui gerbong tengah, dan kembali mengambil posisi berdiri di dekat pintu.

Suasana gerbong kereta di O’zbekistan Line.

Tak berhenti lama, kereta melaju menuju barat. Menembus lorong-lorong panjang bawah tanah dengan cepat. Hanya perlu waktu sepuluh menit untuk tiba di tujuan akhirku, Chorsu Station.

Turun dari gerbong dengan cepat aku menyusuri ruangan Chorsu Station. Berbeda dengan Abdulla Qodiriy Station, Ming O’rik Station dan Oybek Station yang ruangan utamanya berbentuk persegi, Chorsu Station memiliki bentuk ruangan setengah lingkaran dengan padanan cat putih dan krem. Bentuk setengah lingkaran mampu memberikan kesan ruangan stasiun yang lebih luas.

Suasana di Chorsu Station.
Jalur keluar dari Chorsu Station.

Aku keluar dari “Shaharga Chiqish*1)” dengan menaiki tangga manual. Aku memilih exit gate itu karena terdapat “Chorzu Plaza Savdo Markazi*2)” tak jauh dari pintu keluarnya.

Keluar dari bangunan stasiun, aku kembali menoleh ke belakang, mencoba membaca sebuah signboard di atas dinding terowongan stasiun bawah tanah itu.

“Чорсу  бекати”

Aku berdiri terdiam. Mencoba membaca Aksara Kiril itu. Aku yang sebelum berangkat telah belajar untuk memahami cara membaca Aksara Kiril, dengan sangat terbata-bata mulai membacanya.

Yopsi….Eh….Yopsu….Eh, bukan….Chorsu….Oh, Chorsu Bekati….Bekati itu stasiun….Ya, itu artinya Stasiun Chorsu”, aku menyunggingkan sebelah bibir.

Kubalikkan badan kembali, pandanganku menuju ke permukaan tanah. Langkahku terhantar pada sebuah area perdagangan yang dijejali deretan tenda-tenda niaga.

Deret tenda niaga itu memenuhi ruang-ruang kosong yang diapit oleh sebuah ruas jalan dan pertokoan. Berdiri dengan jarak sangat rapat satu sama lain, lapak-lapak itu menjual buah-buahan, kacang-kacangan, pakaian, rempah-rempah, dan pernak-pernik lainnya.

Langkahku menyusuri gang-gang antar tenda menciptakan ketertarikan pada sebuah lapak tak bertenda yang dijaga oleh seorang ibu paruh baya. Dia duduk tenang menunggui roti khas Uzbekistan yang dijualnya. Non*3) adalah nama dari roti jenis itu. Aku mengetahui roti khas Uzbekistan ini dari sebuah artikel yang kubaca sebelum berangkat ke Uzbekistan.

Aku perlahan mendekat dan si ibu sepertinya memahami bahwa aku sedang menuju ke lapaknya. Kontan dia melempar senyum ketika jarakku hanya tinggal beberapa meter saja. Aku pun tak ragu melemparkan senyum balasan kepadanya.

Non….How Much?”, aku menginisiasi sebuah pertanyaan.

Nima….Nima*4)”, si ibu tampak panik dan bertanya kepada teman di lapak sebelahnya.

Demi memecahkan masalah percakapan itu, aku selalu memiliki ide sederhana.

Kukeluarkan dompet, kutarik selembar Som*5) dan kutunjukkan kepada si ibu, “How Much, mother?”. Si ibu lantas paham dan membuka kelima jarinya dan mengarahkan jarinya ke pandanganku.

Oh, Lima Ribu Som”, aku membatin.

Aku mengambil lembaran Som lain di dompet dan menyerahkan 5.000 Som kepada si ibu penjual roti itu. Si ibu dengan gesit mengambil dua buah Non, memasukkannya ke dalam plastik dan memberikannya kepadaku. Si ibu menjadi pedagang paling ramah yang kutemui pagi itu di Tashkent, dia selalu tersenyum ketika bertransaksi denganku.

Aku yang penasaran, sejenak mencicip Non yang kubeli di depan si ibu. Non yang diberikan kepadaku berasa samar manis dan meluruskan anggapanku yang kukira roti itu berasa tawar. Aku memasukkan roti ke dalam plastik kembali dan memutuskan untuk memakannya saat makan malam saja.

Sebelum berpamitan, aku meminta izin kepada si ibu untuk mengambil fotonya sebagai kenang-kenangan. Beruntung si ibu dengan baik hati memberiku izin. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Cekrak….Cekrek….Cekrak….Cekrek, aku beraksi mengambil gambar.

Tenda-tenda niaga di sekitar Chorsu Station.
Ibu baik hati penjual Non.
Pedagang sosis yang minta difoto….Hihihi.

Tetapi kejutan lain kemudian datang, mungkin iri melihat si ibu yang kuabadikan dalam Canon EOS M10 ku, seorang pria muda pedagang sosis menepuk punggungku dari belakang. Aku yang kaget segera mengalihkan pandangan dari si ibu dan menoleh ke belakang.

Photo….photo”, dia menunjuk ke Canon EOS M10 ku lalu bergantian menunjukkan dirinya sendiri.

Oh….Okay, brother….You look handsome”, aku tertawa kecil atas kejadian unik itu.

I’ll keep your photo to Indonesia”, aku menyudahi dalam mempotretnya.

Yaxshi….Yakxhi*6)”, dia mengacungkan jempolnya kepadaku.

Aku berpamitan kepada ibu penjual roti dan pemuda penjual sosis untuk meninggalkan lapaknya dan melanjutkan perjalanan…….

Keterangan Kata:

  1. Chiqish*1) = Keluar, Exit
  2. Savdo Markazi*2) = Shopping Mall
  3. Non*3) = Roti khas Uzbekistan, berebentuk bulat, berwarna mengkilat di salah satu sisinya
  4. Nima*4) = Apa
  5. Som*5) = Mata uang Uzbekistan
  6. Yakxhi*6) = Bagus

Kisah Selanjutnya—->