Tashkent Metropoliteni: Kejutan Klasik di Sepanjang Bekati

<—-Kisah Sebelumnya

Aku berdiri mematung di depan empat daun pintu kaca bertuliskan tiga kata yang diulang-ulang, yaitu Вход*1), Kirish*2), dan Entrance. Ketiganya tentu bermakna sama, yaitu “entry”.

Aku mendorong salah satunya dan memasuki ruangan yang dijaga oleh dua security pria yang menenteng metal detector di tangannya. Dia menunjuk folding back yang kupanggul dan mengalihkan arah telunjuknya ke sebuah meja. Aku paham bahwa mereka akan memeriksa tasku.

Percaya diri dan tanpa banyak tanya, aku menaruh folding bag di meja berwarna putih, kemudian salah satu dari mereka membuka resleting tasku untuk mengintip isinya.

Petugas itu hanya tersenyum dingin, memberi kode bahwa aku sudah dinyatakan aman untuk memasuki platform.

Ternyata bagiku, tak secepat yang terkira demi memasuki platform stasiun, aku bediri sejenak di depan ticket collection gate, memperhatikan dengan seksama bagaimana warga lokal menggunakan tiket kertasnya yang mirip karcis parkir demi memasuki gerbang platform.

Mudah ternyata, mereka hanya perlu untuk me-scan barcode yang tertera di tiket pada gate detector, lalu mereka akan melewati besi penghalang dengan mudah. Setelahnya, mereka akan membuang tiket kertasnya di tempat sampah yang disediakan di sisi dalam ticket collection gate.

Maka selanjutnya adalah giliranku untuk menduplikasi apa yang mereka lakukan. Aku berhasil melakukannya dengan mudah. Hanya bedanya, aku tak membuang tiket kertas itu melainkan menyimpannya sebagai sebuah kenangan perjalanan.

Berhasil melewati bagian itu, aku pun mulai menuruni tangga menuju platform. Dengan hati berdebar aku tak sabar ingin melihat nuansa klasik yang tersemat di ruangan Abdulla Qodiriy Station. Debar penasaran yang tak lain disebabkan oleh studi literatur yang memberikanku informasi bahwa desain interior semua stasiun MRT di Tashkent mengusung gaya klasik.

Dan begitu kagetnya aku ketika benar-benar tiba di tengah stasiun. Koridor stasiun ternyata memiliki platform area tak bersekat pelindung di sisi kiri-kanannya. Sementara itu, sangat jelas terlihat bahwa koridor stasiun bawah tanah itu ditopang oleh pilar-pilar besar yang berderet hingga di kedua ujung stasiun. Langit-langit koridor didesain melengkung berhiaskan gantungan lampu-lampu kristal nan klasik. Sementara itu, deretan bangku-bangku tunggu diletakkan tepat di tengah koridor dengan interval teratur.

Di sisi lain, tampak beberapa petugas keamanan berjalan mondar-mandir di tepian platform demi memastikan tidak ada penumpang yang berdiri di zona bahaya.

Ruangan bawah tanah Abdulla Qodiriy Sration.
Ngeri kan ga ada sekat pemisah antara rel kereta dan platform.

Dan tak perlu menunggu lama, tepatnya enam menit semenjak ketibaanku, kereta Tashkent Metropoliteni berwarna biru langit tiba.

Aku melompat masuk dari gerbong tengah setelah kereta itu berdecit, melambat dan akhirnya berhenti. Pagi itu, tempat duduk di gerbong dipenuhi oleh para penumpang, memaksaku untuk mengambil posisi berdiri di dekat pintu. Beberapa detik kemudian, kereta akhirnya melaju kembali meninggalkan Abdulla Qodiriy Station, stasiun yang telah berusia pakai 22 tahun di jalur Yunusobod Line.

Di dalam gerbong, mataku awas mengamati desain interior gerbong kereta Tashkent Metropoliteni. Aku teringat pada interior yang biasa terlihat di gerbong Kereta Komuter Jabodetabek. Keduanya cenderung berpenampilan tua.

Bagaimana tidak tua jika kereta Tashkent Metropoliteni yang didatangkan dari Russia itu sudah beroperasi semenjak 46 tahun silam.

Tetapi kesan lain tetap kudapatkan selama perjalanan. Para penumpang, khususnya muda-mudi Uzbekistan, mereka tampak super cantik dan super tampan dalam penampilan modis mereka. Tinggi badan mereka yang menjulang, telah menenggelamkanku yang berpostur kecil di dalam kerumunan gerbong.

Kereta Tashkent Metropoliteni di Yunusobod Line. MRT ke-17 yang kunaiki dari total 19 jenis MRT selama backpacking.
Interior di dalam kereta. Jadoel kan?

Sayangnya, dalam perjalanan menuju Distrik Chorsu, aku tak bisa langsung menuju Chorsu Station, karena stasiun itu berada di jalur kereta yang berbeda. Jadi aku harus berpindah ke Oybek Station yang terletak di O’zbekistan Line. Untuk menggapai Oybek Station, aku pun harus terlebih dahulu mencapai Ming O’rik Station yang jaraknya hanya tiga stasiun dari tempatku bertolak. Ming O’rik Station dan Oybek Station terletak di titik yang sama dan hanya terpisahkan oleh sebuah koridor penghubung.

Dalam sepuluh menit, kereta merapat cepat di Ming O’rik Station. Aku bergegas menuruni kereta dan untuk kesekian kalinya kembali berdiri di platform yang berbeda. Desain interior stasiunnya hampir mirip dengan milik Abdulla Qodiriy Station, hanya saja bentuk lampu kristal yang menggantung di langit-langit Ming O’rik Station sedikit berbeda, bentuknya lebih mirip stalaktit dan sekilas lalu menyematkan kesan modern pada Ming O’rik Station.

Satu yang menjadi masalah kemudian adalah kesulitanku dalam menemukan koridor penghubung menuju Oybek Station. Mungkin aku sendiri yang tak paham dengan Aksara Kiril yang tertera di berbagai titik. Untuk beberapa menit aku hanya mondar-mandir di sepanjang platform.

Hingga pada akhirnya, seorang petugas keamanan menyadari bahwa aku sedang kebingungan.  

Bergegas dia mendekatiku….

Where Go?”, tampaknya dia tak cakap berbahasa Inggris, tapi aku cukup paham apa maksudnya.

Chorsu Bekati*3)”, aku membalasnya singkat.

Oh….U Yerda*4)”, telunjuknya menunjuk ke atas tepat di sisi belakangku

Aku mengamati dengan cermat, memang ada tangga manual di arah yang dia tunjuk, dan ada terowongan menuju ke tempat lain dari Ming O’rik Station.

Jangan-jangan itu koridor penghubung ke Oybek Station”, aku manggut-manggut sendirian.

Thanks you, Sir”, aku menaruh respek pada petugas keamanan itu yang secara proaktif mendatangiku sebagai orang asing yang kebingungan di negerinya.

Aku meninggalkan petugas keamanan itu dan mulai menaiki tangga, untuk kemudian lindap di dalam interchange corridor.

Koridor yang kulewati tampak tua, klasik, langit-langitnya berbentuk melengkung setengah lingkaran dan dindingnya berlapis keramik dengan pola tua di sepanjangnya.

Hanya perlu waktu lima menit untuk tiba di mulut koridor di sisi yang lain.

Interchange corridor antara Ming O’rik Station dan Oybek Station.
Suasana di Oybek Station.
Oybek Station.

Di mulut koridor aku dihadapkan pada ruangan stasiun lain, Oybek Station.

Secara sekilas, Oybek Station tak memiliki ornamen istimewa di setiap jengkal koridornya. Hanyalah sematan ukiran keramik berwarna hijau yang menghias di setiap pilar stasiun.

Maka terduduklah aku di salah satu bangku demi menunggu kedatangan kereta di jalur O’zbekistan Line itu.

Satu hal yang membuatku penasaran selama duduk adalah sebuah pertanyaan sepele tentang bagaimana bentuk kereta di jalur O’zbekistan Line. Apakah mirip dengan kereta di jalur Yunusobod Line?. Pertanyaan itu akan selalu muncul oleh karena tidak adanya sekat penghalang antara platform dan jalur kereta, sehingga memudahkan siapa saja untuk melihat secara langsung gerbong kereta yang melintas.

Aku terus diam mengamati sekitar, sekaligus sumringah karena tak lama lagi akan tiba di Distrik Chorsu.

Keterangan:

Вход*1) (Baca “Vhod”) = Masuk

Kirish*2) = Entry

Bekati*3) = Stasiun

U Yerda*4) = di sana

Kisah Selanjutnya—->

Paradise Hostel: Menolak Tertangkap Petugas Keamanan

<—-Kisah Sebelumnya

Aku menyusuri jalan setapak nan sempit berbahan beton, untuk kemudian memasuki area hostel dari sisi belakang. Akhirnya aku pun tiba di pekarangan hostel.

Terimakasih, Tuhan”, aku bersyukur dalam hati, “Ternyata memang tempat ini yang kucari

Aku memang beruntung, karena secara tak sengaja telah memasuki pekarangan hostel yang sedang kucari, Paradise Hostel. Aku mengucek mata, meyakinkan sekali lagi, membaca papan nama di lokasi minim cahaya. Memastikan untuk yang terakhir kali.

Berhasil meyakinkan diri maka tanpa pikir panjang aku membuka sebuah pintu yang tak terkunci. Aku terhenyak kaget karena aku membuka sebuah pintu ruangan bersama para tamu. Tak kurang dari lima penginap tampak menikmati kopi hangat, sajian makanan, menonton TV dan bercanda bersama.

Hellooo, where is the reception desk, Sir?”, aku melemparkan tanya kepada salah satu dari mereka.

“There”, seorang pria di antara mereka menunjuk sebuah arah.

Oh, Okay, Thanks, Sir”, aku pun bergegas menutup pintu itu.

Aku mencari pintu lain yang dimaksud dan menemukan di sisi barat bangunan. Benar saja, aku menemukan meja resepsionis ketika masuk dari pintu itu.

Seorang lelaki muda tampak tenggelam dalam kesibukannya di meja resepsionis. Bukan berwajah Uzbekistan dalam pandanganku, tetapi lebih mirip berwajah Asia Selatan.

Hello, Sir. Can you check a reservation by Donny via Booking.com!”,

Hello, brother. Ok, please wait!”, dia mulai menatap layar monitor.

Yesss, I find you. For 3 nights, isn’t?

Yes, I had guaranteed my booking with a credit card. Can you check it?

Wait”, tatapannya kembali ke layar monitor. “I didn’t find any payment in your booking. I think you must pay your room in the hostel”.

Let me check my credit card account”, aku sibuk memeriksa aplikasi kartu kredit salah satu bank nasional di layar telepon pintarku.

Okay, no billing on my credit card. How much must I pay?”

280.000 Som

Aku menyelesaikan pembayaran dengan cepat, untuk kemudian pria muda itu memberikanku kunci kamar dan menunjukkanku lokasi kamar, dapur bersama, ruang tamu bersama, ruang makan bersama dan kamar mandi bersama khusus pria…..Begitulah, semua serba “bersama” jika kamu menginap di sebuah dormitory. Tapi itu asyik loh, gaes…..Wkwkwkwk.

Aku telah mendapatkan kamar, memasukinya, dan kemudian duduk di salah satu bunk bed. Untuk sejenak aku menghangatkan badan yang beku setelah setengah jam lamanya berjibaku di jalanan Tashkent tanpa persiapan.

Tempat tidurku bersama sekelompok turis Turki.
Tempatku makan dan berkenalan dengan turis dari berbagai negara.

Perlahan aku membuka backpack, mengaduk-aduk isinya, mencari dua kerat roti yang kudapat dari penerbangan Uzbekitan Airways HY 554. Aku juga masih menyimpan beberapa snack pemberian Dasha, penumpang wanita yang duduk di sebelahku selama penerbangan.

Aku yang kelaparan, menyantap sisa makanan yang kupunya di ruang tamu bersama. Aku tak mempedulikan tatapan aneh para tamu-tamu Turki yang sedang berkumpul di ruang yang sama.

Tak lupa aku menyisakan sebungkus kecil biskuit untuk sarapan esok hari. Tak mungkin bagiku keluar mencari makanan malam itu.

Untuk sementara aku merasa tenang, kenyang dan relaks.

Membuatku cepat terlelap di atas bunk bed usai membasuh badan di bawah shower hangat Paradise Hostel.

—-****—-

Pagi sekali…..Masih gelap di Tashkent.

Jam 6 pagi tepatnya……

Paradise Hostel masih senyap, lampu di semua ruangan masih padam. Aku berjinjit ke kamar mandi hanya untuk menggosok gigi, membasahi rambut dan mencuci muka. Aku tak akan mandi pagi itu. Begitulah kebiasaan diri saat ber solo-traveling, aku hanya akan mandi ketika hendak beranjak tidur malam saja….Jangan ditiru ya….Kebiasaan jorok itu….Hahaha.

Aku masih memiliki sebungkus kecil biskuit dan sebungkus salted peanuts yang bisa kunikmati sebagai menu ringan sarapan. Air minum hangat?….Ya, aku menemukannya dengan mudah di pantry bersama hostel.

Menjelang pukul tujuh pagi, dua staff Paradise Hostel mulai bangun dan membersihkan ruangan. Sepertinya mereka tinggal di dormitory itu. Seorang staff tampak masih muda, berparas cantik dan berambut panjang kepirangan khas gadis Uzbekistan. Seorang lagi adalah perempuan setengah baya yang aku tebak adalah ibu gadis itu. Wajahnya tampak mirip.

Nantinya, selama tiga malam menginap di dormitory itu, dua perempuan super baik itu akan menjadi teman mengobrol yang menyenangkan bagiku.

Pukul delapan….Beberapa penginap sudah mulai bangun dan duduk di ruang bersama. Bahkan,  satu rombongan pejalan dalam waktu singkat memenuhi ruangan, hampir seluruh bangku di meja makan berukuran panjang diakuisisi oleh mereka.

Tiga gadis muda dalam rombongan sibuk menuangkan berbagai macam makanan. Berkerat-kerat roti, potongan keju yang melimpah dan berbungkus-bungkus biskuit mereka hidangkan di meja panjang. Sesaat kemudian, sekitar enam belas anggota rombongan bersarapan bersama dengan duduk berhadap-hadapan. Mereka sepertinya rombongan mahasiswa yang sedang melakukan perjalanan bersama.

Aku yang sendirian dan tak berteman memilih untuk menepi dan duduk di sebuah sofa depan TV dan menikmati menu sarapan super sederhanaku.

Pukul sembilan pagi,…..

Aku melongok keluar jendela. Tampak jalanan kecil di depan hostel sesekali dilintasi oleh warga lokal yang sudah memulai aktivitas rutinnya. Satu dua mobil mulai dinyalakan untuk memanasi mesin.

Saatnya memulai eksplorasi”, aku merengkuh winter jacket yang kusampirkan di sebuah kursi.

Bagian depan Paradise Hostel.

Sewaktu kemudian aku sudah berada di tepian Navoiy Shoh Ko’chasi. Menuju ke timur, aku berusaha mengalahkan dinginnya suhu -4oC.

Aku bermaksud menuju ke Abdulla Qodiry Station dan akan mengunjungi Distrik Chorsu.

Di sebuah trotoar, aku yang terpesona dengan bentuk-bentuk bangunan khas Uzbekistan di sepanjang jalan memutuskan untuk sesekali berhenti demi mengabadikan pemandangan kota.

Pada satu titik, aku diteriaki oleh seorang security dari sebuah kantor pemerintah. Aku tahu bahwa teriakan itu tertuju padaku, sepertinya dia hendak melarangku untuk mengambil foto. Aku meliriknya yang sedang berlari kecil dari halaman gedung menuju ke trotoar tempatku berdiri.

Aku yang paham kondisi itu memutuskan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu secepat kilat. Berpura-pura tidak mengetahui keberadaan secutiry itu, aku melangkah cepat meninggalkan lokasi.

Beberapa detik kemudian, tanpa menengok ke belakang pun aku tahu bahwa security bertubuh tegap itu berhenti lalu memandangiku dari kejauhan. Dia enggan mengejarku karena aku sudah terlalu jauh untuk dikejar olehnya.

Aku sepenuhnya paham bahwa pada masa lalu tidak sembarangan orang boleh mengambil foto di jalanan Uzbekistan. Mungkin pemerintah Uni Soviet merasa perlu menjaga diri di masa perang dingin dari tindak spionase.

Memang aturan mengambil foto itu telah dihapuskan tetapi toh kenyataannya beberapa warga mereka masih merasa aneh ketika seorang asing mengambil foto di tempat-tempat umum.

Suasan trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi.
Gedung National Library of Uzbekistan.
Ruangan bawah tanah Abdulla Qodiry Station.

Usai menyeberangi lebarnya Amir Temur Ko’chasi dan menempuh jarak hampir 1 Km, aku tiba di stasiun.

Aku menuruni tangga menuju ruangan bawah tanah. Sejenak aku menikmati udara hangat di ruangan bawah tanah itu. Aku berhenti sejenak mengamati situasi, berusaha memahami bagaimana warga lokal membeli tiket MRT.

Sebuah loket tampak dijejali warga lokal yang mengantri untuk mendapatkan tiket. Ada selembar kertas bertuliskan 1,400 Som di atas lubang loket. Aku yakin bahwa nominal itu adalah harga tiket MRT.

Aku mempersiapkan uang koin sisa menaiki bus kota semalam dan mulai mengantri di loket. Usai mendapatkan tiket, aku pun mencari pintu masuk menuju platform.

METROGA KIRISH”. Aku melihat signboard berwarna kuning tergantung di langit-langit koridor.

Aku yakin itu adalah pintu masuk menuju platform. “KIRISH” bermakna akses dalam Bahasa Indonesia.

Tanpa ragu sedikitpun….Aku pun melangkah memasukinya.

Kisah Selanjutnya—->