Korzinka: Penyelamat Makan Malam

<—-Kisah Sebelumnya

Navoiy Shoh Ko’chasi menjelang pukul tujuh malam.

Memunggungi Stasiun Abdulla Qodiriy, aku berusaha menyembunyikan rasa pengecut yang muncul karena panik menghadapi suhu udara 1oC. Tanganku mulai kaku, nafas terasa berat, ditambah lapar yang mulai menyertai setiap ayunan langkah.

Aku terus menatap ke depan ketika melangkah di sepanjang sisi timur Amir Temur Shoh Ko’chasi demi mencari perempatan terdekat untuk merubah haluan ke barat.

Lalu lintas tampak ramai sore itu. Beberapa wakku kemudian, aku tiba di perempatan yang dimaksud. Berdiri di pangkal zebra cross, aku diperhatikan oleh dua polisi bertubuh tegap yang sedang mengatur lalu lintas. Aku yang merasa was-was karenanya bisa bernafas lega karena seusai lampu merah menyala, mereka dengan baik hati membantuku menyeberang dengan memastikan tak ada kendaraan yang melintas selama lampu merah menyala. Walau wajahhnya tampak garang dan galak, aku tak meragukan kebaikan hati kedua polisi itu.

Aku berhasil menyeberangi Amir Temur Shoh Ko’chasi yang memiliki lebar tak kurang dari dua puluh lima meter, untuk kemudian menyusuri trotoar sisi utara Navoiy Shoh Ko’chasi demi menuju Paradise Hostel tempatku menginap.

Namun satu hal yang masih mengganjal di setiap langkah semenjak keluar dari Abdulla Qodiriy Station. Itu karena aku tak kunjung menemukan satu pun kedai food street. Padahal aku membutuhkan seporsi makanan apapun untuk makan malam. Alhasil, aku hanya bisa pasrah jikalau aku memang tak bisa mendapatkan menu makan malam. Aku sudah menyiapkan rencana untuk menyantap saja dua buah “Non” yang sempat aku beli di Chorsu Bazaar pada pagi sebelumnya.

Mataku tetap awas di sepanjang Navoiy Shoh Ko’chasi untuk menemukan kedai food street, namun kurasa mustahil untuk menemukannya, karena aku baru paham bahwa trotoar yang kulalui berada di jalur protokol kota. Setiap jengkal sisi trotoal dijejali perkantoran kelas atas.

Apapun itu….

Ternyata pertolongan Tuhan itu muncul ketika langkahku semakin dekat dengan lokasi penginapan. Aku tetiba melihat dua wanita paruh baya menenteng dua tas berisi belanjaan. Aku mendekat menuju gedung tempat kedua wanita itu keluar.

“KORZINKA”, aku membacanya pelan-pelan.

Mataku awas mengawasi sisi dalam bangunan yang bisa dilihat jelas dari jendela kacanya yang bening dan lebar. Tampak dengan jelas deretan etalase produk seperti layaknya supermarket pada umumnya. Maka aku memutuskan untuk masuk ke dalamnya. Dan sungguh riang hati, ketika tahu bahwa aku benar-benar berada di sebuah supermarket.

Saatnya mencari menu makan malam dan sarapan untuk esok hari”, aku bergumam menang.

Etalase “Non” di Korzinka.
Cari kopi mini sachet di Korzinka.
Berbelanja di Korzinka bersama masyarakat lokal.
Sampai jumpa lagi Korzinka.

Nantinya aku tahu bahwa Korzinka adalah jaringan supermarket terkenal di Uzbekistan.

Setengah jam lamanya aku berbelanja di Korzinka, itu karena begitu senangnya hati menemukan supermarket yang berlokasi sangat dekat dengan penginapan, hanya berjarak kurang lebih seratus meter saja, sehingga tak membuatku khawatir untuk berlama-lama dalam berbelanja di Korzonka.

Inilah daftar belanjaanku sore itu:

  1. Roti “Non”                       :   2.800 Som
  2. Jus Apel Kemasan         :  10.490 Som
  3. Enting-Enting Kacang   :   6.490 Som
  4. Kopi sachet mini  4gram :  4.480 Som

Total  :     24.260 Som atau setara dengan Rp. 33.500

Aku pulang dengan menenteng belanjaan. Aku tak lagi khawatir akan menu sarapan esok hari. Bahkan aku berencan untuk menyeduh kopi yang kubeli saat bersarapan, karena penginapan menyediakan pantry yang memiliki pemanas air.

Aku tiba di Paradise Hostel sekitar pukul setengah tujuh malam.

Sangat kaget ketika tiba, ruangan kamar sangat ramai, itu karena para pejalan asal Turki sedang berkumpul dan bercakap. Aku yang tak mau diam saja, berusaha untuk bergabung dalam percakapan mereka sebelum mandi. Aku berusaha berkenalan dengan pejalan sekamar.

Bahkan malam itu sungguh istimewa, share lobby dipenuhi para tamu hostel. Kembali aku melibatkan diri untuk aktif dalam setiap percakapan hangat dengan mereka sembari menikmati “Non” dan menikmati jus apel segar yang kubeli beberapa jam sebelumnya di Korzinka.

Saatnya istirahat sejenak setelah seharian berpetualang.

Penutup malam keduaku di Tashkent meninggalkan kesan indah nan menyenangkan.

Berkejaran dengan Gelap di Sepanjang O’zbekistan Yo’li

<—-Kisah Sebelumnya

Langkahku menuruni anak tangga di gerbang Stasiun G’afur G’ulom terus diperhatikan oleh seorang wanita yang tampak cantik dalam balutan winter jacket berwarna pink, dia berhenti di tangga jeda demi berbicara dengan seseorang melalui telepon pintarnya. Aku paham bahwa wanita itu berdiri di tangga jeda juga untuk menghindari hawa dingin yang sore itu juga mulai menembus winter jacket bekas yang kukenakan.

Aku mengindahkannya ketika tepat berpapasan dengannya. Mataku lebih tertarik memperhatikan ruangan di ujung lorong, bertanya-tanya dalam hati, kejutan apa lagi yang akan aku temukan di ruangan stasiun mengingat ruangan di setiap stasiun Tashkent Metropoliteni memiliki desain klasik yang berbeda-beda.

Sore itu, aku tak kebingungan lagi tentang bagaimana harus mendapatkan tiket one-way, mengingat pada pagi sebelumnya, aku untuk pertama kalinya membeli tiket Tashkent Metropoliteni di Stasiun Abdulla Qodiriy.

Aku menyerahkan 1.300 Som kepada kasir di loket stasiun. Sesudahnya akan memasuki pintu masuk yang dijaga oleh petugas keamanan. Hanya perlu untuk membuka tas untuk diperlihatkan kepadanya hingga aku diizinkan memasuki peron setelah dinyatakan aman.

Seperti yang kuduga, kembali terpesona, aku terpesona dengan ruangan bawah tanah stasiun yang ditopang oleh tiang-tiang raksasa berwarna hijau dengan lekukan-lekukan klasik di sepanjangnya. Sedangkan langit-langit stasiun dipenuhi dengan pola-pola lingkaran yang dilengkapi lampu-lampu penerang di setiap pusat lingkarannya. Sungguh perwujudan desain interior yang mengesankan.

Peron Stasiun G’afur G’ulom.

Lima menit menunggu, kereta putih berkelir biru datang dari salah satu lorong, decit rodanya memekakkan telinga, getarannya terasa di peron tempatku menunggu.

Sepertinya inilah kereta yang harus kunaiki”, aku membatin.

Benar saja, itulah kereta yang akan membawaku menuju Stasiun Oybek. Tanpa pikir panjang aku melompat masuk di gerbong belakang setelah kereta berhasil menghentikan lajunya. Untuk beberapa detik berhenti, menurunkan dan menaikkan penumpang, maka kereta itu kembali melanjutkan perjalanan.

Aku bersandar pada sebuah tiang di dalam gerbong, menikmati rasa capek usai berjalan kaki seharian, hanya bersandar terpaku, melamun, menyerahkan diri mengukiti laju kereta.

Setidaknya aku harus melewati tiga stasiun lain sebelum tiba di Stasiun Oybek sebagai stasiun transfer menuju Yunusobod Yo’li. Tiga stasiun yang kumaksud adalah Stasiun Alisher Navoiy, Stasiun O’zbekiston, dan Stasiun Kosmonavtlar.

Aku sadar, kesalahanku hanya satu ketika berada di O’zbekistan Yo’li ini, yaitu tidak mencoba berhenti di Stasiun Kosmonavtlar yang konon memiliki desain super klasik nan megah.

Aku melewatkannya begitu saja hingga akhirnya sampai di Stasiun Oybek, untuk kemudian melalui lorong penghubung antar stasiun aku berhasil sampai di Stasiun Ming O’rik.

Stasiun Ming O’rik kembali memamerkan desain klasik lainnya. Memang tiang penyangga ruangannya tampak biasa saja, namun rasa klasiknya terletak pada desain lampu yang diinstall di langit-langit ruangan stasiun. Desainnya mirip stalagtit, unik tetapi tak meninggalkan sisi kewibawaan dari gaya arsitekturnya.

Menunggu selama enam menit, ternyata kereta yang datang memiliki beda bentuk dari kereta O’zbekistan Yo’li. Sore itu, kereta yang datang berwarna sepenuhnya biru langit, berbentuk kotak sempurna dengan usia gerbong yang nampak tua. Aku melompat di gerbong depan demi memasukinya. Kursi gerbong depan dipenuhi oleh penumpang lokal yang tampaknya baru saja pulang dari kantornya masing-masing. Aku memilih berdiri tepat di dekat pintu kereta, karena stasiun tempatku turun tidaklah jauh. Untuk turun di Stasiun Abdulla Qodiry, aku hanya perlu melintasi satu stasiun saja, yaitu Stasiun Yunus Rajabiy.

Peron Stasiun Ming O’rik.
Interior kereta di Yunusobod Yo’li.

Dalam delapan menit aku tiba…..

Maka aku telah berada di titik awal petualanganku kembali.

Aku beranjak keluar dari bawah tanah untuk naik ke plaza stasiun di permukaan. Berhasil menginjakkan kaki di plaza, gelap pun menyambutku. Gemerlap lampu telah berpendar di setiap bangunan di sekitar stasiun. Udara juga semakin dingin terasa.

Plaza di Stasiun Abdulla Qodiriy.
Plaza di Stasiun Abdulla Qodiriy.

Aku yang tak mampu berlama-lama di area plaza, segera beranjak menuju penginapan yang jaraknya hanya berkisar satu kilometer saja dari Stasiun Abdulla Qodiriy.

Kisah Selanjutnya—->

Tatapan Perpisahan di Pintu Keluar Dhzuma Mosque

<—-Kisah Sebelumnya

Pelataaran selatan Dhzuma Mosque.

Tuan Khadirjon mendahului langkah, memimpinku menuju ke pelataran lain yang membentang di sisi selatan bangunan besar masjid berkubah hijau rumput.

Memasuki gerbang masjid, dia berkali-kali disapa oleh anak-anak muda yang melintas. Aku yang berusaha terus menyejajari langkahnya, mulai menaruh rasa kagum yang sesungguhnya.

Pasti ini orang penting….Lebih dari perkiraanku sebelumnya”, aku sesekali mencuri momen untuk menatap wajahnya dari samping.

Menyusuri pelataran sisi selatan masjid, arus pengunjung sedikit tersendat karena keberadaan tumpukan pasir dan material bangunan di sepanjang pelataran. Beberapa bagian masjid memang sedang direnovasi.

Ada satu waktu Tuan Khadirjon berhenti, berjongkok dan menyingkirkan beberapa batu bata yang berserakan di tengah pelataran. Aku terkejut dan spontan membantunya merapikan batu bata itu.

These bricks can disturb congregation, Donny

Sure, Sir

You are good person, Donny”, dia menatapku sembari berjongkok

You are better than me, Sir Khadirjon”, aku melempar senyum atas tatapannya.

Come on, Donny!….Adzan had came” dia berdiri menuntunku menuju tempat berwudhlu.

Tempat wudhu diletakkan di bangunan terpisah di belakang pelataran. Tiba di depan bangunan tempat bersuci, aku diam sebentar, memperhatikan lalu lalang pengunjung masjid, melihat bagaimana mereka berwudhu.

Kuperhatikan dengan seksama,

Pertama mereka akan menaruh jaket tebal musim dingin di sebuah gantungan yang ada di atas setiap kran, kemudian duduk pada tempat duduk beton yang disediakan di depan kran, lalu melepas sepatu boots berukuran besar beserta kaos kaki tebalnya.

Tempat berwudhu Dhzuma Mosque.
Mari mengantri untuk berwudhu.

Seusai berwudhu, maka mereka akan mengambul kertas tisu tebal yang ada di atas kran untuk mengelap kaki yang basah. Seumur hidup baru kali ini aku melihat wudhu yang diakhiri dengan mengelap kaki menggunakan kertas tisu. Mungkin karena suhu yang dingin di Tashkent yang menyebabkannya demikian. Sebuah prosesi wudhu yang cukup lama untuk setiap orangnya. Membuatku lama mengantri demi mulai bersuci.

Usai mendapatkan gilirian, aku menduplikasi apa saja yang telah kulihat. Agak sedikit gugup dan gelagapan ketika mulai membuka winter jacket hingga mengelap kaki dengan kertas tisu gulung yang tebal. Itu karena seorang pemuda yang mengantri tepat di sebelah terus melihat prosesiku bersuci. Aku mengakhiri wudhu, bangkit dan menjabat tangan si pemuda yang mengantri itu.

Wa’alaikumsalam, Brother”, dia menjawab salam yang kulempar.

Come on, Donny”, Tuan Khadirjon melambaikan tangannya di mulut pintu. Tampaknya dia sudah selesai bersuci sedari tadi.

Aku mengangguk dan kembali melangkah menuju masjid bersamanya.

Memasuki bangunan masjid, Tuan Khadirjon mendorong daun pintu nan lebar dan tinggi, aku pun menguntit Tuan Khadirjon dari belakang, memasuki sebuah ruang antara. Ruangan yang kumasuki tempak kosong selebar tiga meter, untuk kemudian aku memasuki pintu kedua di dalam ruangan, setelahnya aku baru bisa melihat jama’ah shalat Dzuhur yang sudah memenuhi ruangan utama. Menjalankan shalat sunnah qabla Dzuhur aku terduduk khusyu’ bersama jama’ah lainnya. Menunggu iqamah dikumandangkan.

Berbaur dengan para jama’ah lokal.

Akhirnya beberapa saat kemudian, waktu itu tiba. Kami dalam satu ruangan menjalankan ibadah Shalat Dzuhur berjama’ah dengan khusyu’. Ini menjadi shalat berjama’ah pertamaku di Tashkent. Shalat empat raka’at berjalan lambat dan aku menikmati lantunan demi lantunan ayat suci yang dilantunkan hingga shalat usai.

Melantunkan dzikir dan melantunkan do’a juga telah usai. Tuan Khadirjon tampak bangkit dan melangkah mendekatiku. Aku menyusulnya bangkit, beliau merentangkan kedua tangannya dan memelukku sambil berdiri.

I know you will continue your journey, Donny”, dia tersenyum menatapku

Yes, Sir. Khadirjon. I must go now. Thank you for your kindness”, aku memegang pundak kanannya.

Sampai jumpa lagi Dhzuma Mosque.

Mengucapkan salam, aku pun pergi. Memunggungi Tuan Khadirjon, aku bergegas menuju pintu keluar. Dalam beberapa detik aku sudah berada di halaman, diam sejenak, menatap ke timur dan menetapkan langkah berikutnya

Hazrati Imom Majmuasi” aku berujar pelan.

Kisah Selanjutnya—->

Pilav dan Kegagalan Menyeruput Teh Hangat

<—-Kisah Sebelumnya

Masuk dari lantai bawah, aku terhenti dalam beberapa langkah, tertegun dengan tata letak lapak di Chorsu Bazaar. Mengikuti bentuk lingkaran bangunannya, deretan lapak pun disusun dengan pola melingkar, berpusat di titik tengah ruangan. Tata letak yang efektif, efisien, juga penuh gaya.

Aku mulai menyusuri lantai pertama pasar yang didominasi oleh penjual daging, sosis, keju, sayur-mayur, buah-buahan dan bahan pangan lainnya. Sibuknya aktivitas pasar membuat para pedagang tak mempedulikanku ketika memfoto aktivitas mereka ketika melayani pembelian para pelanggannya.

Aku yang kagum dengan aktifitas dan kebersihan pasar, harus mengitari lantai bawah pasar hingga dua kali sembari menikmati atmosfer perniagaan di dalamnya.

Lapak sekitar pintu masuk yang kulalui.
Chorsu Bazaar dari atas.

Selesai pada putaran kedua, aku mendongak ke atas, melihat sekilas apakah aktivitas di lantai itu sama bergeliatnya. Kuperhatikan dengan seksama, riuh rendah teriakan para pedagang menggema di langit-langit pasar. Aku yang tak bisa menahan rasa penasaran, mengarahkan pandangan ke bagian paling belakang deretan lapak lantai satu. Aku fokus mencari akses tangga menuju ke lantai atas.

Bersyukur aku menemukannya dengan cepat. Aku mendekatinya, entah kenapa banyak tercecer tumpahan lumpur tipis di sekitar anak tangga. Seorang petugas tampak sedang berjibaku membersihkannya dengan floor wiper. Mungkin lapisan tipis lumpur itu adalah residu dari bongkar muat ikan air tawar yang dijual di lapak paling belakang

Aku harus sedikit berjingkat demi menggapai anak tangga pertama. Aku berhasil melalui lapisan lumpur dan mulai menaiki anak tangga menuju ke lantai atas.

Setiba di lantai atas, aku langsung membuat kesimpulan bahwa lantai dua Chorsu Bazaar digunakan sebagai pasar kering dimana manisan kering, buah-buahan kering, navat (gula batu), parvarda*1), kacang-kacangan, kismis, apricot, saffron diperjualbelikan.

Melihat lantai bawah dari atas, menyematkan kesan indah di sejauh mata memandang. Susunan melingkar lapak tampak rapi dan teratur. Balon warna-warni dibentangkan dari sudut ke sudut bangunan, berhasil menambahkan suasana meriah di ruangan pasar.

Pedagang di lantai atas ternyata lebih agresif, berkali-kali mereka menjemput kedatanganku dengan menawarkan barang dagangan. Seorang pedagang pria bahkan terus mengikuti setiap langkahku sembari menawarkan saffron.

Best saffron from Kashmir, brother”, dia menyejajari langkahku sembari terus menatap mukaku yang kuarahkan ke tempat lain.

Thanks, brother. I come here just to sightseeing”, aku menegaskan maksud.

Hampir mengikutiku sejauh setengah putaran pasar hingga akhirnya dia menyerah karena usahanya tak kunjung membuahkan hasil. Dia berbalik badan dan membiarkanku lepas dari incarannya.

Doi minta difoto setelah lelah mengejarku.

Aku yang telah selesai mengelilingi lantai atas satu putaran penuh, memutuskan untuk turun. Aku menuruni tangga yang sama disaat naik, lalu keluar dari pintu bertiraikan plastik di lantai bawah.

Dalam sekejap, aku sudah berada di luar bangunan pasar kembali.

Petualangku selama 45 menit di Chorsu Bazaar usai, bahkan berhasil membuatku lapar. Maka aku menyempatkan diri untuk mencari kedai makan di sekitar pasar. Akan tetapi mengitari bagian luar Chorsu Bazaar untuk mencari makanan ternyata tetap tak membuahkan hasil.

Perut yang keroncongan akhirnya mengingatkanku pada sebuah kedai yang menggoreng nasi di tepian jalan dan sempat kulihat sebelum menuju Chorsu Bazaar beberapa menit sebelumnya.

Menemukan ingatan di kepala, aku pun tersenyum dan dengan cepat meninggalkan Chorsu Bazaar. Aku bergerak tangkas menuju kedai makan yang dimaksud.

Derean kedai makanan dekat Chorsu Bazaar.
Pilav.

Menghafalkan rute dengan baik, aku tiba di lokasi dalam tujuh menit. Semua pintu di deret kedai makan tampak sama. Aku susah membedakan pintu mana yang menjual “nasi goreng” yang dimaksud. Aku juga tak melihat pemuda yang beberapa menit sebelumnya kulihat memasak di tepian trotoar.

Maka kulongokkan muka dari pintu ke pintu untuk menemukan masakan itu. Tiga pintu yang kulongok tak membuahkan hasil. Hingga akhirnya pada pintu keempat, aku melihat seorang pria berumur yang mengangkat penggorengan besar dan menumpahkan isinya ke lima piring kosong nan lebar.

Itu dia”, aku bersorak dalam hati.

Aku yang antusias, memberanikan diri masuk ke pintu yang berhadapan langsung dengan dapur dan meja kasir.

Seorang perempuan berkerudung dan bersepatu boots menyambutku, dia tampak modis dan cantik.

A portion….that food, Mam!”, aku menunjuk nasi goreng di sebuah penggorengan yang asapnya menebarkan bau super sedap.

Da*2)……”, dia mengangguk dengan ekspresi wajah datar sembari menunjuk ke arah bangku kosong.

Aku yang menahan lapar, menyeret langkah dan duduk di meja yang dimaksud.

Tak lama, makanan pesananku datang dan disajikan di meja makan. Terdapat tiga potongan roti berukuran sedang yang disuguhkan bersama seporsi nasi bertabur rempah, daging domba, telur puyuh dan sedikit sayur.

Tak berpikir panjang, aku segera menyantapnya. Tetapi gigitan pertamaku pada roti memberikan kesan tawar. Maka kuputuskan untuk memasukkan tiga kerat roti itu kedalam plastik dan menenggelamkannya di dalam folding bag.

Lebih baik untuk makan malam nanti saja”, aku cengar-cengir sendirian.

Dengan lahap aku menyantap makanan itu. Sendok dan garpu berkelontangan beradu dengan piring.

Fokus pada makanan, membuatku tak memperhatikan jika sewaktu kemudian empat sekawan datang dan duduk di bangku sebelah. Mereka berempat sepertinya mahasiswa dan sedang riuh rendah bercakap-cakap di sisi kananku.

Ramainya suasana di bangku sebelah membuatku mengarahkan pandangan kepada mereka. Aku menatap mereka ketika mereka berempat kompak melihatku yang sedang rakus menyantap makanan. Aku tersenyum kepada mereka ketika sesendok nasi masih kukunyah di mulut.

Aku pun segera menelannya dengan cepat. Kemudian mengajukan pertanyaan singkat pada keempat pria muda itu.

What is the name of this?”, aku menunjuk pada hidangan yang kumakan.

Pilav….That is Pilav3*), our typical food”, salah satu dari mereka yang berpostur paling tinggi menjawab.

Oh, Pilav…..Nice food”, aku menimpali.

Melihat Pilav membuatku  teringat oleh makanan dengan penampilan yang sama. Namanya Pullao, makanan asal Pakistan yang pernah kusantap ketika mengunjungi Qatar. Cuma waktu itu Pullao tersebut dimasak oleh seseorang hanya dengan bercampukan sayuran dan kacang-kacangan.

Enjoy that….”, pemuda itu menambahkan dan menutup percakapan.

Sure…”, aku kembali menghadapi makananku.

Aku menyantapnya kembali ketika pilav itu mendingin dengan cepat oleh sebab dinginnya udara sekitar.

Porsinya yang banyak dan kondisinya yang sudah dingin memaksaku untuk memindahkan separuh porsi pilav itu ke dalam foldable lunch box. Aku bisa memanfaatkannya untuk makan malam.

Usai sudah menyantap pilav.

Aku melangkah ke meja kasir untuk meminta sesuatu….

Can you serve me a cup of tea?”, aku menunjuk pada sebuah tea pot yang terletak di sebuah meja makan.

Nima?*3)”, dia mengambil kalkulator dan menujukkan angka 27.000 padaku

Tea….Please!”, aku menegaskan bahwa aku belum bermaksud menyudahi makan siangku

Rupanya nona cantik itu tak paham dan hanya tersenyum melihatku.

Aku yang sudah kehabisal akal memutuskan untuk menyudahi saja makan siangku dan membayar pilav yang sudah aku santap.

Sudahlah, aku membalikkan punggung dan meninggalkan kedai itu.

Keterangan:

Parvarda*1) : Caramel khas Uzbekistan yang sangat populer, berbentuk manisan kecil yang dilapisi tepung.

Da*2): OK

Nima?*3) : Apa

Kisah Selanjutnya—->

Chorsu Bazaar: Tertegun pada Lapak Kaki Ternak

<—-Kisah Sebelumnya

Dengan tegas, aku mengarahkan langkah menuju Chorsu Bazaar, sebuah pasar tradisional terbesar di Kota Tashkent atau boleh dikatakan sebagai pasar tradisional tertua di kawasan Asia Tengah.

Dari pelataran atas stasiun bawah tanah Chorsu, aku bersusah payah mencari jalur menuju jalan arteri. Aku sepenuhnya paham bahwa Chorsu Bazaar terletak di utara tempatku berdiri dan jalan arteri untuk menujunya berada di sisi barat, itu berarti bahwa aku harus berjalan memutar demi menuju pasar tradisional yang sudah berdiri sejak Abad Pertengahan tersebut.

Maka melangkahlah aku ke barat, melewati jalur kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Jalur itu membawaku melintasi Chorsu Gold Center yang merupakan pusat perdagangan emas terbesar di Tashkent. Sentra emas itu sengaja dibangun oleh pemerintah Uzbekistan untuk melawan dominasi brand perhiasan emas dari luar negeri.

Aku berhenti sejenak di depan sentra emas itu, memperhatikan antrian warga lokal di depan bangunan kecil bertajuk “Bankomat ATM”.

Pasti mereka menarik uang tunai untuk berbelanja emas di sentra emas itu”, aku mengambil kesimpulan cepat.

Chorsu Gold Center.
Toko souvenir.

Sementara itu, membalikkan badan ke arah seberang, aku mendapati sebuah toko besar yang menjual souvenir khas “Negeri Jalan Sutera”. Karpet berpola khas, guci klasik dari berbagai macam bahan dan pernak-pernik lain yang tersusun di etalase dengan mudah bisa dilihat dari luar toko. Tetapi aku toh tetap tak mengindahkan keberadaannya.

Justru aku lebih tertarik pada sebuah lapak tanpa tenda dimana seorang pria paruh baya menjual potongan kaki ternak yang ramai dengan antrian pengunjung. Aku yang beruntung melihat pemandangan itu, memutuskan untuk mengambil foto beberapa momen transaksi jual beli di lapak mungil itu. Untuk beberapa saat, langkahku tersangkut di lapak kaki ternak yang baru pertama kali kulihat dalam hidup.

Hingga akhirnya aku mencukupkan diri mbengambil foto transaksi jual beli ketika si bapak penjual menatap dan tersenyum lebar melihat kehadiranku.

Wonderful, Sir….Thank you for this special moment”, aku bercakap kepadanya yang entah dia paham atau tidak..

Penjual kaki ternak.

Aku berhasil menggapai tepian Saqichmon Ko’chasi*1), lalu tersenyum menatap utara. Jalanan sedang macet-macetnya menjelang pukul sebelas siang. Sepanjang mata memandang, jalan arteri itu dipenuhi oleh brand Chevrolet, compact car varian The New Chevrolet Spark  tampak mendominasi kepadatan jalan. Konon, Chevrolet memang mendominasi pangsa pasar mobil di Uzbekistan.

Di sisi lain, di sepanjang trotoar yang kulintasi, aktivitas perdagangan tepi jalan juga sangat bergairah. Gerobak-gerobak beroda berjajar rapi dan menawarkan berbagai makanan, buah-buahan dan hasil bumi lainnya.

Bahkan beberapa puluh meter kemudian, aku menemukan deretan kedai makan yang telah bergeliat dengan aktivitas memasak. Aku tertegun di satu titik, tempat dimana seorang pria muda sedang mengaduk-aduk nasi di sebuah wajan besar, dia sengaja memasak di atas perapian yang diletakkan di tepian trotoar. Bau rempahnya kuat menusuk indra pencium, otomatis membuatku lapar.

Nasi goreng macam apakah ini?”, aku bertanya dan terkekeh dalam hati.

Tapi belum saatnya untuk makan….Aku harus segera sampai di Chorsu Bazaar”, aku memutuskan untuk menghampiri lagi kedai makan itu setelah mengeksplorasi Chorsu Bazaar.

Saqichmon Ko’chasi yang macet.

Aku meneruskan langkah kaki, melewati area parkir yang sangat luas. Sepertinya itu adalah area parkir khusus untuk pengunjung Chorsu Bazaar, karena aku telah melihat bangunan besar dengan atap sepenuhnya berbentuk kubah warna biru.

Itu pasti Chorsu Bazaar yang sedang kutuju”, aku menatapnya lekat-lekat dari area parkir.

Aku yang sumringah, melangkah lebih cepat demi menggapai gerbang Chorsu Bazaar.

Akhirnya aku sampai……

Aku sendiri tak terburu-buru masuk, aku lebih memilih duduk di pelataran luasnya. Pengelola pasar setempat tampaknya sangat mengerti kebutuhan warga dan wisatawan dengan menyediakan tempat duduk yang nyaman di sekitar pasar.

Aku memilih salah satu bangku beratap dan ternyata betah duduk di bangku itu. Suhu 4oC tak mengalahkan rasa antusiasku untuk menikmati kesibukan di sekitar gerbang masuk. Chorsu Bazaar jika dilihat sepintas lalu, lebih tampak seperti sebuah shopping mall yang besih dan bergaya.

Untuk beberapa saat, aku menikmati duduk manisku di bangku mungil itu.

Hanya saja, karena tak mau didahului siang, aku pun bangkit dan menuju gerbang pasar yang dijaga seorang petugas keamanan yang membawa metal detector.

Tapi entah bagaimana, aku bisa lolos dari pemeriksaannya. Tapi toh aku tak khawatir jika sewaktu-waktu harus diperiksa ketika sudah berada di dalam pasar. Aku melenggang masuk melewati gerbang yang penuh dengan hiasan ucapan selamat tahun baru dengan warna dominan biru. Tampak beberapa pohon natal di tempatkan di anak tangga teratas di sebelah pintu pasar. Yang perlu kamu tahu bahwa 5% penduduk Uzbekistan beragama Kristen Orthodox.

Aku sendiri tak langsung menaiki tangga menuju ke ruangan utama pasar, melainkan memilih berdiri di dekat pintu gerbang demi mengamati aktivitas sekitar. Mengambil beberapa foto menarik di beberapa titik. Memenuhi memori Canon EOS M10 yang setia menemaniku sejak lima tahun terakhir.

Gerbang Chorsu Bazaar.
Nah….Setelah berjibaku, sampai juga di Chorsu Bazaar.

Aktivitas tak normalku membuat security yang berjaga di gerbang lebih intens mengamatiku. Aku hanya berharap dia tak menaruh kecurigaan apapun. Bersyukurnya, segenap waktuku di sekitar gerbang tak ditegur olehnya. Aku dibiarkannya begitu saja. Mungkin dia memahami bahwa aku hanyalah seorang turis yang sedang menikmati suasana saja.

Cukup dengan beberapa gambar yang kudapat, aku pun mulai menaiki anak tangga demi anak tangga untuk memasuki ruangan pasar.

Di anak tangga teratas aku dihadapkan pada akses masuk tak berdaun pintu, melainkan hanya tirai plastik yang digunakan untuk mencegah udara dingin memasuki ruangan dalam pasar.

Aku segera menyingkap tirai itu, masuk ke ruangan pasar, dan terkesima dengan segenap isinya….

Чорсу  бекати: Bertemu Pedagang Paling Ramah se-Tashkent

<—-Kisah Sebelumnya

Masih duduk di salah satu bangku tunggu Oybek Station….

Aku antusias menikmati kesibukan warga lokal yang berlalu lalang di ruangan stasiun. Gelombang penumpang terus berdatangan dari anak tangga sisi kiri, kanan dan tengah stasiun.

Beruntung, kereta yang aku tunggu tiba dengan cepat.

Ternyata, kereta di O’zbekistan Line berpenampilan lebih garang dan maskulin. Bekelir putih dengan padanan biru navy, tetapi tetap tampak sama, berusia tua.

Seorang petugas perempuan membawa tongkat bundar berwarna merah berlari kecil di sepanjang platform mempersiapkan proses naik-turun penumpang.

Tak mau tertinggal, aku bangkit, mendekat ke kereta, melompat masuk melalui gerbong tengah, dan kembali mengambil posisi berdiri di dekat pintu.

Suasana gerbong kereta di O’zbekistan Line.

Tak berhenti lama, kereta melaju menuju barat. Menembus lorong-lorong panjang bawah tanah dengan cepat. Hanya perlu waktu sepuluh menit untuk tiba di tujuan akhirku, Chorsu Station.

Turun dari gerbong dengan cepat aku menyusuri ruangan Chorsu Station. Berbeda dengan Abdulla Qodiriy Station, Ming O’rik Station dan Oybek Station yang ruangan utamanya berbentuk persegi, Chorsu Station memiliki bentuk ruangan setengah lingkaran dengan padanan cat putih dan krem. Bentuk setengah lingkaran mampu memberikan kesan ruangan stasiun yang lebih luas.

Suasana di Chorsu Station.
Jalur keluar dari Chorsu Station.

Aku keluar dari “Shaharga Chiqish*1)” dengan menaiki tangga manual. Aku memilih exit gate itu karena terdapat “Chorzu Plaza Savdo Markazi*2)” tak jauh dari pintu keluarnya.

Keluar dari bangunan stasiun, aku kembali menoleh ke belakang, mencoba membaca sebuah signboard di atas dinding terowongan stasiun bawah tanah itu.

“Чорсу  бекати”

Aku berdiri terdiam. Mencoba membaca Aksara Kiril itu. Aku yang sebelum berangkat telah belajar untuk memahami cara membaca Aksara Kiril, dengan sangat terbata-bata mulai membacanya.

Yopsi….Eh….Yopsu….Eh, bukan….Chorsu….Oh, Chorsu Bekati….Bekati itu stasiun….Ya, itu artinya Stasiun Chorsu”, aku menyunggingkan sebelah bibir.

Kubalikkan badan kembali, pandanganku menuju ke permukaan tanah. Langkahku terhantar pada sebuah area perdagangan yang dijejali deretan tenda-tenda niaga.

Deret tenda niaga itu memenuhi ruang-ruang kosong yang diapit oleh sebuah ruas jalan dan pertokoan. Berdiri dengan jarak sangat rapat satu sama lain, lapak-lapak itu menjual buah-buahan, kacang-kacangan, pakaian, rempah-rempah, dan pernak-pernik lainnya.

Langkahku menyusuri gang-gang antar tenda menciptakan ketertarikan pada sebuah lapak tak bertenda yang dijaga oleh seorang ibu paruh baya. Dia duduk tenang menunggui roti khas Uzbekistan yang dijualnya. Non*3) adalah nama dari roti jenis itu. Aku mengetahui roti khas Uzbekistan ini dari sebuah artikel yang kubaca sebelum berangkat ke Uzbekistan.

Aku perlahan mendekat dan si ibu sepertinya memahami bahwa aku sedang menuju ke lapaknya. Kontan dia melempar senyum ketika jarakku hanya tinggal beberapa meter saja. Aku pun tak ragu melemparkan senyum balasan kepadanya.

Non….How Much?”, aku menginisiasi sebuah pertanyaan.

Nima….Nima*4)”, si ibu tampak panik dan bertanya kepada teman di lapak sebelahnya.

Demi memecahkan masalah percakapan itu, aku selalu memiliki ide sederhana.

Kukeluarkan dompet, kutarik selembar Som*5) dan kutunjukkan kepada si ibu, “How Much, mother?”. Si ibu lantas paham dan membuka kelima jarinya dan mengarahkan jarinya ke pandanganku.

Oh, Lima Ribu Som”, aku membatin.

Aku mengambil lembaran Som lain di dompet dan menyerahkan 5.000 Som kepada si ibu penjual roti itu. Si ibu dengan gesit mengambil dua buah Non, memasukkannya ke dalam plastik dan memberikannya kepadaku. Si ibu menjadi pedagang paling ramah yang kutemui pagi itu di Tashkent, dia selalu tersenyum ketika bertransaksi denganku.

Aku yang penasaran, sejenak mencicip Non yang kubeli di depan si ibu. Non yang diberikan kepadaku berasa samar manis dan meluruskan anggapanku yang kukira roti itu berasa tawar. Aku memasukkan roti ke dalam plastik kembali dan memutuskan untuk memakannya saat makan malam saja.

Sebelum berpamitan, aku meminta izin kepada si ibu untuk mengambil fotonya sebagai kenang-kenangan. Beruntung si ibu dengan baik hati memberiku izin. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Cekrak….Cekrek….Cekrak….Cekrek, aku beraksi mengambil gambar.

Tenda-tenda niaga di sekitar Chorsu Station.
Ibu baik hati penjual Non.
Pedagang sosis yang minta difoto….Hihihi.

Tetapi kejutan lain kemudian datang, mungkin iri melihat si ibu yang kuabadikan dalam Canon EOS M10 ku, seorang pria muda pedagang sosis menepuk punggungku dari belakang. Aku yang kaget segera mengalihkan pandangan dari si ibu dan menoleh ke belakang.

Photo….photo”, dia menunjuk ke Canon EOS M10 ku lalu bergantian menunjukkan dirinya sendiri.

Oh….Okay, brother….You look handsome”, aku tertawa kecil atas kejadian unik itu.

I’ll keep your photo to Indonesia”, aku menyudahi dalam mempotretnya.

Yaxshi….Yakxhi*6)”, dia mengacungkan jempolnya kepadaku.

Aku berpamitan kepada ibu penjual roti dan pemuda penjual sosis untuk meninggalkan lapaknya dan melanjutkan perjalanan…….

Keterangan Kata:

  1. Chiqish*1) = Keluar, Exit
  2. Savdo Markazi*2) = Shopping Mall
  3. Non*3) = Roti khas Uzbekistan, berebentuk bulat, berwarna mengkilat di salah satu sisinya
  4. Nima*4) = Apa
  5. Som*5) = Mata uang Uzbekistan
  6. Yakxhi*6) = Bagus

Kisah Selanjutnya—->

Tashkent Metropoliteni: Kejutan Klasik di Sepanjang Bekati

<—-Kisah Sebelumnya

Aku berdiri mematung di depan empat daun pintu kaca bertuliskan tiga kata yang diulang-ulang, yaitu Вход*1), Kirish*2), dan Entrance. Ketiganya tentu bermakna sama, yaitu “entry”.

Aku mendorong salah satunya dan memasuki ruangan yang dijaga oleh dua security pria yang menenteng metal detector di tangannya. Dia menunjuk folding back yang kupanggul dan mengalihkan arah telunjuknya ke sebuah meja. Aku paham bahwa mereka akan memeriksa tasku.

Percaya diri dan tanpa banyak tanya, aku menaruh folding bag di meja berwarna putih, kemudian salah satu dari mereka membuka resleting tasku untuk mengintip isinya.

Petugas itu hanya tersenyum dingin, memberi kode bahwa aku sudah dinyatakan aman untuk memasuki platform.

Ternyata bagiku, tak secepat yang terkira demi memasuki platform stasiun, aku bediri sejenak di depan ticket collection gate, memperhatikan dengan seksama bagaimana warga lokal menggunakan tiket kertasnya yang mirip karcis parkir demi memasuki gerbang platform.

Mudah ternyata, mereka hanya perlu untuk me-scan barcode yang tertera di tiket pada gate detector, lalu mereka akan melewati besi penghalang dengan mudah. Setelahnya, mereka akan membuang tiket kertasnya di tempat sampah yang disediakan di sisi dalam ticket collection gate.

Maka selanjutnya adalah giliranku untuk menduplikasi apa yang mereka lakukan. Aku berhasil melakukannya dengan mudah. Hanya bedanya, aku tak membuang tiket kertas itu melainkan menyimpannya sebagai sebuah kenangan perjalanan.

Berhasil melewati bagian itu, aku pun mulai menuruni tangga menuju platform. Dengan hati berdebar aku tak sabar ingin melihat nuansa klasik yang tersemat di ruangan Abdulla Qodiriy Station. Debar penasaran yang tak lain disebabkan oleh studi literatur yang memberikanku informasi bahwa desain interior semua stasiun MRT di Tashkent mengusung gaya klasik.

Dan begitu kagetnya aku ketika benar-benar tiba di tengah stasiun. Koridor stasiun ternyata memiliki platform area tak bersekat pelindung di sisi kiri-kanannya. Sementara itu, sangat jelas terlihat bahwa koridor stasiun bawah tanah itu ditopang oleh pilar-pilar besar yang berderet hingga di kedua ujung stasiun. Langit-langit koridor didesain melengkung berhiaskan gantungan lampu-lampu kristal nan klasik. Sementara itu, deretan bangku-bangku tunggu diletakkan tepat di tengah koridor dengan interval teratur.

Di sisi lain, tampak beberapa petugas keamanan berjalan mondar-mandir di tepian platform demi memastikan tidak ada penumpang yang berdiri di zona bahaya.

Ruangan bawah tanah Abdulla Qodiriy Sration.
Ngeri kan ga ada sekat pemisah antara rel kereta dan platform.

Dan tak perlu menunggu lama, tepatnya enam menit semenjak ketibaanku, kereta Tashkent Metropoliteni berwarna biru langit tiba.

Aku melompat masuk dari gerbong tengah setelah kereta itu berdecit, melambat dan akhirnya berhenti. Pagi itu, tempat duduk di gerbong dipenuhi oleh para penumpang, memaksaku untuk mengambil posisi berdiri di dekat pintu. Beberapa detik kemudian, kereta akhirnya melaju kembali meninggalkan Abdulla Qodiriy Station, stasiun yang telah berusia pakai 22 tahun di jalur Yunusobod Line.

Di dalam gerbong, mataku awas mengamati desain interior gerbong kereta Tashkent Metropoliteni. Aku teringat pada interior yang biasa terlihat di gerbong Kereta Komuter Jabodetabek. Keduanya cenderung berpenampilan tua.

Bagaimana tidak tua jika kereta Tashkent Metropoliteni yang didatangkan dari Russia itu sudah beroperasi semenjak 46 tahun silam.

Tetapi kesan lain tetap kudapatkan selama perjalanan. Para penumpang, khususnya muda-mudi Uzbekistan, mereka tampak super cantik dan super tampan dalam penampilan modis mereka. Tinggi badan mereka yang menjulang, telah menenggelamkanku yang berpostur kecil di dalam kerumunan gerbong.

Kereta Tashkent Metropoliteni di Yunusobod Line. MRT ke-17 yang kunaiki dari total 19 jenis MRT selama backpacking.
Interior di dalam kereta. Jadoel kan?

Sayangnya, dalam perjalanan menuju Distrik Chorsu, aku tak bisa langsung menuju Chorsu Station, karena stasiun itu berada di jalur kereta yang berbeda. Jadi aku harus berpindah ke Oybek Station yang terletak di O’zbekistan Line. Untuk menggapai Oybek Station, aku pun harus terlebih dahulu mencapai Ming O’rik Station yang jaraknya hanya tiga stasiun dari tempatku bertolak. Ming O’rik Station dan Oybek Station terletak di titik yang sama dan hanya terpisahkan oleh sebuah koridor penghubung.

Dalam sepuluh menit, kereta merapat cepat di Ming O’rik Station. Aku bergegas menuruni kereta dan untuk kesekian kalinya kembali berdiri di platform yang berbeda. Desain interior stasiunnya hampir mirip dengan milik Abdulla Qodiriy Station, hanya saja bentuk lampu kristal yang menggantung di langit-langit Ming O’rik Station sedikit berbeda, bentuknya lebih mirip stalaktit dan sekilas lalu menyematkan kesan modern pada Ming O’rik Station.

Satu yang menjadi masalah kemudian adalah kesulitanku dalam menemukan koridor penghubung menuju Oybek Station. Mungkin aku sendiri yang tak paham dengan Aksara Kiril yang tertera di berbagai titik. Untuk beberapa menit aku hanya mondar-mandir di sepanjang platform.

Hingga pada akhirnya, seorang petugas keamanan menyadari bahwa aku sedang kebingungan.  

Bergegas dia mendekatiku….

Where Go?”, tampaknya dia tak cakap berbahasa Inggris, tapi aku cukup paham apa maksudnya.

Chorsu Bekati*3)”, aku membalasnya singkat.

Oh….U Yerda*4)”, telunjuknya menunjuk ke atas tepat di sisi belakangku

Aku mengamati dengan cermat, memang ada tangga manual di arah yang dia tunjuk, dan ada terowongan menuju ke tempat lain dari Ming O’rik Station.

Jangan-jangan itu koridor penghubung ke Oybek Station”, aku manggut-manggut sendirian.

Thanks you, Sir”, aku menaruh respek pada petugas keamanan itu yang secara proaktif mendatangiku sebagai orang asing yang kebingungan di negerinya.

Aku meninggalkan petugas keamanan itu dan mulai menaiki tangga, untuk kemudian lindap di dalam interchange corridor.

Koridor yang kulewati tampak tua, klasik, langit-langitnya berbentuk melengkung setengah lingkaran dan dindingnya berlapis keramik dengan pola tua di sepanjangnya.

Hanya perlu waktu lima menit untuk tiba di mulut koridor di sisi yang lain.

Interchange corridor antara Ming O’rik Station dan Oybek Station.
Suasana di Oybek Station.
Oybek Station.

Di mulut koridor aku dihadapkan pada ruangan stasiun lain, Oybek Station.

Secara sekilas, Oybek Station tak memiliki ornamen istimewa di setiap jengkal koridornya. Hanyalah sematan ukiran keramik berwarna hijau yang menghias di setiap pilar stasiun.

Maka terduduklah aku di salah satu bangku demi menunggu kedatangan kereta di jalur O’zbekistan Line itu.

Satu hal yang membuatku penasaran selama duduk adalah sebuah pertanyaan sepele tentang bagaimana bentuk kereta di jalur O’zbekistan Line. Apakah mirip dengan kereta di jalur Yunusobod Line?. Pertanyaan itu akan selalu muncul oleh karena tidak adanya sekat penghalang antara platform dan jalur kereta, sehingga memudahkan siapa saja untuk melihat secara langsung gerbong kereta yang melintas.

Aku terus diam mengamati sekitar, sekaligus sumringah karena tak lama lagi akan tiba di Distrik Chorsu.

Keterangan:

Вход*1) (Baca “Vhod”) = Masuk

Kirish*2) = Entry

Bekati*3) = Stasiun

U Yerda*4) = di sana

Kisah Selanjutnya—->

Paradise Hostel: Menolak Tertangkap Petugas Keamanan

<—-Kisah Sebelumnya

Aku menyusuri jalan setapak nan sempit berbahan beton, untuk kemudian memasuki area hostel dari sisi belakang. Akhirnya aku pun tiba di pekarangan hostel.

Terimakasih, Tuhan”, aku bersyukur dalam hati, “Ternyata memang tempat ini yang kucari

Aku memang beruntung, karena secara tak sengaja telah memasuki pekarangan hostel yang sedang kucari, Paradise Hostel. Aku mengucek mata, meyakinkan sekali lagi, membaca papan nama di lokasi minim cahaya. Memastikan untuk yang terakhir kali.

Berhasil meyakinkan diri maka tanpa pikir panjang aku membuka sebuah pintu yang tak terkunci. Aku terhenyak kaget karena aku membuka sebuah pintu ruangan bersama para tamu. Tak kurang dari lima penginap tampak menikmati kopi hangat, sajian makanan, menonton TV dan bercanda bersama.

Hellooo, where is the reception desk, Sir?”, aku melemparkan tanya kepada salah satu dari mereka.

“There”, seorang pria di antara mereka menunjuk sebuah arah.

Oh, Okay, Thanks, Sir”, aku pun bergegas menutup pintu itu.

Aku mencari pintu lain yang dimaksud dan menemukan di sisi barat bangunan. Benar saja, aku menemukan meja resepsionis ketika masuk dari pintu itu.

Seorang lelaki muda tampak tenggelam dalam kesibukannya di meja resepsionis. Bukan berwajah Uzbekistan dalam pandanganku, tetapi lebih mirip berwajah Asia Selatan.

Hello, Sir. Can you check a reservation by Donny via Booking.com!”,

Hello, brother. Ok, please wait!”, dia mulai menatap layar monitor.

Yesss, I find you. For 3 nights, isn’t?

Yes, I had guaranteed my booking with a credit card. Can you check it?

Wait”, tatapannya kembali ke layar monitor. “I didn’t find any payment in your booking. I think you must pay your room in the hostel”.

Let me check my credit card account”, aku sibuk memeriksa aplikasi kartu kredit salah satu bank nasional di layar telepon pintarku.

Okay, no billing on my credit card. How much must I pay?”

280.000 Som

Aku menyelesaikan pembayaran dengan cepat, untuk kemudian pria muda itu memberikanku kunci kamar dan menunjukkanku lokasi kamar, dapur bersama, ruang tamu bersama, ruang makan bersama dan kamar mandi bersama khusus pria…..Begitulah, semua serba “bersama” jika kamu menginap di sebuah dormitory. Tapi itu asyik loh, gaes…..Wkwkwkwk.

Aku telah mendapatkan kamar, memasukinya, dan kemudian duduk di salah satu bunk bed. Untuk sejenak aku menghangatkan badan yang beku setelah setengah jam lamanya berjibaku di jalanan Tashkent tanpa persiapan.

Tempat tidurku bersama sekelompok turis Turki.
Tempatku makan dan berkenalan dengan turis dari berbagai negara.

Perlahan aku membuka backpack, mengaduk-aduk isinya, mencari dua kerat roti yang kudapat dari penerbangan Uzbekitan Airways HY 554. Aku juga masih menyimpan beberapa snack pemberian Dasha, penumpang wanita yang duduk di sebelahku selama penerbangan.

Aku yang kelaparan, menyantap sisa makanan yang kupunya di ruang tamu bersama. Aku tak mempedulikan tatapan aneh para tamu-tamu Turki yang sedang berkumpul di ruang yang sama.

Tak lupa aku menyisakan sebungkus kecil biskuit untuk sarapan esok hari. Tak mungkin bagiku keluar mencari makanan malam itu.

Untuk sementara aku merasa tenang, kenyang dan relaks.

Membuatku cepat terlelap di atas bunk bed usai membasuh badan di bawah shower hangat Paradise Hostel.

—-****—-

Pagi sekali…..Masih gelap di Tashkent.

Jam 6 pagi tepatnya……

Paradise Hostel masih senyap, lampu di semua ruangan masih padam. Aku berjinjit ke kamar mandi hanya untuk menggosok gigi, membasahi rambut dan mencuci muka. Aku tak akan mandi pagi itu. Begitulah kebiasaan diri saat ber solo-traveling, aku hanya akan mandi ketika hendak beranjak tidur malam saja….Jangan ditiru ya….Kebiasaan jorok itu….Hahaha.

Aku masih memiliki sebungkus kecil biskuit dan sebungkus salted peanuts yang bisa kunikmati sebagai menu ringan sarapan. Air minum hangat?….Ya, aku menemukannya dengan mudah di pantry bersama hostel.

Menjelang pukul tujuh pagi, dua staff Paradise Hostel mulai bangun dan membersihkan ruangan. Sepertinya mereka tinggal di dormitory itu. Seorang staff tampak masih muda, berparas cantik dan berambut panjang kepirangan khas gadis Uzbekistan. Seorang lagi adalah perempuan setengah baya yang aku tebak adalah ibu gadis itu. Wajahnya tampak mirip.

Nantinya, selama tiga malam menginap di dormitory itu, dua perempuan super baik itu akan menjadi teman mengobrol yang menyenangkan bagiku.

Pukul delapan….Beberapa penginap sudah mulai bangun dan duduk di ruang bersama. Bahkan,  satu rombongan pejalan dalam waktu singkat memenuhi ruangan, hampir seluruh bangku di meja makan berukuran panjang diakuisisi oleh mereka.

Tiga gadis muda dalam rombongan sibuk menuangkan berbagai macam makanan. Berkerat-kerat roti, potongan keju yang melimpah dan berbungkus-bungkus biskuit mereka hidangkan di meja panjang. Sesaat kemudian, sekitar enam belas anggota rombongan bersarapan bersama dengan duduk berhadap-hadapan. Mereka sepertinya rombongan mahasiswa yang sedang melakukan perjalanan bersama.

Aku yang sendirian dan tak berteman memilih untuk menepi dan duduk di sebuah sofa depan TV dan menikmati menu sarapan super sederhanaku.

Pukul sembilan pagi,…..

Aku melongok keluar jendela. Tampak jalanan kecil di depan hostel sesekali dilintasi oleh warga lokal yang sudah memulai aktivitas rutinnya. Satu dua mobil mulai dinyalakan untuk memanasi mesin.

Saatnya memulai eksplorasi”, aku merengkuh winter jacket yang kusampirkan di sebuah kursi.

Bagian depan Paradise Hostel.

Sewaktu kemudian aku sudah berada di tepian Navoiy Shoh Ko’chasi. Menuju ke timur, aku berusaha mengalahkan dinginnya suhu -4oC.

Aku bermaksud menuju ke Abdulla Qodiry Station dan akan mengunjungi Distrik Chorsu.

Di sebuah trotoar, aku yang terpesona dengan bentuk-bentuk bangunan khas Uzbekistan di sepanjang jalan memutuskan untuk sesekali berhenti demi mengabadikan pemandangan kota.

Pada satu titik, aku diteriaki oleh seorang security dari sebuah kantor pemerintah. Aku tahu bahwa teriakan itu tertuju padaku, sepertinya dia hendak melarangku untuk mengambil foto. Aku meliriknya yang sedang berlari kecil dari halaman gedung menuju ke trotoar tempatku berdiri.

Aku yang paham kondisi itu memutuskan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu secepat kilat. Berpura-pura tidak mengetahui keberadaan secutiry itu, aku melangkah cepat meninggalkan lokasi.

Beberapa detik kemudian, tanpa menengok ke belakang pun aku tahu bahwa security bertubuh tegap itu berhenti lalu memandangiku dari kejauhan. Dia enggan mengejarku karena aku sudah terlalu jauh untuk dikejar olehnya.

Aku sepenuhnya paham bahwa pada masa lalu tidak sembarangan orang boleh mengambil foto di jalanan Uzbekistan. Mungkin pemerintah Uni Soviet merasa perlu menjaga diri di masa perang dingin dari tindak spionase.

Memang aturan mengambil foto itu telah dihapuskan tetapi toh kenyataannya beberapa warga mereka masih merasa aneh ketika seorang asing mengambil foto di tempat-tempat umum.

Suasan trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi.
Gedung National Library of Uzbekistan.
Ruangan bawah tanah Abdulla Qodiry Station.

Usai menyeberangi lebarnya Amir Temur Ko’chasi dan menempuh jarak hampir 1 Km, aku tiba di stasiun.

Aku menuruni tangga menuju ruangan bawah tanah. Sejenak aku menikmati udara hangat di ruangan bawah tanah itu. Aku berhenti sejenak mengamati situasi, berusaha memahami bagaimana warga lokal membeli tiket MRT.

Sebuah loket tampak dijejali warga lokal yang mengantri untuk mendapatkan tiket. Ada selembar kertas bertuliskan 1,400 Som di atas lubang loket. Aku yakin bahwa nominal itu adalah harga tiket MRT.

Aku mempersiapkan uang koin sisa menaiki bus kota semalam dan mulai mengantri di loket. Usai mendapatkan tiket, aku pun mencari pintu masuk menuju platform.

METROGA KIRISH”. Aku melihat signboard berwarna kuning tergantung di langit-langit koridor.

Aku yakin itu adalah pintu masuk menuju platform. “KIRISH” bermakna akses dalam Bahasa Indonesia.

Tanpa ragu sedikitpun….Aku pun melangkah memasukinya.

Kisah Selanjutnya—->

Bus Kota Tashkent No. 67: Mencari Penginapan

<—-Kisah Sebelumnya

Bus kota berkelir hijau muda dengan desain modern yang kutunggangi perlahan tapi pasti menembus gelapnya jalanan bandara, melewati jalanan sepi dan kosong di pinggiran kota.

Seiring laju bus, perlahan cahaya jalanan mulai tampak di sejauh tatapan memandang.

Selamat datang, Tashkent”, tatapku berbinar bak memenangkan sebuah pertarungan.

Kabin mulai dipenuhi warga lokal ketika bus menepi di sebuah halte yang sepertinya berada di perbatasan kota. Membuatku harus menyerahkan kursi kepada seorang perempuan tua yang tampak kepayahan menaiki bus dari pintu tengah.

Dia tersenyum padaku dengan beberapa giginya yang telah tanggal ketika menduduki bangku yang kuberikan. Tak berkomunikasi apapun, aku hanya membalasnya dengan senyuman pula.

Aku sendiri sedikit kepayahan berdiri di dalam bus malam itu. Si pengemudi tak lembut memainkan pedal gas sehingga beberapa kali aku terpontang-panting ke depan-belakang karena injakan rem dan gas yang sering mendadak. Walaupun di sisi lain, aku melihat warga lokal tampak tenang-tenang saja ketika bus itu terkadang berjalan ndut-ndutan.

Aku mulai melihat kepadatan kendaraan ketika bus kota memasuki ruas Yusuf Hos Hojib Ko’chasi. Di jalan itu, bus tersendat di depan Gedung Kementrian Dalam Negeri Uzbekistan yang berdiri perkasa di sisi barat jalan. Gedung bertembok tebal, berbentuk persegi dengan sudut menyiku sempurna di setiap ujung bangunannya itu menjadikan suasana sekitar beraura metropolis. Aku terus mengamati setiap jengkal gedung itu dari balik kaca bus kota.

Bus terus merangsek di Sharof Rashidov Shoh Ko’chasi. Inilah jalan yang menyematkan nama tokoh masa lalu Uzbekistan dari Partai Komunis. Di salah satu sisi jalan itu tertampil sebuah gedung dengan arsitektur mirip sebuah masjid yang memendarkan warna hijau terang. Ternyata itu bukanlah bangunan masjid, melainkan sebuah Central Exhibition Hall. Bangunan dengan bagian bawah keseluruhannya adalah deretan pintu dengan lekuk-lekuk runcing di atasnya.

Gedung Markaziy Ko’rgazmalar Zali.

Bus kemudian mengambil arah ke timur melewati bangunan klasik Pusat Hak Asasi Manusia milik pemerintah, terus melaju dan merangsek di Islam Karimov Street hingga menemui jalan melingkar di Amir Temur Square. Aku begitu berkesan melewati markah kota yang terkenal itu. Siapa yang tak tahu Amir Temur Square yang merupakan taman kota utama di Tashkent dengan simpanan sejarah di dalamnya. Tetapi sejenak rasa antusiasku redam dengan kondisi gelap di sepanjang taman.

Aku akan menikmatinya esok hari”, aku bersemangat dalam hati.

Setelah perjalanan selama 40 menit, akhirnya aku tiba di tujuan. Aku memencet tombol ‘STOP’ di salah satu tiang bus ketika bus perlahan melahap kemacetan di sekitar State University of Law. Aku turun dari bus, kemudian, untuk sesaat mengabadikan bentuk bus kota itu di dalam kamera.

Aku sudah benar-benar turun di jalanan Tashkent. Udara hangat dalam bus telah berubah menjadi udara dingin 2 oC. Tarikan nafasku memberat. Udara super dingin masuk melalui celah-celah winter jacket yang kukenakan. Sementara dingin mulai mengikis mental, aku masih saja berdiri di sisi trotoar untuk melihat situasi dan menetapkan jalur yang akan kutempuh dengan berjalan kaki.

Halte bus Yuridik Universiteti.

Sejenak kemudian aku mulai memahami jalur itu. Aku melangkah ke utara melewati trotoar bercahaya remang untuk kemudian tiba di sebuah perempatan besar. Setidaknya cahaya di perempatan itu menenangkan hati. Keberadaan dua polisi lalu lintas membuat aku percaya diri melintasi Navoiy Shoh Ko’chasi, jalan protokol di Tashkent. Malam itu, aku sudah berada di jantung Kota Tashkent.

Jalan delapan jalur dengan dua ruas arah itu sangat ramai dengan kendaraan, hiasan lampu yang membentang di atas jalan juga membuat cantik suasana kota. Sementara itu, tatapku terus tertuju pada sebuah jalur trotoar di sisi utara jalan, trotoar itu menuju ke barat. Aku harus melewati trotoar itu dan mencari keberadaan dormitory yang telah kupesan secara daring.

Menyeberang dua kali di bawah pengawasan polisi lalu lintas berperawakan tinggi besar dan berseragam tebal, aku berhasil menggapai pangkal trotoar yang kumaksud. Trotoar itu tampak remang oleh karena cahaya lampu terkalahkan dengan rindangnya pepohonan besar di sisi lain trotoar. Hanya satu dua warga lokal yang melintas di jalan itu.

Rasa takutku telah kalah dengan udara dingin Tashkent, tak ada pilihan selain segera menemukan penginapan itu, sebelum aku membeku di jalanan. Aku terus melangkah cepat, beberapa warga lokal yang berpapasan denganku menaruh tatapan heran. Mungkin mereka jarang menemukan wajah Asia Tenggara di kotanya. Aku hanya melempar senyum membalas tatapan mereka.

Kusempatkan sesekali mengambil foto di sekitar jalanan hingga langkahku tiba di sebuah gang. Ada pos jaga dengan seorang security yang berjaga, kaca jendela pos itu tertutup rapat demi mencegah udara dingin masuk ke dalamnya.

Sebuah perempatan di Navoiy Shoh Ko’chasi.
Lampu hias di Navoiy Shoh Ko’chasi.
Mencari hostel melalui trotoar itu.
Aku masih penasaran, hostel apakah ini?

Jauh di dalam gang tertera signboard menyala merah bertuliskan “HOSTEL”. Aku yang mencari Paradise Hostel mengindahkan keberadaannya. Aku pun terus melanjutkan langkah, tetapi semakin jauh melangkah, trotoar semakin sepi, juga semakin gelap. Aku mulai khawatir.

Maka kuputuskan untuk kembali ke titik dimana aku melihat tulisan hostel yang kulewati beberapa menit lalu.

Daripada kedinginan, lebih baik aku ke hostel tadi, jika memang bukan Paradise Hostel, aku akan memesan kamar baru di tempat itu”, aku yang menggigil pun telah mengambil keputusan baru.

Aku pun memutar haluan dan melangkah cepat menuju ke hostel yang kumaksud.

Kisah Selanjutnya—->

Teka-Teki Bus No. 67 Tashkent

<—-Kisah Sebelumnya

Akhinya Ku Menemukanmu….#naff.

Samar aku melihat pemberhentian bus kota itu, tapi aku belum yakin benar apakah itu halte bus yang sedang kucari. Aku terus melangkah mendekatinya.

Aku tiba beberapa menit kemudian….

Halte bus itu berukuran tak telalu besar untuk standar ukuran halte bus bandara. Tak semegah halte bus DAMRI Soetta tentunya.

Setiba di halte, aku berhenti sejenak, mengamati segenap petunjuk yang bisa memberikanku informasi penting. Tapi tak kunjung menemukannya. “Aku harus mencari cara lain berburu informasi”, aku memutuskan cepat.

Hingga akhirnya aku melihat kehadiran sosok pemuda yang sedang menunggu bus di salah satu sisi halte, pemuda itu sedang sibuk dengan tab di tangannya.

Ini bisa menjadi opsi terbaikku”, aku pun melangkah mendekati pemuda itu.

Hello, brother. Will bus No. 67 pass this shelter?”, aku mengajukan pertanyaan kepadanya.

Oh, that’s right”, dia membuang tatapnya dari tab di tangannya.

Oh, thank you for your information. Do I need a card or not to get on the bus?”, aku mengimbuhkan.

There are two options. You can use a card like this (dia menunjukkan kartu berlangganan busnya) or you can pay on the bus”. Bahasa Inggris pemuda itu sangat fasih

Oh Okay…I understand. How much for the fare?”, aku terus menyelidik.

It’s really cheap, only 1,400 Som….By the way, where are you from?”, untuk pertama kalinya dia menyerobot sebuah pertanyaan.

I’m Donny from Indonesia…. Did you just come home from work?

Call me Umid. I’m from Samarkand….Oh no, I’m a student at Tashkent University of Information Technologies.”, dia akhirnya memperkenalkan diri.

Pertemuan singkatku dengan Umid menjadi momen yang cukup berkesan karena aku beruntung menemukan seseorang yang bisa berbahasa Inggris dengan baik dan banyak memberikan informasi yang berguna bagi eksplorasiku di Tashkent beberapa hari ke depan.

Umid memberikan informasi bahwa aku harus mencicipi “Palov” makanan khas mereka. Dia juga menjelaskan bahwa 97% penduduk Uzbekitan beragama muslim, jadi budaya Islam sangat kuat tercermin di setiap sendi kehidupan “Negeri Jalan Sutera” tersebut. Dia juga memberikan pernyataan yang menenangkan hati bahwa jalanan di Tashkent sangatlah aman ditelusuri walau malam telah tiba. Satu lagi, dia menyarankanku untuk menggunakan bus kota dan MRT saja untuk melakukan eksplorasi karena tarif kedua jenis transportasi itu sangatlah murah. Apalagi, seluruh penjuru kota Tashkent terhubung oleh dua moda transportasi tersebut.

Ah, satu lagi yang masih kuingat. Dia menyebutku sebagai lelaki pemberani dan suatu saat setelah dia mendapatkan pekerjaan pasca kuliah, dia akan mulai menjelajah dunia sepertiku…..Wah, tersanjung banget aku tuh….Wkwkwkwk.

Meluncur ke pusat kota.

Beinnxxx…..Beinnxxx”, sebuah bus berukuran besar merapat di platform. Seorang kondekur laki-laki paruh baya melompat ke platform dan otomatis tersenyum lebar di depanku. Dia berbicara Bahasa Uzbek kepada Umid yang aku tak paham akan maknanya.

Maka aku yang penasaran, memulai melempar tanya kepada Umid.

What he say about me?

He asked where you came from, I answered Indonesia. Then he said your national football team plays well in last Asian Cup Qualifiers”, pungkas Umid.

Pernyataan Umid itu langsung mengingatkan memoriku tentang kemenangan heroik Timnas Indonesia atas Kuwait dengan skor 2-1.

Ahahaha, Umid….Tell him, My national team usually loses if against the Uzbekistan national team

Akhirnya kami bertiga tertawa terbahak ketika Umid dengar cerdas dan cepat menjadi penerjemah percakapanku dengan seoramg kondektur bus yang baru datang.

Akhirnya, bus kota bernomor 47 yang ditunggu-tnuggu Umid tiba. Setelah berpamitan denganku akhirnya dia menaiki bus sarat penumpang itu.

Sementara aku masih penuh kesan menunggu kedatangan bus bernomor 67.

Berselang lima menit…..bus itu datang.

Bu avtobus…*1).” Kondektur itu rupanya diberi tahu Umid mengenai nomor bus kota yang sedang aku tunggu sehingga kodektur itu mengetahui nomornya.

Thank you, Sir”, aku membungkukkan badan dan beringsut meninggalkannya.

Aku melompat masuk dari pintu tengah ke dalam bus bernomor 67 yang langsam berhenti. Lalu duduk di salah satu bangku sisi tengah. Bus masih tampak kosong. Lima menit menaikkan penumpang seadanya untuk kemudian bus itu meluncur pergi meninggalkan Terminal 2, Islam Karimov Tashkent International Airport.

Bus menyusuri Jalan Bobur Ko’chasi menuju pusat kota.

Sambil menunggu penumpang lain naik. Aku bertanya kepada seorang penumpang pria tentang bagaimana cara membayar tarif bus kepada kondektur.

Maka terjadilah pecakapan terunik di dunia.

How to pay the bus fare?”, aku menunjukkan selembar 5.000 Som.

Ty*2)” Menujuk mukaku,

Den’g*3)”, menunuk selembar uang 5.000 Som yang kupegang.

Ona zhenshchina*4)”. Dia menunjuk ke kondektur wanita yang berdiri  di bagian depan.

Podoyti blizhe*5)‘” dia menggerakkan telapak tangannya dari depan ke belakang.

 “Den’g”, menunjuk lagi uangku lalu berganti menunjuk ke kondektur itu.

Aku hanya terus tersenyum demi memahami setengah bahasa isyarat itu.

Okay….Sepertinya petualanganku sudah terselip sebuah permainan teka-teki. Aku menunduk, mengangguk-anggukkan kepala.

Setidaknya 50 menit ke depan, aku akan aman di dalam bus kota yang kunaiki ini”, aku membatin dan senyumku tak terbendung.

Note:

Bu avtobus*1)                     = Itu bus

Ty*2)                                = Anda

Den’g*3)                         = Uang

Ona zhenshchina*4)   = Perempuan itu

Podoyti blizhe*5)         = Datang Mendekat

Kisah Selanjutnya—->