Teka-Teki Bus No. 67 Tashkent

<—-Kisah Sebelumnya

Akhinya Ku Menemukanmu….#naff.

Samar aku melihat pemberhentian bus kota itu, tapi aku belum yakin benar apakah itu halte bus yang sedang kucari. Aku terus melangkah mendekatinya.

Aku tiba beberapa menit kemudian….

Halte bus itu berukuran tak telalu besar untuk standar ukuran halte bus bandara. Tak semegah halte bus DAMRI Soetta tentunya.

Setiba di halte, aku berhenti sejenak, mengamati segenap petunjuk yang bisa memberikanku informasi penting. Tapi tak kunjung menemukannya. “Aku harus mencari cara lain berburu informasi”, aku memutuskan cepat.

Hingga akhirnya aku melihat kehadiran sosok pemuda yang sedang menunggu bus di salah satu sisi halte, pemuda itu sedang sibuk dengan tab di tangannya.

Ini bisa menjadi opsi terbaikku”, aku pun melangkah mendekati pemuda itu.

Hello, brother. Will bus No. 67 pass this shelter?”, aku mengajukan pertanyaan kepadanya.

Oh, that’s right”, dia membuang tatapnya dari tab di tangannya.

Oh, thank you for your information. Do I need a card or not to get on the bus?”, aku mengimbuhkan.

There are two options. You can use a card like this (dia menunjukkan kartu berlangganan busnya) or you can pay on the bus”. Bahasa Inggris pemuda itu sangat fasih

Oh Okay…I understand. How much for the fare?”, aku terus menyelidik.

It’s really cheap, only 1,400 Som….By the way, where are you from?”, untuk pertama kalinya dia menyerobot sebuah pertanyaan.

I’m Donny from Indonesia…. Did you just come home from work?

Call me Umid. I’m from Samarkand….Oh no, I’m a student at Tashkent University of Information Technologies.”, dia akhirnya memperkenalkan diri.

Pertemuan singkatku dengan Umid menjadi momen yang cukup berkesan karena aku beruntung menemukan seseorang yang bisa berbahasa Inggris dengan baik dan banyak memberikan informasi yang berguna bagi eksplorasiku di Tashkent beberapa hari ke depan.

Umid memberikan informasi bahwa aku harus mencicipi “Palov” makanan khas mereka. Dia juga menjelaskan bahwa 97% penduduk Uzbekitan beragama muslim, jadi budaya Islam sangat kuat tercermin di setiap sendi kehidupan “Negeri Jalan Sutera” tersebut. Dia juga memberikan pernyataan yang menenangkan hati bahwa jalanan di Tashkent sangatlah aman ditelusuri walau malam telah tiba. Satu lagi, dia menyarankanku untuk menggunakan bus kota dan MRT saja untuk melakukan eksplorasi karena tarif kedua jenis transportasi itu sangatlah murah. Apalagi, seluruh penjuru kota Tashkent terhubung oleh dua moda transportasi tersebut.

Ah, satu lagi yang masih kuingat. Dia menyebutku sebagai lelaki pemberani dan suatu saat setelah dia mendapatkan pekerjaan pasca kuliah, dia akan mulai menjelajah dunia sepertiku…..Wah, tersanjung banget aku tuh….Wkwkwkwk.

Meluncur ke pusat kota.

Beinnxxx…..Beinnxxx”, sebuah bus berukuran besar merapat di platform. Seorang kondekur laki-laki paruh baya melompat ke platform dan otomatis tersenyum lebar di depanku. Dia berbicara Bahasa Uzbek kepada Umid yang aku tak paham akan maknanya.

Maka aku yang penasaran, memulai melempar tanya kepada Umid.

What he say about me?

He asked where you came from, I answered Indonesia. Then he said your national football team plays well in last Asian Cup Qualifiers”, pungkas Umid.

Pernyataan Umid itu langsung mengingatkan memoriku tentang kemenangan heroik Timnas Indonesia atas Kuwait dengan skor 2-1.

Ahahaha, Umid….Tell him, My national team usually loses if against the Uzbekistan national team

Akhirnya kami bertiga tertawa terbahak ketika Umid dengar cerdas dan cepat menjadi penerjemah percakapanku dengan seoramg kondektur bus yang baru datang.

Akhirnya, bus kota bernomor 47 yang ditunggu-tnuggu Umid tiba. Setelah berpamitan denganku akhirnya dia menaiki bus sarat penumpang itu.

Sementara aku masih penuh kesan menunggu kedatangan bus bernomor 67.

Berselang lima menit…..bus itu datang.

Bu avtobus…*1).” Kondektur itu rupanya diberi tahu Umid mengenai nomor bus kota yang sedang aku tunggu sehingga kodektur itu mengetahui nomornya.

Thank you, Sir”, aku membungkukkan badan dan beringsut meninggalkannya.

Aku melompat masuk dari pintu tengah ke dalam bus bernomor 67 yang langsam berhenti. Lalu duduk di salah satu bangku sisi tengah. Bus masih tampak kosong. Lima menit menaikkan penumpang seadanya untuk kemudian bus itu meluncur pergi meninggalkan Terminal 2, Islam Karimov Tashkent International Airport.

Bus menyusuri Jalan Bobur Ko’chasi menuju pusat kota.

Sambil menunggu penumpang lain naik. Aku bertanya kepada seorang penumpang pria tentang bagaimana cara membayar tarif bus kepada kondektur.

Maka terjadilah pecakapan terunik di dunia.

How to pay the bus fare?”, aku menunjukkan selembar 5.000 Som.

Ty*2)” Menujuk mukaku,

Den’g*3)”, menunuk selembar uang 5.000 Som yang kupegang.

Ona zhenshchina*4)”. Dia menunjuk ke kondektur wanita yang berdiri  di bagian depan.

Podoyti blizhe*5)‘” dia menggerakkan telapak tangannya dari depan ke belakang.

 “Den’g”, menunjuk lagi uangku lalu berganti menunjuk ke kondektur itu.

Aku hanya terus tersenyum demi memahami setengah bahasa isyarat itu.

Okay….Sepertinya petualanganku sudah terselip sebuah permainan teka-teki. Aku menunduk, mengangguk-anggukkan kepala.

Setidaknya 50 menit ke depan, aku akan aman di dalam bus kota yang kunaiki ini”, aku membatin dan senyumku tak terbendung.

Note:

Bu avtobus*1)                     = Itu bus

Ty*2)                                = Anda

Den’g*3)                         = Uang

Ona zhenshchina*4)   = Perempuan itu

Podoyti blizhe*5)         = Datang Mendekat

Decit Sedan di Sebelah Kaki

<—-Kisah Sebelumnya

Di depanku telah berkerumun berbagai orang dengan kepentingannya masing-masing. Batas berdiri meraka tertahan di sebuah pembatas metal yang ditempatkan di area setelah drop-off zone, berjarak tak kurang dari lima puluh meter dari exit gate bangunan bandara.

Sebagian banyak dari mereka adalah para penjemput. Mereka berseru-seru memanggil nama para penumpang pesawat yang satu-persatu keluar dari exit gate. Tentu tak akan ada seorang pun yang berharap atas kedatanganku. Bahkan ketika aku telah tegak berdiri di depan exit gate dan menatap lekat kerumunan itu. Hanya ada satu kelompok penunggu saja yang memposisikan aku sebagai tamu istimewa di mata mereka….Ya, siapa lagi kalau bukan para pengemudi taksi yang tampak sumringah melihat kehadiranku di pintu bandara.

Taxiiii…..Taxiiii”, suara-suara yang jamak terdengar ketika aku keluar dari sebuah bandara. Aku yang sedari beberapa waktu lalu telah siap menghadapi para pengemudi taksi, akhirnya melangkah menuju halte bus yang letaknya berada di bangunan terminal bandara sebelah.

Aku melangkah cepat melalui kerumunan itu, mengabaikan banyak pengemudi taksi yang mengajakku berbicara demi menaiki taksi mereka.

Ternyata langkahku tak mulus hingga seorang pengemudi taksi menguntitku dari belakang. Sepertinya dia tak mudah menyerah sepertiku.

Brother, my taxi is cheap….Only ten Dollar, brother….Come!”, dia memegang tangan kananku dengan maksud menarik ke taksinya.

Sorry, Sir. I will go by city bus, My destination isn’t far”, aku menolaknya pelan dengan menarik tanganku kembali sembari terus melangkah menuju sisi kiri Terminal 1 bandara.

The bus is closed now, Sir….It wasn’t operating at this time”, Dia terus menguntitku. Tetapi aku adalah smart traveler yang tak akan mudah tertipu. Dari berbagai sumber yang telah kubaca sebelum berangkat berpetualang, aku tahu bahwa jam operasioanl city bus di Tashkent akan tutup pukul sepuluh malam. Dan itu masih dua setengah jam lagi. Aku masih punya cukup waktu tentunya.

I will wait for 10 minutes, Sir. If It doesn’t operate, I will use your cab”, aku tersenyum demi menjaga perasaan pengemudi taksi itu.

Aku terus melangkah cepat hingga dia memilih meninggalkanku dan kemudian mencari penumpang lain yang lebih menguntungkan baginya.

Yeaaa….”, Aku mengepalkan tangan, memenangi pertarungan kecil itu. Meninggalkan area parkir Terminal 1 dan bergegas menuju ke Terminal 2. Kali ini musuhku bukan sopir taksi, melainkan udara super dingin yang dengan mudah menembus winter jacketku. aku lupa mengenakan setelan long john sedari berangkat dari Kuala Lumpur sembilan jam sebelumnya.

Bangunan Terminal 2 bandara sudah terlihat di kejauhan. Aku terus melangkah dengan sedikit rasa panik karena udara dingin yang terus mengintimidasi ditambah lagi dengan suasana pinggiran Terminal 1 bandara yang nampak senyap.

Saking paniknya, ketika menyeberang di salah satu jalur penghubug antar terminal, aku lupa melihat ke kiri dan ke kanan. Itu juga karena fur-trimmer hood dari winter jacketku menutupi sempurnanya pandangan mata.

Bimmm…..Bimmmm….Bimmm”, sebuah sedan putih berhenti mendecit tepat beberapa sentimeter di sebelah kaki kiriku.

Astaga…..” aku refleks melompat, lalu berhenti di depan sedan yang telah berhenti sempurna tersebut. Aku menengok ke arah pengemudi. Dia membuka kaca pintu mobilnya dan berteriak “Heyy…..” sembari menjulurkan tangannya ke depan.

I’m sorry, Sir….I’m sorry….I didn’t see”, aku menangkupkan kedua telapak tangan di dada sembari melangkah mendekatinya.

Be careful, brother!….. It would have been a problem if I had bumped you a few minutes ago.” Dia mengingatkanku sembari meredakan kekesalannya.

I understand and sorry….

No matter….”, dia menutup pintu kaca dan menginjak pedal gasnya kembali, menghilang di tikungan dan meninggalkanku sendiri lagi.

Dan heeeiiii…..Tetiba aku merasakan tangan dan kakiku bergemetar. Ini bukan karena hawa dingin sekitar melainkan karena takut setelah insiden beberapa menit sebelumnya.

Entah apa jadinya, jika aku cedera karena tertabarak mobil tadi”. Aku menelan ludah. Mungkin petualanganku akan terhenti di Tashkent dan masuk ke rumah sakit kota. Sejenak aku berhenti melangkah demi memikirkan itu.

Sudahlah….”, aku harus segera melupakan insiden tersebut.

Ya, Tuhan….Sebetulnya dimana halte bus yang sedang kucari?”, aku menghela napas, kemudian kembali menaruh fokus untuk memperhatian sekitar.

Beeinxxx….Beeeinxx”, ah aku mendengar klakson bus itu. Menoleh ke arahnya, dan terlihat jelas kelir hijau warnanya di salah satu sudut Termina 2 bandara.

Oh, di situ….”, aku tersenyum telah menemukan tempatnya.

Maka aku bergegas melangkah menujunya.

Kisah Selanjutnya—->

Teringat Malam-Malam Beku di Agra

<—-Kisah Sebelumnya

Islam Karimov Tashkent International Airport Terminal 2.

Konsisten menjaga ketenangan, aku menghadap petugas Aviation Security yang menjaga kotak pemindai di screening gate dekat pintu keluar bangunan bandara.

Can I go to Arrival Hall inside? I have a problem with a SIM Card I bought at that counter”, aku menunjuk ke Tourist Information Center setelah berhadapan dengan petugas Aviation Security yang bepostur tinggi besar.

Sure….Just go there”, dia tersenyum mempersilahkan.

Thanks, Sir” aku masuk ke kembali dan lansung menuju ke tempat penjualan SIM Card yang kumaksud.

Aku tiba di konter…..

This SIM Card didn’t activate yet, Sir”, aku langsung bercakap kepada penjaga konter karena kebetulan dia sedang tidak melayani pembeli.

Are you sure?….Let me check”, dia meminta smartphoneku.

Yeaaa….I hope you can solve it”, aku sungguh berharap permasalahanku bisa selesai dengan cepat.

Penjaga konter belia itu mengambil kembali SIM Card dari smartphone yang kuberikan, meletakkannya pada sebuah alat kecil dengan nyala cahaya berwarna merah, kembali melakukan aktivitas yang tak kupahami, memasukkan kembali SIM Card dalam smartphoneku, mengutak-atik settingan di smartphone untuk beberapa saat.

Hingga kemudian,

Please check again, Sir….I think this SIM Card had activated and is ready to use”, dia menyerahkan smartphoneku.

Sejenak aku membuka aplikasi berbasis peta, mencari lokasi halte Bus Kota No. 67- bus yang akan kutunggangi dalam beberapa waktu ke depan. Kabar baiknya bahwa aplikasi itu menunjukkan tempat dimana halte berada.

Yeaaa….It work…..Thanks you, Sir”.

Karena telah kehilangan banyak waktu, maka aku kembali menuju exit gate.

Aku melangkah dengan setengah berlari untuk keluar dari bangunan Terminal 1, hingga seruan tegas menegurku,

Hei, you…Screening your backpack again!”, seorang petugas aviation security yang lain meneriakiku ketika aku berusaha melewati screening area dengan terburu-buru. Aku masih menganggap bahwa backpackku telah steril dan sudah lolos pemeriksaan beberapa menit sebelumnya di alat pemindai yang sama.

Tetapi karena perintah itu, akhirnya aku kembali memindai backpack untuk kemudian dinyatakan bersih dan aku diizinkan menuju ke exit gate.

Aku berhenti sejenak, menatap layar smartphone, melihat posisi halte bus kota No. 67. Aku memahami denahnya, halte itu dua ratus meter jauhnya di sebelah kiri pintu keluar, tepat di depan area parkir Terminal 2 bandara.

Maka dengan yakin aku melangkah keluar.

Tiba di luar bangunan terminal, aku berdiri sejenak, terdiam

Suasana di luar sana telah sempurna gelap, malam memang sudah hadir. Udara sarat dengan kabut, sejenak aku teringat malam-malam beku di Agra awal 2018 silam. Jarak pandang menjadi tak begitu jauh, sedangkan suhu jatuh pada skala -2o Celcius.

Aku menemukan tantangan baru.

Harus berhasil menemukan penginapan yang telah kupesan. Jaraknya 10 kilometer di utara, menaiki bus umum dan harus menembus malam yang beku.

Inilah satu kondosi yang kupikirkan dengan keras sedari berangkat dari rumah.

“Aku akan memenangkannya”, aku mengepalkan tangan mengumpulkan keberanian.

Kisah Selanjutnya—->

Terkagum dengan Hijau Retinanya…..

<—-Kisah Sebelumnya

Aku masih mengatur napas panjang, mencoba tenang di meja konter penjualan SIM Card. Mencoba untuk tidak panik.

I have failed to set up a SIM card with this quota five times. Or maybe, Do you want to try another type of data quota? Maybe better.” Dia menjelaskan.

No, I don’t want”, aku menukas tegas.

Oh, Okay….Just wait”, dia menaruh packaging SIM Card yang sudah tersobek di sudut meja.

Pria muda itu untuk sesaat berpindah melayani pelanggan yang lain.

Sedangkan aku terus menatap jam digital pada layar FIDS di tengah ruangan bangunan bandara. Untuk kemudian terdengar suara tertuju kepadaku,

I have a same problem with you”, seorang pelancong wanita berparas cantik bicara dari sisi belakangku.

Aku menoleh, tidak langsung menjawab tapi sejenak terpesona dengan hijau retinanya lalu memperhatikan gerakan tangan kirinya yang memegang sebuah paspor.

Itu paspor Russia”, aku membatin, aku sungguh mengenali paspor berwarna merah tersebut.

Are you sure?…. What did you do to fix it?”, aku memulai percakapan dengannya.

I buy the more bigger data”, tukasnya singkat sembari mengernyitkan dahi.

“How much did you buy?”, aku terus menatap matanya dengan percaya diri.

90.000 Som for 50 GB”, dia menjelaskan dengan sedikit jengkel sepertinya karena telah mengeluarkan budget berlebih.

I think that’s the best solution so you can go to downtown soon”, aku berusaha meleramkan kejengkelannya.

Yes, I will immediately go to downtown because the night is getting darker”, dia tersenyum, membereskan perlengkapannya dan mulai menarik trolley bagnya. “Bye”, dia melambaikan tangan.

Bye, I’ll try my best”, aku tersenyum dan berpura-pura tenang.

Tetiba terdengar suara dari meja konter penjualan SIM Card.

Hello, Sir….Your smartphone, please!”, seorang pria muda lain berbicara kepadaku

Aku membalikkan badan. “Oh sure, this is”, aku menyerahkan smartphoneku

Just wait, Sir”, dia menelungkupkan sembari menurun-naikan telapak tangannya sebagai usaha untuk menenangkanku.

Dia mulai mengutak-atik smartphoneku dan menggunakan alat elektronik yang aku tak paham fungsinya. Berkali-kali dia menaruh Beeline SIM Card yang kubeli pada alat itu lalu memasukkan ke dalam smartphone dan mengatur beberapa settingan di dalamnya.  

Hingga beberapa waktu kemudian, dia berucap, “It’s work”, dengan senyum memberikan smartphone itu kepadaku.

Benar saja, SIM Card itu kurasa telah aktif, aku melihat bar 4G itu telah menyala.

Selanjutnya aku menyerahkan 65.000 Som kepadanya dan kemudian bergegas pergi menuju exit gate bangunan bandara.

Aku melangkah menuju pintu keluar yang kumaksud melalui sebuah screening gate. Memindai backpack dengan cepat aku mudah melaluinya. Berlanjutlah langkahku yang sudah di dekat pintu keluar.

Pikiranku hanya satu, mencari keberadaan halte city bus demi menuju penginapan.

Dari beberapa sumber informasi yang kudapatkan, aku tahu bus kota itu bernomor 67 yang memiliku rute dari Islam Karimov Tashkent International Airport hingga ke Yunusobod.

Yunusobod sendiri adalah nama sebuah distrik. Orang lokal menyebut distrik dengan istilah “Tumani”. Di distrik itulah dormitory yang kupesan berada. Satu dari dua belas distrik yang membentuk Ibu Kota Tashkent. Yunusobod menjadi distrik penting karena jalan protokol utama ada di sana. Distrik dengan 20% populasi Tashkent.

Dengan percaya dirinya, aku membuka aplikasi berbasis peta. Menekan beberapa menu di dalamnya.

Damn….Aplikasi ini tak bekerja, belum terhubung dengan internet”, aku menatap kembali ke bagian dalam bangunan bandara. “Aku harus masuk ke dalam lagi….Menemui penjual SIM Card itu”, aku berpikir menghitung situasi.

Aku masih terperangkap di masalah yang sama.

Kisah Selanjutnya—->

Lima Ringgit yang Tertekuk

<—-Kisah Sebelumnya

Menyapukan pandangan ke segenap sudut Terminal 1-Islam Karimov Tashkent International Airport.

Sekali lagi aku menyapukan mata dengan cermat ke segenap penjuru bangunan bandara. Pelan-pelan tatapan mataku meyelidik di setiap sudutnya. Dan akhirnya aku menemukan money changer di salah satu sudut, konter penukarannya berukuran mungil serta menjadi satu-satunya money changer yang ada di Terminal 1. Aku bergegas melangkah mendekatinya, masuk ke dalam antrian dan membuka kembali lembar itineraryku.

Aku mencantumkan budget untuk eksplorasi di setiap negara pada lembar itinerary tersebut. Dari rencana yang kususun, aku membutuhkan budget sebesar 570.000 Som.

Jadi berapa Dollar Amerika yang harus aku tukarkan ke dalam Som Uzbekistan?

Biasanya aku menggunakan formula 100%+20% ketika menetapkan jumlah Dollar yang harus kutukar ketika pertama kali memasuki wilayah sebuah negara. Artinya aku akan menukarkan Dollar lebih banyak 20% dari budget yang kuanggarkan demi menanggulangi terjadinya budget tak terduga.

Oleh karena formula itulah, maka aku membutuhkan uang sebanyak 684.000 Som. Itu berarti aku cukup menukar 60 Dollar saja untuk mengeksplorasi Tashkent….Duhhh, murah bingitz kan ya?

Tiba di depan money changer, aku menyerahkan Dollar beserta paspor kepada teller yang bertugas. Menghitung dengan cepat, teller itu akhirnya memberikan Som kepadaku.

You must keep this receipt if you want to sell your remaining Dollars to us”, teller wanita tersebut memberi penjelasan dengan penuh senyum.

Okay, Mam”, Aku menjawab singkat.

Aku sibuk memasukkan Som yang baru saja kudapat ke dalam dompet. Untuk kemudian sebuah sahutan tegas memanggilku.

Youuuu…….”, aku menoleh ke sumber suara

Hellooo….Youuuu”, petugas imigrasi itu jelas sekali menunjukku

Meeee…..”, aku menunjuk hidungku sendiri

Yessss…..You…..Come!”, dia melambaikan tangan supaya aku mendekatinya.

Jantungku berdegup kencang, “ Aduh, ada masalah apa ini…..?”, Wajahku pias.

Aku bergegas menujunya sambil menenteng backpack dengan menggantungkan satu shoulder strapnya di lengan karena terburu-buru.

Your Passport, please…..!”, dia menatapku lekat ketika aku tiba di hadapannya

Astaga, aku mau diapain?”, aku membatin sambil merogoh backpack demi mengeluarkan paspor.

This is, Sir”, aku menyerahkannya

Oh, Indonesia….”, dia hanya melihat sekejap pasporku kemudian melemparkan senyuman ramah.

This is for you….”, dia menyerahkan selembar uang Lima Ringgit Malaysia yang tampak tertekuk kepadaku.

Wooow…..Ringgit….Thank you, Sir”, aku berbalas senyum dan menerima pemberian petugas imigrasi dengan riang.

Astaga….Kirain mau diapain”, aku membatin sembari pergi menjauh dari konter imigrasi.

Lumayan buat tambahan uang makan di Kuala Lumpur saat perjalanan pulang beberapa hari ke depan”, aku menyunggingkan senyum tipis.

Beli SIM Card lokalnya di situ, gaes…

Usai mendapatkan Som, maka aku bergegas menuju ke konter penjualan SIM Card lokal.

Can I buy an 8G data plan?”, aku melemparkan tanya ke pria belia penjaga Tourist Service Center.

We don’t have that one”, dia menjawab sekenanya karena sedang sibuk melayani seorang pelancong asal India. “You can buy the 20G one”, dia mengimbuhkan informasi.

How much?” Aku bertanya singkat.

65.000 Som, Sir” dia menjawab dengan aksen English yang cukup baik.

Ok, I take it”, aku tak berpikir panjang karena sepenuhnya sadar bahwa di luar sana malam semakin berkuasa.

Usai melayani pelancong India, pria belia itu meminta smartphoneku, mengeluarkan SIM Card, menggantinya dengan Beeline SIM Card, kemudian mulai mengotak-atik settingan untuk melakukan aktivasi.

Dia tampak serius dan fokus. Tetapi aku justru semakin was-was karena berkali-kali dia gagal mengaktifkan Beeline SIM Card itu di smartphoneku.

Berkali-kali gagal melakukan, tampaknya membuat dia menyerah.

Your phone is in problem, Sir. I can’t activate it”, dia menyerahkan smartphoneku dan berpindah melayani pelancong lain.

Aku menelan ludah…..

Bagaimana aku bisa tiba di penginapan jika tak memiliki kuota data?”, aku menundukkan kepala di konter itu…..Berpikir keras mencari solusi, semetara waktu hampir menyentuh pukul tujuh malam.

Come on….God, help me”, aku menukas pelan.

Kisah Selanjutnya—->

Do Svidanya, Donny…..

<—-Kisah Sebelumnya

Touchdown Tashkent.

Satu budaya baru dari Kawasan Asia Tengah yang kudapatkan dalam penerbangan Uzbekistan Airways HY 554 adalah cara pegungkapan respek dan rasa terimakasih segenap penumpang kepada air crew. Seluruh penumpang asal Uzbekistan tampak bertepuk tangan meriah ketika roda pesawat berhasil menyentuh landas pacu untuk pertama kalinya.

Aku mengira kejadian itu hanyalah hal insidentil yang terjadi dalam penerbangan itu. Tetapi ternyata tidak. Budaya itu terus kutemui dalam penerbangan di Kawasan Asia Tengah. Aku menemukan kebiasaan yang sama ketika terbang bersama Air Astana dalam menjelajah beberapa wilayah Kazakhstan.

Di sebelah bangku, Dasha menunjukkan wajah sumringah. “Mungkin liburannya telah banyak meninggalkan kesan”, aku menduga-duga ketika akhirnya dia menoleh kepadaku.

Posadka*1)….Donny”, sembari mengacungkan kedua jempolnya di hadapanku.

Nice landing, Dasha….We arrive”, aku pun tak bisa lagi menyumputkan senyum.

Dasha mengeluarkan jaket tebal dari tas yang dia taruh di bawah kakinya, mengenakannya, dia tampak anggun dengan jaket bulunya yang berwarna biru langit itu.

Kurtka*2)….Donny”, dia menunjuk-nunjuk diriku,

Holodno*3)….”, dia menunjuk ke luar jendela pesawat.

Aku hanya menebak-nebak apa yang dituturkannya,

Pakai jaketmu, Donny. Di luar sana dingin”, aku terkekeh dalam hati.

Okay, Dasha”, aku berucap kepadanya antusias. Lalu menurunkan backpack dari bagasi kabin, mengeduk isinya, mengeluarkan jaket musim dingin bekas yang kubeli di Pasar Baru beberapa hari sebelum keberangkatan, lalu mengenakannya dengan cepat.

Ty Krasivyy*4), Donny”, Dasha kembali mengacungkan jempolnya. Sementara itu, aku hanya menengadahkan kedua tangan demi merespon ungkapannya sembari tersenyum. “Not bad”, batinku berucap.

Keluar dari kursi, Dasha mengucapkan salam perpisahan.

Do Svidaniya*5), Donny” dia melambaikan tangan dan bergabung dengan teman-teman satu perusahaannya.

Come on, kembali ke mode awal, Donny….Solo Traveling….Kamu akan bertemu orang-orang baik lagi di luar sana, Donny….Percayalah!”, aku menguatkan diri.

Aku menengok ke jendela, tidak ada aerobridge yang menempel di pintu pesawat. Itu artinya akan ada apron shuttle bus yang menunggu segenap penumpang di kaki pesawat. Aku melangkah ke pintu belakang yang sudah di jaga oleh satu pramugari dengan seragam blazzer berwarna hijau. Merangsek di antrian dan akhirnya aku benar-benar tiba di bibir pintu.

Oh God, Tashkent…..”, Aku tak sengaja telah melamparkan senyum menatap hamparan luas Islam Karimov International Airport.

Islam Karimov International Airport tampak dari pintu pesawat.
Uzbekistan Airways HY 554 Kuala Lumpur-Tashkent.

Izvinite*6)….Izvinite”, seorang penumpang berkata di belakangku. Itu karena aku mendadak terhenti di bibir pintu karena terkesima dengan pemandangan di bawah sana.

Hamparan luas apron dengan sebaran pesawat berbagai ukuran milik maskapai penerbangan Uzbekistan Airways. Puluhan light tower telah dinyalakan sebagai pertanda bahwa hari tengah menyambut datangnya malam. Sementara itu kabut tipis menjadi latar utama bandara terbesar di seantero Uzbekistan tersebut. Di sisi lain, satu unit apron shuttle bus berwarna biru terparkir dengan mesin menyala langsam siap menjemput segenap penumpang.

Aku menuruni mobile stairs, udara segar bersuhu -2o Celcius menerpa mukaku yang tak berpelindung, tanganku juga merasakan dingin yang sama. Tapi aku tak mau berlari, aku berjalan pelan menikmati suasana sebelum benar-benar memasuki shuttle bus.

Aku sudah di dalam shuttle bus beberapa waktu kemudian. Menanti penumpang lain datang memenuhi bus. Setelah terisi sepenuhnya, maka shuttle bus mulai membelah luasnya apron bandara demi mengantarkan penumpangnya menuju bangunan Terminal 1.

Untuk sesaat aku terlarut dalam perjalanan singkat di sepanjang apron, masih tak percaya aku berada di Tashkent. Sebuah kota yang hampir satu dekade terakhir bahkan tak pernah masuk dalam rencana untuk kusinggahi. Tapi takdir mengatakan lain, aku dimasukkan ke dalam pesona Tashkent yang di keesokan hari sudah bisa kujelajahi.

Apron shuttle bus itu berhenti. Aku telah tiba di bangunan Terminal 1. Mataku awas mengamati sekitar. Tepat turun dari pintu shuttle bus, Sebidang luasan pintu kaca menyambutku. Sementara di dalam sana terlihat jelas konter-konter imigrasi sedan sibuk melayani para penumpang untuk masuk ke wilayah yuridis Uzbekistan.

Baru kali ini aku melihat, konter imigrasi diletakkan tepat di depan pintu kedatangan penumpang….Amazing”, aku bisa tertawa kecil ketika menatapnya.

Aku mulai menggila, beberapa penumpang menatapku kerena aku tertawa ringan sendirian.

Note:

*1). Posadka = Pendaratan

*2). Kurtka = Jaket

*3). Holodno = Dingin

*4). Ty Krasivyy = Kamu terlihat tampan

*5). Do Svidaniya = Sampai jumpa

*6). Izvinite = Permisi atau maaf

Kisah Selanjutnya—->

Nervous di Atas Revoljucii

<—-Kisah Sebelumnya

Pegunungan Revoljucii di Tajikistan

Aku duduk menatap ke jendela sisi kanan. Hamparan putih salju di pegunungan Revoljucii menjadi pemandangan utama di sejauh mata memandang. Keindahannya telah menyirap segenap penumpang untuk berebut menontonnya.

Ketika penumpang di kolom tengah berdiri dan berseru-seru melihat keindahan alam itu, justru aku hanya duduk termangu menatap hal yang sama. “Ini sama tatkala aku menikmati indahnya Pegunungan Himalaya ketika terbang bersama Thai Airways di atas teritorial Nepal enam tahun silam.”, aku membatin.

Tatapanku sejenak berpindah ke layar LCD di depan. Jari telunjukku lincah memainkan tampilan menu di dalamnya. Aku mencari informasi berapa waktu tersisa bagi Uzbekistan Airways HY 554 untuk tiba di tujuan.

24 menit lagi aku akan  tiba”, aku mematung sejenak.

Jantungku berdegup lebih kencang. Aku mengaku pada diriku sendiri bahwa nervous telah menguasai diri. Setidaknya ada tiga hal yang membuat demikian. Tiga hal yang memenuhi segenap ruang di otakku.

Pertama….Suhu.

Terakhir kali mengunjungi negara empat musim adalah tahun 2016 silam. Taiwan-Jepang-Korea Selatan kala itu. Aku sepertinya telah kehilangan insting menjelajah negara yang sedang memasuki musim dingin. Selalu saja ada yang membuatku was-was dengan cuaca dingin. Dan kabar menegangkannya adalah Uzbekiztan termasuk negara yang Sebagian besar wilayahnya berada di iklim sedang dengan garis lintang yang lebih tinggi dar Korea Selatan. Aku akan memasuki suhu minimal -2o Celcius dalam waktu beberapa menit ke depan.

Kedua….Malam.

Tiba di saat malam adalah sesuatu hal yang selalu saja menyelipkan sebuah ketegangan. Menjelajah malam di kota lain di negeri sendiri saja membuat otak berpikir lebih keras, apalagi ini sebuah kota yang jaraknya 7.000 kilometer dari rumah. Aku terus me-rehearsel setiap tahapan langkahku menuju ke penginapan setiba di Tashkent beberapa saat lagi.

Ketiga….Imigrasi.

Menghadap ke meja imigrasi sebuah negara selalu saja menjadi tahapan yang sungguh mendebarkan. Oleh karenanya, aku selalu berdo’a setiap memasuki area imigrasi, memohon pertolongan Tuhan untuk mempertemukanku dengan opsir imigrasi yang baik hati dan mempermudah setiap langkahku untuk memasuki sebuah negara baru. Aku sendiri pernah mengalami hal kurang mengenakkan di imigrasi Busan dan imigrasi Kuala Lumpur. Dan siapa sangka aku akan menemukan masalah yang sama ketika menghadap imigrasi Maldives pada saat perjalanan pulang dari perjalanan panjang yang sedang kujalani tersebut.

Kembali ke kursi pesawat….

Pilot telah memberikan perintah kepada setiap awak kabin untuk mempersiapkan diri melakukan pedaratan. Lantas, para awak kabin melakukan pemeriksaan kepada setiap sabuk pengaman yang dikenakan penumpang, memastikan setiap kursi tegak sandarannya dan memastikan keadaan di luar bisa dilihat dari setiap jendela.

Maka, terjadilah percakapan antara pilot di kokpit dan menara pengawas, aku paham bahwa sang pilot sedang meminta izin untuk mendarat.

Pesawat perlahan menurunkan ketinggian, menembus beberapa gumpalan awan di lapisan bawah atmosfer, membuat goncangan lembut di pesawat berbadan lebar tersebut. Pemandangan kota Tashkent mulai tampak dari ketinggian.

Roda pesawat yang dikeluarkan dari lambung terdengar dari dalam kabin. Runway sudah semakin dekat. Pemandangan di luar berubah menjai garis-garis cepat yang bergerak berlawanan arah dengan laju pesawat.

Hentakan lembut yang kuharapkan terjadi. Roda pesawat sudah berputar di landas pacu.

Aku mendarat….

Aku tiba…..

Aku tak sabar lagi menginjakkan kaki di Islam Karimov Tashkent International Airport, bandara ke-37 di luar negeri yang pernah aku kunjungi.

Kisah Selanjutnya—>

Airborne yang Sempurna

<—-Kisah Sebelumnya

Menjelang pukul dua belas siang, aku memasuki kabin Uzbekistan Airways HY 554. Melalu aisle sisi kanan, aku merangsek ke kabin kelas ekonomi. Bangku bernomor 32-J adalah tujuanku.

Melewati kabin business class aku cukup mengagumi kemewahan Boeing 787-8 yang akan kutumpangi itu. Kuris kelas business hanya di set dengan dua tempat duduk di setiap kolomnya. Total ada tiga kolom bangku dalam pesawat yang kutumpangi.

Aku akhirnya menemukan kursiku, dan kursi itu adalah aisle seat. Aku duduk bersebelahan dengan wanita paruh baya asal Uzbekistan yang mengakuisisi window seat, sedangkan kursi di bagian tengah dibiarkan kosong. Hal ini membuat tempat dudukku menjadi cukup lega selama perjalanan di dalam pesawat double aisle itu.

Business Class.
Economy Class.
Boarding sebentar lagi usai….
Kursi nomor 32-J….It’s mine.

Genap melakukan boarding, maka setiap penumpang sudah bersiap di tempat duduknya masing-masing. Dan usai awak kabin memastikan keamanan setiap penumpang maka peragaan prosedur keselamatan penerbangan diberikan melalui tayangan video yang tertampil pada setiap layar LCD di kursi penumpang.

Ada yang unik dengan video peragaan prosedur keselamatan penerbangan tersebut dimana para aktor peraganya mengenakan jubah dan pakaian perang zaman Timurid Empire. Peragaan yang unik dan kreatif. Mampu membuatku tertawa ringan di balik kursi penumpang.

Aku menahan senyum ketika pesawat berbadan besar itu mulai didorong ke belakang dengan pushback tractor menuju taxiway.

Satu sisi aku sangat antusias dengan kesempatan menikmati penerbangan Uzbekistan Airways untuk pertama kalinya, di sisi lain aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagia karena sebentar lagi aku akan jauh melanglang buana. Aku seakan menemukan passion yang telah lama hilang terenggut pandemi.

Mesin jet mulai menderu nyaring demi mendorong besarnya badan pesawat di sepanjang landas pacu, untuk beberapa saat pesawat meluncur di runway, pemandangan di luar jendela mulai berubah menjadi garis-garis cepat yang tertarik ke belakang. Akhirnya di ujung landas pacu, pesawat dengan lembut memasuki fase airborne. Dan pasti, para pengunjung bandara akan melihat roda-roda raksasa pesawat yang kutunggangi mulai terlipat ke dalam lambungnya.

Sejenak pemandangan ciamik Kuala Lumpur International Airport tertampil di ketinggian, untuk kemudian sang pilot merubah haluan pesawat ke arah barat. Maka moncong fuselage telah mengarah ke tujuan akhir….Kota Tashkent.

Satu hal yang kulakukan ketika pesawat sudah memasuki cruising phase adalah mengambil inflight magazine dari bagasi tempat duduk dan mulai berselancar mencari informasi perihal Uzbekistan di setiap artikelnya. Itulah kebiasaan yang kulakukan sebelum mendarat di tujuan. Membaca inflight magazine adalah cara terbaik untuk mencari informasi terkini tentang tempat yang sedang kita tuju.

Let’s fly !Airlines ke-30 sepanjang bersolo-traveling.
Explore Tashkent lewat majalah yuk!

Aku yang penasaran dengan rute penerbangan kemudian mencari tahu rute penerbangan dari layar LCD. Dari situ aku baru mengerti bahwa rute penerbangan Uzbekistan Airways HY 554 akan melewati Laut Andaman, Teluk Benggala, Negara Bagian Bihar di India, sebagian wilayah Nepal, Tibet, Pakistan, Afganistan, Tajikistan dan Kirgistan….Wah, keren juga ya perjalananku.

Untuk sejenak aku bisa menikmati awal penerbangan itu.

Kisah Selanjutnya—->

Konter Imigrasi Malaysia: Membantu Jama’ah Umrah

<—-Kisah Sebelumnya

Tibalah aku di depan konter imigrasi….Aku tenang.

Hi, Donny, tenanglah!.….Ini akan mudah”, aku membatin.

Maka ketika sedang mengantri di salah satu line konter imigrasi, tetiba datang serombongan jama’ah umrah yang bercakap dalam Bahasa Indonesia dengan aksen Melayu. Salah satunya, yang kutebak sebagai pemimpin rombongan tampak sibuk mencari angka yang dicocokkan dengan angka di boarding passnya.

Kita cari konter 22 ya sesuai tiket”, ucapnya kepada setiap anggota rombongan. Semua anggota rombongan tampak patuh mengikutinya.

Aku yang seketika paham dengan pernyataan itu, bergegas mendekatinya untuk membantu.

Nomor yang tertera di boarding pass itu nomor gate, Pak. Kalau di konter imigrasi ini, bapak bisa pakai jalur mana saja, jadi silahkan mengantri saja di antrian yang menurut bapak nyaman”, aku menjelaskan.

Oh begitu ya, Mas”, terimakasih ya.

Kita mengantri di sini saja, Bapak-Ibu”, dia mengarahkan jama’ahnya.

Maka setelah percakapan itu, aku menjadi akrab dengannya. Berdasarkan informasi dari pembimbing umrah itu, mereka berasal dari Pekanbaru dan pembina umrah itu baru kali itu membawa jama’ah ke tanah suci.

Wujud Aerotrain KLIA.
Semoga umrahnya mabrurah ya, Ibu-ibu. Amin.

Karena banyak pertanyaan yang dilemparkan pembimbing umrah tersebut kepadaku, akhirnya aku bercerita perihal passion bersolo-traveling sekaligus menjadi travel blogger yang sedang ku jalani. Ketertarikannya itu, membuatnya meminta alamat blogku. Dia merasa penasaran dan ingin mengikuti setiap kisah perjalananku.

Pertemuan singkat yang menyenangkan. Akhirnya aku berpisah dengan rombongan umrah itu di salah satu aerotrain platform. Aku mengucapkan salam perpisahan sebelum kami menuju ke gate masing-masing.

Maka bergegaslah aku menuju Gate C-26. Untuk menggapai gate tersebut maka aku harus menuju East Zone – KLIA. Aku terus begerak mencari zona itu, melewati sebuah area luas dimana Information Centre Desk ditempatkan dan jam-jam klasik dengan brand OMEGA menjadi penghias di area sekitarnya.

Mengikuti signboard dengan teliti, akhirnya pada pukul setengah sebelas aku tiba di Gate C-26. Aku mengambil salah satu bangku demi menunggu boarding time yang akan berlangsung satu jam ke depan.

Terduduk di salah satu pojok selasar, aku terus menyaksikan kedatangan penumpang asal Uzbekistan setiap menitnya. Beberapa diantara mereka memakai t-shirt dengan sebuah logo brand yang aku mengenalinya. Itu adalah logo perusahaan Multilevel Marketing kenamaan asal Tiongkok, yaitu TIENS. Tampaknya mereka sedang mengadakan acara tour bersama, mungkin itu adalah bonus trip dari perusahaan mereka.

Terus menikmati situasi……

Beberapa saat kemudian rombongan pramugari, pramugara, pilot dan co-pilot Uzbekistan Airways HY 554 tiba. Mereka langsung menjalani pemeriksaan di screening gate untuk kemudian memasuki pesawat untuk mempersiapkan penerbangan.

Perjalanan menuju Gate C-26.
Akhirnya aku menemukan Gate C-26.
Ini dia waiting room Gate C-26. Keren kan?.
Aku bersiap terbang menuju Tashkent.

Dan akhirnya, tepat setengah jam sebelum boarding time seluruh penumpang diizinkan masuk ke waiting room.

Aku yang antusias, segera memindai diri di screening gate untuk kemudian memasuki waiting room yang memiliki ruangan lebih nyaman dan berkarpet tebal. Selama masa menunggu, aku memanfaatkan waktu untuk memenuhi kembali daya telepon pintarku. Inilah kesempatan terakhir mengisi daya, karena aku akan tiba di Tashkent saat gelap dan sudah pasti aku akan berkejaran dengan waktu untuk menggapai pusat kota. Jadi aku memerlukan bantuan smartphoneku untuk melacak posisi dan pergerakanku.

Smartphoneku tidak boleh mati setiba di Tashkent nanti”, aku mengingatkan diri sendiri.

Akhirnya…..panggilan boarding itu benar-benar tiba…..

Dengan hati sumringah, aku segera memasuki antrian untuk melakukan pemeriksaan terakhir boarding pass sebelum memasuki kabin pesawat melalui aerobridge.

Tashkent, I’m coming……”, aku menyimpulkan senyum tipis ketika sudah berada di areobridge.

Kisah Selanjutnya—->